Enam puluh tiga tahun setelah masa jatuhnya Capitol akibat pemberontakan, kini semua distrik telah mendapatkan kembali hak mereka untuk merasakan kehidupan yang nyaman. Di bawah kepemimpinan presiden yang baru, kami semua akhirnya bisa mencicipi ketentraman tanpa harus dibayang-bayangi dengan kengerian yang ditimbulkan oleh hiburan bernama Hunger Game.

Sekarang aku memang tidak merasakan hidup di masa yang telah lalu, namun kerap kali hal mengenai Hunger Game terbayang dibenakku karena sering diceritakan oleh guru sejarah di sekolah. Semua itu semata-mata karena rasa penasaran yang tak kunjung hilang, karena apa yang terjadi dalam Hunger Game sama sekali tak dapat dibayangkan. Seringkali aku meminta teman dari kakekku untuk menceritakannya, tapi dia berkata bahwa tidak baik jika kita menceritakan sebuah mimpi buruk kepada orang lain. Yah, apa boleh buat, jika tidak ada yang mau bercerita, maka aku tidak akan mendapatkan apa-apa. Berita terakhir mengatakan bahwa data-data Hunger Game terdahulu diyakini telah lama dimusnahkan oleh Capitol. Memang seharusnya kami semua para distrik bersyukur karena sekarang sudah bisa tidur dengan nyenyak, meskipun pekerjaan kami sebagai penopang dari Capitol masih tetap berjalan.

Distrik ku, distrik dua, dikenal sebagai pengelola pertambangan batu. Diantara distrik yang lain, kamilah yang paling dekat dengan Capitol secara wilayah. Selain itu, anak laki-laki yang sudah berumur 20 tahun diwajibkan untuk mengikuti pendidikan militer di Capitol selama tiga tahun. Lalu siapapun yang beruntung bisa langsung bekerja sebagai penjaga perdamaian. Hal tersebut merupakan suatu kebanggaan bagi keluarga yang bersangkutan, disamping mereka akan mendapatkan pemasukan ekstra dari Capitol. Itulah salah satu keistimewaan yang kami rasakan di distrik dua. Namun satu hal yang penting, guruku selalu berkata bahwa semua ini tak lepas dari pengorbanan sang mockingjay yang menjadi harapan bagi semua orang. Maka tak jarang aku berdoa 'semoga dengan ketentraman yang telah diberikan ini kaupun mendapatkan ketentraman yang sama di atas sana, Katniss Everdeen.'

"Selamat ulang tahun!" aku berlari menghampiri dan memeluk kakak perempuanku yang baru saja keluar dari kamarnya. Dia terdiam sejenak dan langsung balik memeluk ku setelah kesadarannya sudah sepenuhnya kembali. "Hey Angelly biarkan kakakmu mencuci mukanya terlebih dahulu, dia pasti kaget kamu tiba-tiba berlari seperti itu." Ibuku dengan suaranya yang lembut tengah mengeluarkan kue cokelat yang mengepulkan asap dari dalam oven. "Terimakasih Jelly, kamu selalu membuatku merasa muda karena tingkahmu yang masih saja seperti anak kecil itu." Kakakku tertawa cekikikkan sementara aku melepaskan pelukanku dan membalasnya dengan cemberut. 'Trek' terdengar suara pintu dibuka. Segera ku hampiri pintu karena tahu bahwa itu pasti ayah yang baru saja kembali dari kandang sapi di belakang rumah untuk mengambil susu segar. Ibu mengambil ember berisi susu segar yang ayah bawa dan aku membantunya duduk di sofa. Ayahku dulunya adalah seorang penjaga perdamaian yang gagah, namun suatu hari dia tertimpa musibah saat bekerja, hingga kini harus menggunakan bantuan tongkat untuk bisa berjalan. Tapi untungnya keluarga kami masih memiliki kakak laki-lakiku sebagai tulang punggung keluarga yang saat ini bekerja sebagai penjaga perdamaian di Capitol.

"Anak perempuanku sudah dewasa." Ujar ayah sambil mencium pipi kakakku yang merona. Dia tampak cantik dengan baju terusan yang memiliki hiasan pita merah muda di belakangnya. Kakakku bukan gadis yang berisik seperti teman sekelasku bernama Cecil yang selalu membuatku kesal, namun dia juga bukanlah anak yang tomboy, kakakku dewasa, manis jika tersenyum dan tampak cantik dengan rambut pirangnya yang sedikit bergelombang. Aku sedikit iri karena warna rambutku berbeda dari yang lain, aku mendapatkan warna yang sama dengan yang dimiliki oleh kakek. Itu yang dikatakan oleh ayah. "Kenapa kau bengong seperti itu Jelly, ayo kita makan kue buatan ibu."

"Berhenti memanggilku seperti itu kak! Beberapa bulan lagi aku berumur dua puluh!"

"Astaga! Apa semalam aku pingsan selama beberapa tahun?"

"Enak saja!" kakak memang pandai sekali menggodaku dan dia menikmatinya.

Suasana pada sarapan hari ini terasa hangat, kami semua tertawa, bercanda, sayang kakak laki-lakiku tidak bisa ikut bergembira bersama. Namun jika dia adapun tidak akan jauh, pasti aku menjadi bahan ledekannya juga, tapi itu bukan masalah karena sebenarnya aku merasa senang di saat mereka seperti itu.

"Oiya, ini baru sampai tadi pagi-pagi sekali, coba tebak."

"Surat dari kakak?"

"Ya! Hampir saja ibu lupa karena menunggu untuk membaca suratnya bersama-sama."

Meskipun Capitol membuatnya sibuk, tapi kakakku tidak pernah lupa untuk selalu menuliskan surat untuk kami. Pada awal suratnya seperti biasa, kakak menanyakan kabar kami, dia bilang bahwa diapun sehat di sana, lalu tak lupa mengucapkan selamat ulang tahun. Hal yang kali ini menjadi topik pembicaraan adalah berita tentang presiden kami yang baru saja meninggal dunia. Seluruh Panem sedang berduka di saat kami tengah mengadakan pesta ulang tahun.

"Oh astaga, bagaimana bisa kita melewatkan berita ini." Kakakku beranjak dari tempat duduknya dan langsung menyalakan televisi.

"Tidak apa-apakah kak, kita sedang merayakan ulang tahun kakak."

"Tidak masalah, toh aku masih diberikan kesempatan untuk bisa meledekmu lagi Jelly, tapi presiden kita tidak akan pernah ada lagi untuk kita. Jadi setidaknya kita harus tahu tentangnya sekarang."

Aku hanya menjawab dengan anggukan kecil dan kemudian ikut menonton. Acara mengheningkan cipta dilakukan secara live dari Capitol, tak sedikit orang yang berduka karena kehilangan sesosok yang paling bijaksana dari yang pernah kami temui. Sekarang aku mulai bertanya-tanya sendiri, kira-kira siapa yang akan menjadi penggantinya?

Matahari bersinar terik, membuatku malas pergi ke sekolah. "Matahari membuatmu lemah ya, Jelly Darling." Gezz, suara dengan nada manja yang meledek itu membuatku naik darah, sudah jelas aku tahu siapa satu-satunya orang yang bisa bicara seperti itu. Cecil adalah orang yang paling aku hindari, entah kenapa Lary, anak laki-laki yang menjadi teman akrabku sejak kecil harus menjadi saudara kembarnya. Langsung saja aku berjalan cepat untuk segera menjauh tanpa menoleh sedikitpun ke arah Cecil. Cecil dan Lary adalah teman masa kecilku, jadi merekalah yang menjadi ancaman karena tahu bahwa aku sangat senang dimanjakan oleh kakak-kakakku. Ya meskipun Lary tidak masuk hitungan. Di rumah boleh saja aku dimanja, tapi saat diluar seakan diriku satu lagi lah yang mengambil peran, toh siapa yang mau jika disebut kekanak-kanakkan.

Semua anak distrik dua diwajibkan mengenyam pendidikan dari usia tujuh sampai 18 tahun, selebihnya adalah pendidikan bagi orang-orang yang ingin menjadi tenaga ahli seperti tenaga pengajar, dan aku salah satunya. Menjadi tenaga kerja di tambang hingga kini masih menjadi pilihan yang paling diminati karena tidak memerlukan banyak keahlian khusus.

Seusai pelajaran, aku tertegun di bawah pohon rindang sembari menatapi rerumputan yang gemersik karena digelitiki oleh angin. Saat itu Lary datang tanpa kusadari. "Tidak langusng pulang?" tanyanya.

"Hey Lary. Tidak, sedang bersantai sebentar."

"Sedang memikirkan sesuatu?"

"Hmm.. Hanya sedang jenuh."

Lary duduk di samping ku, menggantungkan handuk kecil yang digunakan untuk mengelap keringat di lehernya. Dia mengajarkan beladiri kepada anak-anak kecil di distrik dua. Meski orang-orang bilang bahwa dia hanya buang-buang waktu disamping tidak ada uang yang dia dapatkan, namun Lary hanya bilang bahwa mengukir batu sedini mungkin akan bisa memberikan pondasi yang bagus untuk distrik dua di kemudian hari. Meski kami memang distrik penghasil batu, tapi aku tidak yakin yang dia bicarakan itu benar-benar tentang batu.

"Selamat ulang tahun untuk kakak mu ya."

"Iya terimakasih. Ulang tahun ku juga sebentar lagi loh."

"Lalu kenapa?"

"Tidak, hanya memberitahu saja." Jawabku dengan sedikit nyengir.

"Siapa yang mau tahu?"

"Jahat!" Aku mengayunkan pukulanku sementara Lary menangkisnya sambil tertawa. Dia satu-satunya orang yang bisa aku ajak berdiskusi tentang segala hal, termasuk tentang aku yang menyukai Finnick, salah satu teman laki-laki di sekolah. Finnick sangat bangga dengan namanya yang diambil dari salah satu sahabat sang mockingjay, terkadang jadi terkesan pamer, tapi wajahnya yang memang sangat tampan membuatku tidak peduli terhadap sikap buruknya itu.

Hari telah larut saat aku pulang ke rumah. Kulihat kakak, ayah, ibu seakan tidak menyadari kehadiranku karena sedang menonton televisi dengan serius. "Ada apa?" Tanyaku. "Presiden baru." Jawab kakak dengan singkat. "Apa? Siapa?" Aku menyelip di antara kakak dan ayah lalu ikut menyaksikan siaran langsung dari Capitol. Sebuah nama yang tidak pernah aku perhitungkan untuk masuk ke dalam kandidat calon presiden, namun kini dia sudah resmi menjadi presiden yang baru. "Kami tidak ingin ada penghambatan dari laju pemerintahan di Panem. Maka dengan segala pertimbangan, telah diputuskan bahwa mulai saat ini, Josh Wright yang akan menjadi pemimpin dari kita semua." Laki-laki jangkung yang berumur sekitar empat puluh lima tahun itu berdiri dan menerima mahkota penanda bahwa dialah sang pemegang kekuasaan Panem yang baru.

Hari ini adalah hari Minggu, tapi kami malah harus ke alun-alun untuk menyaksikan pidato kepresidenan. Pada acara-acara tertentu, akan dipasang sebuah monitor raksasa agar semua warga distrik bisa menyaksikan bersama tayangan langsung dari Capitol. Aku berada pada barisan paling belakang karena sejak tadi berangkat dengan malas-malasan. "Angel!"

"Lary?"

"Aku punya tempat yang strategis untuk menonton." Aku berlari menghampiri Lary yang mengajakku untuk naik ke atas pohon mangga di pinggir alun-alun. Lary membantuku yang naik dengan susah payah. Tidak ada satupun yang memperhatikan karena pohon mangga berdaun rindang seakan menghilangkan keberadaan kami saat itu.

"Masyarakat Panem yang saya hormati." Sang presiden memulai pidatonya. "Saat ini saya berbicara sebagai pemimpin kalian yang baru, dan akan menyampaikan beberapa peraturan baru bagi setiap distrik." Dia berkata bahwa pengawasan di tiap distrik akan di perketat, dan pengiriman bahan baku dari tiap distrik akan ditingkatkan, itu akan membuat kerja kami menjadi lebih keras dari biasanya. Masih banyak hal lain yang sepertinya membuat resah orang-orang, namun itu semua kuabaikan, kecuali satu hal. "Sebelumnya, hanya anak laki-laki berumur dua puluh tahun dari distrik dua yang diwajibkan pergi ke Capitol untuk menjalani wajib militer, namun sekarang anak perempuan minimal berusia dua puluh tahunpun diharuskan pergi ke Capitol untuk masa pelatihan tenaga kerja. Jika dalam masa percobaan kalian menunjukan prestasi yang bagus, maka dapat langsung bekerja di Capitol."

"Jadi akupun bisa memiliki kesempatan untuk pergi ke luar distrik dan bekerja di Capitol?" Ujarku dengan sedikit senang karena akhirnya bisa memiliki kesempatan menghirup udara di luar distrik dua.

"Ya, senang ya? Tapi kamu belum tahu, berbeda dengan anak laki-laki yang pekerjaannya sudah jelas, anak perempuan yang terpilih akan bekerja dimana? Sebagai apa?"

Aku mulai tertegun dan berpikir, "Mungkin bukan sebagai penjaga perdamaian, mungkin yang lain..."

"Contohnya?"

"Tidak tahu." Aku menghela nafas panjang. Tiba-tiba aku teringat pada kakak ku yang seharusnya akan pergi ke Capitol sebentar lagi karena umurnya kini sudah lewat dari dua puluh. Sekarang aku mulai akan merasa kesepian. Saat makan malampun aku menjadi sedikit diam karena memikirkan hal itu. Kakakku tentu saja langsung tahu dan hanya berkata, "Tenang saja, toh tidak akan lama lagi kamu juga akan berumur dua puluh." Aku tersenyum ke pada kakakku, "Nanti aku akan menyusul kakak."

Tanpa terasa sebulan telah berlalu tanpa adanya kakakku yang biasa menjadi tempatku bermanja-manja.

Bulan ke tigapun baru saja berlalu saat kulihat kalender yang sudah memasuki awal bulan Februari. Tidak ada sepucuk suratpun yang datang dari kakak perempuanku. Mungkin sedang sibuk dengan peraturan baru dari Capitol, aku mencoba memaklumi. Tapi sejak saat itu aku lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah dan ikut belajar bela diri dengan Lary, setidaknya hal itu membantuku melupakan kerinduan kepada kakak.

Kubuka kembali kalender dimana sebentar lagi akan menuju tanggal 28 April, dan itu tandanya aku akan berulang tahun ke dua puluh. Kakak laki-lakiku mengirim surat lebih cepat dari tanggal yang seharusnya, dia mengucapkan selamat ulang tahun dan berkata di Capitol sedang sibuk sekali. Sedang sibuk ya. Aku menjadi agak marah mengetahui bahwa kakak laki-lakiku yang sangat sibuk pun masih sempat mengirimkan surat kepada ku. Ah, tapi biarkan lah, toh setelah genap berumur dua puluh tahun, aku kan segera menyusul kakakku ke Capitol.

Hari demi hari kuhitung, tak sabar dengan ulang tahunku, atau mungkin tidak sabar karena ingin bertemu kakakku. "Selamat ulang tahun." Lagi-lagi Lary mengejutkanku yang sedang bersandar di pohon belakang sekolah. Dia memberikan sebuah gelang terbuat dari batu-batu yang dihubungkan dengan semacam kawat. Sederhana, tapi indah.

"Terimakasih." Ujarku sambil memakai gelang pemberiannya.

"Kapan kamu berangkat."

"Besok pagi. Jangan rindukan aku ya."

"Yakinkah bukan kamu yang akan rindu kepada ku?" Kami berdua tertawa. "Sebentar lagi pun sama, aku dan Cecil akan ke Capitol."

"Iya, tapi bukan kamu yang nantinya akan bertemu dengan ku."

"Setidaknya Cecil tidak akan membiarkan mu merasa bosan di sana." Lary tertawa.

Hari itu berlalu dengan sangat cepat. Pagi-pagi sekali ibu membangunkan dan menyuruhku untuk mandi. Semua barang yang akan dibawa ke Capitol sudah tertata rapi dalam koper. Ayah tidak bisa berjalan jauh dan mengantarku sampai ke stasiun, maka hanya ibu dan Lary yang pergi. Ini kali pertama aku naik kereta dan pergi ke Capitol. Saat itu entah kenapa aku yang semula senang bisa pergi seketika merasa sangat enggan pergi. Ditambah lagi saat melihat ibu yang menahan tangis di balik kaca kereta yang perlahan mulai mengecil karena kereta yang aku tumpangi mulai berjalan. Apa yang akan menantiku di Capitol? Pikiranku mengawang-ngawang di tengah perjalanan yang singkat ini. Hanya dalam waktu beberapa jam kereta sudah memperlambat lajunya, itu berarti aku sudah hampir sampai. Kudengar suara gerbong terbuka, ternyata ada anak lain yang berangkat bersamaku. "Hai Amanda, kau kelihatan pucat. Baik-baik saja?"

"Hanya mabuk kendaraan, makanya sejak tadi aku tidur di kamar. Syukurlah sepertinya kita sudah sampai."Amanda adalah salah satu anak yang tinggal tidak jauh dari rumah, tapi aku tidak tahu kalau bulan kelahirannya sama dengaku. Tapi syukurlah aku jadi tidak merasa sendirian.

Saat keluar dari kereta, kami dikawal oleh seorang laki-laki berwajah galak yang merupakan pemimpin dari penjaga perdamaian. "Ayo ikuti aku!" perintahnya. Tega sekali dia, padahal aku ingin menikmati keindahan Capitol sebentar saja, tapi orang tua itu sudah menyuruh kami beranjak dari sini. Aku juga Amanda diberikan kamar yang terpisah. Salah satu pegawai Capitol datang, membacakan banyak sekali peraturan serta jadwal latihan yang harus kami jalani. Setiap hari kami mendapatkan pelatihan seperti memasak, bagaimana beretika yang baik dan benar, dan masih banyak lagi. Tapi kami sama sekali tidak diberitahu tentang orang-orang yang sudah pergi terlebih dahulu sebelum kami. Bertanya tentang hal itu adalah salah satu larangan yang sudah dibacakan sebelumnya.

"Lelah sekali." aku menggeliat dan mereganggangkan otot-otot tanganku.

"Iya, sepertinya malam ini tidurku akan pulas."

"Hmm.. Amanda."

"Ya?"

"Apa kamu tidak penasaran di mana teman-teman kita yang lain? Kakak perempuan mu juga ada di sini kan? Sama dengan ku. Apa kamu tidak ingin mencari tahu?"

"Bukankah sudah disebutkan dalam peraturan bahwa kita tidak boleh membahas hal itu?"

"Kan hanya sekedar membahas, jika mencari tahu berarti boleh kan?"

"Dengar Angel, kita sudah hidup enak sekarang. Sebaiknya kita tidak mencari masalah!" ujar Amanda dengan sedikit berbisik sembari memegang tanganku. "Aku ke kamar duluan ya."

Sejujurnya apa yang dikatakan Amanda sangat benar, namun aku sama sekali tidak senang jika punya banyak hal yang bisa membuatku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Tanpa pikir panjang akupun masuk ke dalam kamar, menunggu malam sudah cukup larut hingga para penjaga perdamaian sudah tidak beroperasi di tempat biasanya. Aku segera keluar kamar, mengendap-endap dan memeriksa satu persatu bagian gedung. Sepertinya gedung yang aku tempati ini adalah bangunan khusus untuk pelatihan. Aku menyusuri tangga karena kamarku berada di lantai paling atas dari empat lantai yang ada. Di mana tiap lantai merupakan area yang sangat luas dengan fasilitas pelatihan yang lengkap. Saat memasuki lantai tiga, kulihat banyak kamar yang sama dengan kamarku juga Amanda. Disetiap pintu terdapat nama-nama orang yang ku kenal di distrik dua. Kucari nama kakakku yang baru kutemukan saat berada di lantai dua. Aku sangat senang dan langusng saja mengetuk pintunya, ternyata tidak ada jawaban sama sekali. Saat ku akan pergi dari sana, kudengar langkah kaki mendekat, membuatku panik dan tak tahu harus kemana. Ku gerakkan gagang pintu kamar kakakku, tapi terkunci. Di tengah keputusasaan dan pasrah akan dijatuhkan sanksi, tiba-tiba sesorang menarik tanganku hingga masuk ke dalam kamarnya. Seorang gadis yang tampak cantik di balik make-upnya, namun itu semua tidak bisa menutupi raut kesedihan dan matanya yang membengkak akibat menangis. "Kau orang baru dari distrik dua?" tanyanya.

"Iya. Kamu juga.." belum sempat menyelesaikan ucapanku, perempuan itu menyela. "Kamu harus pergi dari sini!"

"Maaf, apa?"

"Pergi dari sini sekarang juga!" suaranya mulai begetar menahan tangis dan mulai mundur ke arah kasurnya. Dia meringkuk sambil menenggelamkan kepala di antara kedua kakinya.

"Kenapa aku harus pergi?" aku bertanya sehalus mungkin.

"Semua pelatihan ini hanya ilusi. Hanya kedok dari kekejaman orang itu."

"Siapa?"

"Siapa lagi orang yang mencetuskan ide ini!" nadanya yang sedikit berteriak membuatku agak menjauh. "Dia hanya mempergunakan kita. Kau tahu, kita di sini hanya akan dijadikan budak, sebagai pelampiasan nafsu mereka yang berkuasa. Jika ada yang melawan, mereka akan disiksa dan dikurung di ruang bawah tanah. Kami semua diancam jika mengadu pada siapapun. Aku tidak tahan lagi."

Aku terdiam, mulai merinding, memikirkan apakah kakakku baik-baik saja. Tanpa berkata-kata lagi aku segera keluar kamar sesaat setelah meyakinkan bahwa orang-orang tadi sudah tidak ada. Aku mulai turun ke lantai satu. Bersembunyi di balik pintu yang terbuka saat beberapa orang mabuk keluar dari ruangan paling ujung. "Gadis-gadis yang baru datang itu manis sekali, aku ingin membawa pulang satu." Ucap salah seorang yang mabuk itu. Darah di kepalaku naik saat mendengar ocehan-ocehan mereka. Langsung saja aku mengintip ke balik pintu tempat asal mereka keluar. Pemandangan yang menjijikan kudapati di tengah ruang megah berhiaskan lampu-lampu disko, musik yang keras dan orang-orang mabuk. Tidak salah lagi, mereka adalah para penjabat di Capitol! Ada gadis-gadis berpakaian seksi dan telah dirias secantik mungkin, yang kemudian menemani para lelaki itu mabuk serta diperlakukan tidak senonoh. Sambil menahan amarah, aku segera mencari-cari tempat yang dikatakan sebagai ruang bawah tanah. Ada tangga di samping lift yang mengantarkanku kepada ruangan dingin dan kotor. Pintu-pintu kecil seperti sel tahanan ada di setiap sisinya. Kuintip satu-persatu lubang dari pintunya hingga kudapati seorang perempuan dengan rambut pirang bergelombang yang aku kenal. "Kakak!"

Kubuka pintu sel dengan kunci yang tergantung di dekat pintu masuk. Kuelus rambut kakakku yang saat itu tengah tertidur di lantai kotor dan bau. Tak kuasa aku menahan tangis saat wajah kakakku yang seharusnya merona kini sudah tidak memancarkan cahaya lagi. Tapi dia berusaha untuk tersenyum saat menoleh ke arahku. "Hai Jelly." sapanya dengan lemah. Raut wajahnya berubah saat melihatku menangis. "Aku menolak untuk mengikuti perintah mereka dan memilih untuk berada disini, jangan menangis, aku hanya mengantuk, baik-baik saja kok." kuyakin kakak hanya berusaha menenangkanku yang sama sekali tidak percaya bahwa dia tidak apa-apa. Kemarahanku memuncak, tidak bisa dibendung lagi. Aku berlari meninggalkan kakakku yang tak berdaya sambil memanggil-manggil namaku dan segera menuju ruangan menjijikan yang sama sekali tidak ingin aku masuki itu. Kubanting pintunya hingga semua orang terdiam. Aku berteriak di dalam sana,"Hentikan semua ini!"

Kulihat dari balik bayang-bayang sesosok yang kini sangat kubenci. Presiden Josh. "Ada apa nona muda?"

"Kau tanya ada apa? Seharusnya itu yang ku tanyakan. Apa-apaan kalian, seenaknya membohongi dan memperbudak kami seperti ini. Kalian menggunakan kekuasaan untuk bisa berbuat seenaknya! Akan kulaporkan kalian, akan ku beritakan kebusukkan kalian di seluruh Panem!" Aku meludah di atas sepatu Presiden Josh. Biar saja aku berlaku seperti ini pada orang yang memang pantas berada di tempat yang menjijikan. Seketika aku berbalik menuju pintu untuk segera pergi. Namun dua orang penjaga yang menghalangi pintu langsung memegangi tanganku dengan erat.

"Tidak ada yang berani berbuat seperti itu kepadaku. Kau harus sadar bahwa kekuasaan akan bisa mendapatkan segalanya. Kalian seharusnya beruntung bisa mendapatkan kehidupan yang layak dari kemurahhatian kami."

"Kau salah, kekuasaan bukan digunakan untuk hal seperti ini!"

"Itukah yang kau pelajari? Tapi tidak denganku. Kita semua punya pemikiran yang berbeda."

"Aku ingin tahu siapa orang bodoh yang mengajarimu tentang keserakahan akan kekuasaan seperti ini."

"Seseorang yang sangat aku kagumi tentunya. Kau pasti mengenalnya walau hanya sebatas nama, dia adalah kakek ku. Salah satu presiden Panem terdahulu, Presiden Snow."