...
Disclaimer: Masashi Kishimoto
AU, OOC, bahasa non baku dan baku, miss typo, etc.
Hope you like it ...
.
.
Mentari bersinar cukup cerah siang ini. Berbanding terbalik dengan raut muka seorang gadis bersurai indigo sepanjang punggung, Hinata, yang nampak dinaungi awan mendung. Pandangan matanya bahkan tidak fokus, dan langkah kaki jenjangnya mulai berhenti di dekat lampu lalu lintas―menunggu saat yang tepat untuk meyeberang jalan bersama pejalan kaki lainnya.
Perlahan pandangannya beralih pada sebuah kalung di genggaman tangan kanannya. Kalung perak sederhana, dengan bandul sepasang cincin polos itu kembali mengingatkan Hinata akan perkataan si pemberi kalung tersebut saat di kafe―tempat di mana hal yang tak ia harapkan meluncur dengan bebas dari mulut orang yang ia sayangi itu.
"Aku mulai merasa bosan. Kurasa ... cukup sampai di sini, Hinata."
"Sudah berakhir, ya?" gumam Hinata lirih sambil melanjutkan langkahnya. Sepasang manik lavender-nya bergulir menatap sekelilingnya yang terasa berputar begitu cepat, sehingga langkahnya kembali terhenti. Sejenak ia memegang sudut keningnya yang berdenyut dengan tangan kirinya―sedangkan tangan kanannya masih setia menggenggam kalung tadi. Ada apa denganku, Tuhan? Batinnya bertanya.
Disaat nyeri di kepalanya mulai hilang, Hinata kembali melangkahkan kakinya menyeberangi zebra cross yang tengah ia pijak kini. Namun baru beberapa langkah, nampak sebuah truk melaju kencang ke arahnya.
"Awas, Nona!" pekik seseorang di pinggir jalan―memperingati Hinata akan laju truk itu yang kian mendekatinya.
Dengan pandangan mengabur, Hinata mencari asal suara tadi, tetapi karena itulah truk tadi sukses menabrak tubuh mungilnya. Membuat tubuh ringkih itu terpental dan jatuh di dekat pembatas jalan yang terbuat dari besi tersebut, pun tanpa sengaja kepala bermahkotakan surai indigo miliknya membentur permukaan pembatas besi itu.
Darah segar mulai merembes membasahi seragam Senior High School yang Hinata kenakan. Disaat-saat seperti ini, cairan bening melesak keluar dari celah kelopak mata yang menyipit tersebut. Hinata mengeratkan genggamannya pada kalung di telapak tangan kanannya. Dengan sisa-sisa kekuatannya, ia memandang secerca sinar di langit dengan pandangan memburam.
'Kau yang pertama singgah di hatiku, dan aku ingin untuk yang terakhir, Naruto-kun'
Inikah akhir untukku, Tuhan? Batin Hinata miris. Detik berikutnya, pandangannya menggelap, seiring dengan langkah-langkah jejak kaki yang menghampiri tubuh bersimba darahnya.
.
.
"Aku mulai merasa bosan. Kurasa ... cukup sampai di sini, Hinata." Lelaki berambut pirang jabrig itu mendongak untuk menatap wajah Hinata yang duduk di hadapannya. Sebersit perasaan bersalah mulai menyelimutinya kala melihat genangan air mata mulai membendung di pelupuk mata gadis itu. Namun ia harus yakin dengan keputusannya, lagipula ia tak ingin menyakiti Hinata jika terus menjalin hubungan tanpa dilandasi sebuah rasa lagi. Ya, ini yang terbaik menurutnya, dan tanpa menunggu jawaban Hinata, lelaki itu beranjak pergi meninggalkannya.
Langkahnya terhenti sejenak ketika di pintu masuk kafe, sekilas ia menoleh ke arah tempat duduk Hinata. Cermin lavender milik gadis itu nampak terbuka dengan pandangan kosong, dan air mata meluncur bebas dari sana―menganak sungai di pipinya.
Tak mau membuat hatinya lebih nyeri lagi dengan pemandangan seperti itu, lelaki tersebut, Naruto, pun lekas melenggang pergi.
'Lupakanlah aku ... Hinata'
"Kau sudah memutuskannya?" tanya seseorang menyambut kedatangan Naruto di rumah.
"Sesuai kemauanmu, Shion."
Mendengar sahutan Naruto, sontak Shion bangun dari duduknya di tepi tempat tidur Naruto, dan berhambur memeluk pemuda itu. "Aku sangat senang, karena saat ini ... kau hanya milikku."
'Ya, aku juga senang tak harus menduakan Hinata lagi'
.
.
Cicitan burung gereja yang bertengger di jendela kamar rawat yang dibiarkan terbuka―untuk memudahkan mentari pagi menghangatkan penghuni kamar yang masih terlelap di tempat tidurnya―mengawali pagi yang cerah ini.
Seorang pemuda berambut cokelat panjang yang notabene-nya sepupu dari pasien di kamar rawat itu, terlihat mulai membuka kelopak matanya―setelah semalaman menjaga Hinata dan tertidur sambil menggenggam sebelah telapak tangan gadis tersebut.
"Cepatlah bangun, Hinata. Kami semua menunggumu," gumam pemuda cantik itu, Neji, sambil bangun dari duduknya di sisi ranjang tempat Hinata terlelap―dengan banyak alat penopang hidup terpasang di tubuhnya. Kemudian ia keluar dari kamar rawat Hinata. Dan tepat di luar kamar rawat tersebut, Neji berpapasan dengan dokter yang menangani Hinata kemarin.
"Bisa saya bicara sebentar, Hyuuga-san?"
"Aa. Silahkan, Haruno-san."
"Benturan di kepala Hinata sangat keras, itu memungkinkannya mengalami amnesia ketika sadar nanti―ditambah dengan penyakit yang ia derita. Jika dirinya tak menginginkan untuk bangun, akan cukup lama waktunya untuk dia sadar dari komanya." Melihat perubahan mimik Neji yang nampak murung, cepat-cepat dokter muda bermarga Haruno itu melanjutkan ucapannya. "Kurasa Hinata gadis yang kuat, pasti tak kan lama lagi dia akan sadar."
Perlahan sebuah senyum simpul terukir di wajah rupawan Neji. Membuat sang dokter, Sakura, yang melihat itu bersemu merah. "Hn. Terima kasih, Haruno-san. Saya permisi," sahut Neji sambil sedikit membungkukkan badannya, setelah itu ia berlalu dari sana.
Hhh ... sulit sekali untuk menjangkaumu, Neji, batin Sakura pilu sembari memandang punggung Neji ―teman seperkuliahannya dulu― yang kini telah menghilang ketika pemuda itu berbelok.
.
.
Malam ini terlihat mendung, bahkan tak nampak satu pun bintang di langit. Dengan latar koakan burung gagak yang terbang di atas rumah sakit, Sakura terus berlari menuju kamar rawat Hinata.
"Detak jantungnya melemah, Dok," terang seorang perawat ketika Sakura memasuki kamar rawat Hinata―dengan bulir-bulir keringat menghias keningnya. Sedangkan di luar kamar rawat itu, tampak keluarga Hinata menunggu dengan harap-harap cemas.
"Siapkan alat kejut jantung," perintah Sakura datar sambil menenangkan dirinya sendiri. Ia yakin, semuanya akan baik-baik saja.
Setelah menggosokkan kedua benda mirip setrika kecil itu, Sakura menempelkan permukaannya pada dada Hinata, sehingga membuat tubuh Gadis Lavender itu terlonjak dan setelahnya kembali terbaring di tempat tidurnya.
"Tidak ada perubahan, Dok," seru seorang perawat sesudah Sakura melakukan hal yang sama beberapa kali.
"Tingkatkan tekanannya―" Dikala Sakura mulai panik, kelopak mata Hinata perlahan terbuka, memperlihatkan kepingan lavender yang nampak sayu. Sejenak Sakura berhenti dari pekerjaannya―bahkan ucapannya ikut terhenti. Sambil mendekatkan wajahnya pada wajah Hinata, ia membelai surai indigo Hinata dengan sayang.
"N-Na...Naru-ru...to-kun," lirih Hinata dengan suara parau. Mendengar itu, Sakura lekas menyuruh salah seorang perawat untuk menemui keluarga Hinata―bermaksud menyuruh seseorang yang dipanggil Naruto itu masuk ke kamar rawat. Walau pada kenyataannya, Naruto sedang tidak ada di sana, bahkan pemuda itu tak tahu menahu akan kondisi Hinata.
Tak lama sesudah mengucapkan nama Naruto, Hinata terbatuk dengan darah segar keluar dari mulutnya, bersamaan dengan itu kelopak matanya kembali terpejam, dan sebuah senyum kecil terlihat menghias wajah eloknya―yang nampak damai itu.
Bersambung...
.
.
A/N: Sudah gaje, sinetron sangat pula. Ehm, (walau tidak ada yang bertanya, tapi) saya sedang mencoba mendalami karakter NH, jadi jika terlihat OOC, mohon sedikit dimaklumi. Btw, mengikuti jejak yang lain, saya kasih sedikit cuplikan ch depan #slap.
...
"Hinata sudah lama tiada, Naruto-kun."
"Tidak mungkin, lalu siapa yang kulihat tadi? Jelas-jelas dia Hinata."
"Jika Hinata masih ada, pasti dia sudah menjelma menjadi gadis incaran banyak lelaki. Bukan begitu, Neji?"
"Kau merindukannya?"
...
Osh, no more bacot (coz pub lewat hp #ngeles). Saran, kritik, concrit, atau bahkan ada yang mau bertanya, (jika berkenan) silahkan tuangkan di kotak review. Supaya saya dapat memperbaiki diri di ch mendatang, hehe. Terima kasih sudah mau mampir, ya #hugs.
