Disclaimer : Kuroko no Basket © Fujimaki Tadatoshi
Warning : M for mature scene, semi-Canon, typo, OOC, & OC.
Inspired by Mars (Taiwan-Drama) & Working! (Anime)
Pair : Takao Kazunari x Abe Chiharu(OC)
…
"Oniisan, yamete~" rintihnya saat surai hitam panjangnya ditarik oleh tangan pemuda itu dengan keras. Semuanya terasa berputar dalam gerak cepat di penglihatannya. Ia menjerit kecil dan merintih kesakitan sambil berusaha mencengkeram tangan itu untuk meringankan sakit di kepalanya.
"Diam!" raungnya di telinga gadis itu.
Gadis itu menjerit lagi. Air mata yang sedari tadi tergenang pun mulai membasahi pipinya. "Oniisan…"
"Jangan pernah menyebutku seperti itu!" geramnya lagi. "Aku bukan kakakmu!"
Chiharu menjerit begitu pria yang disebutnya kakak mulai merusak seragam sekolah yang dipakainya. Lantai yang dingin terasa di punggung telanjangnya yang baru saja dihantamkan ke lantai. Kepalanya terasa pusing sekali, terlebih lagi saat pria itu mulai menciumnya dengan kasar. Gadis itu lagi-lagi menangis dengan keras. Berharap orang itu dapat menghentikannya.
PLAK!
Satu tamparan membuat kepala gadis itu semakin berdenyut nyeri. Samar-samar sebelum ia memejamkan matanya suara bantingan pintu dan jeritan ibunya bergema, mengantarkan dirinya pada kegelapan.
...
Takao menguap lebar sambil memasuki kelasnya yang masih sunyi. Sepertinya dia datang terlalu pagi hari ini. Diedarkannya pandangannya ke seluruh kelas, sampai ia tiba-tiba menyadari seorang gadis terduduk di bangku yang telah dua hari ini tidak ditempati. Gadis yang selama dua hari ini ditungguinya.
"Chi-chan?" katanya.
Takao mengernyit heran melihat gadis itu tiba-tiba memeluk tasnya dengan erat sambil memandang Takao dengan waspada. Gadis itu menundukkan kepalanya dalam-dalam, seolah-olah dengan begitu ia bisa menyembunyikan dirinya dari pandangan Takao. Takao yang tak peduli, mendekati meja gadis itu dan menyapanya.
"Chi-chan, kau sudah sembuh ternyata." Katanya. "Kudengar dari Sensei kau sakit selama dua hari ini."
Chiharu semakin menundukkan kepalanya. Matanya mulai berair. Sekarang ia menyesali kenapa dia terburu-buru ingin masuk sekolah. Takao adalah orang terakhir yang ingin ditemuinya saat keadaannya terlihat kacau seperti ini.
"Chi-chan, kau kenapa?" Tanya Takao yang sama sekali tak mendapat jawaban gadis itu.
"Aku tidak apa-apa." Katanya dengan lirih.
Takao membulatkan matanya terkejut begitu melihat luka di sudut bibir Chiharu dan juga lebam biru di pipi kirinya. "Chi-chan, apa yang terjadi denganmu?"
"I-itu… bukan urusanmu." Jerit Chiharu sambil berdiri dengan terburu-buru lalu berlari keluar kelas.
"Chi-chan," seru Takao.
...
Chiharu merapatkan dirinya sendiri di dinding sambil menenggelamkan kepalanya di kedua lututnya. Rasanya ia ingin tenggelam saja ke dalam tanah daripada Takao melihat dirinya yang sekarang ini. Ia begitu malu jika Takao melihat lukanya yang lain.
"Ah, ketemu."
Suara itu membuat Chiharu mendongak dan menarik napas terkejut. Mata Chiharu yang memburam memandang mata yang selalu memandangnya dengan hangat itu. Pandangan itu terlihat cemas dan penasaran.
"Chi-chan, daijoubu?"
Chiharu memundurkan tubuhnya. Berharap dinding di belakangnya dapat meleleh dan menelannya tanpa berbekas. Ia begitu malu pada Takao. Empat hari lalu ia menyatakan perasaannya pada pemuda itu. Tapi, belum sempat mendapat jawabannya Chiharu memilih berlari dan tidak menoleh ke belakang lagi. Dan sekarang, saat ia seharusnya senang pemuda itu memperhatikan dan mengkhawatirkannya ia memilih berlari dan sembunyi.
"Kenapa wajahmu memar seperti itu?" tanyanya yang kini mensejajarkan dirinya dengan Chiharu.
"Aku… aku…" gadis itu rasanya sulit sekali mengatakan bahwa ia tidak apa-apa. Chiharu menggigit lidahnya sendiri sambil memejamkan matanya rapat-rapat.
Sapuan dari kedua tangan hangat membuat gadis itu membuka matanya dan memandang wajah Takao yang tepat di depannya. Selama beberapa saat ia tak bergerak karena terpesona melihat wajah pemuda itu yang begitu dekat dengannya. Terlebih lagi tangan kedua pemuda itu berada di pipinya untuk menghapus air yang bersumber dari matanya.
"Ayo, kuantar kau ke klinik." Katanya sambil mengulurkan tangannya.
Bagai terhipnotis, gadis itu menyambut uluran tangan itu dan bangkit. Tangan hangat yang menggenggam tangannya itu, tidak ingin ia lepaskan sama sekali. Tangan milik Takao Kazunari.
...
"Aku hanya terjatuh dari tangga." Jawabnya tanpa memandang Takao maupun wanita muda yang menjadi asisten wali kelas mereka.
Wanita bernama Suzuki Kaho itu hanya mengernyit heran, namun tidak mengatakan apa-apa. Takao yang mengetahui bahwa Chiharu berbohong, tidak menyerah. "Kau yakin? Tapi itu seperti-"
"Dia terjatuh dari tangga, Takao-kun."
"Tapi, Sensei-"
"Ta-ka-o-kun," Sela Kaho lagi sambil meliriknya tajam.
Dilirik seperti itu, cukup membuat Takao bungkam dan tidak melanjutkan argumennya. "Sumimasen, Sensei."
"Kau tenang saja. Abe-san akan baik-baik saja selama beristirahat di sini." Katanya dengan nada tenang. "Kau bisa meninggalkannya di sini."
"Haik." Dengan terpaksa, pemuda itu berbalik hendak meninggalkan klinik. Sebelum ia menggeser pintu untuk menutupnya ia tersenyum pada Chiharu. "Jika ada apa-apa, kau bisa memanggilku."
Chiharu mengalihkan pandangannya dengan wajah merona. Melihat wajah Chiharu yang seperti itu membuat Takao tersenyum lalu menggeser pintu dengan tenang dan meninggalkan Chiharu pada asisten wali kelas mereka. Setelah langkah-langkah kaki Takao terdengar menjauh, Kaho menghela napas lalu memandang Chiharu.
"Abe-san, apa kau tidak apa-apa?" Tanya Kaho dengan lembut.
Chiharu memaksakan tersenyum lalu mengangguk.
"Luka itu bukan karena terjatuh dari tangga, kan?" katanya.
Tubuh Chiharu seketika menegang mendengarnya. Ia menelan ludah dengan gugup ketika ia merasakan matanya mulai memanas. Kejadian tiga hari lalu membuatnya menggigil begitu berkelebat diingatannya.
"Abe-san," panggil Kaho lagi.
Chiharu mendongak dan memandangi wanita itu yang tengah tersenyum lembut padanya. Melihat senyum wanita itu membuat Chiharu tanpa sadar menangis dan menenggelamkan wajahnya dibahu Kaho.
...
"Chiharu-chan, okaeri." Kata ibunya sambil menuntun gadis itu untuk duduk bersama ayah tirinya yang bersiap akan makan di meja itu. Tapi, begitu dilihatnya kakak tirinya pun duduk di situ Chiharu memilih berlari menuju kamarnya dan membanting pintu.
"Apa-apaan sikapnya itu?" gerutu Hideki. Wajah pemuda berumur delapan belas tahun itu penuh luka setelah dipukuli ayahnya karena telah berbuat tak senonoh pada adik tirinya.
Pria paruh baya yang duduk di sampingnya mendelik tajam padanya. "Sudah sewajarnya dia bersikap seperti itu."
Abe Sumiko memandang suaminya dengan wajah tak enak. "Maafkan dia, Hiroki-san."
"Tak apa-apa." Kata pria itu dengan rasa bersalah. "Dia akan kembali seperti semula setelah Hideki pindah nanti."
Hideki yang mendengar itu memandang ayahnya tak percaya. "Otousan mengusirku?"
"Ini semua kulakukan demi kebaikan kalian berdua. Aku akan bicara pada pihak sekolah agar mereka mengizinkanmu tinggal di asrama."
"Cih." Geramnya dengan kesal. Pemuda itu memilih pergi ke kamarnya daripada melanjutkan makan malam.
"Hiroki-san, kurasa tidak apa-apa jika Hideki-kun tetap di sini." Kata Sumiko pelan-pelan. "Aku yakin perlahan-lahan Chiharu akan membaik."
"Tidak perlu membelanya, Sumiko." Katanya dengan tenang. "Dia perlu menyadari kesalahannya."
...
"Ohayou, Chi-chan." sapa Takao sambil tersenyum dengan ceria.
"Ohayou, Takao-kun." Balasnya dengan datar.
Pemuda itu nyengir lebar dan merendenginya memasuki gerbang sekolah. "Sepertinya kau sudah lebih baik daripada dua minggu yang lalu."
Chiharu mengangguk dengan canggung dan memandang lurus ke depan. Hari ini, kakaknya pindah ke asrama. Setidaknya rasa takut atas perlakuan pemuda itu bisa ia lupakan sedikit demi sedikit dengan ketidak hadirannya.
"Chi-chan,"
"Eh?"
"Kau melamun lagi." Kata pemuda itu sambil menunjuknya.
"Aku tidak melamun." Bantahnya sambil menundukkan wajahnya yang memerah. "Kau sendiri, bukankah kau biasanya pergi bersama Midorima-kun?"
"Tidak, akhir-akhir ini kulihat Shin-chan lebih sering pergi sekolah bersama Rei-chan." Katanya sambil terkekeh. "Kurasa ada sesuatu yang menarik di antara mereka."
"Begitu ya?" gumam Chiharu sambil mengingat gadis yang jarang sekali masuk sekolah.
"Chi-chan,"
"Eh, ya?"
"Mau pulang bersamaku nanti?"
"Eh?"
"Aku ingin mengenal Chi-chan, bukankah Chi-chan menyukaiku?"
Wajah Chiharu seketika memerah mendengarnya. Ia lagi-lagi memalingkan wajahnya sambil meremas tasnya dengan gugup. Tapi, dalam hati ia begitu senang mendengarnya.
...
"Oi, Rei-chan." Suara Takao yang memanggil Rei membuat Chiharu dan juga Rei yang tengah mengobrol bersama teman-temannya ikut menoleh.
"Apa?" balas Rei.
"Hari Sabtu nanti, ayo kita berkencan!" kata pemuda itu lagi. Chiharu yang mendengarnya harus menelan kekecewaan. Seperti yang ia duga, Rei begitu popular dan disukai banyak pemuda. Jadi, ia tidak heran jika Takao juga tertarik pada Rei.
"Tentu saja." Jawab Rei, dan seperti tidak terjadi apa-apa dia mulai melanjutkan obrolannya yang tadi disela Takao.
"Chiharu. Nee, Chiharu."
"Eh ya?"
"Kenapa kau melamun?" Tanya Rei padanya.
"Eh?" Chiharu cepat-cepat menguasai diri lalu tersenyum palsu. "Tidak apa-apa. Nanti ceritakan kencanmu dengan Takao-kun ya?"
Rei tersenyum padanya. "Tentu saja."
Chiharu berusaha mempertahankan senyumnya. Sampai ketika ia merasa tidak tahan, ia pun berpamitan untuk pergi ke toilet dan tetap berada di sana walau bel sudah berdering nyaring. Ia tidak bisa kembali ke kelas dengan wajah seperti ini. Tidak di depan Takao, ataupun Rei.
...
Chiharu terbangun di hari Sabtu itu dengan tidak bersemangat. Dilihatnya ayah tirinya sedang membaca koran pagi dengan serius dan ibunya menyiapkan sarapan. Sumiko yang melihat anak gadisnya muncul tersenyum lebar.
"Chiharu-chan, ayo sarapan." Katanya dengan lembut.
Chiharu tetap dengan wajah datarnya dan duduk di depan ayah tirinya. Sang ayah tersenyum setelah menurunkan korannya dan memandang wajah putrinya yang baru bangun itu. "Bagaimana sekolahmu?"
Chiharu mengangguk. "Sama seperti biasanya." Katanya.
"Chiharu-chan selalu seperti itu." kata Sumiko dengan riang sambil meletakkan sepiring udang goreng di meja. "Ini udang goreng kesukaanmu."
"Arigatou, Okaasan." Katanya dengan nada melamun lalu memakan salah satunya, setelah mencelupkannya ke dalam mangkuk saus.
Sumiko memandang sendu putrinya itu. Ia begitu merindukan suara ceria dan senyum lebar Chiharu di rumah ini. Mereka pikir, Chiharu akan kembali seperti semula dan melupakan apa yang terjadi antara dia dan Hideki, tapi itu semua percuma karena Chiharu tetap bersikap seperti itu.
"Nee, apa yang akan kau lakukan hari Sabtu ini?" Tanya Sumiko penasaran sambil menghempaskan dirinya di salah satu kursi itu.
Chiharu terdiam sambil memandang udang di tangannya seolah berpikir. Hari ini Takao akan pergi berkencan dengan Rei, murid baru di kelasnya itu. Itulah yang dipikirkannya sejak beberapa hari yang lalu sampai pagi ini.
"Chiharu-chan?"
Chiharu mengerjap, seketika ia pun teringat telepon tadi malam. "Aku akan pergi ke restaurant hari ini."
"Restaurant?"
Chiharu mengangguk. "Aku mulai bekerja di sana hari ini."
"Kenapa kau tidak memberitahukannya kepada kami?" seru Sumiko.
"Karena kupikir ini bukan suatu hal yang penting." Katanya.
Hiroki terbatuk kecil. "Tidakkah kau mau membicarakannya dengan kami dulu sebelum mengambil pekerjaan itu?"
"Aku hanya ingin menghabiskan waktuku." Katanya dengan nada datar. "Lagi pula pekerjaan ini, tidak ada hubungannya dengan Okaasan dan Otousan. Jadi, kalian tidak perlu mengcemaskanku."
"Tapi Chiharu-chan,"
"Aku sudah selesai. Terima kasih untuk sarapannya."
Setelah mengatakan itu, Chiharu kembali ke kamarnya dan bersiap—siap. Hari ini adalah langkah awalnya untuk keluar dari rumah yang begitu menyesakkannya.
...
"Terima kasih atas pengarahannya, Yamaguchi-san."
Gadis berseragam pelayan itu tersenyum. "Itu sudah menjadi tugasku. Oya, panggil saja aku Eri."
"Haik, Eri-san."
Tak berapa lama sensor yang terpasang di atas pintu mendeteksi seseorang yang hendak masuk, sehingga pintu kaca itu terbuka. Chiharu dengan sedikit kaku mendekat ke arah pintu dan membungkukkan tubuhnya sedikit untuk menyambut tamu. "Selamat datang."
"Are? Chi-chan?"
Chiharu mengerjap selama beberapa saat mendengar suara yang begitu akrab di telinganya itu. "Takao-kun?"
Suara batuk kecil terdengar dari belakang. Chiharu menoleh dan mendapati pandangan Eri yang terarah kepada mereka. Cepat-cepat ia mengantar pemuda itu ke tempat yang sesuai seperti keinginan Takao dan menanyakan pesanannya. Setelah menulis pesanan ia pun menyerahkan pesanan itu pada juru masak di dapur. Sambil melanjutkan pekerjaannya, Chiharu mengernyit heran. Bukankah Takao seharusnya berkencan dengan Rei? Kenapa ia berada di sini sendirian?
"Abe-san, tolong antarkan ini ke meja nomor lima."
"Oh, Haik."
...
"Ostukaresama deshita." Ucap mereka setelah menyelesaikan pekerjaan dan pulang. Chiharu mengangguk singkat pada Eri dan seorang gadis bernama Miwa yang masih berada di ruang ganti dan keluar melalui pintu belakang.
"Yo,"
Chiharu mengerjapkan matanya setengah terkejut. Takao tersenyum padanya, masih memakai pakaiannya yang tadi siang. "Takao-kun,"
"Kudengar dari Eri-san, kau pulang pada jam ini."
"Oh… ya." Katanya setengah bingung.
"Ayo, kuantar kau pulang." Katanya.
Chiharu menundukkan kepalanya. Wajahnya lagi-lagi memerah. "Baiklah."
"Aku ingin sekali bertanya banyak tadi, tapi Eri-san sudah menatapku dengan galak. Jadi, aku harus menunggumu."
"Eh? Kau mengenal Eri-san?"
Takao nyengir lebar. "Dia adik bungsu ibuku. Tapi, yang cukup lucu dia lebih tua setahun dariku."
"Oh, begitu." Kata Chiharu sambil tersenyum. Namun, tak lama senyumnya lenyap begitu teringat kencan Takao dan Rei. "Um… Takao-kun,"
"Ya?"
"Kenapa tadi kau tidak datang bersama Rei? Bukankah kalian berkencan?" Tanya Chiharu dengan pelan.
"Ah? Itu." katanya sambil terkekeh. "Aku membatalkannya."
"Eh? Kenapa begitu?" seru Chiharu sambil berusaha menyembunyikan nada senang di suaranya.
"Aku mengajak Rei-chan berkencan untuk memancing Shin-chan." Katanya. "Dan ternyata berhasil."
"Maksudmu? Midorima-kun?"
Takao terkekeh. "Kau tahu? Aku tadi pagi-pagi sekali mengikuti Shin-chan dari rumahnya, dan ternyata benar saja dia mendatangi apartemen Rei-chan."
"Jadi, Midorima-kun menyukai Rei?"
"Ya, tapi kurasa Shin-chan belum menyadarinya atau mungkin dia menyadarinya tapi enggan mengakuinya. Dia kan Tsundere."
"Masa?" pekik Chiharu sambil tergelak.
Setelahnya keduanya pun larut dalam pembicaraan seputar sekolah, basket dan lain-lain. Sampai akhirnya, keduanya harus terpisah ketika Chiharu sudah berada di depan pagar rumahnya. Gadis itu tersenyum pada Takao.
"Terima kasih sudah mengantarku, Takao-kun."
Takao mengangguk sambil balas tersenyum. "Aku senang kau sudah bisa tersenyum seperti semula lagi. Akhir-akhir ini kau jarang tersenyum." Katanya. "Chi-chan yang tersenyum benar-benar manis. Itu yang membuatku menyukai Chi-chan."
Tsuzuku
Thanks for Read.
