Under-developed Things
Manga : Tokyo Ghoul :re
Disclaimer: Ishida Sui- sensei
Warnings: typo tak kasat mata, OOCs (berusaha keras tetep on character, tapi iya enggaknya Readers-lah yang menentukan), After ending chapter 179
Hope you like it, and…
Have a nice reading…. \(^_^)/
Urie membenci regulasi TSC saat ia ingin cuti. Kendati bebas melenggang pergi di hari cuti nya, ia malah masih harus tinggal di kantor hingga tengah hari. Dengan tak sabar ia mengetuk-ketuk setir mobil yang sedang terjebak lampu merah padahal tempat bertemunya tinggal beberapa blok dari sini. Rasa penyesalan menggunakan mobil pribadi muncul, namun sekejap hilang mengingat siapa yang akan ia temui hari ini. Begitu lampu menyala hijau, ia langsung menyentak gas nya menuju tempat tujuan. Café kecil di seberang stasiun kota.
Begitu sampai di café, Urie langsung mengedarkan padangannya ke seluruh ruangan. Meskipun sudah masuk waktu makan siang seperti ini, tak sulit menemukan sosok yang ia cari . Itu dia, masih dalam balutan pakaian kasual yang terkesan maskulin, duduk di meja paling pojok sambil memegang mug yang mengepul. Urie sedikit mencelos melihat rambut putih yang mulai mendapatkan kembali hijau pirusnya yang semakin dipangkas pendek. Menangguk pelan kepada pelayan café yang menyambutnya dan memesan kopi hitam, Urie lalu melangkah menuju meja itu.
Sapphire itu tak hentinya menatap lalu lalang kendaraan di depan café itu. Menatap salju yang berlomba turun ke tanah. Sembari menyesap kopinya yang belum mendingin, ia bergumam mengikuti musik jazz yang mengalun pelan di atmosfir café siang itu. Tak berpaling pada orang yang telah ia tunggu yang sudah duduk di seberangnya.
"Tumben kau telat." ujar Mutsuki yang akhir nya mengalihkan pandangannya ke Urie.
"Gori menjadi sangat menyebalkan hanya karena masalah cuti. Padahal dari bertahun-tahun, hanya 2 hari ini aku minta jatahku." Jelas Urie sambil melepas mantelnya. "Sudah menunggu lama?"
"Hemph, tak apa. "
Kopi Urie datang. "Enam tahun, dan bisa dihitung dengan jari kapan kau kembali kesini." Ujar Urie dengan dingin . "Sebegitu menariknya kah Kyoto sampai kau tak ingin kembali kesini?"
Mutsuki hanya tersenyum tipis. "CCG disana masih perlu banyak perhatian. Pengalihan fungsi menjadi TSC, pembaharuan fungsi kerja, dan lainnya. Bayangkan betapa sibuknya kantor cabang beberapa tahun ini."
"Hah! Fakta baru apa ini? Seorang Mutsuki menyelami birokrasi?" cetus Urie tidak percaya. "Jujur saja. Kau tidak perlu menutupi apapun dariku."kemudian kembali menyesap kopinya
"Terlalu klise kan?" Mutsuki lalu meringis, ia lantas mengelus pelan penutup mata kulit hitamnya. "Yah, masih perlu waktu untuk membiasakan diri setelah hari itu… hem.. lupakan. Jadi, kita ke rumah sensei setelah ini?"
"Tentu saja, Ichika sudah ribut menanyakanmu."
"Ugh, aku merasa bersalah tidak datang ke ulang tahunnya minggu lalu. Aku membuatkannya pai apel hari ini."
"Kau membuatnya sendiri? Tak kusangka kau lebih 'wanita' sekarang."
"Jangan meledekku, Urie."
Urie hanya terkekeh pelan, beberapa tahun yang lalu wanita di depannya ini takkan santai menanggapi guyonannya ini. Urie kembali melanjutkan minumnya. Diselingi menginspeksi wanita di depannya ini, mencari barang segaris luka atau tanda-tanda lainnya. Kebiasaan lama yang tidak akan pernah hilang. Dan setelah cangkirnya kosong, dengan lega ia memutuskan tidak menemukan kejanggalan apapun pada Mutsuki.
"Aku tidak melihat Saiko, kemana dia?" Tanya Mutsuki setelah menghabiskan kopinya hingga tandas.
"Mengantar Haru potong rambut dan berbelanja untuk kelulusannya besok. Kau datang kan?"
"Pastinya. Buat apa aku susah payah meminta cuti panjang jika melewatkan hal ini. Ngomong-ngomong, bagaimana hubunganmu dengan Haru, eh?"
Yang ditanya hanya membelalakan matanya sambil mengancingkan mantel nya kembali. "Hentikan omong kosongmu Mutsuki, dia sudah kuanggap sebagai adik sendiri."
"Tapi dia tidak menganggap seperti itu, kau tahu, kan?" tambah Mutsuki sambil berkemas-kemas dan meinggalkan tips di dekat cangkir kopi mereka yang sudah kosong.
"Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan." Putus Urie sambil membawa barang-barang Mutsuki dan langsung memimpin Mutsuki berjalan keluar café.
/
TING! TONG! CKLEK!
"Mutsu-neechan!" jerit Gadis kecil berambut dwi warna yang langsung lari ke pelukan Mutsuki.
"Ichika-chan! Kau sudah besar sekali." Mutsuki otomatis membalas pelukan Ichika. Urie yang menyaksikan adegan menggemaskan ini tersenyum jumawa.
"Selamat siang, Touka-san."
Sang nyonya rumah ikut tersenyum melihat tingkah putrinya pada tamu nya. "Dia sudah menunggu kalian dari pagi. Ayo segera masuk, Urie-kun, Mutsuki-kun."
Mereka berempat kemudian masuk ke kediaman kaneki yang sederhana itu. Celoteh Ichika dan Mutsuki menggema mengisi ruang tamu hingga ke ruang tengah. Ichika berceloteh tentang betapa meriahnya ulang tahunnya yang dilewatkan tanpa kehadiran Mutsuki.
"Mutsu-neechan jahat, bagaimana bisa tidak datang di ulang tahunku. Padahal semua sudah berkumpul, dan hanya nee-chan yang tidak ada." Ujar Ichika bersungut-sungut.
"Gomen gomen. Nee-chan ada misi penting beberapa bulan ini. Tapiii, sekarang nee-chan kan sudah disini, Ichika-chan. Sebagai gantinya, Mutsu-neechan bawakan ini, pai apel asli buatan mutsu-neechan! Jeng jeng jeng!" seru Mutsuki sambil menyodorkan bungkusan yang dari tadi ditentengnya.
"Wah! Benarkah? Kaa-chan, ayo segera dimakan pai buatan nee-chan nya!"
"Sabar sedikit, honey. Kaa-chan tidak bisa terlalu lincah hari ini." Ujar Touka sembari melangkah dengan hati-hati
Mutsuki baru melihat dengan jelas keadaan Touka langsung membelalak dan menhammpirinya. "Touka-san! Ya ampun sudah sebesar ini kandungan mu, kapan perkiraan nya?" Tanya Mutsuki cemas.
"Beberapa minggu ini, dia mulai mendesak penapasanku. Aku tidak bisa terlalu aktif."
"Dan kemana Sensei disaat sepenting ini?" tukas Mutsuki kesal sambil membantu memasukkan pai apel nya ke dalam microwave di pantry.
"Oh, kau tahulah dia. TSC membutuhkannya di daerah perbatasan, dia tidak bisa menolak, dan aku berani menjamin akan baik-baik saja selama dia di sana. Memangnya dia pikir aku siapa? Aku orang yang masih bisa diajak muridnya berkelahi padahal sedang hamil 3 bulan." Celoteh Touka lalu mengerling jahil ke Mutsuki.
"Touka-san…" kata Mutsuki dengan tidak enak hati. Touka san hanya menatapnya lembut lalu membelai pipi Mutsuki.
"Siapapun selalu punya pilihan untuk menggunakan kesempatan keduanya, Tooru."
Mutsuki hanya meringis membalasnya.
Mutsuki tiba-tiba merasakan tarikan ringan di ujung tuniknya. Ichika sudah memeluk alat-alat gambarnya.
"Mutsu-neechan kesini hanya ingin bermain dengan kaa-chan atau bagaimana?" cetus Ichika kesal sambil menggembungkan pipinya yang sudah gembil.
Mutsuki tertawa lalu berlalih kepada si gadis kecil. Ia berlutut menyamai Ichika dan meraih barang-barang yang Ichika peluk. "Baiklah tuan putri, kau mau bermain apa hari ini?"
"Banyaaak. Tapi hari ini aku ingin menggambar, lalu membuat lipatan kertas, lalu bermain boneka, lalu…" sebut Ichika dengan antusias.
"Alright, Princess. Pergilah bermain dengan mutsu-neechan selama kaa-chan menyiapkan pai mu, okey?" ujar Touka kepada putrinya
"Baik, kaa-chan!" sahut Ichika
Sementara Ichika menarik Mutsuki ke ruang tengah, Urie dengan sigap membantu Touka di pantry.
"Kau tidak perlu membantuku, Urie-kun."
"Tidak apa-apa, Touka-san." Ujar Urie pendek.
Letak ruang tengah hanya beberapa langkah dari pantry. Kedua orang yang sibuk menyiapkan hidangan dapat mendengar celoteh riang kedua orang yang sedang bermain di ruang tengah.
"Kau sengaja tidak memberitahu Saiko kapan Mutsuki kemari, kan, Urie-kun?" cetus Touka sambil menuangkan segelas fruit punch.
Urie membelalak, hampir menjatuhkan Loyang keramik panas berisi pai apel Mutsuki yang berharga, kemudian menyeringai. Ia selalu kagum atas ucapan nyonya Kaneki yang ceplas ceplos. Selalu tepat sasaran, tanpa peduli apakah itu saat yang tepat atau tidak.
"Apakah sejelas itu, Touka-san?" Tanya Urie perlahan sembari melepas sarung tangan tahan api nya dan mulai membagi Pai apel Mutsuki menjadi 3 piring. Touka yang sudah beralih membuat kopi untuknya dan kedua tamunya menoleh.
"Jika tidak, dia akan menjadwalkan acara belanjanya kemarin dan lebih memilih mengikuti kalian berdua kemari. Haiss, kau ini sama halnya dengan senseimu, dasar para pembohong yang payah." Kata Touka sambil perlahan memutar poci air panas di atas saringan kopi.
Telak. Urie hanya bisa berpoker face ria saat Touka terkekeh sambil menggelengkan kepalanya. Kemudian mereka menuju di ruang tengah, di mana Mutsuki dan Ichika sudah duduk di karpet sambil menggambar dengan krayon. Berbagai origami bertebaran di sekitar mereka. Mencium bau wangi hidangan yang telah disiapkan, kedua kepala yang tadinya menunduk menekuni gambar yang mereka buat bersama lantas menoleh. Ichika yang paling sumringah langsung berdiri menyambut ibunya yang membawa nampan berisi pai yang sudah terpotong-potong. Mutsuki terlebih dahulu membereskan kekacauan yang mereka buat.
"Kaa-chan, apa sudah boleh dimakan pai apel nya?" Tanya si gadis kecil.
"Belum, sampai kau mencuci tanganmu hingga bersih." Jawab Touka tegas sambil sedikit mengangkat nampannya.
"Tapi kan kita makan nya pakai sendok, kaa-cha~n." Kilah Ichika yang masih bergelayut pada dress Touka.
Touka menggeleng. "Tidak cuci tangan, tidak ada pai." Tegasnya.
Wajah Ichika masih berbalut keengganan saat dibimbing Mutsuki untuk cuci tangan di wastafel dapur.
"Dia masih menganggap dirinya sendiri pria, dan hanya Ichika yang memanggilnya Nee-chan." Gumam Touka sambil menatap Mutsuki yang sedang mencuci tangan diikuti putrinya. Urie hanya mengangguk kecil mengikuti arah pandangan Touka.
"Well, setidaknya masih ada satu pria yang masih senantiasa melihatnya sebagai wanita, bukan begitu, Urie-kun?" Goda Sang wanita yang lebih tua.
Urie mendengus singkat, "Tapi Yang Dilihat tetap mempertahankan otak batunya."
Kini Touka tertawa.
"Kaa-chan kenapa tertawa? Urie-niichan lucu?" cetus putrinya yang sudah kembali bersama idolanya.
"Tidak hanya itu, Honey. Dua orang ini selalu lucu." Jawab Touka lalu menggeleng geli.
Mutsuki dan Ichika hanya menelengkan kepalanya heran. Dan Urie hanya mampu menatap cangkir kopinya.
Sejenak mereka menikmati apa yang Urie dan Touka siapkan. Ichika bersikeras menyanyikan lagu ulang tahun untuknya sendiri diikuti Mutsuki yang masih gemas dengannya. Urie dan ibunya hanya bertepuk tangan. Asalkan si kecil senang. Lalu mereka makan pai sebelum mendingin, tanpa Touka tentunya.
"Emm, ngomong-ngomong Urie. Tadi aku melihat ada beruang toska besar di jok belakang. Apa itu untuk Haru besok?" Tanya Mutsuki. Urie menghentikan suapan nya.
Touka mengangkat alisnya dan menatap Urie. Yang ditatap sekilas melirik kemudian mengedikan bahunya. Mutsuki yang sudah merasa mendapat jawaban yang diinginkan tersenyum jahil. Merasa menemukan bahan gossip bersama saiko dan bahan olok-olokan bagi Urie, pikirnya. Tentang Haru dan Urie. Touka hanya bisa melempar tatapan kasihan pada Urie.
Setelah semua selesai menyantap pai buatan Mutsuki yang diluar dugaan cukup lezat untuk sebuah pai apel, Ichika menarik Mutsuki mengagumi objek baru di ruang tengah itu, barang kiriman Tsukiyama yang biasanya mewah nan useless, sebuah papan catur marmer berbidak gading. Catur itu hanya beberapa kali dimainkan oleh Kaneki dan beberapa orang yang sering ke rumah itu. Benda itu belakangan ini menjadi favorit Ichika.
Sementara Ichika dan Mutsuki teralihkan, kedua orang dewasa yang masih menyesap kopi dengan pelan melanjutkan pembicaraan mereka dalam nada rendah.
"Dia bahkan tidak tahu?" Tanya Touka sambil meletakkan cangkir kopinya.
"Bahkan setelah melihatnya dengan mata kepala sendiri, dia masih tidak paham, Touka-san."Urie hanya menatap pasrah meja di depannya.
Touka bersikeras pergi ke dapur tanpa dibantu Urie, dan menyisakan Urie yang menatap dua orang berbeda usia yang asik bercengkrama bersama mengamati papan catur. Di sisi lain Mutsuki sibuk mendengar penjelasan Ichika mengenai papan catur itu.
"Aku sangat suka bidak-bidaknya, nee-chan. Mereka indah sekali."
"Syukurlah jika kau menyukai catur ini, Ichika –chan." Ujar Mutsuki pelan
"Tou-chan bilang bidak-bidak ini seperti orang-orang di sekitar kita loh. Tapi aku tidak paham." Ichika meraih sebuah pion dan mengetuk-ketuknya di papan.
"Benarkah? hem.. sepertinya begini, Si Raja ini," Mutsuki meraih bidak raja putih," adalah Otou-chan mu, Kaneki-sensei. Dan yang ini…"
Mata bulat Ichika mengamati Mutsuki yang menunjuk bidak ratu, "Itu pasti Kaa-chan ya, mutsu-neechan?"
"Benar, dan karena sekarang ada Ichika-chan, jadi sang raja sekarang bermakna ganda, Ichika-chan dan Kaneki-sensei." Kami sama-sama kalah jika kehilangan kalian. Tambah Mutsuki dalam hati.
"Kenapa tidak ada bidak putri, nee-chan?"
"Karena dalam catur, semua orang punya kepentingan masing-masing. Dan seorang putri sama pentingnya dengan raja, Ichika-chan."
Ichika mengangguk setuju.
"Nah yang ini," Mutsuki menunjuk bidak di sebelah kiri raja, "Sang menteri, Nagachika-san, yang ikut TSC untuk Negara. Yang ini, si Ksatria," Mutsuki berhenti sejenak, "Mutsu-neechan, yang akan melindungi Ichika dan sang Raja. Kemudian, ada benteng…."
"Pasti itu Urie-niichan! Aaaa, Ichika paham sekarang." Wajah Ichika berbinar.
"Eh?" Mutsuki heran.
Ichika mengabaikan keheranan Mutsuki dan melanjutkan deskripsi menurutnya sendiri, dari kanan sang ratu. "Ada menteri, Tsukiyama-san, yang ikut membangun Negara. Terus Yang ini, si Ksatria, Ayato-nii, kemudian ada benteng, pastinya itu Ren-jiichan."
Kendati masih mengganjal, Mutsuki masih memberikan senyumannya pada Ichika. Kemudian ia mengusap-usap surai hitam-putih Ichika. "Benar."
Ichika hanya tertawa geli menanggapi Mutsuki.
"Tapi, Ichika-chan. Kenapa Urie-niichan harus jadi benteng?" Tanya Mutsuki.
"Karena, Benteng lah yang harus selalu berada di samping Ksatria. Dan bentenglah tempat Ksatria pulang dan berlindung." Tukas Urie yang sudah duduk di belakang Mutsuki tanpa diketahui. Mutsuki menoleh.
Ichika lanjut tertawa sambil mengangguk-angguk setuju. Urie menatap Si gadis Ksatria penuh arti. Mutsuki tanpa sadar memerah ditatap seperti itu
PRANGGG!
Suara keramik pecah dari dapur itu mengejutkan mereka bertiga. Urie dan Mutsuki berlari dengan sigap menuju apapun yang menimpa Touka. Ichika mengikuti mereka dengan wajah yang tak lagi sumringah. Pemandangan yang mereka lihat sama sekali tidak bagus. Touka terduduk sambil memegang perutnya, Wajahnya pias menahan sakit. Beberapa perkakas pecah berserakan di lantai. Mutsuki langsung menghampiri Touka. Bibir bawah Ichika bergetar, siap meledak menangis kapanpun.
"Sepertinya aku terlalu banyak tertawa sampai si Bayi ingin ikut-ikut keluar, uggh—" keluar cairan bening dari celah paha Touka, memancar bersama darah.
Oh, tidak si jabang bayi benar-benar ingin keluar sekarang.
"Cepat telepon Nishio-sensei sekarang juga!" Seru Mutsuki pada Urie yang langsung melesat mencari bantuan.
"HUAAAAAA! KAA-CHAAAAAAN…. HUAAA."
TBC
Eits, jangan kemana2 dulu. Langsung lanjut chap 2 yaa…
