Saint Seiya – Masami Kurumada
Saint Seiya Lost Canvas – Shiori Teshirogi
Warning : (Jika Berkenan) Disarankan Membaca Fic Berjudul Fil Sahabat Sebelum Membaca Fic Ini, Karena Fic Ini Merupakan Lanjutannya. Saya, Godhongijo Mohon Maaf Karena Akun Lama Sudah Tidak Bisa Di Log In Dan Terpaksa Bikin Akun Baru. #plak!
.
.
.
Pulang Sekolah.
Bel tanda usai belajar berdering nyaring. Para murid dari segala tingkatan maupun jurusan menyambutnya gembira dan berhamburan dari tempat asal Mereka.
Terkecuali untuk siswa – siswi yang ikut dalam acara Boden Pawel's Day yang sengaja di majukan setengah bulan karena pesertanya keburu try out. Kini Shion, Dohko, Manigoldo, Shaka, Minos, dan Elcid yang merupakan perwakilan dari kelas Bahasa -yang jika disingkat menjadi 'SiDo MaShak MiE(?)'- tengah berada di ruang kumpul Pramuka bersama perwakilan sejawat beda jurusan lain, guna mendengar ceramah untuk menyukseskan acara besok. #orang_jawa_pasti_ngakak.
Dan mari Kita tinggalkan sejenak hiruk – pikuk ruang Pramuka diganti dengan suasana sejuk di pinggir lapangan di mana Dégel menatap (melamun) total 35 kandidat Bantara dari kelas sepuluh -itu niat banget sampe diitungin-.
"Kau belum pulang?" suara hangat mendekat diiringi langkah kaki berirama.
Dégel tahu pemilik suara khas itu, dan tidak berniat merespon selain gelengan. Entah mengapa Ia bisa menerima kehadiran gemini adik ketimbang kakaknya.
Si empu penanya kini berdiri disampingnya, mengikuti arah mata kosong Dégel. "Move on memang sulit." gumamnya kemudian.
Dégel menatapnya lewat ekor mata. Dapat dengan jelas Ia melihat si empu penanya, Defteros jika ingin diperjelas. Menggunakan seragam pramuka lengkap, termasuk topi baret, tali kur kuning gading berujung pluit kuning savron melingkar di bahu, dan beberapa badge yang mempertegas keloyaltian pemuda itu.
"Kau tidak ikut acara besok?" tanya Defteros ketika tahu bahwa Dégel memincingkan pandangan. Retoris memang, tapi cukup untuk menghilangkan kecanggungan Defteros dalam menghadapi Dégel. Tidak, Defteros lebih memilih berbincang dengan Asmita dari pada pemuda yang dikenalnya secara tidak langsung ini.
"Tidak."
Kemudian barisan tiga saf kandidat Bantara dibubarkan dan diarahkan ketempat lain. Dégel menatap kecewa kepergian Mereka yang menurutnya begitu cepat.
"Mereka akan mendirikan tenda untuk bermalam." ujar Defteros seakan tahu apa yang dipikirkan Dégel.
"Hn."
Defteros menatapnya sebentar sebelum melihat kearah lain mencari keberadaan seseorang di antara para Bantara yang berpatroli. "Biasanya Kardia akan ikut acara seperti ini."
"Oh ya?" tanya Dégel walau nadanya terkesan datar.
"Untungnya Dia tidak ikut." ucap Defteros disertai senyum. "Kalau Dia ikut, mungkin akan terjadi masalah hingga Aku sendiri yang harus turun tangan. Hahaha..."
Dalam batin Dégel bertanya, masalah macam apa yang akan timbul bila Kardia menjadi peserta esok hari? Mungkin Kardia akan diajak Manigoldo untuk mengusili kandidat Bantara atau berpura – pura berkelahi? Atau jangan – jangan...
"Kau pasti sudah tahu penyakit Kardia, bukan?"
Tuh 'kan... ternyata itulah maksud dari Defteros. Mungkin Defteroslah yang paling harus mengawasi Kardia kalau seumpamanya penyakit maniak apel itu kambuh. Sekalipun Ia harus melakukan pertolongan pertama sebelum para medis datang. Hitung – hitung buat tambahan pelajaran buat kandidat Bantara yang menyaksikan.
Dan hanya hembusan nafas halus dari mulut Dégel yang Defteros terjemahkan sebagai 'ya.'
"Makasih dah nyuruh Dia gak ikut."
Dégel berkedip singkat. "Bukan Aku yang nyuruh Dia. "
Hening sesaat.
"Awalnya Aku tidak percaya Kau dan Aku bisa satu kelas." kata Defteros mengganti topik.
"Aku juga."
"Yo, Defteros!" sapaan semangat membuat kepala Dégel maupun Defteros menoleh kesumber suara di mana seorang pemuda bermata senja memeluk setumpuk besar buku map, sangat tampak kacau dan kusut dari rambut hingga wajah.
"Ada apa, Brat?"
'Brat?'
Yang dipanggil mayun sesaat sebelum memberi laporan. "Ini daftar peserta besok. Yato sudah ngecek ulang tadi. Total setiap kelas dua belas rata – rata lima sampai tujuh wakil dan-"
"Aku pergi dulu." ucap Dégel serendah mungkin sebelum Ia terlibat dalam perundingan dua aktifis itu. Segera Ia berpaling dan meninggalkan Mereka.
Pemuda bermata senja itu, Tenma. Merasa heran saat Ia menyadari eksistensi Dégel yang kini 'tlah menjauh. "Bukannya itu..."
Namun terkaannya terpotong oleh interupsi Defteros. "Lebih baik Kau berikan map ini pada Yato, jangan sampai ada yang tidak bekerja atau Kau akan Ku jadikan juru kunci Gunung Kanon" ujar Defteros dengan nada mengancam yang dibuat – buat sebelum beranjak ke lapangan belakang sekolah, tempat dimana para kandidat Bantara mendirikan kemah.
Tenma yang tidak terima hanya mengikutinya sebentar "Gak perlu ngancem juga Aku lakuin, kok!"
"Terserah."
"Def."
"Apa?"
Tenma sedikit ragu menyampaikan opininya, namun sayangnya Ia terlanjur berucap. "Kau emang bakat deketin orang yang pendiem ya?"
...
Langkah kaki Dégel belum gontai, walau Ia sudah berjalan cukup jauh dari halte bus. Panorama pegunungan memang ampuh menetralisir rasa lelahnya kaki yang harus menghadapi jalan yang semakin menanjak.
Di kejauhan beda bukit, tampak hamparan bunga di kebun keluarga Agasha mulai merekah. Sekilas mirip seperti permadani menghiasi undakan terasering bukit. Mungkin keluarga Agasha harus berkerja ekstra untuk memanen bunga guna persiapan Valentine sebentar lagi.
Matahari mulai bersembunyi di balik perbukitan, secercah besar sinar Dewa Apollo memberi gradasi jingga pada awan di langit mendung hingga membuat siapapun tergoda untuk menikmati kanvas indah itu. Namun Dégel adalah pengecualian, Ia lebih memilih mengacuhkan senja yang indah. Baginya lebih baik merenung di dalam kamar atau perpustakaan ketimbang melihat suatu hal yang monoton.
Kabut tipis mulai menguar dari puncak perbukitan yang belum terjamah manusia ketika Dégel sampai di rumah. Walaupun itu hanya kabut tipis, namun jika Kau berjalan didalamnya tanpa penerangan, mungkin Kau bisa saja salah jalan. Dan gumpalan kabut putih tipis itu pula menyebar hingga komplek dimana Dégel tinggal.
Ditatapnya pemandangan yang tertutupi tipisnya kabut yang justru nampak seperti tabir pasmina putih orang Turki, antara indah dramatis sekaligus menyeramkan karena sore mulai berganti nama menjadi malam.
Dégel bukan anak yang manja, asal Kalian tahu. Sejak dulu Ia memang selalu sendiri di rumah, entah ada atau tidak adanya ibunya selain dari ayahnya yang jarang pulang. Ibunya yang selalu mengkhawatirkannya -dan mengukungnya- dan figur ayah yang sangat Ia rindukan.
Namun Ia tidak dapat memungkiri, Ia kesepian. Dan dengan sepihak Ia memghabiskan waktu membaca buku yang sudah seperti temannya. Teman yang dapat Ia baca (read : ajak bermain) setiap saat dan pastinya tidak akan bisa direnggut darinya seperti Unity dan Anarkali.
Dégel berhenti tepat di pertengahan undakan tangga menuju perpustakaannya yang juga bersebelahan dengan kamarnya. Kepalanya menengadah teringat akan dua orang yang cukup berkesan baginya.. Namun Ia menggeleng sesaat sebelum kembali melangkahkan kaki.
Tuhan memang sudah merenggut Unity dan Ia tidak akan dapat melihatnya selama Ia hidup. Namun Anarkali? Oh... Dégel mungkin harus sedikit lebih berusaha mencari akar permasalahan antara Dia dan 'mantan' adik kelasnya itu.
.
.
.
.
Kardia menghela nafas bosan, Ia bersidekap manja pada punggung kursi mahagoni panjang yang didudukinya sedangkan matanya menatap ke ribuan butir air hujan yang jatuh dari langit menyurupai hujan jarum.
Langit hitam mendung sejak pagi tadi, ditambah angin kencang dan berakhir hujan deras sejak jam sembilan. Dan sudah satu jam lebih Kardia terkurung bosan dalam perpustakaan pribadi Dégel dengan posisi seperti itu.
"Aku bosa...n." keluhnya untuk yang kesekian kali.
Kini dagunya tertopang punggung kursi. "Kira – kira Mereka lagi ngapain ya?" ucapnya membayangkan apa yang dilakukan teman – temannya yang menjadi peserta Kemah Block.
Kardia menoleh ke samping, Dégel masih membaca buku dengan tenang walau pencahayaan remang – remang. "Mungkin Mereka disuruh hujan – hujanan ya, Gel?"
"Tidak mungkin, Kardia."
"Trus kira – kira Mereka pada ngapain...?!" seru Kardia meninggi meminta jawaban.
Dégel menghela nafas sejenak. "Mungkin... teman – teman Kita sedang diam di dalam kelas sedangkan para Kandidat Bantara sedang berlarian panik mengamankan kayu yang akan digunakan untuk api unggun nanti malam." Terkanya membayangkan anak – anak pramuka berlarian panik di tengah lapangan dengan memeluk batangan kayu, cukup lucu sebenarnya.
"Hehehe..."
Kardia lantas membalik membalik tubuhnya, Ia duduk dalam posisi normal. Mengambil pulpen dan secarik kertas di atas meja lebar di hadapannya dan menulis sesuatu. Ia tidak tahu Dégel memincingkan mata pada kertas yang Ia tulisi. "Hei, Aku punya teka – teki nih. Mau jawab?"
"Ogah." Sahut Dégel absurd, bahkan Ia yakin bahwa teka – teki Kardia akan lebih absurd dari sahutannya.
"Baca dulu ngapa!"
"Kalo Kau bisa jawab, nanti bisa minta apa aja!"
"Sepakat."
"Ok-Heh? Bener?" Kardia berhenti menulis.
Tidak ada konfirmasi dari yang ditanya, pun Kardia akan terus memberinya celotehan tak berarti.
Setengah menit kemudian Kardia menyodorkan kertas tersebut pada Dégel. "Nih!"
Dégel melihati kertas tersebut dengan menyipitkan mata, lantas Ia menerima kertas tersebut dengan tangan kiri sedang yang kanan memegang buku yang masih terbuka. #tidakuntukditiru. Maka Ia baca sesaat.
'Pagi Hari Aku ada 2,Di Siang Hari ada 3,Kalau Malam gak ada,Aku punya kepala, namun tak punya leher,Bila Aku besar, kepalaku hilang,Aku berada pada ujung Api dan pertengahan Air,Tanpa Aku, Dunia dan Cinta tidak akan ada.Siapa Aku?'
PLEK!
Dégel menutup buku yang di telapak tangan kanannya dan meletakkan buku tersebut di meja, Kardia menyeringai penuh kemenangan melihat antusiasme Dégel yang sangat langka baginya.
"Penggunaan huruf kapitalmu salah, seharusnya hanya untuk awal kalimat." Dégel mengoreksi singkat pada bait – bait pertama.
Kardia melembai cuek mendengarnya. "Halah... jawab aja, Pingiun!" lantas Ia menyandarkan punggungnya pada punggung kursi dengan kepala mendongak.
Lima menit.
"Bisa enggak?"
"Sebentar..."
Lima menit lagi...
"Dah dapet jawabannya?"
"Blum!"
"Hih galak."
Lima belas menit...
"Zzzzzzzz..."
"Zzzzzzzz..."
"Aku menyerah."
"Zzzz-Aphua?" Kardia yang setengah tertidur langsung sadar. Kertas tadi sudah di meja sedangkan Dégel kembali membaca buku walau sebenarnya tidak.
"Apa jawabannya?" tanya Dégel pelan, sangat pelan hingga hampir teredam oleh gemuruh hujan di luar sana.
"Ckckck... akhirnya Kau menyerah juga, Pinguin?"
Kardia mengambil pulpen yang digunakannya tadi di samping kertas itu, melingkari beberapa alfabet di beberapa bait kemudian menyerahkannya pada Dégel. "Nih, baca!"
Dégel mengernyit sesaat, ada beberapa bulatan melingkari sebuah alfabet yang sama. "Heh?"
Kardia tertawa geli melihat raut Dégel. "HAHAHAHA... JAWABANNYA 'I', PINGUIN!!!!" sahutnya menepuk – nepuk kasar pundak Dégel.
Kardia masih tertawa, bahkan suaranya tidak kalah dengan gemuruh hujan di luar sana. Sedangkan Dégel membaca isi ketas tersebut dengan lebih seksama.
Benar saja! Di kalimat 'pagi hari' terdapat dua alfabet 'I'! Jadi bait pertama hingga ketiga menghitung jumlah huruf 'i', sedangkan di bait berikutnya? Pada bait 'Aku punya kepala, namun tak punya leher.' Dan 'Bila Aku Besar, Kepalaku Hilang.'Ouh... pada bait ini 'kan di atas huruf 'i' memiliki titik yang menjadi kepala, dan bila huruf kapital kepala / titik tersebut dihilangkan.
Sedangkan di dua bait terakhir, huruf tersebut memang berada di akhir kata 'Api.' dan di tengah kata 'Air.'! Dan tanpanya tidak mungkin merangkai kata 'Dunia.' Dan 'Cinta.'
Dégel menepuk dahinya sendiri, ternyata ini teka – teki logika! Ah... Ia telah kalah dari Kardia...
Sedangkan yang dimaksud masih tertawa di samping Dégel. "Kau minta apa?" tanyanya kesal.
Kardia berhenti tertawa dan memasang pose berfikir, jarang lho Dégel menawari permintaan! Uhm... mungkin...
Degel beranjak dari posisi nyaman menuju salah satu rak. "Tapi jangan yang aneh – aneh!"
Kardia manyun kecewa. Sedangkan hujan di luar mulai reda, hanya menyisakan gerimis kecil. "Ehm... kapan – kapan aja deh!"
*
Manik ametis Dégel terbuka, kelopak mata yang membungkusnya berkedip berkali – kali. Ia pun menghela nafas panjang, Ia terbangun karena sebuah mimpi buruk yang bahkan tidak diingatnya lagu. Lebih baik Ia terjaga karena jika kembali tidur, pasti mimpi tersebut akan bersambung.
Matanya menyipit menatap arah jarum jam, masih pukul tiga pagi. Bahkan Ayam masih malas bangun sekedar berkokok karena melihat seberkas cahaya Malaikat Mikail yang turun ke bumi untuk menabur rezeki.
Sejenak Ia menyadari sesuatu, tubuhnya terasa berat. Tindihan? Oh tentu saja tidak! Ia sudah bangun. Maka Ia mengangkat kepala, ternyata ada tangan dan kaki yang menindihinya. Ia pun menoleh ke samping dan ...
"KARDIA?!"
Ia memekik kaget.
Kardia yang tertidur lelap dengan memeluknya dari samping membuka mata setengah ngantuk dan kembali terpejam. "Apa?"
"Ngapain tidur di sini sih?"
"A...dem..."
Dégel bertambah kesal dan berusaha mengangkat kaki dan tangan Kardia, namun Kardia justru memeluk Dégel lebih erat seolah Dégel adalah guling empuk.
"Ck... bobok... dulu..."
Akhirnya Dégel menyerah, Ia akan menunggu Kardia tertidur lagi. Kardia nampak begitu nyaman bisa memeluk Dégel dari samping sedangkan kepalanya setengah terbenam di samping pundak Dégel.
"Ma...sih... pagi..." kata – kata terakhir hanyalah gumaman samar dalam mulut Kardia.
Dégel menoleh padanya, menatap pada wajah damai Kardia. Yang selalu tersenyum dan tertawa, kini padam untuk beberapa jam kedepan. 'Mungkin begini lebih baik.'
H-1 Valentine
Pagi itu matahari tidak lagi bersinar, lebih memilih menyembunyikan karismanya dibalik gumpalan awan yang lebih mirip biri – biri yang bermain di atas abu. Tapi untuk apa matahari jika secerca sinarnya masih bersinar di sampingmu?
Itulah yang dirasakan Dégel ketika berjalan bersama Kardia di minggu itu, ketika Kardia menggunakan voucher permintaan hasil teka – teki yang lalu dengan mem-booking waktu santainya dengan jalan – jalan. Sebenarnya ini tidaklah buruk, Ia juga akan mampir ke toko buku karena pasti ada diskon saat hari besar seperti saat ini.
"Uhuk! Uhuk!" batuk Kardia teredam oleh suara bising knalpot kendaraan.
Dégel meliriknya sedikit, "Kau baik?"
Kardia mengusap hidungnya dengan punggung tangan. "Gak papa kok, Pinguin." Jawabnya disertai cengiran khas sebelum menepuk pundak pinguin itu, inginnya di rangkul, tapi takut dimarahin kayak minggu lalu.
Kardia mengajak Dégel pergi ke toko cokelat baru di sudut kota, gedung toko itu memiliki dua lantai. Lantai pertama untuk cokelat dan yang kedua kue.
KLING-NGING...
Bel imut di atas pintu bergulir kala pintu terbuka, bel tersebut berlapis sepuhan emas, lebih cocok untuk dekorasi Natal. Bahkan di tembok – tembok tertempel pita kuning emas dan hijau tua, mungkin pemilik toko lebih suka Natal di banding Valentine.
Di setiap sudut terdapat rak- rak penuh cokelat berbagai ukuran, rasa, dan bentuk.
"Selamat pagi! Ada yang bisa kubantu?" tanya Kasir ramah.
"Kami mencari cokelat paling enak!" jawab Kardia semangat.
Kasir tersebut memanggil elf house yang kebetulan lewat dan meminta Kardia mengikutinya. Saking semangatnya Kardia, hingga lupa mengajak Dégel bersamanya.
Dégel sendiri tak ingin ikut kemaana Kardia pergi, lelah alibinya, karena kelamaan diseret Kardia kemana – mana.
Maka Ia hanya menunggu dengan menyandarkan punggung pada hangatnya tembok bata merah, memberinya sedikit relaksasi setelah harum manis cokelat yang menguar memenuhi tiap sudut toko.
"Kau tidak ikut temanmu?" tanya Kasir di mejanya menatap Dégel heran.
Kepala bersurai zambrud itu menggeleng. Tidak ingin membeli satupun cokelat.
"Tidak ingin beli?"
Lagi, kepalanya menggeleng samar. Biasanya Unity akan mengajaknya jalan – jalan dan membeli cokelat sekedar untuk camilan, dan Dégel akan menitipkan satu jenis cokelat istimewa untuk Seraphina lewat Unity.
"Sampel gratis?"
Tahu – tahu Kasir tadi sudah berdiri di hadapan Dégel dengan memegang nampan perak berjejer potongan cokelat imut – imut, ada yang berbentuk hati, kotak, bahkan smile emoticon...!
"Ah! Aku tahu yang Kau butuhkan!" seru Kasir itu semangat. Jari lentiknya mengambil satu potong cokelat yang letaknya paling pinggir. "Ini! Kau pasti suka!"
Cokelat kotak itu sudah ada di depan hidungnya, baunya unik. Tidak enak menolak, maka Ia mengiyakannya. Benda kubus gepeng itu cukup untuk sekali gigit, hanya tinggal mengulumnya dalam – dalam untuk menciptakan rasa manis legit di lidah.
Dégel sebenarnya jarang makan cokelat, kapan terakhir kali? Ya tahun lalu... saat Ia dan Unity juga melakukan hal yang sama seperti sekarang.
Dégel tertegun sesaat.
Rasanya pahit.
Indra pengecapnya tidaklah salah, cokelat di mulutnya tidak terasa manis, gurih, apalagi asin. Tapi pahit, namun pahit yang membuat tenang dan ketagihan.
Sudut bibirnya terangkat setengah centimeter.
"Enak 'kan?" tanya Kasir sebelum berbalik kembali ke teritorinya.
Dégel mengangguk. "Namanya?"
Nampan perak tadi di letakkan pada samping komputer oleh si Kasir ramah. "BitterSweat, namanya BitterSweat."
BitterSweat, seperti namanya, pahitnya memberi suasana manis di hati. Sangat unik...
"Aku ingin satu bungkus."
"Benar cuma satu bungkus?"
Dégel berfikir sejenak, BitterSweat memang sukses mengubah pikirannya. "Dan satu bungkus AlmondMette kalau ada."
"Baiklah!"
Maka Kasir tadi mengambil satu bungkus cokelat AlmondMette di kulkas yang ada di belakangnya. Cokelat AlmondMette tergolong cukup mahal, karena dibuat dari campuran Vanila murni, cokelat Meksiko, dan taburan kacang Almond serta Mette. Jenis cokelat yang selalu Ia berikan pada Seraphina dengan Unity sebagai perantara.
Namun kali ini beda, Unity sudah tiada. Maka Ia lah yang harus memberikannya pada Seraphina.
Ia menerima dua bungkus cokelat beda sifat tersebut setelah membayarnya, pun langsung Ia masukkan ke kantong jaketnya.
"Hoi, Pinguin!"
Ia menoleh ke belakang, Kardia kembali memeluk berbungkus – bungkus cokelat SilverKing. Pun bibirnya ada bercak – bercak cokelat, sangat comot.
"Ternyata di sini, Aku nyariin tau!"
"Aku dari tadi di sini, Kardia."
Kardia bergumam. 'Heemm...'
Sedangkan Kasir ramah tadi men-scan cokelat yang dibelinya satu persatu, mata Kardia teralih pada nampan perak yang masih di atas meja. Tangannya terulur mengambil satu potong cokelat yang terletak paling pinggir. "Wah, ada sampel gratis lagi!"
"Kardia, jang-"
"HUEK! PAHIT!"
"-an!"
Maka semua elf house dan pelanggan yang baru datang langsung menoleh pada wajah Kardia yang berubah masam.
_
Toko buku ini terletak satu blok dari toko cokelat tadi. Jika toko cokelat tadi di dominasi lonceng imut, pita serut hijau dan kuning emas, apa lagi elf house bertopi runcing, maka toko buku ini menyajikan musim semi.
Di dindingnya yang bebas dari rak buku terlukis rerumputan hijau dan pegunungan, dan lantainya dilapisi karpet hijau yang mengharuskan individu yang menginjaknya untuk melepas alas kaki, pun gunanya sebagai peredam suara. Dan yang menyamakan hanya pelayanan yang ramah.
Kali ini giliran Kardia yang menunggui Dégel dengan bosan, pecinta apel tersebut duduk bosan di meja baca yang menghadap langsung dengan jendela. Alergi buku alibinya, tapi tidak dikatakan gamblang, takut ditimpuk ensklikopedia soalnya.
Dégel tertawa kecil melihat raut bosan kawannya itu, pun Ia langsung melangkah ringan di atas karpet hijau hangat di bawahnya. Mencari satu atau dua kitab yang belum pernah dibaca olehnya mungkin akan memakan waktu yang lama.
Ia menemukannya, kuning pudar sampulnya, menyempil di antara buku warna merah dan jingga, sangat mencolok mata. Tangan Dégel terulur hendak menggapai, namun di saat yang sama Ia juga bersentuhan dengan jemari orang lain yang juga menginginkan buku tersebut.
Matanya memicing menatap pemilik jemari yang bersentuhan dengannya, Ia mengikuti dari jemari berlanjut ke hasta dan berakhir di bahu orang tersebut.
Seketika tautan tangan Mereka terputus, Mereka berhadapan. Dégel melihat orang itu sama saja melihat refleksi, hanya rambut, baju, dan tinggi badan yang membedakan, plus karena hanya Dégel yang memakai kaca mata.
"Camus?"
"Dégel-san?"
"Pinguin, Kamu di ma- ASTAGHFIRULLAH!"
"SSSSSSSSSSSSTTTTTTT!!!!!!"
...
"..."
"..."
"Bagaimana kabarmu, Camus?"
"Baik, bagaimana kabarmu?"
"Baik."
Dégel merasa awkward sendiri, tidak! Pemuda di hadapannya -Camus jika ingin diperjelas- juga merasakan hal yang sama.
Maka si Pinguin hijau itu hanya membuang pandangan keluar jendela setelah berbasa – basi dengan mantan adik kelasnya itu.
Sebenarnya Ia ingin mengajak Kardia tadi, namun yang diajak berdalih ingin langsung pulang ketimbang ikut pembicaraan bisunya dengan Camus. Namun ada satu hal yang mengganjal di pikirannya kala Ia mengajak Kardia tadi.
"C10H16!"
Begitulah petikan kalimat terakhirnya sebelum berbalik pergi kala Dégel mengajaknya ikut ketempat ini. Ngomong – ngomong, dua pecinta buku sedang berada di sebuah restoran bercorak Meksiko. Namun Mereka sedang mujur karena pelanggan yang ada hanya beberapa, karena kebanyakan orang sedang berada di toko bunga atau toko cokelat. Pelanggan di sini pun ada yang sekedar berteduh dari gerimis, ada juga yang minum alkohol di kejauhan sana.
"Ini pesanan Kalian!"
Dua pemuda itu menoleh ke asal suara, seorang gadis pelayan dengan rambut kuncir kuda agak serampangan membawakan minuman Mereka. Dégel mengenalnya, Calbera kalau tidak salah. Kini Ia tahu maksud ucapan Kardia tadi.
Adamantan(e).
Baik Ia maupun Camus mengangguk menerimanya, bedanya hanya Dégel yang tersenyum.
Kemudian gadis itu pergi, bagaimana pun semua bagian di diri gadis itu memang layaknya wanita dewasa, bahkan cara berjalannya juga.
"Camus." Pada akhirnya Dégel kembali bersuara. "Bagaimana Libray Guard kelas sepuluh?"
Libray Guard adalah nama lain dari Pengurus Perpustakaan, walaupun organisasi tersebut terdiri tak lebih dari lima puluh pelajar, tetap saja disegani baik pihak sekolah maupun pelajar biasa.
"Baik, Kurasa."
Camus hanya menatap Dégel sekilat, kemudian mata maroon tiu menatap refleksinya sendiri pada permukaan kopi hangatnya. "Kau punya teman baru?"
Satu kalimat, empat kata. Akhirnya pemuda bersurai merah di hadapan Dégel bersuara.
"Ya..."
Bibir cherry blossom Camus bergerak kecil, melisankan sebaris kalimat tak bersuara yang Dégel terjemahkan menjadi. 'Dia mirip Milo.'
"Memang, Dia mirip seperti temanmu itu." Ujar Dégel membenarkan.
Hening sesaat, kepala Camus masih tertunduk ke bawah sedangkan Dégel kembali menatap titik – titik air yang menabrak kaca jendela di sampingnya.
"Degel-san."
Sebuah panggilan yang terdengar lirih, Dégel hanya perlu menoleh beberapa derajat. Pemuda bersurai merah maroon di hadapannya sudah berani menatapnya. Dari balik manik maroon itu Dégel temukan gejolak emosi tertahan yang aneh dan asing.
"Dégel-san, Kau percaya syndrom Marrie Antoniette?"
.
.
.
Di Minggu Berikutnya.
Dégel terbatuk perlahan untuk yang kesekian kalinya seraya menepis debu yang bertebangan setelah menarik satu buku di salah satu rak tua, perlu Ia akui betapa kotornya perpustakaan di sekolahan ini, berbanding terbalik dengan perpustakaan di sekolahnya dulu yang selalu bersih dan rapi.
"Kau menemukannya?"
Ia menoleh ke belakang, Shaka berdiri dengan memeluk beberapa buku tua berukuran lebar. "Ya."
Sebenarnya Ia agak aneh dengan kelakuan Shaka, di istirahat kedua pemuda itu mengajaknya mencari beberapa buku lama sekalian membaca buku di perpustakaan. Setelah si Blonde, dan beberapa aktifis sekolahan lain absen dari pagi tadi.
"Kita bisa di sini sampai pulang, lagi pula sisa jam terakhir kosong."
Anehnya Shaka seperti menjauhkannya dari semua teman sekelasnya.
Dégel sebenarnya ingin tahu, tapi entah mengapa ada halangan batin yang menutup mulutnya.
Ia menarik satu buku di rak barusan dan membuka halaman pertama sebelum mengikuti langkah Shaka menuju deret meja baca. "Shaka."
"Um?"
"Tadi pagi Kau, Defteros, Aspros, dan Sisyphus pergi kemana?"
Shaka meletakkan tumpukan buku itu di meja dan kemudian duduk, begitu pula Dégel. Mereka hanya berjarak satu bangku kosong. "Ziarah."
Dégel yang baru membaca satu paragraf berhenti, Ia menoleh pada Shaka yang meniupi sampul buku agar bersih. "Siapa?"
"Alumni, lulusan dua tahun yang lalu." Jelasnya pada akhirnya.
"Hoh..." pada akhirnya Dégel mengerti dan melanjutkan bacaannya dengan tenang.
Sementara di tempat lain, Sisyphus sedang panik karena Aspros yang tidak berhenti batuk seperti pengidap fluenza sedangkan Defteros menghardik Kakaknya tersebut. Well, karma karena melanggar perjanjian dengan Asmita sudah berlaku.
..
..
..
Menjelang akhir maret.
Esok senin sudah memasuki Ujian Tengah Semester, semua murid berbagai jurusan dan kelas mempersiapkan kemampuan Random Accest Memory Mereka untuk ujian kelulusan yang juga segera datang.
Begitu pula Kardia yang kini duduk menatap Dégel dengan malas.
"... nah, Kau mengerti?"
"Iya, Aku ngerti! Oksidator menyerap elektron sedangkan Reduktor melepas elektron... "
Dégel tersenyum kecil tak kala Kardia dapat menghapal semua rumus tersebut, ternyata Kardia tak sebodoh yang Ia kira.
"Ngomong – omong tempat ini bagus juga, lebih adem ketimbang perpustakaanmu."
Kepalanya mendongak melihat tingginya pohon pinus yang memagari stepa tempat Mereka belajar. Sebuah stepa kecil di atas salah satu bukit yang belum terjamah manusia selain Dégel dan Unity dengan rerumputan empuk sebagai karpet.
Kardia menutup buku tulisnya sebelum merebahkan tubuh, tidak peduli apakah bajunya kotor apa tidak. Rasanya seperti tidur di permadani beludru, empuk dan halus sekali.
"Jangan tidur di situ, Kar."
Baru sepuluh detik Ia memejamkan mata, Dégel membuka kembali manik prussianya. Sang Pinguin masih duduk bersila dengan membuka sebuah buku bacaan.
"Di sini nyaman."
Lantas Ia menutup kembali matanya, menikmati hembusan lembut angin sore yang melewati pepohonan Pinus. Ia mengantuk.
"Kardia."
Matanya terbuka setengah, rasanya mulai berat. "Hm?"
"Kau... masih mengkonsumsi obatmu dengan teratur 'kan?"
"A-pa?" tanyanya tak percaya. Dégel hampir tidak pernah mengungkit tentang penyakitnya, bahkan saat Ia pingsan dulu, Dégel hanya melontarkan beberapa pertanyaan retoris. "Masih, emang kenapa?"
"Tidak apa – apa."
Hening lagi, si Pinguin kembali membaca buku dengan tenang sedangkan si Kalajengking menatapnya ngantuk. Perasaannya saja atau memang Dégel nampak lebih... bahagia?
"Hei... kenapa Kau baru mengajakku kemari?" jeda sesaat, Kardia menguap lebar tanpa menutup mulut, nampaknya rasa kantuk menggelayutinya. "Gak dari dulu aja?"
Dégel yang sudah hanyut dalam aliran kata yang menyusun paragraf tidak menyimaknya, maka jadilah pertanyaan Kardia mengambang tanpa jawaban. Pun sebenarnya Kardia sendiri tidak menuntut jawaban Dégel.
•••••*•••••
Di awal maret itu, di mana langit yang selalunya mendung dan muram hari itu menjadi cerah. Bahkan tidak ada sedikitpun gumpalan awan di horizon sana. Benar – benar minggu yang sempurna.
Dégel yang kala itu membaca buku di perpustakaan kesayangannya tidak sengaja menatap keluar jendela perpustakaan, mencari figur ibunya yang mungkin sedang menyiram tanaman di taman belakang rumahnya. Matanya menatap tiap sudut pekarangan belakang rumahnya dalam hitungan cepat, dan terhenti pada sebuah paviliun kecil berkubah yang dulu sering digunakannya untuk belajar saat merasa jenuh di dalam rumah.
Matanya membulat ketika menemukan sosok ibunya sedang mengadakan pesta minum teh di paviliun berkubah itu, awalnya Ia yakin bahwa yang sedang meminum teh disana adalah klien Ibunya. Namun opini monoton itu buyar dimana seorang gadis bersurai hitam yang menjadi lawan bicara Ibunya berdiri membungkukkan badan sebagai tanda pamit.
Hal itu sukses membuat buku ditangannya jatuh ke karpet yang diinjaknya. Ia mundur selangkah dan langsung berlari menuruni tangga menuju taman.
.
.
.
Di sebuah paviliun mungil berkubah, dua hawa duduk dibatasi sebuah meja bulat dengan teh dan beberapa kudapan diatasnya. Satu hawa yang masih gadis berbicara menceritakan pengalamannya, sedangkan yang menjadi pendengar menatapnya terkejut dengan mengalihkan pandangan pada teh maroon dihadapannya.
"Dan begitulah keluhan Saya, apakah Anda tidak ingin melontarkan pendapat atau sejenisnya?" akhirnya setelah sepuluh menit gadis dihadapannya berhenti bermonolog ria.
Ibunya Dégel tampak berusaha menyembunyikan keterkejutannya dengan mengaduk – ngaduk cangkir keramik berisi teh hangat dihadapannya. "Ah... Aku tidak tahu..."
Gadis bergaun hitam dengan renda putih disetiap ujung di hadapannya tersenyum dan menambahkan gula batu pada tehnya serta mengaduknya.
Keheningan tercipta hingga suara mengaduk teh dari masing – masing cangkir Mereka menjadi terdengar jelas. Gadis berambut jelaga dihadapan Ibunya Dégel mengangkat cangkirnya dan menyesap isinya perlahan, kemudian tangan pucatnya itu meletakkan kembali cangkirnya pada cawan setelah tehnya tandas setengah.
"Sampai kapan Tante akan terus mengaduk teh itu?" tanyanya kemudian. "Aku yakin gula batu yang keras sekalipun akan tetap tergerus walau oleh air hangat" sambungnya polos.
Ibunya Dégel tersadar bahwa Ia melamun sesaat dan hanya bergumam "Oh."
Gadis dihadapannya tersenyum geli. "Aku datang kemari bukan sebagai adik kelas putra Anda, namun sebagai pasien yang membutuhkan saran dari hal pelik yang Saya alami. Adakah Anda memiliki saran?"
Ibunya Dégel tersenyum kecut dan menggeleng. "Sepanjang karierku, inilah pertama kali Aku mendapat kasus ini. Tante rasa... Tante tidak dapat membantumu." kepalanya tertunduk menatap refleksi wajahnya pada permukaan air teh di cangkirnya. "Tante benar – benar tidak tahu."
"Tidak apa, sebenarnya Saya juga agak risih memberitahukan semua ini pada Tante. Tapi... tolong berhentu kaitkan apa yang sudah terjadi dulu."
"Bukankah ini terdengar lucu?"
"Hem?"
Gadis itu mengaduk teh di hadapannya, agar suhu teh tersebut turun. "Ayahku seorang pembunuh, membunuh banyak orang. Aku putrinya, suka dipanggil 'Putri Seorang Pembunuh', dan Aku membunuh Ayahku ..." Ia menjeda sesaat dan meletakkan sendok itu. "... apa kini Aku menjadi pembunuh?"
Ibunya Dégel kehabisan kata – kata mendengar apa yang diucapkan oleh gadis yang baru menggenapi umur 16 ini. "Mungkin ini adalah kesalahan terbesarku."
"Tidak juga."
Sebuah pernyataan yang terdengar sangat datar namun hangat terlontar dari mulut gadis dihadapannya. Ibunya Dégel menatap lawan bicaranya tak percaya. "Apa?"
Lawan bicaranya menggumamkan tawa rendah, tidak bermaksud merendahkan. "Jika maksud Anda tentang yang terjadi di waktu lampau... Seperti menyekolahkan privat putra Anda hingga seumuran lulusan SMP, membuat Saya yang kala itu dirasuki oleh kakak Saya berjanji untuk menjauhi Kak Dégel, dan... Anda merenggutnya paksa setelah Dia kehilangan sahabatnya dengan dalih melindunginya ..." jelas gadis itu dengan memainkan sendok yang digunakannya tadi untuk menyendok gula batu sedangkan matanya menatap tanaman bonsai dan bunga Camelia indah mengelilingi taman dan berakhir pada pohon Cendana yang mengharumkan udara. "Namun, Saya yakin Anda adalah salah satu Ibu terbaik di dunia ini. Bahkan Aku iri pada Kak Dégel karena memiliki seorang Ibu yang selalu melindungi dan berada di sisinya, serta... seorang Ayah yang bertanggung jawab pastinya."
Di akhir kata, gadis itu menatap Ibunya Dégel dengan sopan. Senyumnya mungil mengembalikan kesan polos yang hilang karena beberapa bekas luka sayatan di leher dan hasta gadis itu.
Gadis itu tetap tersenyum dan berdiri dari kursinya. "Terima kasih untuk jamuan menyenangkan Tante, dan... mendengar keluhan Saya sebagai pasien Anda. Saya mohon pamit, maaf telah mengganggu jam istirahat Anda."
Gadis itu membetulkan tas selempang yang sejak awal percakapan Mereka terikat pada tubuhnya kemudian membungkuk anggun bak bangsawan dengan masih tersenyum multi arti lantas melangkah meninggalkan paviliun kubah tempat Mereka minum teh, memilih gerbang terdekat yaitu gerbang belakang rumah untuk melarikan diri.
Ibunya Dégel menatap figur gadis itu menjauh dan diam seribu bahasa, bahkan Ia kehilangan selera pada teh dan kudapan dihadapannya yang Ia sajikan pada gadis barusan.
Angin sepoi menyibak rambut wanita itu, Ia tahu siapa yang akan datang berikutnya dan Ia tlah mempersiapkan kalimat yang harus di ucapkan.
Selang beberapa sekon, pemuda yang menyandang tittle sebagai putranya muncul. Nafasnya memburu seperti Anoa yang dikejar sekawanan Macan, dengan mata nyalang putranya itu menatap bangku kosong dihadapan Ibunya itu. "Dimana Dia?"
Ibunya Dégel tersenyum simpul, ternyata putranya masih mengenali figur gadis bernuansa hitam yang tadinya menghabiskan waktu dengannya. "Dia sudah pulang."
Ekspresi putranya memburuk, seperti ekspektasinya. Namun adalah ekspektasi yang buruk tentunya, maka Ia mengedikkan bahu pada gerbang belakang. "Kejar Dia."
Raut kecewa Dégel berubah menjadi heran, namun beralih lagi ketika Ibunya berdiri dan mengelus puncak kepalanya. "Ibu tidak dapat memberikan solusi pada pasien Ibu yang satu ini. Mungkin Kau bisa memberinya solusi?" tawar Ibunya.
Kini tangan Ibunya mengelus pipi Dégel dengan lembut. "Pergilah."
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, lengkungan manis terpatri di bibir Dégel. Lantas Ia memeluk Ibunya tanpa ragu seraya menggumamkan terima kasih. Dan Ibunya hanya tersenyum masam dan menjawab maaf hingga setitik air jatuh dari pelupuk matanya.
Dégel melepas pelukannya dan pergi mengikuti instingnya, meninggalkan Ibunya yang menatapnya diam. "Maafkan Ibu, Dégel"
*••••••••••*
Nafas pemuda itu memburu mencari keberadaan gadis yang dicarinya, Ia yakin bahwa gadis itu melewati jalan utama karena gadis itu bukanlah penduduk asli tempatnya tinggal.
Ia berhenti berlari, nafasnya masih tak beraturan. Yang dicarinya kini berdiri diam dipinggir jalan beraspal mengagumi pemandangan lereng kebun teh dipinggir sebuah jurang. Matanya menatap figur gadis itu, berbeda jauh beberapa minggu yang lalu.
Sosok gadis itu dan dirinya terpaut lima meter jauhnya, namun terlihat detail renda yang menghiasi tiap ujung gaun hitam sederhana dari gadis itu. Rambut kuncir kuda gadis itu menari – nari kecil kerana hembusan angin, menambah kesan keanggunan dari pemiliknya.
Kakinya seperti bergerak sendiri dan menghampiri gadis itu sangat halus perlahan langkahnya, takut mengagetkan gadis yang baru mendapat beberapa pukulan mental itu. Tidak, Ia tidak ingin berakhir seperti Milo karena mengganggu gadis itu.
"Bagaimana kabarmu?" sapanya kemudian.
Gadis itu tampak tersenyum kecil, namun tidak membalas tatapannya. "Baik untuk saat ini" balasnya sopan. "Bagaimana keadaanmu, Kak?" tanyanya balik.
Dégel kecewa, melihat perubahan besar di diri gadis itu. Walau terdengar begitu sopan namun terasa begitu kaku dan kehilangan cahaya, tetapi Ia tetap membalas pertanyaan gadis itu. "Buruk."
Akhirnya gadis itu menoleh padanya, mata nilam gadis itu memang indah, hampir menyamai batu hitam yang selalu dicium para peziarah Mekah. Namun tetap saja, warna batu yang dimaksud timbul karena menyerap dosa dan kesedihan tiap orang yang menciumnya.
Gadis itu menyibak poni ke belakang telinga kerana angin mulai nyalang memainkan poni yang menutupi keningnya, sekaligus menyingkap sedikit bekas luka melintang di dahinya. "Lalu?"
Alis bercabang Dégel terangkat sedikit. "Camus menceritakan semuanya padaku." jelasnya dengan menyebut salah satu bekas adik kelasnya yang juga mentor gadis itu.
Gadis itu terdiam, dan mengalihkan pandanganya pada salah satu sudut bukit. "Tadinya Aku sedang kerja kelompok bersama teman, Kami membuat tugas observasi. Kami melakukannya di kebun bunga di sana." ucapnya mengganti topik. "Dan setelah itu kuputuskan untuk mengunjugi Ibumu, karena banyak yang merekomendasikan agar Aku berobat padanya. Namun sayangnya... Bahkan Ibumu tidak bisa memberiku solusi."
Gadi itu memasang wajah hangat yang menunjukkan bahwa Ia baik – baik saja. "Namun... perlu Kakak ketahui, Aku tidak pernah ingin menjaui Kakak." Ucap gadis itu jujur.
Hati Dégel serasa diiris mendengarnya. "Kore..."
Satu frasa nama berhasil lolos dari mulutnya yang berfungsi sebagai filter.
Gadis itu bergumam 'Hem?' seraya menelengkan kepala, matanya bertambah bulat.
Dégel mengukir senyum pada akhirnya, merindukan respon lucu gadis di hadapannya. Betapa lucunya gadis ini saat bingung!
Kakinya melangkah lagi hingga berhadapan dengan si gadis raven, tinggi Mereka hampir sama jika bukan karena sepatu boot kakao yang dipakai si Gadis. "Awalnya Aku ingin memanggilmu Kore, tapi tidak jadi ..." tangannya tersampir di puncak kepala gadis itu. "... karena Aku takut Kore ini menjadi Persephone."
Lagi, gadis itu kini berkedip bingung. Gemas Dégel mengacak rambut pony tail itu hingga semprawut. "Kau bisa tanya Camus-senpai-mu itu." Jelasnya.
Hanya gumaman 'Oh.' Yang menyambut konfirmasi Dégel.
"Aku sudah tidak memakai sarung tangan itu, Kau senang?"
"Tidak juga." Komentarnya seraya menepis tangan Dégel dari puncak kepalanya. Wajahnya mulai cemberut karena Dégel mengacak rambutnya, mungkin Dégel harus berterima kasih pada Camus dan Milo karena berhasil mengembalikan ekspresi Gadis ini.
"Apa?"
"Waktu itu Aku mencibir karena Kau membatasi kekuatanmu, semestinya Kau belajar mengendalikannya, bukan menyembunyikannya. Dan juga, sebenarnya Aku dan Kak Seraphina tidak bermusuhan, Dia hanya cemburu." Jelasnya masih merapikan rambut acak – acakan. Ketika itu juga Dégel melihat sebuah cincin melingkari jari manis gadis tersebut, cincin berbatu delima.
"Ap-a?"
"Karena Dia kira di antara Kita ada hubungan selain adik kakak an."
"Tu-tunggu, Kau tahu-?"
"Aku tidak tahu, tapi itu hanya tebakan beruntung."
"Kapan?"
"Sejak... baru beberapa minggu yang lalu Ku rasa."
"Hah?"
Dégel mengangkat tangannya, menunjuk jarinya sendiri. "I...tu?"
Gadis tersebut tahu yang dimaksud Dégel. "Ini? Hadiah ultah, mirip sama yang hilang dulu 'kan?"
Tangan Dégel turun. "I...ya..."
Gadis itu menatapnya lagi dengan misterius dan tersenyum. "Senang bisa bicara sama Kakak."
"Kau ingin pulang?"
"Ye..."
Lantas gadis itu berbalik, ujung gaun berendanya menari seirama angin sepoi. "Selamat tinggal."
Dégel berkedip dua kali dalam selisih tiga detik. "Selamat tinggal hanya di ucapkan kepada orang yang tidak akan Kau temui lagi." balasnya.
Langkah teratur gadis itu terhenti, gadis itu menoleh hingga setengah wajahnya terlihat memamerkan senyum kecil. "Bukan Aku, namun Kau. Ini... hanyalah jaga – jaga."
Jeda sesaat, Degel mulai menerka bahwa lawan bicaranya sedang memikirkan sesuatu. "Tapi mungkin, Kita bisa ketemu lagi minggu depan." terka gadis itu, kali dengan nada ceria seperti dahulu.
Lantas gadis itu kembali melangkah menuruni jalanan curam. Dégel menatapnya hingga figur gadis itu lenyap pada turunan jalan. Matanya kembali menatap horizon langit dengan tatapan kosong dibalik kaca matanya, menimbang – nimbang kalimat 'selamat tinggal' yang terluncur dari mulut gadis itu tadi.
"Apa maksudmu, An?" gumamnya nyaris tak terdengar.
A/N:
"Salam sejahtera! Akhirnya bisa apdet lagi... sebenarnya Saya mau langsung publish sampai chapter akhir, namun sayang... hp Saya masih rusak sampai - sampai semua dokumen di Mis. Word kehapus (bahkan beberapa aplikasi dan akun – akun lain kehapus) jadi Saya harus ngulang ngetik dari chapter terakhir publish sampai akhir cerita lagi T_T . Btw OC Saya penname-nya Anarkali, dapet dari adek Saya yang kebanyakan nonton drama india -_- trus setelah tanya Mbah Google akhirnya tahu kalo arti nama Anarkali itu 'Bunga Delima yang merekah' yaudah saya masukin aja.
Mungkin Reader-san bingung kenapa Dia panggil Abang Dégel pakai panggilan 'Kak.', anggap saja itu pengganti panggilan 'Onii-san', okay? Soalnya punya gen doktrin benci Jepang itu nyusahin banget...! #abaikan . Yaudah, doain Saya bisa rampungin dengan cepat dan hp selesai di reparasi! See You All in next time..."
