Granada

.

.

.

.

.


Disclaimer : All characters belongs to Masashi Kishimoto. I own nothing except the plot.

Warning : AU. OOC. Bad Romance. Bad descriptions. Historical content and so on.


.

.

.

"Baiklah… Iya, aku dengar. Tak perlu cemas seperti itu, Tema. Kau seperti tak mengenalku saja." Ino memindahkan telepon genggamnya, kini mengapit ponsel layar sentuh model terbaru itu di antara telinga dan bahu kiri.

"Gracias." Ino mengucapkan terima kasih seraya tersenyum, saat seorang petugas bandara membantu mengambilkan tas plastiknya yang terguling ke lantai ketika dilihatnya gadis itu cukup kewalahan mengambil beberapa barang bawaan dari bagasi berjalan.

"Denada," balas si petugas dengan ramah lantas kembali menjalankan tugasnya, mengawasi terminal kedatangan internasional bandara Malaga yang dipadati oleh wisatawan lokal maupun turis mancanegara dari seluruh dunia.

Adalah sesuatu yang lumrah, jika bandara tersibuk di daerah otonom Andalusia tersebut dipadati oleh wisatawan, sebab kunjungan Ino ke Spanyol bertepatan dengan libur akhir tahun, yang kerap dijadikan agenda tahunan bagi hampir seluruh masyarakat Barat untuk merayakan Natal dan Tahun Baru di tempat-tempat tertentu.

Khususnya beberapa kota di Spanyol yang terkenal akan keindahan arsitektur bangunan bersejarah –seperti beberapa gereja yang menjadi pusat peribadatan umat Kristen dan istana-istana megah tempat berdiamnya para penguasa Spanyol pada zaman medieval –zaman transisi dari zaman kuno ke zaman modern.

Itulah yang mendaulatkan Negeri Matador sebagai destinasi favorit para turis yang ingin menjadikan momen hari raya Natal dan Tahun Baru mereka lebih berkesan dan tak terlupakan, di sebuah negara yang beriklim cukup bersahabat pada bulan Desember.

"Aku akan menghubungimu lagi setibanya di hotel. Bye!" Ino langsung memutuskan sambungan, tanpa menunggu respon teman bicaranya di telepon, memasukkan ponsel ke dalam saku mantel dan mulai menata barang-barangnya di trolley.

"Tak ada waktu mendengar wejanganmu, Tema. Aku sudah terlambat nih," gumam Ino dengan sedikit siulan. Gadis itu melirik arlojinya sekilas, lalu mendorong trolley menuju pelataran parkir di depan terminal kedatangan dengan langkah cepat.

Belasan taksi berjejer di dekat trotoar di sepanjang terminal. Para pengemudinya menunggu calon penumpang di luar, sesekali menyapa orang-orang yang melintasi pintu keluar terminal dengan keramahan khas orang-orang Hispanik, agar mereka tertarik menggunakan jasa transportasi yang ditawarkan.

Ino memilih taksi yang diliriknya pertama kali, tak ingin membuang waktu menentukan taksi mana yang akan ditumpangi, yang terpenting bisa mengantarkannya ke tempat tujuan tepat waktu.

Seorang pria berperawakan agak gemuk dengan kumis tebal yang ujungnya terpelintir ke atas, tampak gembira saat Ino menghampirinya.

Dengan sigap, pria paruh baya itu memasukkan semua barang bawaan Ino ke bagasi taksi, bahkan sempat membukakan pintu untuk gadis itu ketika Ino hendak masuk ke dalam.

"Kemana tujuan Anda, Senorita?" tanya sang pengemudi dalam bahasa Inggris namun dengan aksen Castilian yang kental, sambil membetulkan posisi kaca spion depan agar lebih leluasa memandang gadis secantik boneka Barbie yang duduk di kursi belakangnya.

"Granada." Ino menjawab cepat. "Hotel Andalusia Palace."

Si supir menyalakan mesin mobil. "Wow! Granada! Anda memilih tempat yang bagus untuk berlibur, Senorita. Tapi…" Supir itu tak melanjutkan kalimatnya.

Perhatiannya terfokus pada kaca spion samping, memastikan tidak ada kendaraan yang melaju dari arah belakang saat ia memutar setir ke kiri meninggalkan pelataran parkir terminal kedatangan internasional.

"Tapi perjalanan kita cukup jauh, Senorita," pria itu melanjutkan sambil melirik ke arah Ino melalui kaca spion di atas kemudi, dalam hati memuji paras sang penumpang yang jelita.

"Aku tahu itu," sahut Ino tanpa mengalihkan pandangannya dari cermin kecil yang menempel pada tempat bedak berbentuk bulat, membubuhkan sedikit bedak padat dengan spons lembut pada kedua pipinya serta merapikan maskaranya yang agak luntur.

Setelah selesai dengan kedua hal itu, Ino merogoh tas kecilnya, mengambil pelembab bibir warna pink berbentuk stik. "Tapi," katanya pada si supir seraya membuka tutup lipglossnya.

"Kurasa aku akan menikmati perjalanannya, bukan?!" Mengerling sekilas pada sang pengemudi sebelum memulas bibir tipisnya.

.

.

.

Lalu lintas menuju Granada terbilang ramai lancar meski beberapa spot wisata dipadati turis yang tumpah ruah hingga ke bahu jalan. Ino akhirnya tiba di tempat tujuannya setelah menempuh sembilan puluh menit perjalanan dari Malaga Airport.

Sungguh beruntung, Ino tiba di hotel sebelum malam, sehingga masih sempat menikmati panorama lembah hijau Granada yang cantik, berhiaskan langit kemerahan yang mengiringi sang surya kembali ke peraduannya di ufuk barat.

Ino menyesap wine, menyandarkan perut rampingnya pada balkon kamar yang menghadap langsung ke arah kota Albayzin, menikmati pemandangan menakjubkan sebuah kota yang dinobatkan sebagai salah satu situs bersejarah warisan kebudayaan dunia oleh sebuah organisasi pemerhati sejarah dan budaya bertaraf internasional.

"Kau mendapatkan hotel yang bagus, Karin," tersenyum mengekspresikan rasa puasnya kepada sang rekan yang berhasil mendapatkan penginapan yang bagus selama ia melakukan pekerjaannya di Granada pada musim liburan akhir tahun.

Kerlap-kerlip cahaya mulai menyeruak memenuhi kota, walau matahari belum terbenam sepenuhnya. Namun yang paling mencolok adalah istana Alhambra yang seolah-olah memancarkan sinar kemerahan, kontras dengan pemandangan di sekitarnya.

Tak berapa lama kemudian, Ino memilih kembali ke dalam kamar ketika merasakan hawa dingin mulai menembus lapisan epidermis, melompat ke atas tempat tidur sambil menyalakan televisi flat yang terpasang di dinding, lalu meraih tas kerjanya yang tergeletak di ranjang dalam keadaan terbuka.

Tangannya sibuk memilah-milah dokumen yang diambilnya dari dalam tas, tak memperhatikan teve yang menyiarkan siaran berita lokal.

Semenit kemudian ia mendongakkan kepala ke arah teve, ketika mendengar anchor woman menyebut kata diamond. Ino pun meraih remote untuk mengeraskan volume suara televisi.

"Tim arkeolog Universitas Cordoba berhasil menemukan sebuah berlian yang terkubur dalam puing-puing bekas reruntuhan kota kuno, Medina Azahara di Cordoba." Ino berhasil menangkap sepenggal berita yang dibawakan si penyiar dalam bahasa Latin.

"Seorang ahli perhiasan yang didatangkan khusus dari Inggris telah memastikan bahwa berlian yang ditemukan di Medina Azahara adalah Koh-i-Noor, salah satu jenis berlian terlangka di dunia."

Ino menatap layar televisi lekat-lekat, terperanjat akan keindahan sebuah kalung emas dengan liontin berbentuk bunga, yang terbuat dari permata emerald di bagian kelopak dan berlian Koh-i-Noor dengan gradiasi pink-white yang cantik di tengahnya.

"You're a lucky woman, Azahara." Decak kekaguman akan keindahan berlian itu tersisipi oleh intonasi suara yang mencerminkan kecemburuan pada Azahara –selir sang raja yang dianggap sebagai pemilik sah kalung berharga tersebut oleh para sejarawan.

Sosok seorang pria muda bersurai serupa dengan Ino –bahkan tatanan rambutnya pun hampir mirip, muncul di layar televisi, menggantikan tampilan kalung berlian yang disimpan dalam sebuah kotak kaca anti peluru yang kini dalam pengawasan Museum Nasional Cordoba.

Mario Jose Deidaramos. Ketua Tim Arkeolog Universitas Cordoba, begitulah yang tertera pada label yang berada di atas teks berjalan, ketika beberapa pencari berita menemui pria itu di perguruan tinggi tersebut untuk mewawancarai perihal penemuan timnya.

"Pemerintah Spanyol telah mengumumkan bahwa temuan berharga ini akan diserahkan kepada pewaris sah Abdul Rahman III, penguasa Cordoba yang membangun Medina Azahara." Deidaramos menuturkan pada awak media.

"Kami sangat senang dengan temuan ini. Saya yakin… Semua rakyat Spanyol, khususnya penduduk Cordoba, menginginkan temuan ini menjadi bagian dari sejarah negara Spanyol." Wajah Deidaramos tampak sedikit kecewa.

Ia pun kembali melanjutkan. "Namun… Tragedi masa silam yang menimpa Medina Azahara masih menyisakan duka yang mendalam bagi bangsa Moor, yang juga pernah menjadi bagian terpenting dalam sejarah Spanyol."

"Maka dari itu… Kami akan mengembalikan berlian ini kepada pemilik yang sebenarnya, keturunan terakhir dari Khalifah Abdul Rahman III, yang berhasil kami telusuri silsilah keluarganya dan telah kami buktikan keabsahannya."

Ino lantas mengecilkan kembali volume teve saat wajah Deidaramos di-cut oleh commercial breaks.

"Sayangnya tidak semua wanita bisa seberuntung dirimu, Azahara," bergumam pada dirinya sendiri, Ino lalu tersenyum kecut.

"Seperti aku contohnya… Harus membanting tulang dan mempertaruhkan nyawa demi membeli secuil berlian," pungkasnya santai seraya memainkan replika kalung berlian tersebut di tangannya.

.

.

.

Granada. Kota kecil di Semenanjung Iberia, terbentang tak jauh dari pesisir Laut Mediterania, berada di kaki pegunungan Sierra Nevada pada ketinggian tujuh ratus tiga puluh delapan meter di atas permukaan laut, menjadikan kota ini beriklim cukup bersahabat bahkan di musim panas.

Jika Perancis memiliki Paris dan Italia memiliki Venezia sebagai kota paling romantis di negara tersebut, maka Spanyol memiliki Granada, yang menyuguhkan keindahan alam nan eksotis seperti pesisir laut yang cantik dan lembah hijau yang teduh –persemayaman yang tepat untuk memadu kasih.

Tak ketinggalan, bangunan-bangunan bersejarah yang masih berdiri kokoh, pusaka sejarah dan kebudayaan Spanyol, jelmaan atas tingginya peradaban yang pernah berkuasa di Granada selama ratusan tahun di masa lampau.

"Romantis." Sai hanya memiliki satu kata untuk mencitrakan kota Granada yang menyimpan kenangan masa silam yang mengerikan dibalik keindahannya.

Bagai sebuah aliran seni yang digeluti pemuda itu, romantisisme. Selalu menggambarkan segala hal dari sudut pandang yang indah dan romantis, sekalipun temanya adalah sebuah tragedi mengenaskan yang melibatkan peperangan dan pembantaian.

Sambil menenteng kamera dan memanggul ranselnya di punggung, Sai menyusuri Calle Espaldas de San Nicholas, salah satu jalan di pemukiman Albayzin yang menuju ke dataran lebih tinggi dari sekitarnya.

Jalan itu terkesan agak kumuh jika dibandingkan Grand Via –jalan yang menghubungkan Alhambra dan Albayzin, tapi ketika memasuki jalan itu, Sai seperti tersedot ke masa lalu.

Gang sempit berbatu dan menanjak adalah ciri khas pemukiman warga di distrik tersebut, dengan arsitektur klasik khas bangsa Moor –sebutan untuk penduduk Semenanjung Iberia yang beragama Islam pada abad pertengahan, yang masih kental dan melekat kuat dibanding kawasan lain di Granada.

Siang itu cukup terik, namun Plaza Mirador de San Nicholas, pelataran luas di depan Gereja San Nicolas, tampak dipadati para wisatawan yang tak ingin melewatkan kesempatan berdoa di dalam gereja bersejarah tersebut atau ingin menikmati pemandangan istana Alhambra yang menurut penduduk setempat, akan lebih indah jika dilihat dari sana.

Sai menyempatkan diri memotret tampak depan Gereja San Nicholas yang berarsitektur historis dan Plaza Mirador yang menyuguhkan pemandangan Alhambra dan Albayzin dari ketinggian beberapa kaki di atas permukaan laut.

Beberapa turis tampak bersantai di bangku yang terbuat dari batu yang tersebar di seluruh area Plaza Mirador. Ada pula yang terlihat mengabadikan pemandangan Alhambra dan kota Albayzin dengan kamera atau berfoto di depan patung salib yang berada di tengah pelataran.

Kerutan tipis terbentuk di kening Sai ketika pandangan pemuda itu terantuk pada sebuah jalan sempit yang tampak lengang di belakang gereja. Tak terlihat wisatawan maupun penduduk lokal yang berlalu-lalang di jalanan itu.

Ada sebuah menara putih beratap genteng coklat di ujung jalan –yang menurutnya adalah menara lonceng, namun bukan lonceng yang terpasang di sana, melainkan pengeras suara.

Sai yang penasaran, akhirnya bertanya pada salah seorang penjual pernak-pernik khas Gitano, yang menjajakan barang dagangannya di salah satu sisi Plaza Mirador.

"Itu jalanan umum kok. Di ujungnya, Senor akan menemukan sebuah masjid, rumah ibadah untuk umat Islam," pedagang yang tampak seperti keturunan bangsa Moor menjawab pertanyaan Sai dengan wajah berseri-seri.

Setelah mengucapkan terima kasih, Sai bergegas menapaki jalan sempit yang agak menanjak tersebut, berpedoman pada posisi menara putih.

Tulisan kaligrafi berbahasa Arab di menara putih semakin terlihat ketika Sai hampir tiba di penghujung jalan, dan di atasnya adalah pengeras suara yang berfungsi untuk mengumandangkan adzan, begitulah yang ia dengar dari pedagang tadi.

Sepasang turis tampak sedang berbincang dalam bahasa Perancis di depan sebuah papan pengumuman bertuliskan Masjid Raya Granada dalam bahasa Spanyol dan Inggris, sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam.

Suasana teduh dan lumayan sepi menyambut Sai kala pemuda itu memasuki pekarangan masjid yang tidak terlalu besar namun ditata sedemikian rupa sehingga membuat nyaman para pengunjung yang datang.

Di tengah taman ada sebuah kolam berbentuk bunga segi delapan yang merupakan ciri khas corak Timur Tengah, dengan sebuah air mancur di pusatnya. Kolam itu tampak sangat mencolok karena dicat warna biru, sementara bangunan di sekitarnya didominasi oleh warna putih.

Struktur bangunan masjid sangat kental bernuansa Medieval Muslim seperti bangunan lain di kota Albayzin, dinding-dinding bata dicat warna putih hingga terkesan terang. Pintu dan jendelanya dihiasi pattern mozaik seperti bentuk kolam air.

Seorang penduduk lokal tampak berjaga di depan pintu masuk ruang peribadatan yang hanya dibuka jika memasuki waktu sembahyang atau bila ada turis yang ingin menunaikan shalat.

Wisatawan yang berkunjung ke Mezquita Mayor de Granada –nama resmi Masjid Raya Granada, jauh lebih sedikit daripada kerumunan turis yang melimpah ruah di Plaza Mirador atau berkunjung ke Gereja San Nicholas.

Taman yang kecil itu memang tak bisa menampung banyak orang. Adanya peringatan untuk menjaga ketenangan, sopan santun dan etika berpakaian, agaknya berdampak cukup signifikan pada minat wisatawan untuk berkunjung.

Namun Sai tak memusingkan soal itu. Toh, dia mengenakan pakaian yang cukup pantas. Celana jeans panjang dan t-shirt hitam berkerah V, pakaian andalannya saat melancong ke negeri orang, sehingga dia pun dapat berlama-lama bersantai mengagumi lukisan alam Granada sambil duduk di bawah sebuah pohon rindang di sudut taman.

"Demi Tuhan!" seru Sai saat lensa kameranya yang ia arahkan ke kolam, tanpa sengaja menangkap persona sesosok mahluk menakjubkan yang sedang berdiri menghadap air mancur.

"Demi Tuhan!" Sekali lagi Sai menyeru takjub. Walaupun hatinya sedikit tak yakin, Tuhan mana atau Tuhan siapa yang ia maksud.

Namun satu hal yang diyakini pemuda itu… Mahluk jelita yang berdiri setengah membungkuk, memainkan air yang memancar dari pancuran kolam dengan gerakan jemarinya yang lentik, pastilah mahluk ciptaan Tuhan.

Tidak mungkin gadis secantik itu bikinan setan. "Tapi… Bisa saja kan, setan tengah menyamar sebagai gadis cantik untuk memperdaya diriku?!" Sai merasa galau seketika.

Setelah puas bermain air, gadis itu menegakkan tubuhnya kembali, mengibas-ngibaskan kedua tangannya yang basah seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling, hingga pandangannya beradu dengan Sai yang tak menyadari bahwa ia menatap gadis itu hingga menyelingar.

Sai makin terkesima ketika gadis berambut blonde itu tersenyum padanya sambil mengangguk pelan.

Tak ingin merasa terlalu percaya diri, namun entah kenapa Sai menyangka kalau gadis itu seolah berpamitan kepadanya dan hendak meninggalkan pekarangan Masjid Raya Granada.

Ternyata perkiraannya tidak salah. Tak lama kemudian gadis itu menyeberangi taman dengan langkah-langkah anggun, mengambil jalur yang berlawanan arah dari tempat Sai berada.

Begitu terpesona akan kecantikannya, Sai baru menyadari kalau gadis itu telah menghilang dari pandangannya.

Pemuda itu pun langsung bangkit, lalu meninggalkan pekarangan masjid dengan setengah berlari, menuruni jalanan yang ia lewati sebelumnya, namun Sai tak menemukan sosok sang gadis.

"Kemana perginya gadis itu? Harusnya dia berada di sekitar sini."

.

.

.

Sore hari adalah waktu yang tepat untuk mengunjungi Alhambra, benteng sekaligus istana yang dibangun pada masa kekuasaan pemerintah Muslim di Andalusia berabad-abad silam.

Disebut Alhambra, karena istana ini akan terlihat kemerah-merahan ketika menjelang malam, sesuai dengan namanya yang berarti the red one dalam bahasa Arab.

Ada juga yang mengatakan bahwa nama Alhambra diambil dari nama sang pencetus, Muhammad bin Al-Ahmar, penguasa Granada saat itu.

Menyusuri ruang demi ruang di Alhambra, Ino merasa seperti berada di dunia lain. Aura klasik bercampur mistik menyelimuti setiap sudut temaram –yang hanya akan diterangi cahaya matahari– menyusup masuk melalui sekat-sekat kecil corak arabesque yang menghiasi hampir seluruh jendela di Alhambra.

Binar kegembiraan terpancar jelas dari tatapan Ino, kala gadis mengamati keindahan interior Alhambra dari dekat.

"Cantik sekali," tanpa sadar Ino memuji kepiawaian para seniman masa lalu yang mampu menciptakan karya monumental yang sulit dicari tandingannya di masa sekarang.

Ino lantas tersenyum, kedua pipinya bersemu merah muda dan raut keharuan berpijar di bola matanya yang seterang langit pagi yang cerah.

"Akhirnya sang putri tiba di istananya, Ayah," kilasan masa kecil bersama almarhum sang ayah terbersit kembali dalam ingatannya.

Setiap anak perempuan tentunya pernah berkhayal menjadi seorang putri raja dan tinggal di istana yang megah, tak terkecuali Ino Yamanaka. Sejak kecil, Ino selalu berangan-angan menjadi seorang putri yang tinggal di istana.

Suatu hari ayahnya memberikan potret istana Alhambra yang didapatnya dari seorang kawan lama. Sejak saat itulah, Ino terkagum-kagum dengan arsitektur istana Alhambra yang sangat klasik namun terkesan homey, dengan taman-taman yang didesain berundak-undak, sangat asri dan nyaman.

Ino pun menerima tawaran pekerjaan ke Granada tanpa pikir panjang –yang lantas memicu kekhawatiran Temari sebagai rekannya– apalagi saat ia mengetahui kalau misinya kali ini akan dilaksanakan di Alhambra, istana yang telah didambakannya sejak dulu.

Terlangah mengagumi keindahan Hall of Two Sisters, salah satu ruangan di Alhambra yang terkenal dengan kubah besarnya yang berhiaskan ornamen berbentuk stalaktit, atau kerap disebut mocarabes, yang diukir menyerupai bunga.

"Laa ghaliba illa Allah…" Sebuah suara merdu menghenyakkan Ino dari keterkagumannya mengamati keindahan arsitektur sarat nuansa Timur Tengah yang mencirikan peradaban Islam di masa lalu.

Nyes. Karang-karang es yang bermuara di dalam hati gadis itu, lumer seketika saat melihat seulas senyum terukir menawan di wajah seorang pemuda nan rupawan yang entah sejak kapan telah berdiri di sampingnya.

"Artinya kemenangan hanya milik Allah."

Ino terkesiap, tak mampu melontarkan sepatah kata pun, entah karena terlalu kaget atau terperangah oleh ketampanan pemuda berkulit pucat itu.

"Tuhan!" Pemuda itu kemudian berseru.

Ino tampak kebingungan. "Eh?"

"Maksudku… Kemenangan hanya milik Tuhan, itu artinya," menunjuk ke arah kaligrafi tulisan Arab yang terukir di atas pintu yang mengarah ke kamar para raja.

"Allah adalah Tuhan bagi bangsa Moor," dia menjelaskan.

"Ohh, begitu." Kekehan pelan meluncur dari bibir lembut Ino.

"Kukira kau menganggapku sebagai Tuhan," tambahnya dengan nada bergurau. Pemuda itu memberi isyarat dengan tangannya bahwa bukan itu yang ia maksud. Keduanya pun tertawa.

Diam-diam, Ino melayangkan pandangan menyelidik ke arah pemuda itu melalui pelupuk matanya, yang ia yakin takkan disadari oleh siapa pun, sebab itu merupakan salah satu kemampuan khusus yang dimilikinya –hasil latihan selama bertahun-tahun dalam menekuni profesinya.

Biasanya gadis itu tak pernah luluh pada pesona seorang pria secepat ini. Walaupun ekspresi pemuda itu agak aneh, namun hati kecil Ino tak memungkiri kalau pemuda misterius yang memotret dirinya ketika berada di halaman Masjid Raya Granada itu, telah berhasil mendapatkan perhatiannya.

Tak butuh waktu lama bagi Ino untuk mengingat wajah pemuda itu ketika mereka tak sengaja beradu pandang di sana. Pakaiannya juga tidak berubah, dan Ino sangat yakin kalau pemuda ini memang sengaja mengikutinya hingga ke istana Alhambra.

"Let me see… What do you want from me," pikirnya.

"Kau ingat aku? Tadi siang kita bertemu di Masjid Raya Granada. Aku tak sengaja memotretmu," kata pemuda itu pada Ino.

Pemuda itu lantas mengeluarkan kamera dan menunjukkan foto yang diambilnya beberapa waktu lalu. Satu potret Ino terabadikan di sana, saat gadis itu sedang membungkuk sambil bermain air. Wajahnya memang tak terlalu kelihatan, namun orang-orang terdekat Ino pasti akan langsung mengenalinya jika melihat foto itu.

"Aku sengaja mengikutimu untuk meminta izinmu…" Pemuda itu menggaruk kepala belakangnya.

"Jika kau keberatan seseorang memotretmu, maka aku akan menghapusnya," ujarnya terus terang, sambil menatap lurus ke arah Ino.

"Orang ini blak-blakan sekali." Ino agak terkesan dengan kejujuran sang pemuda.

Biasanya, para lelaki akan mengumbar seribu alasan dan kebohongan tak masuk akal ketika mendekatinya.

Tapi pemuda ini malah terang-terangan mengatakan bahwa dia memang sengaja membuntutinya, bahkan cukup sopan hingga merasa bertanggung jawab karena memotret dirinya tanpa izin.

"Jika aku tak keberatan…" Tanpa melonggarkan kewaspadaannya, Ino beringsut sedikit menghadap pemuda itu. "Mau kau apakan foto itu?" Lalu menatap pemuda itu dengan raut serius.

.

.

.

"Jika aku tak keberatan…" Gadis pirang itu beringsut sedikit menghadap Sai, masih bersikap waspada. "Mau kau apakan foto itu?" Lalu menatap Sai dengan wajah serius.

Sai merasa lidahnya kelu beberapa detik saat gadis itu bertanya perihal potret dirinya, melipat kedua lengannya di dada, memandang Sai dengan tatapan penuh kecurigaan.

"A-aku akan… Aku akan…" Setengah terbata, berusaha mencari jawaban yang masuk akal.

Meskipun kenyataannya sangat sulit, karena saat ini jantungnya berdegup kencang lantaran seorang gadis cantik berdiri terlalu dekat dengannya, hingga dirinya dapat mencium aroma wewangian lily dan rose yang lembut nan eksotis, menguar dari tubuh gadis itu.

Rambut pirang yang tampak sehalus sutera ditata apik dengan gaya high ponytail, berhiaskan head chain keemasan dengan batu kecil berwarna ruby –menjuntai di dahi yang mulus, serta anting-anting bulat berwarna senada yang menggantung cantik di kedua telinganya, selaras dengan dress panjang warna delima berbentuk A-line dengan motif tribal di pinggirannya yang menyempit di bagian pinggang.

Aksen kerutan menghiasi bagian lengan dress yang menggembung sebatas siku, serta bagian kerah –agak melorot hampir menyentuh pundak, memamerkan leher jenjang nan indah sang gadis sepenuhnya.

Rona laksana mawar merah muda memulas bibir tipis yang melengkung ke bawah namun tetap terlihat menggemaskan, Sai sudah setengah membayangkan mulutnya menisiki leher itu dan memagut bibirnya yang menggairahkan hingga membengkak kemerahan.

"Demi Tuhan yang telah menciptakan mahluk seindah ini!" Seruan hati pemuda itu menggema dalam sanubari tatkala ia mengamati seorang gadis cantik di hadapannya, tampak anggun dengan pakaian khas wanita Gypsy yang melekat di tubuh idealnya.

"Tu-tunggu dulu!" Sai merasa ada yang berbeda pada gadis itu. "Dia tak seseksi ini waktu di masjid!" Mata hitamnya kembali memperhatikan mahluk cantik yang kini berdiri dengan tangan kiri memegang pinggang.

"Ah! Di situ ternyata!" Lalu berseru dalam hati ketika berhasil menemukan benda yang dicarinya melingkar cantik di pinggang gadis itu –syal satin tebal yang tadi dikenakan gadis itu untuk menutupi pundaknya saat berada di rumah ibadah tersebut.

Gadis yang mengenakan sepatu boots coklat dan berdiri anggun sambil menjinjing dompet persegi panjang warna serupa yang terbuat dari bahan rajutan dengan aksen rumbai –terlihat bagaikan seorang putri raja dalam pandangan Sai.

Apalagi saat gadis itu berdiri di depan jendela besar yang bentuknya menyerupai tapal kuda berhiaskan ukiran garis-garis berbentuk ombak.

Tiba-tiba gadis itu tergelak, cukup nyaring hingga menarik atensi turis lain yang berada di sekitar mereka.

"Ah! Sorry," mengucap maaf pada mereka seraya beberapa kali membungkukkan tubuhnya sedikit –ciri khas adat kesopanan Asia Timur, lalu mengalihkan pandangannya pada pemuda yang masih menganga terkesima di depannya.

"Ekspresimu itu…Hahahmmpph," gadis itu menutup mulutnya, menahan tawa. "Lucu sekali!"

Melihat Sai yang tampak tersinggung dengan sikapnya, raut wajah gadis itu pun berubah, merasa telah melakukan kesalahan yang cukup fatal.

"Maaf… Sungguh aku tak bermaksud mengejekmu," ujaran bernada penyesalan meluncur dari mulut sang gadis.

Tersentuh dengan kesungguhan yang diperlihatkan gadis itu, Sai pun tersenyum layaknya boneka. "Never mind," katanya seraya mengulurkan tangan.

"Namaku Sai."

Gadis itu tampak ragu beberapa saat sebelum akhirnya menyambut uluran tangan Sai dengan suka cita.

"Namaku Ino… Ino Yamanaka."

Mereka berjabat tangan cukup lama, saling menatap dalam diam. Baik Ino maupun Sai, terhipnotis oleh pesona keindahan fisik dan aura berdaya magis yang memancar dari raga masing-masing, menggetarkan relung-relung hasrat di kedalaman batin.

"Mungkinkah aku telah jatuh cinta?"

Keduanya tak mampu menemukan pendeskripsian yang tepat atas perasaan asing yang telah meluluhlantakan keegoisan dan apatisme dalam jiwa, laksana deburan ombak yang memecah bebatuan.

Ino tak pernah percaya keeksistensian cinta pada pandangan pertama. Namun entah kenapa, setelah bertemu Sai, dia merasa pemuda itu telah melengkapi kepingan puzzle yang telah lama menghilang dari hatinya.

Serpihan angan yang selalu didamba, penggalan asa yang kerap dirindukan. Dalam waktu yang sedemikian singkat, Sai mampu menghadirkan kembali rekahan demi rekahan tersebut, mengisi ruang-ruang kosong dalam hatinya, melengkapi separuh jiwanya.

Tapi… Ino tak memiliki cukup keberanian untuk mencintai seorang laki-laki, tak ingin mengecap kekecewaan lagi untuk kesekian kalinya.

"Cinta –semoga Tuhan memuliakanmu," tak merujuk pada Tuhan manapun, Ino mendengungkan rintihannya dalam keheningan sukma, "adalah penyakit yang berbahaya, yang pengobatannya harus disesuaikan dengan penyakit yang diderita."

"Namun cinta adalah penyakit yang nikmat, yang kedatangannya justru didambakan. Mereka yang tak terkena penyakit cinta berharap merasakannya, sedangkan yang terserang penyakit ini malah enggan disembuhkan." Ino teringat penggalan syair seorang pujangga Andalusia zaman medieval.

Keheningan masih menyelimuti mereka. Ino dan Sai seakan berada dalam dimensi lain, masih saling menatap, tak menghiraukan para pengunjung yang melintas di dekat mereka, yang saling berbisik melontarkan gunjingan terhadap sepasang muda-mudi yang tampak sedang berakting romantis dalam sebuah telenovela.

"Sejak pertama kali kau bertemu dengan jodohmu, maka kau akan langsung bisa merasakan kalau dia adalah belahan jiwamu." Meski terdengar sedikit tak masuk akal, tapi kata-kata terakhir ayahnya tetap membekas dalam benak pemuda itu.

Tak pernah dilupakannya, namun tak juga sungguh-sungguh dipikirkannya, sebab Sai selalu beranggapan bahwa manusia diciptakan berpasang-pasangan.

Untuk sebuah alasan yang romantis, pemuda itu meyakini akan ada seorang wanita di luar sana, yang diciptakan hanya untuknya.

Mungkinkah saat ini, wanita itu telah ada di hadapannya? Wanita cantik yang mampu merepresentasikan keindahan kota Granada yang eksotis dalam balutan gaun merah delima, dengan head chain keemasan yang memahkotai rambut indahnya, serta kejernihan mata birunya yang berpendar cerah bagai langit Granada di musim panas.

"Entahlah. " Sai mengangkat bahu, tak ingin terlalu cepat menyimpulkan, masih terlalu dini untuk membuka pintu hatinya pada seorang wanita yang baru dikenalnya.

Kendati Ino Yamanaka telah mengetuk pintu itu dengan sesuatu dalam dirinya yang tak mampu dilukiskan dengan aksara, namun menyusup hingga ke dalam hati.

"Hanya dia yang berasal dari tulang rusukku lah yang nantinya bisa membuka dan merawat hati ini, sebab hanya dia yang pernah bersemayam dekat dengan detaknya."

.

.

.

TBC


Untuk Ino-centric dan InoSai-shippers :)

Terinspirasi dari buku "Surga di Andalusia : Ketika Muslim, Yahudi dan Nasrani Hidup Dalam Harmoni" karya Maria Rosa Menocal, sebuah karya tulis yang mengedepankan tenggang rasa dan kerukunan antar umat beragama yang bertahan selama ratusan tahun.

Terima kasih untuk Suki 'Suu' Foxie-senpai atas penggambaran detail busana Ino di ficnya yang super kece "Angan-Angin", yang menginspirasi busana Ino dalam fic ini. Terima kasih juga telah mendedikasikan fic itu untuk Gaara dan saya :') *big hug*

Saya belum pernah ke Granada, maaf kalau banyak yang gak sesuai atau kurang dipahami. Penyebutan hal-hal religius hanya untuk kepentingan cerita dan memang berhubungan dengan sejarah setempat. Tidak menjurus pada agama manapun.

Feel free to critic and review. Thanks anyway :)