Our New Life : Dark Blood New Generation

.

(Hunter X New Generation)

.

Story by : Mercyblue

.

--

Genre : Family/Romance

Rated : T

Character : Kurapika Kuruta, Luna Kuruta (OC), Their Fams

Disclaimer : Yoshihiro Togashi

--

.

Chapter I : The Begining

.

--

.

"Ibu, terima kasih sudah meluangkan waktu kemari. Maaf aku tidak menyambut kalian dengan baik," ucap seorang wanita dengan sopan. Ia membungkukkan badannya kepada kedua mertuanya yang berada di hadapannya. Beberapa saat kemudian, wanita itu kembali menegakkan tubuhnya dan menatap kedua mertuanya.

.

"Tidak perlu sungkan, Luna. Kami juga orangtuamu, jadi wajar saja jika kami mengkhawatirkan kondisimu." Sanae memandang menantunya dengan tatapan sayang. Tangan lembut wanita paruh baya itu membelai pipi Luna yang menatapnya sambil tersenyum. Luna menyentuh tangan ibu mertuanya penuh haru.

.

"Kami akan mempersiapkan kamar untuk kalian berdua. Segeralah bersiap-siap, kami menunggu kepulangan kalian." Yutaka, ayah mertua Luna menegaskan kesimpulan dari pembicaraan yang baru mereka lakukan beberapa saat lalu.

.

"Tentu, Ayah. Kami akan segera bersiap. Besok pagi kami pasti sudah tiba di rumah," ucap Kurapika sambil membungkukkan tubuhnya untuk mengantar kepergian ayah dan ibunya.

.

Kedua orangtua Kurapika, Sanae dan Yutaka berbalik lalu berjalan menuju mobil mereka. Setelah sopir membukakan pintu bagi mereka, mereka pun masuk dan duduk di dalam mobil. Beberapa saat sebelum mobil melaju, kaca jendela mobil terbuka perlahan. Tampak Sanae melambaikan tangannya, seolah mengucap selamat tinggal pada Kurapika dan Luna. Luna dan Kurapika tersenyum melepas kepergian kedua orangtuanya.

.

"Sayang, kenapa tiba-tiba sekali kau memutuskan untuk menginap di rumah Ayah dan Ibu?" tanya Luna sambil berjalan memasuki rumah.

.

"Kupikir ucapan mereka benar, kau tak mungkin tinggal sendirian di sini dengan kondisi seperti ini." Kurapika berucap sambil berjalan pelan.

.

"Kau berkata seolah-olah aku sedang sakit parah, Sayang." Luna tertawa kecil, menganggapi perkataan suaminya.

.

Kurapika menghentikan langkahnya lalu memposisikan dirinya di hadapan Luna. Ia memegang tengkuk Luna dengan kedua tangannya dan mendekatkan wajahnya ke wajah istrinya itu. Wajah keduanya memerah.

.

"Memang tidak, tapi kondisimu saat ini..." ucapan Kurapika terputus. Ia melepaskan pegangan tangannya dan pandangannya dari wajah Luna lalu membelai perut istrinya yang sudah membesar. Kurapika membungkuk dan mencium perut istrinya.

.

"... aku khawatir pada kondisimu dan calon anak kita. Untuk saat ini, memang pilihan terbaik adalah tinggal dengan Ayah dan Ibu. Semakin banyak orang di sisi kalian, maka keamanan kalian akan semakin terjamin. Bukankah itu adalah hal yang baik?" Kurapika mencium kening istrinya.

.

"Aku baik-baik saja, Sayang. Seandainya kita tidak menginap di rumah Ayah dan Ibu pun, asalkan ada kau yang menjagaku, itu sudah membuat diriku merasa aman," jawab Luna berusaha menepis kecemasan suaminya. Ia mengusap kepala suaminya dengan lembut. Sesaat kemudian, Kurapika kembali menegakkan tubuhnya dan menggenggam tangan istrinya.

.

"Jadi itu alasannya kau tetap memaksa untuk ikut denganku, meski aku sudah bilang bahwa ini terlalu berbahaya?" Suami Luna itupun menghela nafas. Luna mengangguk, pipinya merona.

.

"Aku ingin selalu bersamamu, dalam susah maupun senang. Aku sangat menyayangimu, itu membuatku ketakutan akan kehilanganmu saat aku berada jauh darimu." Luna menengadahkan kepalanya menatap mata suaminya.

.

"Dasar, tidak pernah berubah," jawab Kurapika.

Mereka terus berjalan ke ruang keluarga. Di sebuah sofa besar, Kurapika mendudukkan istrinya yang sedang mengandung lalu duduk disampingnya. Mereka terdiam beberapa saat.

.

-Flashback : Dapur rumah Kurapika Luna-

.

"Ayah tahu, kau sengaja pindah kemari karena mencemaskan kami berdua, bukan?" Kurapika tampak tak terkejut, mendengar pengakuan ayahnya. Ia pun mengangguk, mengiyakan pernyataan ayahnya itu.

.

"Ayah, maafkan aku. Seharusnya aku bisa memperhitungkan hal ini. Aku sama sekali tak memperhitungkan bahwa mereka akan mengejarku hingga kemari," ucap Kurapika pelan, sambil memberikan segelas teh mint hangat pada ayahnya. "Aku juga tidak mau membahayakan Ayah, Ibu dan teman-temanku, Suku Kuruta," tambahnya.

.

"Ayah mengerti. Karena hal itulah, sejak kalian pergi dari Kuruta, kami berusaha memperketat pengamanan di sana." Yutaka menyeruput tehnya. Lalu kembali mengalihkan pandangannya pada Kurapika. Kurapika tertegun.

.

"Pulanglah, Putraku. Akan lebih aman bagi kalian tinggal di Suku Kuruta daripada hidup menyendiri di sini." Yutaka memegang pundak anaknya, berusaha meyakinkannya untuk kembali ke Suku Kuruta.

.

"Pikirkanlah istrimu dan calon anak kalian. Saat ini, mereka pasti merencanakan untuk melenyapkan kalian. Mungkin mudah bagimu untuk menghadapi orang-orang itu, tapi bagaimana jika mereka menyerang Luna yang saat ini sedang mengandung? Sejak istrimu tidak bisa menggunakan Nen-nya, ia tak bisa melindungi dirinya sendiri," lanjut Yutaka. Ia memandang Luna yang sedang berbincang dengan Sanae di ruang keluarga.

.

"Di Suku Kuruta, bukan hanya aku dan ibumu yang akan melindungi kalian, tapi seluruh anggota Suku Kuruta takkan membiarkan orang-orang itu menyakiti kalian. Di samping itu, mereka pasti akan berpikir ulang untuk menyerang Suku Kuruta yang saat ini berada di bawah perlindungan Asosiasi Hunter. Jadi apalagi yang kau pikirkan, Nak?" Yutaka kembali meyakinkan putranya. "Sudah waktunya bagi kalian untuk kembali." tutup Yutaka sebelum ia berjalan menghampiri Sanae dan Luna di ruang keluarga.

.

-Flashback End-

.

"Setelah kupikir-pikir, aku memang melakukan kesalahan," ucap Kurapika sambil tertawa kecil.

.

"Sayang, apa yang kau katakan barusan?" tanya Luna sambil memandangi suaminya.

.

"Tadinya aku bermaksud pergi dari Kuruta, agar mereka yang ada di sana tak terlibat dengan masalah yang aku timbulkan saat aku menempuh ujian hunter tingkat 3 beberapa bulan lalu. Sejujurnya aku takut, orang-orang dari Dark Father akan melampiaskan kekesalan mereka pada anggota Suku Kuruta. Tapi ternyata aku salah." Kurapika memandang istrinya, sedangkan istrinya hanya tersenyum menanggapi pernyataan yang keluar dari mulut suaminya.

.

"Baiklah, kalau begitu aku akan menyiapkan segala sesuatunya." Luna beranjak dari tempat duduknya lalu mengusap kepala suaminya , setelah itu, ia berjalan pelan ke kamarnya.

.

-Keesokan paginya di kediaman Suku Kuruta-

.

"Selamat pagi, Ayah, Ibu. Kami pulang," Kurapika membungkukkan badannya sambil mengucap salam pada kedua orangtuanya. Istrinya tampak mengucap salam yang sama lalu membungkukkan badannya bersama dengan suaminya.

.

"Selamat datang, Sayang. Ibu, sangat senang kalian kembali kemari." Sanae menyambut putra dan menantunya dengan pelukan hangat. Yutaka mengangguk lalu tersenyum senang.

.

"Ayah, Ibu, maaf sudah membuat kalian cemas. Sesungguhnya kami tak bermaksud seperti itu, kami cuma..." Permohonan maaf Luna terputus.

.

"Sudahlah, Sayang. Tak perlu minta maaf. Ayo masuk, kita makan siang di dalam sambil mengobrol," ajak Sanae sambil memimpin jalan ke ruang makan. Kurapika dan Luna saling memandang lalu tersenyum bahagia. Mereka berempat berjalan bersama ke ruang makan sambil sesekali bercanda dan tertawa.

.

- Ruang Makan Kediaman Kuruta -

.

"Begitulah, Sayang. Sejak kalian berdua memutuskan untuk pindah, Ayah kalian selalu merengek pada Ibu agar membujuk kalian untuk kembali kemari." Sanae bercerita sambil mengambilkan sayuran tumis untuk menantunya. Sesekali ia menoleh pada suaminya yang tampak kesal. Luna dan Kurapika hanya tersenyum geli.

.

"Ayahmu itu terus minta dibuatkan teh mint dan kue bolu kukus krim keju setiap sore." Sanae melanjutkan. "Tapi pada akhirnya, ayahmu pasti mengeluh karena teh dan kue buatan Ibu rasanya tidak seenak buatan Luna." Mereka bertiga tertawa, terkecuali Yutaka yang terdiam berusaha menyembunyikan rasa jengkelnya.

.

"Ibu dan Ayah, kalian terlalu memuji. Teh dan kue buatanku kan tidak seenak itu," Luna tersipu, pipinya memerah.

.

"Hentikan Sanae, bukankah kau yang setiap saat mengeluh, seandainya Luna di sini pasti ada yang menemanimu mengobrol, memasak, bermain musik, dan yang lainnya?" ucapan tajam bernada datar keluar dari mulut Yutaka yang sedang kesal. Ia membalas perkataan Sanae sambil mengiris daging steak yang ada di piringnya.

.

"Kalau bukan Luna yang menemaniku, lalu siapa lagi yang mau menemani dan meladeni wanita tua sepertiku. Kau sendiri juga selalu sibuk dengan urusanmu. Aku sangat kesepian di sini. Karena itu aku senang sekali saat mereka kembali kesini." jawab Sanae tegas. "Ditambah lagi, sebentar lagi aku akan punya cucu yang lucu." Sanae tampak bahagia.

.

"Jadi semua hanya berharap Luna pulang? Lalu bagaimana denganku?" canda Kurapika sambil tertawa.

.

"Tentu saja kami juga sangat berharap kau pulang, Putraku. Urusan Suku Kuruta di sini benar-benar menyita tenaga dan pikiranku. Dasar anak tak bertanggung jawab, memberikan beban sebesar ini pada orang yang sudah tua seperti kami." Yutaka mengeluh menanggapi candaan putranya. Luna tertawa kecil.

.

"Benar, harusnya kami sudah pensiun dan tinggal menikmati masa tua dengan tenang. Bukannya mengurusi hal seperti ini. Kau benar-benar anak yang tidak berbakti." Sanae ikut menggoda Kurapika.

.

"Maafkan aku, Ayah, Ibu. Karena aku sudah disini, serahkan semua padaku, aku akan mengurus semuanya dengan baik," jawab Kurapika. "Kalian pasti lelah. Jadi kalian harus mulai beristirahat dan menikmati masa tua dengan tenang." Kurapika melanjutkan. Ia tersenyum.

.

Acara santap siang itu, berlangsung dengan hangat. Mereka berbincang dan bercanda sambil menikmati makan siang bersama.

.

-Chapter I End-