Aku mengintip keluar sedikit dari balik kaca jendela flatku. Hmm. Salju di luar sudah mulai turun.

Sekarang tanggal 21 Desember. Empat hari lagi Natal.

Kulirik kotak berlapis kertas hias berwarna merah, dengan pita keemasan yang mengikatnya. Paket itu tiba tadi siang. Ketika aku membukanya, iris jeruk nipisku melebar ketika mengetahui benda apa yang ada di dalamnya.

Sebuah revolver.

Aku mengangkat senjata itu, dan menemukan sebuah manual book di dasar kotaknya. Ternyata, revolver ini sudah diisi. Kira-kira ada delapan butir peluru di dalamnya.

Ada sepucuk surat dibawah manual book itu. Ternyata dari orang itu. Ia memberiku misi untuk melenyapkan anak laki-laki penghuni kamar delapan belas.

Satu tingkat di bawah kamar flatku.

Batas waktunya adalah sampai Natal ini. Dan orang itu bilang—aku tidak boleh gagal.


Revolver Terakhir

Genre: Crime/Romance

Rate: T

.

Vocaloid © Yamaha Corp.& Crypton Future Media

Warning: Crime theme. Kutipan lirik diambil dari lagu Gumi – Saigo no Revolver, © mothy.


.

Aku mengenalnya. Pemuda itu adalah teman SMP-ku dulu, namanya Jun Akinishi. Ia termasuk siswa yang pintar. Aku pernah sekelas dengannya sewaktu SMP. Ayahnya adalah seorang detektif yang bekerja di kepolisian, sementara ibunya pemilik toko bunga di lantai dasar flat ini.

Saat ini aku baru saja menghabiskan sarapanku, sushi beku yang dihangatkan. Setelah meminum ocha-ku hingga habis, aku bergegas ke ruang depan, mengira-ngira strategi apa yang kira-kira bisa kugunakan untuk menjebaknya.

Sebenarnya, ini adalah misi pembunuhan pertamaku. Aku direkrut ke dalam sebuah kartel narkoba, dengan imbalan dapat suplai morfin gratis. Aku mulai akrab dengan penggunaan obat penenang semenjak aku kabur dari rumah, dua tahun yang lalu. Saat itu, ayahku mengancam akan menaruhku di rumah bibiku jika aku menolak untuk menerima pernikahan barunya. Ibuku meninggal ketika aku masih kecil, sehingga aku hanya tinggal berdua dengan ayahku.

Semenjak tiga tahun belakangan ini, ayahmu mulai mabuk-mabukan. Aku lebih sering menyendiri di kamar, mendengarkan musik atau membaca majalah-majalah yang kubeli.

Ketika aku lulus SMP, aku mulai mengenal cara berdandan yang bagus dan berpakaian secara modis. Aku bisa mengenakan make-up yang membuatku tampak seperti gadis berusia dua puluh tahun. Wajahku yang lumayan manis, serta suaraku yang berkarakter membuatku langsung diterima ketika aku melamar pekerjaan sebagai penyanyi kafe. Pemilik kafe itu menyetujuinya, dan aku menggunakan gaji pertamaku untuk membayar uang sewa flat serta beberapa keperluan untukku yang tinggal sendirian.

Karena suatu hal—aku memutuskan untuk menunda sekolahku. Mungkin, aku akan melanjutkan SMA sekitar setahun lagi dari sekarang ini. Aku bekerja dengan giat, menabung uang hasil pengeluaranku dari menyanyi di kafe, dan membeli beberapa buku serta majalah yang kuinginkan.

Sampai saat itulah aku mulai berkenalan dengan obat penenang.

Pada mulanya, pemain gitar di kafe tempatku bekerja menawariku satu tablet. Karena kukira tidak apa-apa, aku mencoba sedikit. Begitu terus, hingga seminggu pun telah lewat. Ketika kusadari, ternyata aku telah kecanduan. Karena merasa sudah terlanjur—aku pun tetap meneruskan konsumsi obat terlarang itu. Tinggal sendirian tanpa pengawasan membuatku tumbuh jadi anak yang urakan.

Dan sekarang disinilah aku—sedang menyusun rencana untuk menjebak pemuda dari kamar delapan belas itu.

Jun Akanishi.


.

Santa Clause sent me a revolver with real bullets in it..
I aimed it at you


.

Aku mengambil notebook dari sakuku, dan mulai mencatat hasil pengamatanku sore ini. ia berangkat sekolah jam tujuh, pulang jam dua siang, dan berangkat lagi ke sekolah untuk mengikuti perkumpulan klub astronomi, atau mengerjakan tugas kelompok—dan baru kembali sekitar jam empat sore. Selebihnya, ia beristirahat di rumah dan tidak keluar lagi.

Hmm, sepertinya ini adalah jadwal rutin.

Aku menaruh kembali notebook kecil itu ke dalam saku jaketku, dan mengayuh sepedaku di sisi jalan. Tujuanku adalah—toko buku di samping taman kota. Ada komik serial edisi terbaru yang ingin kubeli disana.

Kuparkir sepedaku didepan toko—dan segera memasuki toko buku itu. Aku segera menuju bagian tempat rak komik.

Itu dia! Komik yang kuinginkan ada di rak teratas. Tinggal satu pula. Aku segera berjinjit untuk meraihnya.

SEET.

—Ketika sebuah tangan lain ternyata juga memegang komik itu.

"Eh?" Aku menoleh, dan mendapati seorang anak laki-laki berambut hitam jabrik yang juga sedang melihat ke arahku. Kami berdua saling berpandangan sesaat., dan iris jeruk nipisku pun bertatapan dengan iris sehitam arangnya.

"J-jun Akanishi?" gumamku tanpa sadar. Ia kelihatan bingung.

"Iya, omong-omong..apa aku mengenalmu, Nona?" tanyanya. Aku segera tersadar dari keterkejutanku.

"Oh, aku Gumi, yang tinggal di lantai tiga, di atas kamar flatmu," kataku sembari tersenyum. Aku menarik buku komik itu, dan menyerahkannya padanya.

"Ini. Kau saja yang ambil. Mungkin aku akan mencarinya di tempat lain," kataku. Ia kelihatan terkejut.

"Eh? Kau kan yang mengambilnya duluan..untuk kau saja," tolaknya dengan halus. Namun aku berkeras.

"Hmm, baiklah kalau begitu.." ia akhirny mengambil komik itu, dan bergegas ke kasir untuk membayar. Aku melangkah duluan ke pintu keluar.

Sejurus kemudian, aku merasa ada suara langkah kaki yang cepat di belakangku.

"Gumi-san, tunggu!" panggilnya dari belakang. Aku menoleh. Ternyata anak laki-laki yang tadi.

"Kita bareng saja sampai ke flat. Lagipula, kita searah kan," tawarnya sambil tersenyum tipis. Aku tak menolak.

Semenit kemudian, kami pun telah tenggelam pada obrolan seru tentang musik. Rupanya, ia juga penggemar musik pop-rock. Ia menyukai beberapa band serta penyanyi yang sama denganku.

Aku menanggapi obrolannya dengan antusias. Iris hitamnya yang berbinar-binar memerangkapku, memenjarakanku dalam euforia tanpa sadar.

Aku menelan ludah. Inikah yang namanya..tertarik?


.

Kami berpapasan di balkon lantai dua malam itu—ketika aku hendak turun ke supermarket di lantai bawah untuk membeli cola. Malam ini aku sedang mengambil cuti—setidaknya untuk tiga hari kedepan.

"Uhm, hai Gumi-san," katanya begitu berpapasan denganku. Aku menoleh, dan tersenyum.

"Hai, Akanishi-san."

"Kau mau kemana?" tanyanya berbasa-basi.

"Ke supermarket di lantai bawah. Kau sendiri?" balasku sambil tersenyum tipis.

"Wah, kebetulan sekali," katanya riang. "Aku juga ingin ke sana untuk membeli peralatan mandi. Mau bareng?" tawarnya ramah. Aku terdiam sebentar, sebelum kemudian mengangguk.

"Oke."

Kamipun segera turun ke tangga menuju lantai bawah yang mulai sepi. Sekarang sudah hampir jam sembilan malam.

Di supermarket, aku dengan cepat mengambil sekaleng cola serta sekotak biskuit dari rak, dan membayarnya ke kasir. Jun Akanishi masih memilih-milih barang yang ingin dibelinya di rak bagian peralatan mandi.

Aku menunggu, dan lima belas menit kemudian ia pun tiba di kasir.

"Uhm, maaf membuatmu menunggu lama, Gumi-san," ia meminta maaf begitu kami berjalan ke pintu keluar. Aku hanya mengangguk sembari tersenyum.

"Tidak apa-apa. Lagipula, aku tidak sedang terburu-buru kok," balasku santai. Ia tertawa kecil.

"Kau ini sepertinya tipe gadis yang lumayan penyabar ya," komentarnya ringan. Aku terdiam sesaat, sebelum kemudian tersenyum ke arahnya.

"Ah, terima kasih, Akanishi-san."

Tanpa diduga, ia menyerahkan sebotol kondisioner untukku.

"Eh?" gumamku bingung, ketika ia menyodorkan botol itu kepadaku.

"Untukmu," katanya ringan. "Rambutmu kelihatannya agak kusut, mungkin sedikit kondisioner bisa membantu," sarannya sambil tersenyum. Aku menatap ke arah botol itu tanpa mengatakan apa-apa, masih terkejut akan tindakannya barusan.

"Oh..ehm, terima kasih," akhirnya aku memutuskan untuk menerimanya. Ia tersenyum.

Kilat dari matanya yang berwarna hitam tenang tampak hangat dan menyenangkan.

"Sampai jumpa," katanya sambil melambaikan tangan, begitu kami berdua tiba di tangga. Aku membalas lambaian tangannya, sebelum ia berbelok ke lantai dua—sementara aku melanjutkan perjalananku ke lantai tiga.

'Sampai bertemu besok, Jun Akanishi.'


.

Aku memandangi kalender yang terletak di dekat pintu. Tinggal dua hari lagi.

Dan dalam dua hari kemarin—entah kenapa aku sudah merasa dekat dengannya. Begitu saja.

Ini adalah pertama kalinya aku menerima pemberian dari seseorang, semenjak beberapa bulan belakangan ini. Tak banyak yang mengenalku secara dekat—rekan kerjaku di kafe paling hanya mengobrol hal-hal yang ringan saja, tanpa membicarakan topik-topik yang mendalam mengenai diri masing-masing.

Setelah sekian lama ini—aku merasa diperhatikan. Ada secercah rasa hangat di hatiku, yang perlahan mulai muncul.

Aku menjatuhkan diriku ke sofa, dan bersandar di sandaran empuk itu. Ketika aku meletakkan tanganku ke dahi, ternyata wajahku basah.

'TES.'

Saat itulah aku menyadari kalau—aku tengah menangis.


.

Goodbye, my beloved..


.

.

.

.

Bersambung..

.

Notes: Fanfiksi Vocaloid pertamaku. Semoga cocok dengan lagunya, ya. ^^

Disarankan untuk membaca fanfiksi ini sambil mendengarkan lagu Gumi – Saigo no Revolver. Musiknya lumayan enak. :3

.

Terima kasih sudah membaca. Komentar tentang fanfiksi ini, jika berkenan? :)