Menghapusmu adalah hal tersulit dalam hidupku
Namun kini, di saat kumulai melupakanmu, kau justru kembali
datang dan menghancurkan pertanahanku. Hanya kau yang bisa
membuatku goyah..
Tittle : You've Fallen For Me (Chap 1-Tell me Goodbye)
Cast :
Xi Luhan
Oh Sehun
Kim Jongin a.k.a Kai
Kim Mingyu
Do Kyungsoo
Lee Minho a.k.a Oh Min Ho
Kim Yi Jung (OC)
WARNING
Hei yang merasa punya mata, saya tegasin jika ini adalah ff yaoi, bagi yang tidak suka dan menganut paham bias akan menikahi kalian suatu saat nanti silakan keluar atau jika tidak akan menyebabkan mual dan muntah darah. FF INI ADALAH FF REMAKE, jika ditemui kesalahan penulisan nama mohon dimaklumi. Masih protes silakan baca lagi warningnya!
YOU'VE FALLEN FOR ME
CHAPTER 1
"Apa yang membuatmu berkeinginan untuk mendaftar di perusahaan ini?" Tanya seorang pria dengan tatanan rambut cepak, sembari membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidungnya. Pria dengan setelan jas mahal itu kini menatap seorang pelamar kerja di depannya dengan tatapan tajam dan menusuk. Ia sengaja melalukan hal itu untuk menguji mental para pelamar kerja saja. Padahal sejujurnya, ia adalah sosok yang baik dan ramah.
Luhan menelan ludahnya. Tiga puluh menit berlalu begitu cepat. Atmosfer di ruangan tersebut terasa kian panas saja. Sampai – sampai keringat sebesar biji jagung mulai mengucur, membasahi pelipis Luhan. Kedua tangannya terkepal di bawah sana. Luhan kini lebih terlihat seperti seorang buronan yang tengah diinterogasi ketimbang seorang calon karyawan yang tengah melakukan tes wawancara. Tes wawancara kali ini adalah wawancara paling menegangkan bagi Luhan setelah ia melakukan wawancara kerja sebanyak lima kali di perusahaan lain.
"Saya ingin membantu memajukan Shinhwa Enterprise, Tuan." Jawab Luhan berusaha terdengar tegas. Sekuat tenaga ia menahan suaranya agar tidak terdengar bergetar apalagi sampai terbata. Kalau hal itu sampai terjadi, bisa – bisa ia langsung gagal dalam tes wawancara ini. Jujur saja, bekerja di Shinhwa Enterprise adalah impian Luhan sejak lama. Selain karena menawarkan upah yang tinggi, Shinhwa Enterprise juga menduduki peringkat ketiga sebagai perusahaan terbesar di Korea Selatan, jadi tak aneh rasanya jika banyak sekali yang berbondong-bondong ingin mendaftar kesana, termasuk Luhan. Namun tentu saja, perusahaan tersebut benar-benar selektif dalam memilih para karyawannya, hanya mereka yang benar-benar kompeten yang bisa masuk kesana.
Pria berkaca mata itu tersenyum memperlihatkan mata sipitnya. Wajahnya kini terlihat lebih tampan. Kemudian, ia terdiam lagi dan menatap Luhan lurus – lurus. "Shinhwa Enterprise sudah benar-benar maju. Bahkan, perusahaan kami ini sudah terkenal hingga taraf internasional. Memangnya kau bisa apa? Kau yakin kemampuanmu itu bisa membuat Shinhwa Enterprise semakin mendunia?"
Dalam sekejap tenggorokan Luhan terasa tercekat. Ah! Benar – benar pria di depannya ini membuatnya gila. Memang, jawaban Luhan barusan terdengar klise. Karena ia sudah tidak tahu harus menjawab apalagi. Tenaga dan pikirannya sudah lelah karena hari ini ia melakukan tes wawancara sampai dua kali. Dan di Shinhwa Enterprise yang ketiga.
Detik demi detik berlalu. Sudah lebih dari tiga puluh menit Luhan duduk dikursi panas tersebut. Pertanyaan – pertanyaan tak terduga dan cukup menyulitkan menambah rasa lelah Luhan. Pria berusia dua puluh enam tahun itu mulai pasrah, rasanya seperti ada beban berat yang menimpanya. Apapun hasilnya nanti ia akan mencoba menerima. Mungkin saja, Shinhwa Enterprise memang bukan jodoh kerjanya.
Luhan menarik napas pelan, setelah menghembuskannya ia pun menjawab pertanyaan orang yang mewawancarainya. "Saya yakin kemampuan saya bisa membawa Shinhwa Enterprise lebih maju dari sekarang. Saya sudah mengikuti perkembangan Shinhwa Enterprise sejak lama. Untuk saat ini, Shinhwa Enterprise hanya terkenal di kelas Asia dan belum sampai Amerika bahkan Eropa. Jika saya diterima di Shinhwa Enterprise, saya yakin, saya bisa membantu Shinhwa Enterprise hingga ke penjuru dunia. Dan kemungkinan besar, tidak hanya orang Korea Selatan yang mengikuti audisi di sini, tapi orang – orang dari Paris, Swiss hingga Los Angeles pun juga akan mengikuti audisi di Shinhwa Ent. Saya yakin, saya bisa membantu Shinhwa Enterprise mengalahkan perusahaan entertainment besar yang ada di Korea Selatan saat ini." Tak ada nada sumbang disuara Luhan. Ia tampak sangat yakin dan percaya diri akan jawabannya.
Tidak ada salahnya Luhan berbicara seperti itu. Spesifikasinya sangat memadai untuk membawa Shinhwa Enterprise seperti yang ia katakan barusan. Selain itu, ia juga sudah cukup berpengalaman dan mengerti apa-apa yang saja yang mesti dikerjakan. Karena, dulu saat ia masih kuliah, ia pernah magang di salah satu perusahaan yang bergerak di industri hiburan Korea Selatan.
Pria yang mewawancarai Luhan tampak terkejut dengan jawaban yang dilontarkan Luhan. Ini kali pertamanya ada seorang pelamar yang begitu yakin dengan apa yang dikatakannya. Benar-benar begitu percaya diri, harus ia akui jika ia salut dengan hal itu. Pria itu membuka kembali map yang berisi data diri Luhan. Ternyata, banyak hal tak terduga di dalam sana. Pria itu tersenyum tipis. Ia kembali menatap Luhan dengan tatapan singanya. "Baik. Sekarang, anda boleh keluar. Kami akan menghubungi anda lagi, jika hasil tesnya sudah keluar. Semoga beruntung,"
"Kim-Sajangnim, maaf, tapi kami bahkan belum sempat bertanya padanya." Kata salah seorang yang ikut menjadi pewawancara. Di dalam ruangan tersebut, ada lima orang yang mewawancarai pelamar kerja. Tetapi, saat Luhan yang masuk, hanya orang yang akrab disapa Kim Sajangnim– lah yang mewawancarai Luhan. Kim-sajangnim memang sengaja tidak memberi kesempatan rekan – rekannya untuk mewawancarai Luhan, dan mereka pun tidak berani mengajukan protes, mengingat Kim-sajangnim adalah Ketua mereka.
Luhan mengerjapkan matanya sejenak, kemudian tersenyum manis. Ia berdiri dari duduknya, tak lupa membungkukkan tubuhnya sebagai wujud rasa hormat. Setelah itu, ia pun bergegas keluar dari ruangan tersebut. Rasa bangga membuncah di dalam hati Luhan. Tapi, tetap saja ada rasa penasaran dan cemas yang meliputinya. Ia sangat berharap ia bisa bekerja di Shinwa-Enterprise. Alasannya cukup kuat; ia butuh uang. Hidup ini harus realistis. Luhan bisa menikmati bangku kuliah itu karena bantuan beasiswa.
"Tapi, wajahnya orang itu tadi seperti tidak asing. Dan sepertinya usianya masih muda. Apa mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dariku? Ah. Tidak mungkin. Paling, hanya wajahnya saja yang awet muda. Ah. Masa bodoh." Gumam Luhan setelah berjalan cukup jauh dari ruang wawancara tadi.
-YHFFM-
Sehun terduduk diam dikursi yang berhadapan dengan ranjang ayahnya. Saat ini, ayah Sehun terbaring lemah di kasur rumah sakit. Sudah satu minggu ini perusahaan kacau tanpa sosok seorang pemimpin. Sebenarnya, Sehun sudah berkali – kali ditunjuk untuk menggantikan posisi ayahnya. Hanya sementara. Tapi, berkali – kali pula Sehun menolak karena ia merasa tidak mampu. Sehun sadar kalau passion – nya bukanlah di perusahaan milik ayahnya. Ya… Karena ia berkuliah di jurusan hukum. Jadi, tidak ada hubungannya dengan perusahaan yang berbau manajemen artis. Apalagi, perusahaan ayahnya ini sudah berdiri sangat lama, sejak 1997. Sehun tidak ingin perusahaan ini justru menjadi lebih kacau karena dirinya. Tapi kembali lagi, hanya ialah satu-satunya harapan Shinhwa Ent saat ini, mengingat Tuan Oh hanya memiliki dua orang anak. Adik Sehun sendiri—Oh Mingyu—kini masih duduk di bangku pertama SMA, jadi mustahil untuk memberikan tahta Shinhwa padanya.
Sekretaris Jeon berdiri di belakang Sehun. Sekretaris Jeon sudah lebih dari lima belas tahun bekerja dengan Ayah Sehun. Semenjak Shinhwa Ent berdiri, Sekretaris Jeon– lah yang selalu setia membantu Ayah Sehun, hingga perusahaannya kini bisa sangat terkenal di benua Asia.
"Tuan Muda Oh, sudah seminggu ini kondisi perusahaan kacau. Kita tidak bisa membiarkan perusahaan terbengkalai begitu saja, harus ada yang mengambil alihnya sementara. Ayah anda juga pastinya akan sangat sedih jika mengetahui nasib perusahaannya saat ini," Kata Sekretaris Jeon sembari memandang sendu ke arah sang atasan yang kini hanya bisa terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Sosok yang dulunya terkenal gagah itu kini nampak kurus, dan ringkih.
Sehun memijat dahinya, kemudian mendecak frusasi. "Apa tidak ada alternatif lain? Bukan 'kah Paman bisa menggantikan Ayah?" Tanya Sehun dengan suara lirih. Tampak sekali kalau ia sangat putus asa sekarang. Sebagai putra tertua di keluarga Oh, ia merasa tidak bisa berbuat apapun. Suka atau tidak, pada akhirnya ia yang akan tetap mewarisi perusahaan tersebut. Sehun tidak memiliki pilihan lain, ia tahu itu. Tapi sungguh, Sehun benar-benar belum siap. Hal itu pastinya akan membawa perubahan besar dalam hidupnya. Terkadang Sehun merasa iri pada Mingyu yang bisa bebas dalam menentukan masa depannya.
"Tuan, saya tidak bisa menggantikan Tuan Oh. Saya tidak punya hak. Lagi pula, di perusahaan, Tuan Muda Oh yang mempunyai saham terbanyak kedua setelah Ayah Tuan sendiri." Sekretaris Jeon menjelaskan. Lelaki berusia lima puluh delapan tahun itu memiliki prinsip bahwa dirinya hanyalah seorang sekretaris Oh Min Ho– Ayah Sehun. Meskipun ia punya saham yang besar di perusahaan, ia tidak akan mengambil alih perusahaan. Karena ia ingat betul betapa baiknya Oh Min Ho padanya. Ia tak akan mendapatkan gelar sarjana jika bukan karena Ayah Sehun yang membiayainya.
"Tapi, Paman…" Sehun menghela napas panjang. Percuma saja ia menolak berkali – kali. Penolakannya ini malah semakin membuat perusahaan kacau.
Ponsel Sehun tiba – tiba bergetar. Ia segera mengambil ponsel layar sentuhnya dari dalam saku celana. Nama Kai tertera jelas dilayar ponsel. Sehun melihat arloji yang melingkar ditangannya– masih jam kerja. Tidak biasanya Kai menelepon di jam-jam begini jika bukan karena ada thal yang sangat penting. Sehun paham sekali soal Kai, karena lelaki berkulit eksotis itu temannya sejak SMA hingga sekarang. Sehun menekan ikon gagang telepon berwarna hijau dan mendekatkan ponselnya ke telinga. "Kenapa?"
"Aku menemukan sekretaris yang tepat untukmu. Aku sangat yakin dia bisa membantumu di perusahaan." Kata Kai ditelepon, terdengar jelas suaranya yang menggebu – gebu. Terdengar bersemangat.
Sehun mengernyit. Ia menjauhkan ponselnya dari telinga dan menutup layar ponselnya dengan sebelah tangannya. Sehun menoleh ke belakang; menatap Sekretaris Jeon dengan tatapan bingung. "Bukankah lowongan kerja itu bukan untuk sekretaris? Tapi, untuk asisten peñata panggung'kan?" Tanya Sehun setengah berbisik.
Sekretaris Jeon membeku selama dua detik baru ia mengangguk kaku. "Iya Tuan."
Sehun mendekatkan ponselnya ke telinga lagi. "Ya! Kau jangan mengada – ada. Bukankah lowongan kerja ini untuk asisten penata panggung?" Tanya Sehun dengan nada sedikit kesal.
Kai mendesah, "Ya! Aku serius. Tuan Jeon sudah menceritakan semuanya padaku kalau kau tidak berani mengambil alih perusahaan untuk sementara waktu karena kau tidak percaya diri. Maka dari itu, saat tadi aku melakukan wawancara, aku menemukan satu orang yang sangat cocok untuk jadi sekretarismu."
Muka Sehun semakin ditekuk. Apalagi ini. Sekretaris baru yang bahkan ia sama sekali belum mengenal atau sekedar tahu orangnya. Sehun'kan tipikal orang yang sulit dan keras kepala. Tidak mudah baginya beradaptasi dengan orang lain apalagi orang itu menjadi sekretarisnya. Bisa – bisa sekretaris baru itu mengundurkan diri setelah dua hari bekerja dengannya. Eh tidak.. satu hari saja mungkin sudah sangat cukup.
"Kai. Tidak usah. Aku tidak membutuhkannya. Dokter bilang ayahku akan segera sembuh. Aku yakin besok ayahku sudah sadar dari komanya." Kata Sehun tegas.
"Baiklah terserah padamu. Aku yakin kau juga akan suka kalau kau sudah melihat sekretaris barumu ini. Besok jam sembilan pagi dia akan datang ke kantor. Kuharap kau bisa datang ke kantor juga. Selamat siang Hun, maaf mengganggumu." Kata Kai tak kalah tegas.
Sehun mendesah dan sedikit menggeleng. "Tidak. Aku yang berterima kasih karena kau sudah membantuku."
Panggilan telepon pun putus. Sehun menatap ponselnya sejenak, kemudian memasukkan benda kecil itu ke dalam saku celana. Perkataan demi perkataan Kai dan Sekretaris Jeon berputar – putar di kepala Sehun. Ingin rasanya ia membantu mengambil alih pekerjaan sang Ayah, tapi ia merasa tidak mampu. Kepala lelaki itupun tertunduk dalam. Dalam sekejap wajah Ayah, Ibu, dan Mingyu berkelebat di kepalanya. Masa depan keluarga sekarang ada ditangannya.
Sekretaris Jeon memegang pundak Sehun. "Tuan, jangan menyalahkan diri sendiri. Tidak ada salahnya mencoba, Tuan. Sarjana lulusan hukum belum tentu tidak bisa mengerjakan hal lain selain hal – hal yang berbau hukum." Kata Sekretaris Jeon menasehati Sehun sembari meremas lembut bahu namja itu.
Sehun yang masih menunduk pun menganggukkan kepala. Ia menggigit bibir bawahnya, memperlihatkan kalau ia sedang berpikir sangat serius. Mungkin, memang tidak ada salahnya ia mencoba. Mungkin, tidak ada salahnya besok ia datang ke kantor. Mungkin, Kai benar kalau sekretaris barunya ini akan membantunya di kantor. Yah.. Semua itu mungkin di dunia ini.
Luhan keluar dari dalam kamarnya dengan rambut berbalut handuk. Hari ini kepalanya terasa sangat panas setelah wawancara tadi siang, ditambah lagi beban pikiran karena ia belum membayar uang sewa flat. Keramas sedikit mengurangi rasa panas di kepala Luhan. Lumayan lah… beban pikiran di kepala Luhan ikut hanyut dibawa air.
Luhan duduk disofa di depan televisi. Flat – nya yang super kecil itu hanya ada satu kamar tidur, satu kamar mandi, serta satu ruang santai sekaligus dapur. Tidak ada meja makan di rumah mininya itu. Cukup dengan coffee table di depan sofa untuk tempat ia makan.
Ponsel Luhan yang tergeletak di atas meja berdering. Kyungsoo, sahabat Joohyun sejak kuliah menelepon. Tadi siang setelah wawancara Luhan menghubungi Kyungsoo; berniat untuk curhat, tapi karena Kyungsoo sedang sibuk dengan pekerjaannya, Luhan terpaksa menahan unek – uneknya. Luhan segera menjawab panggilan tersebut dengan antusias. "ISTRIKUU!" Panggil Luhan senang. Sebutan 'istriku' memang nickname- yang diberikan Luhan untuk Kyungsoo, begitu pun sebaliknya.
Terdengar tawa kecil Kyungsoo dari telepon. "Bagaimana wawancaramu hari ini? Maaf, tadi aku sedang sibuk meliput berita di lapangan, jadi tidak bisa mendengarkanmu."
Luhan tersenyum, "Tidak apa – apa. Santai saja. Aku paham."
"Apakah wawancara hari ini lancar?" Tanya Kyungsoo kemudian.
Luhan terdiam sejenak; memikirkan kata – kata yang tepat. "Entahlah." Sahut Luhan akhirnya. Ia bingung harus berkata bagaimana. Pada kenyataannya wawancara tadi siang benar – benar membuatnya lelah dan kesal. Rasanya Luhan ingin melemparkan bola kasti ke kepala orang berkaca mata yang mewawancarainya tadi. "Aku sangat kesal."
Kyungsoo terkekeh, "Kenapa? Apa pertanyaannya tidak menyenangkan? Menurutku wajar kalau wawancaramu sulit. Yah..Shinhwa Ent. Kau tahulah bagaimana profesionalnya mereka."
Luhan mengangguk, "Benar. Padahal aku hanya mendaftar sebagai staff, tapi wawancaranya sudah seperti mau mendaftar sebagai manager saja." Kata Luhan sedikit mendesah.
"Istriku~ Aku harus bagaimana?"
Kyungsoo terkekeh mendengarnya, "Apa kau tahu Shinhwa Enterprise sedang mengalami krisis? Maksudku, pemimpin Shinhwa Enterprise sedang sakit. Kudengar, beliau sedang koma, tapi pihak keluarga mengelaknya. Kebetulan, tadi aku sempat meliput berita di rumah sakit. Tapi.. Yah.. Kau tahulah… Pengamanan mereka sangat ketat. Tim wartawan tidak bisa mengambil secuil informasi pun. Kau yakin ingin tetap bekerja di sana?" Terdengar nada khawatir disuara Kyungsoo. "Bagaimana jika baru bekerja beberapa hari disana kau langsung di-PHK?"
Luhan diam. "Em. Aku sangat ingin." Sahutnya penuh keyakinan. "Justru karena mereka sedang dalam keadaan yang tidak stabil, aku memanfaatkan peluang ini. Aku yakin, usahaku tidak akan sia – sia. Aku berusaha kuliah dan mendapatkan beasiswa juga karena aku ingin bekerja di sana."
"Bagaimana keadaan orangtua mu?" Tanya Kyungsoo.
Tampak senyum miris dibibir Luhan. Mengingat orangtuanya ia merasa sedih. Sudah lama sekali ia tidak kembali ke kampung halamannya di Gyeonggi-do karena mengejar mimpi di Seoul. Luhan malu untuk kembali ke rumah, menyadari keadaannya yang masih semrawut sekarang. Ia bahkan belum punya tempat tinggal yang bagus dan layak. "Kuharap mereka baik – baik saja." Kata Luhan lirih.
"Baiklah. Aku akan terus mendukungmu. Kuharap kau bisa berhasil. Luhan, ini sudah malam. Sebaiknya kau tidur." Kata Kyungsoo lembut dan ceria; khas Kyungsoo sekali. Tipikal namja manis yang ceria dan penyayang. Wajar saja kalau banyak pria atau pun wanita yang menyukai Kyungsoo.
"Hmm.. Kau juga." Kata Luhan, kemudian memutus panggilannya. Luhan pun meletakkan ponselnya di atas meja. Ia beranjak dari sofa ke kamarnya. Sudah pukul sepuluh malam. Sudah seharusnya ia tidur setelah lelah seharian karena wawancara dan kerja paruh waktunya.
-YHFFM-
Mingyu menutup pintu kamarnya secara perlahan, pikirannya masih berputar-putar mencoba mencerna semua kejadian yang menimpanya hari ini. Terlalu banyak hal yang membuat dirinya hampir gila. Mingyu menyenderkan punggungnya ke pintu kamarnya, ditatapnya sebuah cermin yang berada tepat di hadapannya. Pria itu dapat melihat pantulan dirinya pada cermin tersebut, wajahnya yang terlihat begitu pucat. Mingyu mengulurkan tangan kanannya ke depan seakan ia ingin meraih sesuatu. Pandangannya fokus pada cermin yang ada didepannya tersebut. Menatap pantulan dirinya seolah-olah ia bisa dapat berkomunikasi dengan refleksi dirinya yang terlukis disitu. Berharap jika seandainya pintu antar dimensi dapat terbuka dan dirinya dapat menukar posisi sebagai Mingyu yang lain.
Tiga detik telah berlalu, Mingyu memutuskan untuk memejamkan erat kedua matanya lalu membukanya perlahan. Namun tidak ada apapun yang terjadi, semuanya tetap seperti semula. Mingyu menarik nafasnya secara perlahan, tiba-tiba saja kakinya terasa begitu lemah hingga tubuhnya merosot dan terduduk di lantai.
"Lagi-lagi, hanya aku sendiri..," Gumam Mingyu seraya meremas helaian rambutnya. Kesal, kecewa, sedih. Semua bercampur menjadi satu. Meskipun kedua kakinya masih terasa lemah, Mingyu berusaha untuk bangun dari tempatnya dan berjalan menuju ke luar untuk mencari udara segar. Angin malam langsung berhembus dengan kencang menerpanya dari jendela yang tak tertutup. Hawa dingin yang menusuk tubuhnya. Ditatapnya sekeliling ruangan itu yang nampak kosong. Tidak ada sosok Ibu yang seharusnya tersenyum menyambutnya sambil menawarkan makan malam. Semuanya terasa sepi. Hampa. Mingyu tersiksa, asal tahu saja. Ia iri, iri dengan anak-anak lain yang bisa merasakan kehangatan keluarga. Sementara dirinya? Secuil saja ia tidak pernah merasakan kasih sayang dari Ibu dan Ayahnya. Mereka pikir dengan harta mereka sudah cukup membahagiakan dirinya, tetapi mereka tidak tahu jika Mingyu lebih membutuhkan perhatian mereka dibandingkan itu semua.
Jika biasanya seorang Ibu akan menanyakan bagaimana keseharian putranya di sekolah. Apakah ada teman yang menjahilinya? Bagaimana dengan nilainya? Apakah semuanya berjalan dengan baik? Maka itu tidak ada dikamus sang Ibu. Baik Ibu dan Ayahnya, keduanya sama-sama sibuk dengan pekerjaan mereka. Mingyu memandangi tangan dan sudut bibirnya yang terluka parah. Seringai tersungging di bibirnya. Untuk kesekian kalinya, Mingyu kembali berkelahi di sekolah, dan untuk keseian kalinya pula Asisten Choi yang dipanggil untuk mengurus semua itu. Sementara orangtuanya tak mengetahui hal tersebut. Asisten Choi bisa saja memberitahukan hal itu, tetapi Mingyu yang melarangnya. Bukan karena ia tak mau mengecewakan Ayah dan Ibunya dengan sikapnya di sekolah, hanya saja Mingyu tak ingin mereka tiba-tiba ikut campur. Apa hak mereka untuk mengatur hidupnya setelah menelantarkannya selama ini?
Ditatapnya foto keluarga mereka yang tergantung di salah satu sudut kamarnya, kemudian berucap, "Tinggal dua tahun lagi Mingyu..tinggal dua tahun lagi, dan kau bisa bebas dari neraka ini.."
-YHFFM-
Matahari terbit menyinari dunia. Jam dinding menunjukkan pukul delapan lewat lima belas menit. Luhan masih tertidur lelap di atas kasur dengan selimut menutupi seluruh badannya. Tiba – tiba telinganya mendengar ponselnya berdering di luar. Luhan pun tersentak dan bangun. Ia segera lari ke luar kamar; meraih ponselnya yang berada di coffee table di depan sofa. Tiga belas kali alarm diponselnya berbunyi dan ia tidak mendengar sama sekali.
Di notifikasi ponselnya ada dua kali panggilan tidak terjawab dan satu pesan masuk. Tiba – tiba perasaan Luhan tidak enak. Ia pun segera membuka history panggilannya; nomor telepon tak dikenal menghubunginya dua kali. Kemudian, ia membuka pesan yang masuk. Membaca pesan tersebut mata Luhan seketika membulat dan mulutnya menganga cukup lebar. "Oh God!" Teriak Luhan panik.
Hari ini kau harus datang ke Kantor Shinhwa Ent. Pukul sembilan tepat kau sudah harus sampai di ruangan H.R.D. Jangan sampai telat! Ini kesempatan terakhirmu! – Manager H.R.D-
Luhan melihat ke arah jam dinding di dekat pintu flat – nya. Wah! Gila! Sudah pukul setengah sembilan tepat. Namja itu melempar ponselnya ke sofa dan langsung berlari ke kamar mandi. Tidak sampai lima menit ia sudah keluar, kemudian masuk ke dalam kamarnya berganti pakaian formal. Dalam waktu sepuluh menit Luhan sudah cukup rapi. Ia pun menyisir sedikit surai karamelnya yang semula acak-acakan.
Jarum jam sudah menunjuk angka sembilan kurang sepuluh menit. Luhan tambah menggila. Ia meraih tasnya di dekat sofa dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Cepat – cepat Luhan memakai sepatunya. Dan ia pun keluar dari flat dengan sangat terburu – buru.
Luhan harus berlari menuruni tangga, sesekali ia hampir terjatuh karena saking terburu – burunya. Setelah sampai di lantai bawah, Luhan segera berlari menuju halte bus. Menuju stasiun kereta harus berjalan selama lima belas menit. Sedangkan, ke halte bus hanya membutuhkan waktu lima menit jika berlari. Beruntung, sesampainya di halte bus, Luhan langsung mendapatkan bus. Di dalam bus, Luhan segera duduk dengan napas tersengal – sengal dan keringat mengucur dipelipisnya. "Ah.. Aku bisa gila…" Gumam Luhan sambil meremas helaian rambutnya.
Pukul sembilan lebih dua puluh menit Luhan sampai di depan gedung Shinhwa Ent. Ia segera bertanya ke bagian informasi tentang keberadaan ruangan H.R.D.
"Kau Xi Luhan?" Tanya wanita dibagian informasi.
Luhan langsung mengangguk. "Benar. Dimana ruangannya?" Tanyanya tergesa – gesa.
"Mari kuantar. Kim-sajangnim sudah menunggu Anda sejak tadi." Kata wanita itu seraya keluar dari tempatnya. Luhan dan wanita dari bagian informasi itu pun naik lift menuju ruangan Manager H.R.D. yang berada dilantai lima. Gedung Shinhwa Ent, tidak terlalu tinggi. Hanya tujuh lantai tapi gedungnya sangat luas.
Luhan pun sampai di depan ruangan Manager H.R.D. Wajahnya tampak sangat lelah dan kucel.. Wanita yang mengantarnya tadi segera kembali ke lantai satu. Ya tentu saja wanita itu tidak bisa meninggalkan pekerjaannya lama – lama. Pegawai di Shinhwa Enterprise terkenal dengan profesionalitas dan ketaatannya pada kebijakan yang ada di kantor.
Perasaan cemas, takut, gugup seketika menyelimuti sekujur tubuh Luhan. Sebelah tangannya yang memegang engsel pintu bergetar tak karuan. Keringat semakin deras membanjiri pelipisnya. Bibirnya sedikit terbuka karena dadanya terasa sesak; kekurangan oksigen. Luhan menghirup napas dalam – dalam lalu menghelanya pelan. Ia menghisap bibir bawahnya untuk mengumpulkan seluruh keyakinannya. Ia pasti bisa menghadapi sang manager. Tapi, ia telat setengah jam. Mendadak nyali Luhan menciut.
Luhan berusaha mengumpulkan kembali keberaniannya. Dan ia pun akhirnya berhasil membuka pintu ruangan tersebut. Luhan masuk ke dalam sana dengan kepala tertunduk dan langkah berat. Ia sangat takut karena kesan pertamanya yang sangat buruk. Ia merasa kalau ia akan dipecat langsung karena keterlambatannya dihari pertama. Sungguh mengecewakan.
Luhan berhenti setelah berjalan tiga langkah. Kedua tangannya saling bertautan menahan tangannya yang bergetar hebat. Satu. Dua. Tiga. Luhan mengangkat kepalanya. Dalam sedetik raut wajahnya langsung berubah. Kedua matanya membulat
Kai yang duduk dikursi istimewanya tersenyum melihat kehadiran orang yang ditunggunya sejak tadi. Sedangkan, Sehun yang duduk dikursi di depan meja Kai tampak membuang muka; ia tidak tertarik dengan orang yang datang itu. Kai melirik Sehun sambil tersenyum mencurigakan. Sehun yang menatap Kai mengernyit dalam diam. Dari ekspresi wajah Sehun ia seperti bertanya "apa maksudmu tersenyum begitu?".
Kai menggerakkan kepalanya memberikan isyarat pada Sehun untuk menoleh ke belakang. Sehun masih mengernyit tidak mengerti maksud Kai. Eh tidak. Bukan tidak mengerti. Tapi, lebih tepatnya tidak mau. Sehun sudah kesal karena calon sekretaris barunya itu membuatnya menunggu selama setengah jam. Bagaimana bisa Kai mempekerjakan orang yang tidak disiplin seperti itu?
Kai menggertakkan giginya dan Sehun pun mau menoleh ke belakang. Tanpa disengaja, saat Sehun menoleh ke belakang bersamaan dengan calon sekretaris barunya itu mengangkat kepalanya yang tertunduk . Mata mereka berdua pun bertemu. Jantung Sehun serasa mencelos. Aliran darahnya mendadak terasa mengalir sangat cepat. Perasaan aneh langsung mengujur diseluruh tubuhnya.
"K..kau..Xi Luhan…?!" Gumam Sehun pelan.
Dalam sedetik raut wajah Luhan langsung berubah. Kedua matanya membulat. Sehun Sunbae?, ucapnya dalam hati. Luhan mengalihkan pandangannya ke orang yang menjadi Manager H.R.D di kantor itu. "Kim Jongin Sunbae…" Panggilnya tak percaya.
TBC
A/N : Ini adalah karya kesekian saya dan lagi2 saya membawa HunHan sebagai tokoh utamanya,tetapi nantinya akan banyak moment Meanie juga di ch 2 ke atas. Untuk ff ini, rencananya saya akan membuatnya menjadi MPREG, karena ini ff yaoi pertama (karena sebelumnya saya sering membuat gs) maka saya mohon maaf jika ada hal yang salah, baik dari penulisan kata atau dari segi apapun. Saya juga butuh review anda untuk melanjutkan ff ini. Jadi, keep reading and review guys..
See you soon in the new ch!
