Summary :

Sasuke dan Naruto. Mereka bersaing untuk mendapatkan Hinata. Semakin Naruto mendekatinya, semakin juga Sasuke akan terus mendesaknya. Dan Hinata sendiri hanya bisa ketakutan. Lebih parahnya lagi, mereka bertiga satu asrama.

.

.

Bila ada pepatah yang mengatakan bahwa uang adalah awal dari kekuasaan, maka semua orang—kaya dan miskin—pastinya akan setuju. Dikatakan seperti tadi karena dengan kertas bernilaikan nominal yang besar, maka semuanya akan patuh kepadamu.

Uang adalah segalanya.

Itulah pedoman di benak para orang yang mempunyai uang melimpah—walaupun memang tidak semuanya.

Bisa jadi karena itu mereka memiliki banyak kelebihan, tapi juga banyak kekurangan. Kenyataan itu bisa dilihat langsung dari sifat-sifat orang kaya yang menyimpang.

Egois, sombong dan semena-mena.

Iya, dan Hinata Hyuuga pun juga kurang suka kepada orang yang seperti itu.

.

.

.

LOVE IN BOARDING

Sanpacchi's Fanfiction 2011

Naruto by Masashi Kishimoto | NaruHina & SasuHina | Fanfiction-net

Genre : Romance, Drama, Friendship. | Warning : AU, OOC, Typos, Mature Themes, etc. | Jika ada kesamaan ide mohon dimaklumi.

MATURE CONTENT—YOU HAVE BEEN WARNED!

.

.

Love In Boarding no I. Konoha Boarding School

.

.

Angin sejuk begitu terasa ketika seorang gadis berambut indigo panjang itu berjalan di pinggiran kota. Ia melangkah pelan, tak jarang mata beriris lavendernya memperhatikan jalanan yang kadang berlubang. Ia menenteng sebuah tas belanjaan, dan sepertinya akan pulang ke rumahnya.

Namanya adalah Hinata Hyuuga.

Dengan baju terusan ungu, dia menelusuri jalanan yang sering ia lalui saat akan pulang berbelanja. Tiba-tiba saja ia melihat seorang anak kecil berpakaian kumuh. Ia meminta sumbangan ke salah satu pria berambut biru tua yang sedang berjalan di depannya.

Meskipun mereka berada di jarak yang lumayan jauh, jelas sekali kalau pria itu mencirikan seorang yang mempunyai ekonomi di atas rata-rata. Tapi Hinata bukan asal memprediksi lewat penampilan, tapi juga aura mereka yang sangat jelas terpancar dari orangnya sendiri. Sebuah aura kesombongan.

Dan bukannya memberikan uang, ia malah membentak anak kecil di sana. Walau ia sama sekali tidak mendengar, namun semuanya sudah terbukti kalau tadi adalah bentakan kasar yang terdapat beberapa hinaan di dalamnya—terlihat dari raut wajah yang ditunjukkan pria tadi.

Lalu anak itu terdiam. Ia menunduk ketakutan di tempatnya. Setelah si orang kaya itu pergi, anak tersebut berjalan dengan langkah terseret ke arah taman. Kemudian ia duduk di salah satu bangku kayu di sana. Ia masih terisak, dan menggunakan tangan untuk menutupi salah satu matanya—mungkin untuk menghapus air matanya.

Dari kejauhan Hinata menghela nafas. Jujur saja, Hinata tidak suka sifat pria itu, tapi ia pun tidak mampu berbuat apa-apa. Masalahnya, tidak mungkin juga memaksa seseorang untuk memberikan amal, kan? Jadi, ia lebih memilih agar mendatangi anak yang kini sedang terduduk sendirian itu.

Sewaktu Hinata sudah berdiri di depannya, dia sengaja duduk tepat di sampingnya. Anak tersebut menoleh, wajahnya pucat dan matanya juga sedikit sembab.

Sepertinya ia sakit hati sekali karena hal barusan.

"Kamu kenapa nangis?" Hinata bertanya seolah-olah tidak mengetahui apa-apa.

Ia terdiam sesaat, lalu memalingkan wajahnya ke arah lain. "Tidak apa-apa. Tadi aku cuma terjatuh..."

Hinata hanya terdiam mendengar jawabannya. Mungkin bila dibandingkan dengan pria sombong tadi, sudah pasti kalau hati anak ini lebih mulia.

"Kalau begitu... apa kamu mau apel?" Dia tawari buah yang baru saja dibelinya.

"Eh, bo-bolehkah?" Ia mengerjapkan matanya sebentar, tampak terkejut. "Terima kasih banyak! Pasti ibuku akan cepat sehat jika memakan buah ini!" Dengan mata yang masih berair, ia menerimanya.

"Iya. Kalau begitu, sampai jumpa lagi..." Hinata tersenyum dan mencoba berdiri untuk melanjutkan perjalanan pulang.

.

.

: love in boarding | sanpacchi :

.

.

Sesudah pulang ke tempat tinggalnya yang berada di bukit pinggiran desa, Hinata melihat sebuah mobil hitam yang sudah terparkir di depan pekarangan bunga miliknya. Dan tidak perlu waktu lama untuk menyadari pemilik mobil itu, karena dengan sendirinya pria bermarga Hyuuga—yang sama dengannya—sudah berdiri di depan pintu rumahnya.

Hyuuga Neji, sepupunya.

"Hai, adikku..." Sapanya. Pria yang memiliki rambut panjang berwarna coklat dan iris yang serupa dengan Hinata itu menyeringai. "Kau masih betah tinggal di kandang sampah ini?" Ujarnya sarkastis.

Hinata sedikit meliriknya, dan kemudian menunduk. Sebenarnya ia ingin cepat-cepat ke dalam rumah, tapi masalahnya Neji ada di sana—yang seakan-akan menunggu kedatangannya.

Walaupun tubuh Hinata sudah sedikit bergetar, ia berusaha tidak menjawab, mengabaikan kalimat kurang ajar yang diutarakan Neji mengenai rumahnya. Dan di saat itu pula Hinata melangkahkan kakinya untuk berlari, dan langsung meraih daun pintu tanpa menoleh sedikit pun ke pria itu.

Sembari menahan nafas Hinata langsung memasuki rumah. Ia sedikit berlari agar dapat menutup pintu sekilat mungkin. Takutnya Neji juga masuk apabila ia tidak langsung mengunci rumah.

Kalau ditanya mengapa, Hinata memang sedikit was-was ke sifat buruk Neji yang selalu membuatnya risih. Apa lagi saat Hinata melihat wajahnya. Neji seperti sedang menunjukan pandangan liar kepadanya.

Tapi tampaknya gerakannya kurang cepat—atau malah Neji sendiri yang sangat menyadari kalau Hinata sedang menghindarinya. Jadi saat pintu akan ditutup—tanpa perlu terjepit—Neji sudah menahan tutupan pintu dengan menggunakan salah satu tangannya.

Kali ini perasaan Hinata sudah bukan gelisah lagi, melainkan sudah berubah menjadi perasaan takut. Hinata masih mendorong pintu, tetap tidak ingin membukakan pintu untuknya.

Namun kekuatannya dibanding Neji memang berbeda. Neji kuat, sedangkan dia sebaliknya—lemah. Dan dari sela pintu pun Hinata dapat melihat Neji tersenyum meremehkan sebelum akhirnya pintu ia dorong keras, membuat Hinata terdorong ke belakang sehingga papan pintu rapuh itu terbuka lebar.

Setelah tidak ada lagi penghalang di antara mereka berdua, bersama sengalan nafasnya karena lelah, Hinata cuma dapat menunduk dan menggigit bibir bawahnya—demi apapun, ia benar-benar takut dengan keadaan ini.

Tep.

Tep.

Tep.

Suara langkah Neji terdengar pelan, lalu tanpa perlu melihat pun Hinata yakin bahwa orang itu sedang menutup pintu, dan menguncinya. Dan sekarang, satu-satunya yang Hinata pikirkan adalah ingin menghilang dari bumi pada saat ini juga.

Sebuah rasa ketakutan memang selalu muncul jika ia berada di dekat Neji, tentunya. Ia takut jika Neji memperlakukannya lagi seperti dulu—di saat Hinata masih tinggal dengan Neji di rumah keluarga induk milik Hyuuga.

Ya, sejak kedua orang tuanya meninggal, Hinata memang diungsikan ke rumah kembaran ayahnya, Hizashi Hyuuga. Sehingga selama beberapa tahun sebelumnya, Hinata tinggal bersama pamannya dan Neji—anak tunggal dari Hizashi.

Tapi di sanalah Hinata tersiksa oleh Neji. Terutama saat pria itu sudah menjadi dewasa seperti sekarang.

"Hinata..."

Mendengar suaranya, tubuh Hinata langsung merinding.

"Kira-kira sudah berapa lama aku tidak merasakan manisnya ludahmu?" Tanyanya perlahan sambil melepaskan satu persatu kancing kemejanya.

"Neji-nii, ja-jangan mendekat..." Suara Hinata bergetar. Ia sangat takut tiap kali berada Neji melemparkan pandangan itu kepadanya.

"Kenapa? Kau sendiri tidak rindu dengan kenikmatan yang dulu pernah kuberikan?"

"Ti-Tidak. To-Tolong jangan mendekat..." Sekarang seluruh tubuh Hinata sudah gemetar tidak karuan, apa lagi ketika Neji sudah berada di depannya dengan sebagian kancing kemeja yang sudah sepenuhnya terbuka.

Ketika Hinata tidak bisa lagi bergerak dari tempatnya, Neji menaruh telapak tangannya ke tembok yang berada di sisi kepala adik sepupunya. Lalu dengan tangannya yang satu lagi, ia gunakan punggung tangannya untuk membelai permukaan pipi Hinata. Tapi karena Hinata masih menunduk, sentuhannya berhenti. Menggunakan telunjuk dan ibu jarinya ia memaksa dagu Hinata naik, sehingga mereka saling bertatap pandang.

"Kau terlihat tidak suka aku ada di sini."

Hinata menatap iris lavender Neji yang serupa dengan miliknya. Tatapan gadis itu ragu. Dan tanpa menunggu sepuluh detik, Hinata sudah memalingkan wajahnya. Neji merasakan tatapan Hinata yang menghindarinya, tapi dia malah menyeringai—seperti suka dengan raut wajah ketakutan Hinata kepadanya.

Dengan menatap mata Hinata, Neji mendekatkan wajahnya, membuat gadis berambut indigo itu semakin mendempetkan tubuhnya ke tembok. Tapi bagaimana caranya menghindar lagi jika ia sudah berada di posisi terjepit seperti ini?

Tapi sebelum permukaan bibir Neji mengenainya, sontak saja kedua tangan Hinata mendorong dada pria itu dengan tenaga yang lumayan kuat, sehingga Neji sedikit mundur.

"J-Ja-Jangan mendekat lebih dari ini!"

Neji memandang sinis ke arah Hinata, lalu mendengus. Sebenarnya Neji lumayan kaget karena baru kali ini Hinata menolaknya. "Kau belajar melawanku dari mana, Hinata?" Ia berdesis. "Mau melawanku, hah?"

Sontak saja Neji menjambak rambutnya. Wanita yang lebih muda beberapa tahun darinya itu dia paksa untuk mendongak. Sedangkan di sela ringisan Hinata, Neji malah sibuk menciumi lehernya.

Hinata mengerang ketakutan, tubuhnya yang ringkih bergetar, dan suara samarnya hanya terdengar lirih karena nyaris dibarengi oleh desahan terpaksa.

"Uh, Ne-Neji! N-Ne-Neji-niisaann! Lepaskann!"

Yang bisa Hinata lakukan adalah tetap mendorong Neji—walau ia tau usahanya akan sia-sia—dan juga berdoa, agar ada orang yang menyelamatkannya. Karena ia sendiri tidak bisa menunggu Neji yang sampai berhenti dengan sendirinya, bukan?

Setiap kali Neji melakukan ini kepadanya, keperawanannya—yang sampai saat ini masih dijaganya—memang selalu terancam.

Diingatnya lagi masa-masa di mana ketika ia masih tinggal satu atap bersama Neji. Pada awalnya, hubungan persaudaraan mereka baik-baik saja, tapi semuanya berubah saat Neji sudah memasuki umur dewasa. Mendadak, Neji memperlakukanya seperti seorang pemuas bayaran ketika sang paman tidak ada lagi di rumah.

Dan sudah pasti Hinata pindah dari rumah keluarga Hyuuga—menjadi rumah kecil ini—karena tidak nyaman tinggal bersama Neji. Walaupun pria itu tidak pernah bertindak sampai benar-benar kelewatan, tapi Hinata takut suatu saat nanti Neji akan melakukannya kalau ia tetap tinggal di rumah induk.

Tapi, rasanya percuma saja kalau Neji selalu ke sini dan melakukan hal ini lagi kepadanya.

BRAKH!

Disertai suara dobrakan keras yang berasal dari arah pintu, datanglah Kakashi, ia adalah seorang butler kepercayaan Hizashi—untuk menjaga Neji dan Hinata. Ia pasti sengaja membuka pintu dengan cara membantingnya untuk membuat Neji terkejut.

"Maaf Neji-sama, tapi Anda tidak boleh melakukan hal itu ke adik Anda sendiri."

"Kakashi! Kau—!"

"Anda boleh melakukan hal itu ke siapa saja, tapi tidak dengan Hinata-sama." Potong Kakashi dengan tenang. "Karena kalian berdua adalah tanggung jawab saya—atas nama keluarga Hyuuga."

"Tsch..."

Neji melepaskan Hinata, dan berjalan melewati Kakashi untuk keluar rumah dan kembali ke mobil. Mungkin ia langsung pulang karena kesal telah diganggu oleh Kakashi.

Setelah tidak ada tanda-tanda adanya Neji, Kakashi mulai mendekati Hinata yang tengah buru-buru membenahi rambut dan pakaiannya. Pria berambut perak itu segera memberikan jas butler-nya kepada Hinata .

"Saya minta maaf atas kelakuan Neji-sama yang sebelumnya kepada Anda."

"Ya... ti-tidak apa..."

Setelah itu Kakashi mengeluarkan sebuah surat dan menyerahkannya kepada Hinata. "Ini, ada surat dari Hizashi-sama..."

"Eh? Ada apa...?"

"Anda akan dipindahkan ke salah satu sekolah pilihan Hizashi-sama di kota Tokyo."

"Sekolah?" Hinata sedikit terkejut, tapi juga senang. Berhubung di daerah terpencil ini tidak ada sekolah, ia sempat memutuskan pendidikannya dan lebih memilih untuk bekerja di salah satu pusat industri milik daerah.

"Ya, sekolah. Bukannya pendidikan sangat diperlukan untuk pekerjaan Hinata-sama nantinya?" Kakashi menambahkan. "Dan satu lagi, Anda juga akan pindah ke tempat yang lebih dekat ke sekolah, jadi dimohon Anda agar mempersiapkan diri untuk keluar dari rumah ini pada hari Jum'at."

"Baiklah..." Hinata mengangguk. "Terima kasih atas pemberitahuannya, Kakashi-san."

Kakashi tersenyum, kemudian membungkuk hormat sebelum ia berjalan keluar—pulang.

Sesudah tidak ada lagi mobil di pekarangan rumah, Hinata menutup pintu dari dalam dengan perasaan lega.

Perlahan-lahan punggung Hinata yang menempel di permukaan pintu melorot turun ke bawah, sampai akhirnya ia terduduk di lantai. Ia lepaskan tas belanjaan yang sedari tadi masih terus terpegang erat di lengannya, dan kembali merenung memikirkan penjelasan Kakashi yang barusan.

"Aku akan di sekolahkan pilihan Hizashi-jisan?" Gumamnya.

Entah kenapa ia merasa akan terlempar ke kelompok para orang kaya yang selalu membuatnya tak nyaman.

Hinata menghela nafas.

Dan pastinya, ada saja permasalahan yang muncul tiap kali dia berada di lingkungan sosial yang baru.

.

.

: love in boarding | sanpacchi :

.

.

Hari Jum'at pun tiba, dan Hinata sudah membereskan semua perlengkapan yang ada di rumahnya untuk dipindahkan. Orang-orang suruhan sedang sibuk menaikkan barang-barangnya ke atas mobil pengangkut, sedangkan Kakashi sudah membukakannya pintu sedan yang akan dia kemudikan untuk mengantarkannya ke Tokyo.

Hinata sedikit mengangguk canggung. Sambil menjinjing tas kecil, ia masuk ke mobil. Dan di saat Kakashi sudah duduk ke kursi kemudi, Hinata menatap lagi rumahnya yang telah ia tinggali selama beberapa bulan itu.

Padahal dia sudah nyaman tinggal di sana—karena tidak ada Neji yang mengganggunya. Tapi mau bagaimana lagi? Pamannya sudah baik masih mau memperhatikannya.

Setelah keempat roda mobil berjalan, perlahan mereka keluar dari perumahan ini.

Hinata meluruskan pandangannya ke depan, menatap Kakashi. "Kakashi-san, kita akan ke mana dulu?"

"Sesuai perintah Hizashi-sama, kita harus ke Konoha BS, sekolah Hinata-sama nantinya. Saya akan mengonfirmasikan semua data Anda untuk mendaftar ulang."

"BS?"

"Ya, Boarding School."

Hinata sedikit terkejut mendengarnya.

Kakashi baru saja mengatakan... Konoha Boarding School? Sebuah asrama terkemuka di Tokyo itu?

"Eh? Aku akan diasramakan? Lalu ba-bagaimana dengan barang-barangku?" Tanyanya buru-buru. Kalau asrama, kenapa pamannya malah memberikannya rumah?

"Tenang saja, di Konoha BS memperbolehkan muridnya menginap di sekolah ataupun pulang pergi seperti sekolah umumnya..." Kakashi tersenyum, ia dapat dengan mudah membaca raut wajah Hinata. "Jadi Anda bebas memilih ingin tidur di asrama, atau di rumah Anda yang baru."

Hinata menghela nafas. Sistem itu pasti dibuat untuk menuruti permintaan murid-murid kaya yang umumnya manja—tidak bisa disiplin jika berasrama.

"Tapi dari segala macam sekolah umum di sini... kenapa harus asrama?" Hinata memiringkan kepalanya, dan menyandarkannya ke jendela mobil.

"Memangnya ada apa dengan asrama, Hinata-sama?"

"Ah, ti-tidak..." Hinata langsung tergagap, dan menggigit bibir bawahnya sendiri. "Ha-Hanya saja... aku cuma takut kalau aku akan kembali bertemu orang-orang yang sifatnya menyerupai... Neji-nii."

Mendengar lirihannya, Kakashi tertawa pelan.

"Saya doakan agar Hinata-sama tidak akan mengalaminya di sana."

"Iya, terima kasih..."

Bersamaan dengan kalimat Hinata, kecepatan mobil menurun, dan akhirnya mobil berhenti di salah satu halaman parkir yang cukup luas.

"Baiklah, kita sudah sampai..." Kata Kakashi saat ia sudah keluar mobil dan membukakan pintu untuk Hinata.

"Iya..." Hinata mengangguk. Dan setelah Hinata berdiri, gadis berambut indigo itu berkata. "Kakashi-san, aku mau minta satu hal kepadamu..."

.

.

: love in boarding | sanpacchi :

.

.

Hinata berdiri di sebelah mobil yang sedang Kakashi kendarai. Dia berikan lagi sebuah senyuman manis ke Kakashi yang wajahnya terlihat karena jendela yang sudah setengahnya terbuka.

"Hinata-sama, apa Anda yakin?" Tanyanya.

Ia mengangguk.

"Kalau sudah selesai, telfon saja. Saya akan menjemput Anda di sini."

"Mm..."

Setelah Kakashi merasa yakin atas jawaban Hinata, ia pun menunduk singkat untuk memberikan hormat.

Setelahnya Hinata berjalan mendekati pintu masuk sekolah. Sendirian. Tentu karena tadi Hinata meminta kepada Kakashi agar membiarkan dirinya yang mendaftar sendirian tanpa bantuan Kakashi. Masalahnya gadis itu memang sudah terbiasa mandiri, sehingga kurang nyaman rasanya jika semuanya dikerjakan orang lain.

"Hanya mendaftar ulang kok, sehabis itu kau bisa pulang, Hinata..." Gadis itu bermonolog dulu untuk membangkitkan rasa percaya dirinya.

Konoha Boarding School, itulah ukiran yang terpampang di depannya. Hinata sedikit mengadah, melihat secara jelas kalau gedung tersebut bertingkat 10. Ia jadi bingung sendiri. Bayangkan, seberapa banyak uang yang digunakan untuk membuat penampilan sebuah tempat pendidikan ini nyaris seperti hotel berbintang?

Tapi perlahan Hinata menepuk pipi gembilnya, mencoba untuk sadar. Jangan sampai ia terlena dengan segala fasilitas yang ada di sini.

Bersama kegugupan yang lumayan terlihat, Hinata melangkah maju memasuki pintu besar tersebut. Dan setelah ia mendorongnya, terlihatlah suasana megah yang sangat terasa kental. Padahal yang saat ini ia lihat hanyalah sebuah tempat yang menyerupai layanan informasi.

Bermodal peta lingkungan sekolah dan juga catatan—yang tadi dituliskan oleh Kakashi kepadanya—Hinata berjalan memasuki sekolah yang sedang ramai-ramainya oleh para murid. Ketika Hinata melewati beberapa dari mereka, banyak sekali yang menatap ke arahnya dengan pandangan bingung. Bahkan ada yang memandangnya sinis.

Sebenarnya Hinata paling tidak suka hal semacam ini, berurusan dengan orang—yang hanya dari tatapan matanya saja—terlihat sombong seperti mereka. Tapi karena pamannya sudah terlanjur memasukkannya ke dalam sekolah ini, jadi mau tidak mau ia harus menerimanya. Lagi pula ia hanya butuh tiga semester lagi untuk untuk lulus.

Cepat-cepat Hinata melihat peta kecil di tangannya. Ia butuh ke lantai atas untuk ke ruangan administrasi. Setelah memasuki lift, Hinata menekan tombol 9 dan menunggu benda ini beroperasi.

Dan saat Hinata keluar dari lift, ia merasa ada yang aneh di sini. Ia hanya melihat deretan pintu yang bertuliskan nomor-nomor yang tidak ia mengerti. Tidak ada tempat yang mencirikan ruangan admin seperti apa yang dituliskan oleh Kakashi. Tapi karena tidak mau gampang menyerah, Hinata memutuskan untuk mengitari lantai tersebut.

Setelah sepuluh menit terlewat, hasilnya nihil. Tampaknya ada yang salah dari catatannya.

Merasa dari tadi dirinya cuma berputar-putar, akhirnya ia putuskan untuk bertanya ke salah satu penghuni ruangan di tempat ini.

Ia berdiri di depan pintu yang bertuliskan 910, dan mengetuknya perlahan.

Tok tok tok.

"Pe-Permisii..."

Ditunggunya lama. Bisa hampir setengah menit ia mematung di tempatnya.

Tapi pintu itu mendadak terbuka, dan tidak tanggung-tanggung menampakkan sesosok pria berambut pirang jabrik yang berdiri di depannya. Hinata sedikit menahan rona merah di pipinya ketika sadar bahwa orang itu bertelanjang dada dan hanya memakai jeans biru pudar yang masih terikat dengan ikat pinggang hitamnya.

Awalnya si pirang—yang masih tampak mengantuk itu—hanya menggaruk-garuk rambut jabriknya yang berantakan sambil menguap. Tapi ketika sudah membuka kelopak mata, dan menunjukan sapphire-nya kepada Hinata, ia terdiam. Dia pandangi penampilan Hinata, di mulai dari atas sampai ke bawah.

Dan hal itu membuat Hinata menelan ludah. Ia takut.

Daripada berlama-lama Hinata memutuskan untuk segera bertanya.

"Ano... aku hanya ingin bertanya di mana—"

Kalimat Hinata terhenti, karena tiba-tiba saja tangan orang itu dengan kuat menariknya masuk ke dalam ruangannya—yang sekarang jelas terlihat seperti kamar. Hinata terkejut, terutama saat pria itu sudah menutup pintu dengan bantingan kencang, bahkan nyaris saja rambut biru panjangnya terjepit di sela pintu masuk.

Merasakan telah diperlakukan secara kasar, Hinata langsung panik. Tapi belum sempat ia mengeluarkan suara, lagi-lagi orang itu sudah menariknya dan menghempaskannya ke sesuatu tempat. Hinata sempat mengira tadi ia terjatuh ke permukaan lantai yang keras, namun apa yang ia pikirkan salah.

Dan saat pria itu sudah berada di atas tubuhnya, Hinata baru sadar kalau mereka sedang berada di atas kasur.

Hinata merasakan situasi di sini mulai berbahaya.

"N-Ng! Mi-Minggir dariku!" Secara spontan Hinata memejamkan kedua matanya rapat-rapat, dan memberontak dengan cara mendorongi tubuh pria itu dengan pukulan lemahnya.

"Kenapa harus aku yang minggir? Bukannya kau yang mendatangiku pertama kali?" Ia menggunakan suara yang sedikit menggoda. Dan dengan cepat—seakan terbiasa—ia mengambil kedua tangan Hinata agar tidak lagi mengganggunya dan menahannya ke masing-masing sisi kepala Hinata.

"He-Hentikan dan tolong minggir sekarang juga!"

Bukannya menuruti permintaan itu, ia malah semakin mendekatkan wajahnya yang sudah menyunggingkan sebuah seringai jahil.

"Kalau aku tidak mau, bagaimana?"

.

.

TO BE CONTINUED

.

.

Sansan's Note :

Fict ini awalnya Hinata x 5 cowok. Tapi kudikitin. Abis aku sendiri juga ngga ngerti sama apa yang kutulis ahaha. Maklum, pemula sih... :D

.

.

Next Chapter :

"Memangnya anak kecil sepertimu bisa apa—?"

"Aku suka ukuran dadamu."

"Kalau kau mau membuat Okaasan senang, kau saja yang menerima permintaannya untuk menjodohkanmu dengan keluarga Hyuuga itu, Itachi."

"Jalan pakai mata."

.

.

I'll pleased if you enter your comment

Mind to Review?

.

.

SANSANKYU