Mumford Stages
Oleh: Jogag Busang
Disclaimer: Kuroko no Basuke by Tadatoshi Fujimaki
Penulis tidak mengharapkan keuntungan materil dari fanfiksi ini
.
.
"Mengapa Akashi-kun ingin hidup pada zaman sekarang saja?"
"Karena pada zaman sekarang, kita dapat hidup dengan bahagia bersama, Tetsuya."
.
.
Bagian 1
Kota Sunda Kelapa, Zaman Eopolis
.
Daerah bernama Sunda Kelapa diberikan oleh imperalis Jepang kepada sebuah wilayah yang terletak di pantai utara. Awalnya hanya kecil, namun lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah kota. Sehari-hari penduduknya bekerja sebagai petani. Menanam tanaman tebu dan jarak sesuai dengan perintah bangsa yang menjajah. Bangsa imperalis yang berkuasa tersebut menggunakannya sebagai bahan untuk kebutuhan perang.
Tidak hanya sampai di situ. Sesuai dengan bangsa penjajah yang mendahuluinya, imperalis Jepang tampaknya diberkahi warisan berupa peraturan yang penuh dengan kekejaman kepada penduduk pribumi. Tanam paksa, kerja rodi, culture stelsel, Undang-Undang Agraria, dan masih banyak lagi yang diterapkan; yang semuanya bagi penduduk pribumi berakibat hanya pada satu hal: kesengsaraan.
Meski begitu, rakyat asli Jepang sendiri ada yang mengecam imperalis Jepang yang berbuat semena-mena terhadap penduduk pribumi. Mereka menuntut untuk memberikan balas budi kepada rakyat pribumi karena telah memberikan banyak hal kepada pemerintahan Jepang selama ini. Balas budi inilah yang disebut dengan politik etis.
Salah satu bagian dari program politik etis, yaitu memperbaiki pendidikan rakyat pribumi yang masih sangat minim. Dengan membangun Sekolah Rakyat (sekarang setara dengan SD), rakyat pribumi mulai belajar membaca, menulis, dan menghitung. Ada lagi jenjang pendidikan setelah SR, namun tidak untuk semua kalangan penduduk. Hanya anak-anak dari golongan tertentu yang dapat memasukinya.
Pena dihentikan. Seorang lelaki muda berusia 23 tahun dan berambut merah tersebut menyandarkan tubuhnya di kursi. Sambil mengamati hasil tulisannya, dia merenung.
Dunia memang kejam.
Lelaki yang bernama Akashi Seijuurou itu mendesah. Lagi-lagi perbedaan kasta masih memengaruhinya.
Saat ini, Akashi sedang mengerjakan tugas berupa esai untuk pelajaran Pendidikan Moral atau biasa disingkat dengan PM. Tema yang diangkatnya cukup sensitif. Akashi sendiri tidak tahu apakah gurunya nanti akan marah saat membaca keseluruhan esainya ini jika dia telah selesai menulis semuanya, atau bahkan pemerintahan Jepang akan menghukumnya, sebab jujur saja, esai ini akan mengundang kemarahan dan pemberontakan.
Merangkap sebagai siswa di Perguruan Tinggi, selama satu tahun ini Akashi sudah berusaha untuk mendukung Gerakan Petani Berani. Dengan diam-diam tentunya. Ayahnya, Akashi Masaomi, tentu saja tidak mengetahui perbuatannya. Akashi adalah marga terhormat di seluruh daratan Sunda Kelapa yang diutus langsung dari pemerintahan Jepang untuk mengawasi para petani yang ada di Sunda Kelapa, sementara Akashi Masaomi adalah seorang petinggi berwatak tegas yang menguasai beribu-ribu hektar areal persawahan.
Seandainya saja ayahnya tahu apa yang sedang dia lakukan… Akashi tidak dapat berhenti tersenyum ketika mengingatnya.
Semuanya ini tentu saja terjadi karena Kuroko Tetsuya. Seorang lelaki yang telah dikenalnya sejak dia pindah dari Jepang. Sejak bersekolah bersama-sama di SR, meski sekarang dia tidak lagi melanjutkan pendidikannya karena tidak diizinkan oleh pemerintah yang berkuasa, Akashi tahu, dia telah terpesona oleh esensi Tetsuya.
Kuroko Tetsuya adalah rakyat pribumi asli di Sunda Kelapa. Bagi Akashi, Tetsuya adalah orang pertama yang mengajarkannya akan arti berusaha. Sebelumnya Akashi selalu merasa bahwa dirinya adalah orang paling sempurna; cerdas, tampan, dan kaya. Akashi menganggap bahwa dirinya benar-benar sosok yang memesona, namun semua pandangan tersebut berubah karena Akashi telah tersihir akan pesona kata-kata Tetsuya.
"Tiada yang namanya manusia sempurna. Semua pasti memiliki salah dan dosa. Ingat itu jika kau nanti tidak ingin masuk lubang Neraka."
Bukankah kata-kata itu sudah sering Akashi dengar dari mulut banyak orang? Tapi entah mengapa, jika diucapkan oleh Tetsuya, rasanya menjadi berbeda. Seolah ada daya tarik tersendiri yang dipancarkannya.
Di lain kesempatan, Akashi juga pernah mendengar Tetsuya berkata:
"Kau tidak bisa menilai sebuah jagung dari kulitnya saja. Jika kau ingin benar-benar mengerti, kau juga harus mencicipi bagaimana lezatnya biji jagungnya."
Akashi semakin mengagumi sosoknya. Walau pun hanya anak dari petani biasa, bawahan ayahnya, namun pemikirannya sungguh dewasa.
Untuk istilah Akashi sendiri, Tetsuya itu terlalu… istimewa.
Jika ada timba raksasa yang bisa digunakan untuk mengukur besarnya kekaguman Akashi kepada Tetsuya, Akashi ingin membelinya, sebab dia sama sekali tidak mengerti bagaimana cara menanggulangi kadar kelebihannya.
Bagi Akashi ini merepotkan saja. Mengapa perasaannya sering jungkir balik kegirangan saat nama pemuda berambut biru itu disebutkan?
Ah, ini gila. Jelas gila.
Akashi lagi-lagi duduk terdiam, terlalu larut dalam perasaannya yang kian dalam.
Ingatannya masih segar dengan kejadian sore kemarin. Di mana, untuk pertama kalinya, Akashi mencium seseorang.
Tidak ada penolakan dari lawan. Mereka saling memagut, mesra, dan manja. Ingin lagi tapi mereka terlalu malu mengakui.
Akashi tahu jika dia sedang melakukan konspirasi, tapi bagaimana lagi? Dia sudah terlanjur jatuh hati dan tidak ada seorang pun yang mampu mengakali.
Kejadian kali itu bermula secara tidak sengaja. Kuroko Tetsuya baru saja pulang dari areal persawahan. Meski kakinya kotor dan bajunya dekil bukan main, Tetsuya tidak malu dengan keadaannya.
Ini sudah resiko jika dia bekerja menjadi buruh tani melarat.
Sementara Akashi, dia baru pulang dari Perguruan Tinggi. Sambil mengendarai sepeda laki (sepeda khusus untuk lelaki pada zaman dahulu, terdapat besi lurus yang menyatu dengan setang sepeda), iris merah Akashi melihat sosok Tetsuya yang berjalan santai melewati pematang sawah. Tangan kanannya membawa teko berisi kopi, sedangkan tangan kirinya menenteng sandal yang penuh dengan lumpur sawah.
Akashi menghentikan laju sepedanya, berhenti di pinggir jalan, menyangga sepeda sambil mengamati sosok lelaki berambut biru yang semakin mendekatinya. Bahkan dari jarak sepuluh meter, walau jelas-jelas penampilan Tetsuya sangat berantakan, bagi Akashi, wajah Tetsuya tetaplah semanis gula buatan pabrik yang ada di dekat rumahnya.
Iya, aku sedang menggombal.
Tetsuya terkejut saat melihat esensi Akashi di pinggir jalan. Dua meter jaraknya dari Akashi, Tetsuya berhenti. Merasa heran dengan kedatangan pemuda berambut merah tersebut, apalagi jika dia sedang tersenyum kepadanya, mendadak hati Tetsuya meleleh seperti pasta coklat yang dipanaskan.
Telunjuk Akashi memberi isyarat untuk mendekat. Wajah Tetsuya merah padam karenanya.
Ya Gusti, dia adalah malaikat Surga yang Kau berikan saat aku masih di bumi.
Kaki Tetsuya seakan tidak bisa menapak, lumer jika menyentuh tanah.
"Akashi-kun, kau baru pulang?" sapa Tetsuya sambil tersenyum malu-malu.
"Sudah seminggu ini kita belum berjumpa, Tetsuya. Kau tidak kangen denganku?" balas Akashi, cerdik menggoda.
"Akashi-kun, jangan menggodaku di sini. Masaomi-sama bisa melihatnya nanti."
Akashi memandang sekeliling. "Tidak ada siapa-siapa, Tetsuya. Ayahku tidak mungkin ada di sini."
Lelaki biru merasa gelisah. "Masaomi-sama memang tidak ada di sini, tapi ada bawahannya yang mengamati."
"Lupakan tentang bawahan, kita baru saja bertemu, tidak mungkin ada yang melihat kita, Tetsuya."
"Aku tahu jika kau masih ingin berbicara panjang kepadamu, tapi sepertinya aku diikuti seseorang."
Akashi terdiam. Menimbang-nimbang keadaan. Jika dia langsung pulang, tidak ada lagi kesempatan untuk bisa bertemu. Andainya ada, pasti itu seminggu lagi atau dua minggu lagi atau bahkan satu bulan. Itu terlalu lama dan itu berarti membuat hati terluka memendam rindu.
"Lagi pula, ini tempat umum. Di jalan, di tepi sawah, Akashi-kun. Akan banyak mata yang melihat jika kita terus-terusan di sini."
Akashi sudah memutuskan. "Kalau begitu ayo kubonceng, biar kau tidak diikuti lagi, Tetsuya. Ayo bersembunyi ke tempat yang aman."
Mata Tetsuya berbinar. Ini di luar dugaan.
"Benar nanti jika tidak ada penguntit lagi?" tanya Tetsuya memastikan.
"Benar, aku janji."
Tetsuya senang sekaligus rusuh. "Tapi sandalku ini bagaimana? Apakah perlu kubawa? Tapi kotor sekali, Akashi-kun, kau pasti tidak tahan saat menciumnya. Dan tekonya? Apakah juga-"
"Tetsuya, kau ingin ikut denganku atau tidak? Kenapa kau jadi ribut begini?" Akashi tersenyum geli melihat tingkah Tetsuya.
"Eh?" Wajah Tetsuya memerah.
"Sudah, kau tinggal saja sandalmu. Lagi pula itu sudah jelek. Aku akan membelikanmu yang baru."
Tetsuya cemberut. "Sandalku jelek, apa, Akashi-kun sembarangan menghina," Tetsuya mengomel.
"Bukankah memang benar kenyataannya?"
"Ini adalah hadiah pertama dari Akashi-kun, aku tidak tega membuangnya."
"Tetsuya, tidak apa-apa."
"Tapi, Akashi-kun, aku-"
Dasar keras kepala.
"Tetsuya! ayo!"
Mendengar seruan Akashi, serta merta Tetsuya membuang sandalnya, menghempaskan pantatnya di boncengan sepeda.
Akashi tersenyum. "Pegang erat, kita akan ngebut."
Tetsuya berseri-seri. "Baik, Akashi-kun."
Tetsuya melingkarkan kedua tangannya di pinggang Akashi.
Mereka berdua melaju dengan secepat yang sepeda itu bisa. Akashi merasa hari ini dia menjadi manusia yang paling bahagia di seluruh dunia, sementara Tetsuya tidak bisa untuk menghentikan senyumannya.
Jalan yang mereka lalui tidak mulus. Banyak lubang-lubang yang harus dihindari, membuat sepeda itu berkelak-kelok tidak menentu.
Di sebuah jalan yang teramat sepi, Akashi tidak dapat lagi mengontrol laju sepeda.
Ini buruk.
Akashi berusaha membelokkan sepedanya untuk menghindari lubang, namun-
Brukk!
Sepeda mengguling ke sisi kanan, tetapi Akashi dan Tetsuya tidaklah separah demikian. Mereka jatuh dengan posisi saling berpelukan.
Ya Gusti, apakah kami sedang berada di Surga?
Pikiran Tetsuya tidak bisa membayangkan apa-apa lagi. Bajunya yang dekil mengotori pakaian Akashi yang semula rapi, ditambah lagi mereka jatuh di tempat yang lumayan berlumpur, menambah kotornya baju yang mereka kenakan.
Dalam keadaan seperti ini, otak Akashi berpacu.
"Tetsuya, izinkan aku untuk menciummu," pinta Akashi.
Masih berbaring, Tetsuya memejamkan matanya sambil mengangguk pelan. Tidak kaget dengan permitaan Akashi. Sebenarnya sudaj sejak lama dia menginginkan hal tersebut.
Dan seperti itulah pertemuan mereka di sebuah sore yang berangin tersebut.
Kita berdua adalah pemberontak, aku tahu.
Dan aku sadar apa yang tengah kami lakukan.
"Akashi-sama!"
Sebuah suara seruan membuat imajinasi liar yang ada di benak Akashi memudar. Seorang pembantu yang ada di luar kamar menunjukkan wujudnya. Pintu kamarnya memang tidak terkunci.
"Ya, ada apa, Bibi?"
"Akashi-sama, Tuan Masaomi-sama memanggil Anda untuk makan malam sekarang."
Akashi lalu ingat. "Iya, terima kasih. Aku akan segera turun."
Esai yang belum selesai ditinggal begitu saja. Akashi melirik jam dinding.
Pukul tujuh kurang lima menit.
Akashi merasa heran. Padahal biasanya mereka makan malam hampir jam setengah delapan. Ada apa gerangan?
Jangan-jangan…
Ah, sudahlah. Tidak ada gunanya memikirkan hal yang belum terjadi.
Akashi berusaha untuk terus berpikir positif.
Dia kemudian turun ke bawah.
Berjalan menuju ruang makan, netra merah Akashi menangkap sosok ayahnya yang sedang duduk menunggu di kursi paling ujung. Ketika Akashi tiba, sang ayah mempersilahkannya untuk duduk.
Sejak masih kecil, Akashi terbiasa dengan semua peraturan yang ayahnya berikan. Meski sering tertekan, namun Akashi selalu menuruti perintah tersebut. Semuanya semata-mata demi menghormati mendiang ibunya yang memang telah lama meninggal. Dan pesan terakhir yang diberikan dari ibunya untuk Akashi adalah: "Patuhilah semua perintah ayahmu, Nak. Walau pun perintah itu sangat membebanimu, tapi Ibu yakin, ayahmu hanya melakukan hal yang terbaik bagimu."
Akashi selalu mengingat nasehat tersebut. dia sudah berjanji akan menuruti perintah ayahnya dengan baik.
Dua orang itu mulai makan.
Suasana di ruangan tersebut entah mengapa bagi Akashi menjadi sedingin es. Meski terkenal tegas dan kejam, namun biasanya atmosfernya tidak seperti ini.
Sambil menyendok, Akashi mencuri-curi pandang ke arah ayahnya. Firasatnya selalu benar. Wajah ayahnya tampak merah dalam diam.
Apa yang sebenarnya telah diketahui oleh Ayah?
"Ayah?" panggil Akashi, sopan dan selembut mungkin.
Akashi Masaomi meletakkan sendoknya. "Ada apa, Nak?"
"Aku merasa ada yang ingin Ayah katakan."
Masaomi tampak sepenuhnya menghentikan makannya. Sekarang tangannya bersidekap.
"Ayah harus bertanya terlebih dahulu padamu. Jawab dengan jujur."
Akashi merinding, tapi dia tetap mengangguk.
"Apa hubunganmu dengan seorang pemuda bernama Kuroko Tetsuya?"
Akashi menelan ludah sebelum menjawab. "Kami tidak memiliki hubungan apa-apa."
Masaomi tersenyum masam. "Kau pembohong yang payah, Akashi. Jujurlah kepada Ayah, sampai seberapa dekat hubunganmu dengannya?"
"Ayah, kami benar-benar tidak memiliki hubungan-"
"Jawab dengan jujur!"
Akashi tersentak. Dia kemudian mengangguk. "Ya, benar, kami sangat dekat," ucapnya mengakui.
"Akashi, tidak ingatkah kau dengan peraturan yang diberikan oleh pemerintah Jepang sewaktu kita ke Indonesia, sewaktu kita tinggal di Sunda Kelapa?"
Akashi terdiam, tidak berani mengucap satu kata apa pun.
"Kau pasti masih ingat, jika sampai ada orang Jepang dan penduduk pribumi memiliki hubungan, bahkan yang paling parah, hingga mereka menikah, masih ingatkah kau akan hukumannya?"
Akashi menggigit bibir. Dia tidak pernah berpikir akan sejauh ini akibatnya.
Dan semua ini membawa Akashi kepada satu kesimpulan.
"Ayah, apa yang akan kau lakukan kepada Tetsuya?"
"Bukan ayah yang menghukumnya, Nak. Selama ini ketika pemerintah Jepang mendatangi Ayah, Ayah berusaha untuk menyembunyikan hubunganmu dengan pemuda itu. Akashi, tahukah kau jika aku sangat menyayangimu? Apakah Ayah rela memasrahkanmu kepada pemerintah Jepang, disiksa karena melanggar peraturan? Demi Tuhan, Nak, Ayah selama ini hanya ingin melindungimu. Tapi untuk saat ini…"
"Ayah?" panggil Akashi. Dia mulai ketakutan.
"Apa yang terjadi dengan Tetsuya?"
"Dia ditangkap oleh pihak yang berwajib, dia akan dijatuhi hukuman mala mini juga."
Tangan Akashi mendadak terasa lemas. "Di mana, Ayah? Di mana Tetsuya?"
Masaomi memejamkan matanya. "Dia berada di penjara Gedung Pusat."
Akashi berdiri.
"Kau mau ke mana, Akashi?"
"Aku akan membawa Tetsuya pergi!"
"Akashi, itu tidak ada gunanya."
"Ini semua salah Ayah! Mengapa Ayah tidak mengatakan sejak tadi?" Akashi mulai histeris.
Bohong, yang benar ini semua salahku.
Aku yang telah menyebabkan masalah kepada Tetsuya.
"Aku akan ke sana sekarang."
Akashi berjalan pergi.
"Hei! Akashi! Tunggu!"
Namun Akashi sudah tidak menggubris panggilan tersebut. Yang ada di dalam pikirannya sekarang hanyalah Tetsuya, Tetsuya, dan Tetsuya.
Salahku, salahku, salahku.
Ini semua memang kesalahanku.
Akashi mengambil sepeda motor dari parkiran. Sambil menatap sendu kepada sepeda laki-nya, ingatannya terjurus hanya kepada satu nama.
Kuroko Tetsuya.
Kuroko Tetsuya.
Kuroko Tetsuya.
Nama itu dirapal berulang, seperti mengucapkan sebuah mantra untuk menghilangkan penyakit yang memenuhi jantungnya: kecemasan.
Demi apa pun, aku bersumpah akan menebusnya.
Sayangnya itu tidak mungkin.
Saat Akashi tiba di pelataran Gedung Pusat, suara teriakan memekakkan memenuhi gendang telinga Akashi.
Dan Akashi Seijuurou hapal benar suara siapa ini.
Kakinya dipaksa untuk berlari, menuju sumber suara. Dia memutar menuju pelataran belakang, melewati tempat yang tidak ada penjaga. Dinaikinya tangga menuju lantai atas. Dia sudah tidak memedulikan kakinya yang terasa pegal. Matanya dari tadi ingin meluncurkan salju, namun dia berusaha untuk menahannya agar tak kacau.
Jeritan lagi.
Hati Akashi seperti diremas-remas seribu besi.
Perih sekali rasanya.
Cepatlah, cepatlah, cepatlah kau Akashi.
Mata Akashi melebar saat suara jeritan terdengar dari ruangan di sebelah kanan. Kepalanya diangkat sejenak, mengamati tulisan yang tertera di atas sebuah pintu: Ruang Hukuman.
Didobraknya pintu tersebut. dobrakan pertama tidak berhasil, sementara suara jeritan melengking lagi. Tingkat kekhawatiran Akashi Seijuurou sudah berada pada tingkat tertinggi. Jika tidak segera bertemu Tetsuya, rasanya dia ingin mati.
Dobrakan ke empat berhasil, namun dua orang penjaga dengan sigap menahan tubuhnya yang memberontak hebat.
"Lepaskan! Tetsuya!" teriak Akashi.
Lihatlah! Kuroko Tetsuya, bocah biru yang telah memikat hatinya selama ini sedang terluka parah. Punggungnya berdarah-darah karena dicambuk dengan sejuta amarah.
Bahkan untuk menoleh menjawab panggilan Akashi saja Tetsuya sudah tidak mampu melakukannya.
Cambukan itu mendarat lagi. Lebih keras saat Akashi memanggil namanya.
"Hentikan! Hentikan semua ini! Tetsuya! Tetsuya!"
Akashi-kun? Kenapa kau ada di sini? Pergilah! Kau juga akan dihukum jika terus di sini! Pergilah, kumohon!
Sebenarnya, itulah yang ingin Tetsuya serukan kepada lelaki berambut merah yang ada di muka pintu itu, namun apa daya, dia tak mampu lagi mengucap suara.
Tetsuya sendiri sudah tidak tahu bagaimana bentuk dari tubuhnya saat ini. Seluruh badannya didera perih yang bertubi-tubi. Air matanya mengalir tak bisa dibendung sebab terlalu lama menahan rasa sakit.
Ya Gusti, jika Kau ingin menghukumku karena dosaku, bunuh saja aku sekarang.
Kelopak matanya mulai menutup.
"Tetsuya! Lepaskan dia! Hentikan semua ini! Tetsuya!"
"Hei! Diam di sana kau, Busuk! Jangan mengganggu kami dalam melaksanakan kewajiban yang harus kami jalani!"
Kewajiban-apa?
"Dia hanya rakyat pribumi yang telah pelanggar peraturan! Diamlah kau di sini, Keparat!" bentak penjaga yang menjagalnya.
Pelanggar peraturan-apa?
Ini semua adalah kesalahannya, bagaimana bisa hanya Tetsuya yang mendapatkannya?
Ini jelas gila.
Cambukan lagi. Jeritan kembali. Cambukan lagi. Teriakan kembali.
Tetsuya merasa sebentar lagi hidupnya akan usai. Dia sudah lelah merasa sakit, seluruh tubuhnya remuk menjadi abu. Napasnya mulai memendek. Ada setitik cahaya yang perlahan datang menghampirinya.
Ya Gusti, apakah itu malaikat pencabut nyawa?
Di saat-saat terakhir, saat mata Tetsuya sudah tidak sanggup lagi untuk menangis, saat tubuhnya tidak kuat lagi menahan cambukan, sudut bibirnya hanya melafalkan sebuah nama yang berhasil diingatnya.
"Aka…shi…-kun…"
Lalu semuanya gelap.
"Tetsuya! Tetsuya!"
Air mata Akashi tidak dapat tertampung lagi.
Dia sudah berpisah dengan sosok pemuda yang selama ini menjadi pusat gravitasinya.
Sekarang Akashi tahu benar bagaimana rasanya.
Sakit luar biasa.
.
DBS
(Dan Saya Bingung)
