Stasiun kereta api London nampak sibuk—seperti biasa. Remaja itu mendorong troli penuh barang miliknya tanpa banyak bicara. Sepasang manik abu-abunya berkedip-kedip gugup. Kedua orang tuanya sudah menghilang dari pandangannya, menembus dinding batu. Jangan pikir ia gila dan berkhayal. Jangan pikir kedua orang tuanya adalah hantu yang bisa berjalan menembus dinding. Hal itu sudah biasa dan terlampau hal yang sangat wajar di dunia sihir. Dunia sihir? Ya. Dia dan kedua orang tuanya adalah penyihir.
.
.
.
Eyes, Nose, Lips
Disclaimer : Harry Potter belongs to JK Rowling
Author : Olive Malfoy
Rate : T
Pair : Draco Malfoy x Hermione Granger
Happy Reading, Don't read if you hate DraMione
I'm still a Newbie, Typos everywhere
Hope you like it:)
.
.
.
"Ugh! Bisakah mereka menungguku barang sedetik saja?" gumamnya kesal. Matanya menyipit memandang dinding batu yang berada 2 meter di depannya.
Draco menarik nafas gugup. Kedua tangannya mencengkram pegangan trolinya erat-erat. Ini hari pertamanya bersekolah di Hogwarts, yang artinya ia harus melewati dinding batu ini untuk sampai di stasiun King Cross. Teman-temannya akan menertawakannya jika mereka tahu Draco Malfoy yang terhormat gugup karena takut wajahnya membentur dinding batu yang mencurigakan.
"Ok. I'm ready,"
Draco mulai mengeratkan pegangannya pada troli dan mulai berlari kecil—mendorong trolinya menuju dinding batu. Kakinya berlari semakin cepat, matanya menyipit memandang dinding yang hampir ia capai. Draco memejamkan matanya, ia bisa mendengar suara gesekan roda trolinya dan lantai.
Hampir sampai. Ya, tak akan terjadi apa-apa padanya.
Batinnya berusaha menenangkan detak jantungnya yang bertalu seheboh genderang perang. Ia heran kenapa dinding itu menjadi begitu jauh?
—BRUKK!
Suara benda yang bertubrukan terdengar jelas di telinganya. Kepalanya berdenyut menyakitkan—jelas saja sudah menghantam sesuatu. Draco merasakan badannya berbaring paksa pada lantai batu stasiun yang dingin. Sekujur tubuhnya terasa ngilu. Apa-apaan ini?
"AWW!"
Seseorang mengaduh kesakitan. Draco membuka matanya lebar-lebar. Seorang gadis yang kurang lebih seumuran dengannya berbaring di sampingnya. Mata gadis itu terpejam, tangannya yang dibungkus sarung tangan putih mengusap kepalanya yang ditumbuhi rambut cokelat megar yang mengembang mengerikan.
"Apa yang kau—"
Draco sudah siap menumpahkan amarahnya ketika gadis itu tiba-tiba membuka matanya lebar-lebar. Manik cokelat lembut menatap mata abu-abunya yang dingin. Draco kehilangan kata-katanya ketika sepasang mata itu menatapnya menenangkan, menariknya masuk dalam pusaran manik cokelat hazel yang meneduhkan.
"Ugh! Maaf. Aku tidak tahu kalau kau juga ingin menembus tembok," gadis itu berkata sambil mengusap sikunya yang memerah. Manik hazelnya memandang Draco yang masih terdiam seperti orang bodoh.
"...Apa?"
"Aku minta maaf. Ok?" nada kesal mulai mewarnai suara si gadis yang sekarang mulai melotot memandang lelaki aneh yang menatapnya tanpa berkedip. Melihat itu Draco cepat-cepat berdeham dan membalasnya dengan suara yang sama kesalnya.
"Ya! Sudah seharusnya kau meminta maaf. Dasar bodoh! Jalan itu pakai mata. Kau kemanakan matamu tadi huh?"
Gadis itu melotot seram dan mulai bangkit berdiri tanpa memutuskan kontak mata dengan Draco. Menepuk lengan mantel merah tuanya, si gadis memandang Draco mencela. Mulutnya komat-kamit mencibir tanpa suara sambil tak henti-hentinya membersihkan mantelnya dari debu.
"Asal kau tahu saja tuan muda, berjalan itu pakai kaki dan bukan pakai mata. Dan sampai kapan kau mau tiduran seperti itu? Kereta akan berangkat 10 menit lagi," suara bossynya mengejek Draco.
Tak mengindahkan tatapan dan ucapan si gadis penabrak, Draco bangkit dari posisi rebahan tidak elitnya dengan cuek. Menepuk-nepuk mantel hijau gelap mewahnya, Draco berdehem dan membalas ucapan gadis asing itu dengan nada angkuhnya yang biasa.
"Bukan urusanmu," katanya dengan suara menyebalkan. Ia kembali mendorong trolinya menuju dinding batu yang sejak awal mula menjadi tujuannya. Draco masih bisa mendengar suara gadis itu yang mengomel di belakangnya. Senyum geli muncul di bibir tipisnya. Gadis itu lucu, dan Draco suka mata cokelatnya.
Draco merengut sebal. Mata abu-abunya menyipit memandang si anak yang bertahan hidup—Harry Potter dan si miskin Weasley yang berdiri bersebelahan. Anak itu berani menolak ajakannya untuk berteman dan lebih suka menjalin pertemanan dengan Weasley yang kumal itu. Seharusnya si Potter merasa terhormat karena Draco Malfoy sudah mau bersusah payah mengajaknya berkenalan dan berteman.
Sekarang ia dan murid-murid lainnya mulai berjalan memasuki Aula Besar. Suara obrolan memenuhi aula yang penuh dengan murid Hogwarts yang sedang menanti makan malam yang kali ini diselingi dengan penyambutan siswa baru. Draco dan anak-anak lainnya dituntun oleh seorang wanita tua yang memperkenalkan dirinya sebagai Minerva McGonagall. Wanita itu menyuruh mereka berbaris dan berdiri menunggu giliran. Matanya berkeliaran memerhatikan sekeliling. Di depannya terdapat undakan tangga menuju panggung yang ditengahnya terdapat bangku tinggi. Tak jauh dari bangku tadi terdapat meja panjang yang sepertinya meja guru karena Draco melihat Albus Dumbledore duduk diantara orang-orang itu.
McGonagall mulai melangkah dan berhenti di samping bangku tinggi. Wanita itu memegang selembar perkamen panjang di tangan kirinya dan sebuah topi hitam usang di tangan kanannya. Draco tahu topi itu adalah topi seleksi. Mereka tentu saja harus diseleksi terlebih dahulu sebelum resmi menjadi murid Hogwarts kan?
Pikiran Draco terganggu karena mendengar tarikan nafas gugup seseorang di sampingnya. Kepala pirangnya menoleh ke samping kanan. Kedua matanya mendapati seorang gadis yang wajahnya tak asing lagi. Bibirnya melengkungkan senyum menyebalkan sebelum mulai berbisik pada gadis yang masih saja menarik nafas gugup.
"Ada apa nona? Apa kau gugup?"
Gadis itu menoleh dan menatapnya dengan mata lebar. Sekali lagi, Draco terpesona pada sepasang mata cokelat hazel itu. Gadis itu hanya merengut dan memainkan jari-jarinya gelisah sebelum kembali berbalik dan memfokuskan pandangannya pada McGonagall yang mulai menyebutkan nama-nama yang akan diseleksi.
"Bukan urusanmu," gadis itu berkata dengan sebal sambil tak henti-hentinya meremas kedua tangannya yang mulai basah oleh keringat. Draco tertawa pelan.
"HERMIONE GRANGER!"
Gadis itu melotot. Mulutnya mulai komat-kamit menggumamkan sesuatu yang tak jelas apa artinya ketika McGonagall menyerukan namanya keras-keras. Draco memandangnya sambil tersenyum tipis—tipis sekali. Sebelum gadis itu melangkah ke depan, Draco berbisik pelan.
"Good luck, Granger."
Mata hazel itu kembali menatap mata abu-abunya. Draco cepat-cepat menolehkan kepalanya ke arah lain—berusaha meredakan kegugupannya karena mata hazel gadis itu yang membuatnya kehilangan kata-katanya. Ia bisa mendengarnya. Suara gadis itu yang berbisik, yang tak lagi dipenuhi oleh nada kesal.
"Thanks,"
Hari itu, Draco tahu kalau ia benar-benar menyukai mata hazel milik Hermione Granger.
A/N:
Hello, long time no see. Ini ff pertama saya di fandom Harry Potter. Selama ini saya ragu-ragu menulis lagi karena masih kurang percaya diri dengan kemampuan saya hahaha. Jadi, entah ada angin apa saya tiba-tiba pengen nulis ff Dramione. Awalnya mau publish ff ini sebagai ff oneshoot, tapi saya masih ragu-ragu. Jadi saya potong saja hehe. Sekarang rencananya bakal membagi ff ini jadi 3 chapter tapi mungkin perchapter juga gak bakal panjang dan kurang lebih seperti ini juga, pokoknya masih belum pasti argh! jadi...lanjut?
Saya tunggu tanggapan kalian di kotak review yah!
Terimakasih telah menyempatkan diri membaca ff abal-abal ini:'D
