COMPLICATED
WARNING: Abal-abal, boring & crack pairing
SasuHina – HinaSaso – SasuSaku
Story line – Alila Clairene
Naruto - Masashi Kishimoto
~ Happy Reading ~
.
.
Chapter 1: Regrets
Siapa yang paling tersakiti di sini?
Aku yang pergi, atau..
Kau yang aku tinggalkan?
Yang aku tahu, tanganmu itu tak lagi menjangkauku.
Dan kau pun tahu kau tak berhak lagi untuk itu.
Semua berakhir, saat kau melepasku.
.
.
Hinata's pov:
Sejujurnya aku tidak tahu mengapa aku berada di sini, di cafe ini, dengan pria ini. Yang aku tahu, seharusnya yang ada di hadapanku adalah Matsuri. Apa dia menjebakku dalam kencan buta, lagi? Dia seharusnya tahu aku sedang sangat tidak ada keinginan dalam hal semacam ini. Ya setidaknya tidak untuk dalam waktu dekat.
"Jadi... Akasu-"
"Sasori." Dia menyela. Oke.
"Jadi Sasori-san, sepertinya ada kesalahpahaman di sini. Aku tidak tahu apapun soal kencan buta ini. Maaf."
"Aku sendiri yang meminta Matsuri untuk mengatur semua ini. Aku ingin mengenalmu, Hinata."
Aku menyilangkan kedua tanganku di dada, menghembuskan napas berat. Matsuri harusnya tahu aku sulit menolak permintaan seseorang, seperti ini. Tapi aku juga tidak sedang ingin mengenal seseorang yang baru. Jadi bukan berarti aku tidak menyukai pria bersurai merah ini, ya, dalam artian untuk berteman.
"Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan. Aku tidak memaksamu, tidak akan."
Oke, aku mulai merasa tidak enak dengan ketidak-ramahanku sendiri. Aku menghembuskan napas berat lagi lalu meraih cokelat panasku yang sudah tidak panas, menyeruputnya sedikit.
"Maaf, aku sedang dalam mood yang tidak baik, Sasori-san."
"Aku tahu, maafkan aku juga. Caraku tidak baik memang."
"Ah tidak tidak, ini bukan sepenuhnya salahmu, aku serius."
"Terima kasih. Kau gadis yang baik, seperti yang aku duga dari awal."
"Dari awal?"
"Ya, dari awal kau datang ke Suna dan tinggal bersama Matsuri."
"Itu sudah lama sekali berarti."
"Aku melihatmu di bandara saat itu dan sebenarnya aku sudah meminta Matsuri mengenalkanmu tapi dia bilang kau sedang tidak dalam mood yang baik. Ternyata setelah hampir setahun kau tetap tidak dalam mood yang baik, jadi maaf, aku tidak bisa menahan diri." Dia tersenyum lalu meraih kopi nya.
Setelah itu kami mengobrol tentang banyak hal seperti umur, hobi, keluarga, masa-masa sekolah, pekerjaan dan satu hal aku tahu, dia tidak pernah menyinggung percintaan sama sekali. Itu poin pentingnya dan aku sangat berterima kasih akan hal itu. Tidak seperti pria-pria yang pernah Matsuri kenalkan sebelum-sebelumnya, Sasori sepertinya tidak tertarik—atau memang sengaja membantuku mengubur semakin dalam kenangan-kenangan itu. Dan syukurnya aku tidak semakin kehilangan mood hari ini.
"Hina-channnn" Matsuri langsung memelukku saat aku memasuki apartemen kami.
"Tadaima."
"Okaeriiii..." dia menatapku dengan mata berbinar dan seakan meminta penjelasan lebih atas apa yang terjadi hari ini.
"Dia pria yang baik."
"Sudah ku duga kau akan menyukainya!"
Aku tidak berpikir jika kita mengatakan seseorang baik maka itu berarti kita menyukainya. Hmm.. mungkin Matsuri hanya terlalu senang aku pulang kencan buta tidak dengan wajah dongkol.
"Ah Hina-chan, besok aku mau ke rumah sakit menjenguk Gaara, jadi aku tidak bisa berangkat kerja denganmu. Maaf ya."
"Tidak apa-apa. Semoga Gaara cepat sembuh, sampaikan salamku."
"Haii, terima kasih."
Ah aku jadi ingat aku harus mengerjakan laporanku, sebelum Temari-san menyemburku. Sepertinya aku akan begadang malam ini. Tapi aku sudah ngantuk ya tuhan... bertahan bertahan. Ini bukan apa-apa. Setelah project ini selesai aku bisa liburan sepuasku.
.
.
.
Hinata melangkahkan kakinya ke dalam lift. Dengan kemeja putih dan rok hitam selutut, ditambah dengan heels hitamnya, penampilan Hinata terlihat sangat elegan. Tubuhnya yang ramping, meskipun dia sebenarnya bertambah kurus dari yang sebelumnya, kaki jenjangnya, indigo panjangnya yang terurai sempurna dengan kaca mata berframe setengah bundar hitam yang bertengger manis di hidung mungilnya, membuat siapapun yang melihatnya akan berdecak kagum. Tak terkecuali dua pria yang saat ini berada dalam lift yang sama dengannya.
"H-hinata?"
Merasa terpanggil, dia menolehkan kepalanya ke arah sumber suara. Hinata terperanjat kaget melihat dua pria tersebut.
"Astaga dia benar Hinata, Naruto."
"K-kiba-kun.. Naruto-kun.."
"Astaga aku tidak percaya aku bisa bertemu denganmu lagi." Pria berambut kuning itu tersenyum lebar.
.
.
.
"Maaf menunggu lama, aku harus berdiskusi dengan Temari-san dulu." Hinata duduk di kursi kantin kantor dan dua pria di depannya itu masih agak termenung melihat Hinata di depannya. Seperti masih tidak percaya dengan apa yang mereka lihat di depan mereka
"A-ah, ya tidak apa-apa. Maaf juga mengganggu kerjamu." Naruto kembali dalam kesadarannya dan Hinata hanya tersenyum kecil.
"Ternyata selama ini kau ada di Suna." Kiba mulai mengorek kabar Hinata.
"Ya, aku bekerja di sini setahun belakangan. Bagaimana kabar kalian?"
"Kami baik, kau sendiri? Kau terlihat baik tapi kenapa tambah kurus?"
"Ah? Apa terlihat jelas? Hm.. aku terlalu sibuk bekerja mungkin."
Naruto menatap lamat Hinata yang tengah mengalihkan pandangannya keluar jendela setelah manik Hinta secara tidak sengaja menabrak shapirre biru miliknya. Naruto menghembuskan nafasnya, menyadari bahwa masih ada luka di manik gadis cantik itu.
"Maaf tiba-tiba kami muncul di hadapanmu."
"Tidak, ini kebetulan. Bukan salah kalian. Apa ada pekerjaan di sini?"
"Ya Sasu-"
Kiba menginjak kaki Naruto. Dia menyadari raut Hinata yang berubah setelah hampir mendengar nama yang tabu baginya itu.
"Kami ingin membicarakan kerja sama dengan Sabaku."
"O-oh, begitu.. "
"Ngomong-ngomong, kau terlihat lebih dewasa sekarang. Kami hampir tidak mengenalimu."
"Kiba-kun juga, terlihat lebih dewasa dari terakhir kita bertemu. Naruto-kun juga... kalian, terlihat.. baik."
"Kenapa kau tiba-tiba pergi, Hinata?"
Naruto mendapat death glare dari Kiba, tapi rasa penasaran Naruto lebih besar dari rasa takutnya atas Kiba.
"Kenapa.. kenapa ya?"
Hinata memainkan jari-jarinya dan ada senyum pahit di wajah anggunnya.
"Aku.. ingin menyembuhkan diri, mungkin? Alasan apa lagi yang aku punya."
"Kau punya kami di sana."
"Tapi di sana ada dia, Naruto-kun. Bagaimana aku sembuh saat penyebab rasa sakitku di sana?"
Naruto meraih jemari Hinata. Kiba hanya mengamati dengan hati bergemuruh, sakit, mengetahui luka pada Hinata ternyata masih terbuka lebar.
"Aku minta maaf menanyakan hal ini. Sudah, cukup.."
.
.
.
Naruto melajukan sport merahnya dengan kencang melewati gemerlap kota Konoha. Kiba menopang dagunya, melihat keluar jendela. Pikirannya kosong.
"Aku senang melihatnya lagi." Naruto membuka percakapan
"Hmm.. aku juga. Tapi kenapa bocah-bocah Suna itu tidak pernah memberi tahu kita?"
"Aku tahu kau bodoh, tapi jangan sebodoh itu."
"Brengsek apa maksudmu?"
"Tentu saja mereka sudah mengetahui keadaan Hinata kan?"
"...ah iya juga."
Mobil Naruto terparkir sempurna di depan sebuah apartemen mewah milik Uchiha. Mereka menenteng sejumlah map coklat yang akan mereka serahkan pada Itachi, direktur Uchiha Corporation. Kiba berjalan ke ruangan Itachi, sedangkan Naruto menyempatkan mampir ke kamar si bungsu Uchiha terlebih dahulu.
"Yo Sasuke!"
"Tch, bisa bunyikan bel dulu?"
"Salahmu tidak mengganti pola sandimu. Terlalu cinta heh?" Naruto meledek.
"Ada perlu apa?" Sasuke meraih dua kaleng bir lalu melemparkan salah satunya ke Naruto.
"Aku dengar kau akan menikah, benarkah? Dengan siapa?"
Sasuke menyandarkan tubuhnya di sofa apartemennya yang menghadap langsung pemandangan malam Konoha. Naruto duduk di sebelahnya, meminum bir kalengan pemberian Sasuke.
"Kenalan lama, otou-san yang memintaku. Bukan, dia memerintah."
"Kau tidak menolak? Aku kira kau cukup pembangkang untuk jadi anaknya Fugaku."
"Untuk apa?" Sasuke menegak bir nya, matanya menatap gemerlap malam Konoha.
"Aku kira kau masih menyukai nya."
"Diam kau, brengsek. Aku sedang melupakannya."
"Tapi tidak berhasil kan? Menyedihkan.."
Sasuke terdiam, meletakkan birnya di meja begitu saja. Dia membenarkan perkataan Naruto dalam hati. Sekilas dia memutar kembali kenangannya bersama gadis yang merampas kewarasannya itu. Terlalu indah hingga menggores luka yang sangat dalam pada akhirnya. Dia sendiri tidak bisa mengingat dengan jelas bagaimana hubungan yang mereka bangun hancur seketika di hari itu.
'brengsek' umpat Sasuke dalam hati.
"Sasuke.. aku hanya ingin menasehatimu sesuatu."
"..."
"Aku juga belum berpengalaman dalam hal percintaan, tapi kau terlihat sama bodohnya denganku dalam masalah seperti ini."
"Katakan maksudmu dengan jelas."
"Jangan sampai menyesali keputusanmu lagi."
"Ak-"
"Jangan menyakiti siapapun lagi dengan keputusanmu. Baik untuk Hinata maupun wanita yang akan kau nikahi."
"..."
"Kalau aku jadi kau, aku akan mengejar Hinata sampai kapanpun."
"Dia memilih pergi."
"Karena kau membiarkannya."
"..."
"Ah, aku pulang dulu, aku ada kencan. Sampai jumpa."
Naruto meninggalkan Sasuke sendiri yang sdang bergulat dengan pikirannya. Sebenarnya tujuan Naruto datang adalah untuk memberitahu bahwa dia bertemu Hinata di Suna. Tapi melihat Sasuke yang seperti itu, dia mengurungkan niatnya.
"Hinata..." gumam Sasuke sambil memejamkan matanya sekejap lalu mendongakkan kepalanya, menatap langit-langit apartemennya.
"Kau ada di mana..."
Segudang penyesalan muncul, memporak porandakan pikiran pria 27 tahun itu. Wajah manis gadis kesayangannya mengisi kekosongannya sejenak. Dia tidak bisa lupa sedikitpun tentang gadis itu, bahkan hampir setahun setelah hubungan mereka berakhir. Dan jauh di dalam hatinya, dia mengakui, harusnya dia orang pertama yang harus meminta maaf di hari itu. Dia yang melepas Hinata dan dia sudah tidak berhak atas gadis itu. Tapi Sasuke menginginkannya, seperti dulu saat mereka bersama.
"Aku mencintaimu, masih.."
.
.
.
Sebuah kata yang terlambat untuk diucap.
Sebuah harga yang harus dibayar atas itu.
Kalaupun masa kita bisa terulang,
Apa aku masih pantas mendapatkanmu kembali?
.
.
TO BE CONTINUED
Yak, this is my first story here. So, I know it's still too far to be called 'good' story. But please enjoy and I'll try to make a better one for the next chapter ^^ Well, mind to give a review about this? :)
