...

Petang telah beranjak dari peraduan, tak lagi menyajikan keindahan langit biru yang semula mewarnai panorama alam ditengah terik sinar matahari. Semilir angin mengalun lembut menerpa dedaunan hijau, berguguran, meliuk dengan indah menari diantara riak udara. Mentari yang merajai angkasa kembali keufuk barat menyisakan bayang-bayang hitam, menimbulkan suasana gelap, dingin, suram, keheningan mencekam seakan meninggalkan jejak tak kasat yang terasa menyayat hati. Mengadahkan kepala keatas memejamkan kedua mata dengan perlahan, sesosok laki-laki nampak menikmati hembusan angin ditengah kegelapan langit yang kini hendak menjemput malam. Tiada kerisauan, tiada rasa bimbang bergelanyut dihati terpeta diwajah laki-laki tersebut. Lepas... Laki-laki itu nampak melepaskan segala perasaan didada, mengugurkan setiap kecamuk melalui hembusan angin dingin diikuti tangan kanan si lelaki terangkat, mengayun pelan merasakan setiap detik angin menerpa. Seolah-olah ia meraih semua asa yang ingin ia gapai kedalam genggaman.

"Kau berada disini?"

Derit pintu yang terbuka menghentikan pergerakan tangan si lelaki. Membuat laki-laki itu membuka kedua mata perlahan mendengar derap langkah kaki kian mendekat tertangkap ditelinga. "Kau mencariku?"

Mendapati si lelaki memerangkapnya dalam seulas senyum hangat, sosok tersebut tersipu malu. Memperlihatkan rona kemerahan disekitar tulang pipi kala merangkul lengan lelaki itu. "Tentu saja aku mencarimu, kau sudah berjanji hari ini kita akan pulang bersama-sama."

Mengulum senyum dibibir, lelaki itu meraih tas ransel tergeletak dikakinya. "Kalau begitu, ayo. Sebentar lagi langit akan gelap."

Hendak mengenakan tas ransel, sosok itu menarik lengan si lelaki. Membuat laki-laki itu terpaku ditempat merasakan kecupan lembut didaratkan pada pipinya secara tiba-tiba. "Selamat atas kelulusanmu."

Menolehkan wajah menatap penuh sosok tersebut dalam keterkejutan luar biasa, senyum tipis pun terkembang dibibir si lelaki setelah berhasil mencerna apa yang terjadi. "Kau juga, selamat atas kelulusanmu."

Menerima sentuhan lembut diarahkan si lelaki pada puncak kepala, sosok itu semakin mengeratkan pelukannya dilengan laki-laki tersebut. "Sekarang kita bukan lagi murid pelajar menegah atas, tetapi mahasiswi-" tangan sosok itu menunjuk dirinya kemudian berganti menujuk si lelaki. "-dan mahasiswa di universitas Tokyo!"

Terkekeh kecil seraya menggenggam tangan sosok itu, "Apa kau ingin aku buatkan perayaan kecil untuk kelulusan?" Si lelaki melangkah pelan menuntun sosok itu keluar dari atap gedung. "Bukan sebuah pesta mewah, hanya makan malam disalah satu restaurant favoritmu, cuma ada kita berdua saja. Supirku akan menjemputmu jam delapan nanti. Kau suka makan malam romantis dengan lilin-lilin panjang diatas meja bukan?"

Pukul.

Sosok itu memukul lengan si lelaki dengan kuat. Melampiaskan kekesalan. "Kau sama sekali tidak romantis?! Seharusnya kau buat kejutan untukku agar aku terkesima. Bukan malah menghancurkan semuanya dengan memberitahuku sesi rencana makan malam nanti!"

Tawa si lelaki meledak seketika. "Ya, ya aku minta maaf. Lain kali jika kita makan malam, aku akan membuat kejutan yang sangat spesial untukmu hingga kau tidak akan mungkin bisa berpaling dariku. Siap-siap saja nanti." Sebutnya mencolek hidung sosok itu.

Terkikik kecil sebagai respon, sosok itu turut mengikuti langkah si lelaki menuruni tangga. "Tenang saja. Aku tidak akan mungkin berpaling darimu sekalipun kau tidak membuat kejutan spesial itu."

Melintasi koridor sepi tiada lagi dihuni siswa-siswi yang sebelumnya memenuhi seluruh pelosok gedung. Laki-laki tersebut terus melangkahkan kaki menyusuri lorong, bercengkrama bersama pasangannya saling berbagi kisah, meleburkan diri dalam dunia indah yang mereka ciptakan berdua hingga tak urung mengabaikan kondisi disekelilingnya. Melewati salah seorang siswa yang sedang merokok sambil mengadahkan kepala keluar jendela lorong, laki-laki itu segera berbelok, kembali menuruni tangga menuju lantai dasar dimana dari balik dinding lorong terdapat sesosok wanita melayangkan pandangan kearah mereka berdua.

Menilik kearah depan dimana pintu keluar gedung sekolah berada, laki-laki itu menggenggam erat tangan sang kekasih kemudian menariknya. "Ahh! Supirku sudah datang. Ku antar kau pulang, ya?"

Melihat gadis tersebut mengangguk. Laki-laki itu pun lekas berlari terlebih dahulu menuju kearah mobil sedan hitam miliknya kemudian membukakan pintu mobil. "Silahkan masuk."

Tidak mampu dipungkiri, gadis itu akui ia tersipu akan perlakuan si lelaki. "Walau kau bersikap seperti ini, tetap saja bagiku kau tidak romantis."

"Ck! Lihat saja nanti. Aku pasti akan menjadi laki-laki yang romantis untukmu." Ikrar si lelaki mengusap hidungnya seraya membusungkan dada. Tersenyum tipis melihat wajah sang kekasih yang nampak tak percaya, laki-laki itu pun segara menutup pintu mobil, kemudian masuk melalui pintu mobil disisi sebaliknya.

Sempurna...

Adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kehidupan si lelaki digelimpangi kekayaan, memiliki wajah rupawan, orang tua yang selalu mendukung dirinya dalam beragam aspek, kekasih yang cantik juga baik hati, prestasi di akademis yang memuaskan, dan dikelilingi orang-orang yang memuja dirinya. Tiada kecacatan, bahkan bila ditelaah secara objektif hidup si lelaki yang selalu diwarnai rinai kebahagiaan menjadi puncak atas segala kesempurnaan yang dimiliki olehnya. Seperti air mengalir, semua berjalan dengan mulus bak cerita dongeng yang berakhir indah.

Entah kebahagiaan itu akan terus terjalin ataukah harus terhenti. Tidak ada seorang pun yang dapat memastikan. Sekalipun tidak terbatas, sebagaimana seorang manusia biasa memiliki segala kesempurnaan yang mengalir seperti air, lambat laun perjalanan itu akan bermuara hingga terjebak dalam jelaga. Hidup pasti menyisipkan secuil nila yang dinamakan dengan takdir.Pahit dan manis tidak bisa dihindari, mengelak hanya akan membuat kita terpaksa untuk menegaknya agar dapat merasakan arti dari realita kehidupan yang sebenarnya..

.

Ribuan gedung pencakar langit terlihat disepanjang mata memandang dari jendela-jendela kaca berukuran besar kala memasuki sebuah ruangan berukuran besar. Menutup rapat pintu kaca bergaris keabu-abuan disekitar pertengahan pintu, laki-laki mengenakan stelan jas lengkap dipadu dasi berwarna merah marun berjalan menuju meja diujung ruangan kemudian menduduki sebuah kursi hitam didekat meja tersebut. Memasukan earphone tanpa kabel ditelinga, jemari si lelaki pun menekan tombol pada bagian atas earphone.

"Aku ingin mengadakan rapat hari ini dengan divisi pemasaran dua puluh lima menit nanti."

Suara disebrang telepon terdengar keberatan akan pernyataan si pria. "Malam ini lembur lagi?"

Menghembuskan nafas seraya berjalan kesisi meja, pria itu pun menyandarkan pinggulnya. "Aku harus melakukannya agar kita bisa mengobservasi perserta tender dari perusahaan lain. Bagaimana pun juga perusahaan kita harus memenangkan tender itu."

"Jangan terlalu kompetitif, bung. Aku tidak punya waktu untuk menemanimu minum jika kau tidak bisa memenangkan tender itu."

Lelaki itu terkekeh geli seraya menggelengkan kepala. "Simpan kekhawatiranmu itu karena aku tidak memerlukannya."

Sang penerima telepon berdecak pelan. "Ya, ya. Aku tahu. Lagipula terlalu mustahil hal itu akan terjadi jika kau yang memimpin pengalihan tender." Membiarkan lelaki tersebut tertawa untuk kedua kali, pria disebrang telepon berdeham pelan mengusir serak dikerongkongan. "Baiklah, aku akan mengurus segala persiapan untuk rapat. Kau tunggu saja tuan direktur."

Senyum dibibir si lelaki mengembang. "Aku mengandalkanmu untuk hal ini." Ucapnya kemudian. "Sampai ketemu 20 menit lagi."

"Oke."

Kembali menekan tombol pada sisi atas earphone. Laki-laki itu pun kembali memilah kontak telepon pada ponsel touchsreen ukuran 5.8 inci digenggaman tangannya. "Kau sudah memilih arsitek dan kontraktor dari perusahaan kita yang memenuhi persyaratan tender?"

"Ya. Aku telah mengkualifikasi dua orang perusahaan dari kita."

Mengangguk pelan, lelaki itu mengeratkan dasi yang tersemat dileher. "Kerja bagus. Bawa mereka untuk menghadapku dua puluh menit lagi diruang rapat. Kita akan membahas proyek itu malam ini."

"Lagi?!" Ungkap si penerima telepon menunjukan nada keberatan. Sama seperti penelpon sebelumnya.

"Apa ada yang ingin kau sampaikan?" Lelaki itu berdecak pinggang sembari memperbaiki posisi hingga kini ia berdiri tegak.

Helaan nafas frustasi terdengar ditelinga. "Baik-baik, lima belas menit lagi aku akan sampai diruang rapat."

Seulas senyum lebar terkembang diwajah si pria. "Terima kasih, Kiba."

"Kalau begitu traktir aku yakiniku, pak direktur." Gelak tawa pun terdengar dibalik telepon. Si lelaki menggeleng kepala pelan, tak habis pikir.

"Bereskan dulu perkerjaanmu yang lain. Aku serius, tidak ada waktu main-main untukmu." Seketika tawa pria yang dipanggil Kiba itu terhenti, berganti dengan decakan kesal namun tak terlalu kentara. Si lelaki tersenyum tipis. "Sampai ketemu diruang rapat."

Memutuskan sambungan telepon dengan menekan tombol pada earphone, si lelaki menghela nafas pelan. Menggerakan perpotongan leher kekiri dan kekanan mengusir rasa penat mendera. Menerawang sejenak layar ponsel touchscreen miliknya, pria itu pun menekan tombol satu. Memuat sebuah nama yang tertera pada layar ponsel. Berselang beberapa menit mendengar sambungan telepon, suara operator pun terdengar.

'Tidak aktif lagi...'

Melayangkan tatapan sendu kearah jendela kaca dimana gedung pencakar langit dihiasi lampu-lampu indah menerangi langit yang gelap, suara lelaki itu terdengar ditengah kesunyian. "Sakura..."

Tidak seperti beberapa menit lalu, perkataan si lelaki tak disambut oleh siapapun. Hanya keheningan yang menjawab, semakin menambah sunyi jiwa si lelaki yang berdiri seorang diri didalam ruang kerjanya. "Kau berada dimana sekarang?"

Memasukan sebelah tangan kesaku celana, lelaki itu tak juga mengubah posisi tubuh agar lebih rileks. Seseorang yang sedang ia hubungi melalui pesan suara seakan menyerap seluruh energinya, membuat ia lebih memilih tercenung memandang hamparan lampu jalanan, meluapkan segala asa rindu yang terpendam. "Apa kau sudah makan? Bagaimana dengan perkerjaanmu? Jangan terlalu lelah. Jaga kondisi tubuhmu dengan baik, aku tidak ingin kau jatuh sakit."

Suara ketukan pada pintu kaca membuyarkan lamunan si pria, lekas ia mengalihkan wajah kearah belakang menatap seorang wanita mengenakan pakaian kantoran berdiri diambang pintu.

"Namikaze-sama, lima menit lagi rapat akan dilaksanakan."

Menganggukan kepala singkat sebagai isyarat, wanita itu pun menundukan kepala. Pamit undur diri mempersilahkan pria bersurai pirang itu melewati pintu kaca yang telah ia bukakan. "Jangan lupa hubungi aku setelah menerima pesan ini, Sakura." Mengancingkan kembali jas miliknya, pria itu pun melangkah perlahan sembari memutuskan sambungan telepon. "Apakah yang lain sudah berkumpul?"

"Mereka semua telah menunggu anda, Namikaze-sama." Jawab sang sekretaris.

"Aku tidak ingin rapat kali ini diganggu untuk hal-hal yang tak penting. Jika ada yang mencariku atau menghubungiku, siapapun itu bilang pada mereka kalau aku sibuk. Mengerti?"

"Baik, Namikaze-sama." Wanita itu pun menundukan kepala, menyanggupi perintah sang atasan yang kini telah berjalan melewati lorong.

Berbelok kearah kiri pada persimpangan koridor, lelaki itu membuka pintu kaca sebuah ruangan berukuran besar dimana sekitar sepuluh orang dari tim divisi telah berkumpul diruang rapat. Baik laki-laki atau pun perempuan kini telah berdiri dari kursi yang diduduki, memberi penghormatan pada petinggi perusahaan mereka.

Tanpa membalas salam dari para karyawannya, lelaki itu pun segera duduk dikursi. "Tidak perlu berbasa-basi lagi, malam ini aku ingin menuntaskan proyek yang ditawarkan perusahaan Jyuukatsu." Ucapnya mengawali jalannya rapat. "Seperti yang kalian ketahui, Jyuukatsu Corp adalah perusahaan terbesar di Jepang yang menjalin kerjasama lebih dari lima belas perusahaan besar diseluruh penjuru dunia. Proyek mereka tawarkan kali ini memiliki presentase keuntungan sebesar 45 persen dari proyek-proyek sebelumnya, dan bila kita berhasil memenangkan tender kali ini, perusahaan kita akan mendapatkan kontrak bisnis dalam skala besar. Potensi perusahaan kita menjadi semakin meluas hingga kemanca-negara. Mengibarkan nama perusahaan kita dikancah internasional tak hanya menjadi impian belaka jika kita berhasil menjalin mitra kerjasama dengan perusahaan mereka."

Menyandarkan punggung pada sandaran kursi, si lelaki berusaha bersikap rileks namun tak menyurutkan sikap tegas sebagai pemegang otoritas tertinggi. "Banyak sekali instansi bergensi mengikuti proyek ini. Sama seperti kita, mereka pun menginginkan hal yang sama untuk perusahaan mereka yaitu memenangkan tender tersebut." Menghela nafas pelan, si lelaki memicingkan mata menatap segala penjuru arah. "Proses tender kali ini adalah proses yang penuh persaingan, sangatlah penting bagi kita untuk mencantumkan penawaran yang kompetitif didalam proposal kita agar pengajuan penawaran bisa disetujui pihak Jyuukatsu. Untuk itu, aku minta keseriusan dari kalian menjalankan proyek ini. Fokuskan pikiran dan mental kalian untuk memenangkannya!"

Menempatkan kedua tangan diatas meja rapat berbentuk oval, Naruto nama dari laki-laki bersurai pirang itu mengangkat tinggi sebuah dokumen setebal lima senti. "Hal-hal yang menjadi bahan pertimbanganku untuk proposal pengajuan ini, proposal kita harus memiliki kualifikasi dari persyaratan yang dibutuhkan. Kita juga harus memenuhi segala aspek terkecil dari sub kontraktor, siapa saja yang akan membantu, modal, fasilitas, konflik internal dan eksternal yang akan terjadi, SDA, SDM, peralatan, laba/rugi, dan syarat-syarat yang diajukan. Semua itu harus kita lampirkan agar proposal kita bisa diterima." Menghempaskan kuat proposal tersebut diatas meja. Mata sapphire Naruto memicing tajam perserta rapat. "Aku tidak akan menerima omong kosong bila kalian masih berpegang teguh pada struktur sistem yang lama seperti pengerjaan proposal kemarin! Anggap sebagai pelajaran untuk kalian pada kedepannya jika kita kembali menangani proyek besar seperti ini. Mengerti?!"

Para perserta rapat menganggukan kepala pelan tidak tersinggung akan kemarahan Naruto, malah mereka terlihat termovitasi agar bisa melakukan yang terbaik untuk kedepannya.

"Apakah kalian telah melengkapi segala persyaratan untuk proyek kali ini?" Ujar Naruto memilah berkas-berkas diatas meja.

"Aku sudah melengkapi berkas-berkas pengajuan tender yang akan digunakan seperti dokumen pajak perusahaan kita, surat izin usaha perdagangan, keterangan domisili perusahaan, dan untuk bagian pembangunan surat izin usaha kontruksi sudah aku tangani." Laki-laki berkuncir nanas buka suara dari kursi tempat ia berada.

Menganggukan kepala singkat, Naruto pun mengalihkan wajah menatap salah seorang perserta. "Bagaimana dengan jadwal tender yang telah mereka sediakan, nona Tsunade? Pastikan kita melakukannya bertepatan dengan jadwal, jangan lebih awal dan jangan sampai terlambat. 85 persen perusahaan gagal memenangkan tender karena lalai akan jadwal yang telah ditetapkan. Pihak Jyuukatsu sangat selektif dalam memilih mitra untuk tender kali ini, kita harus berhati-hati."

Mendapati Naruto melayangkan tatapan penuh selidik, wanita bersurai pirang digelung tinggi melampirkan sebuah laporan pada proyeksi microsoft power point. "Aku terus memantau perkembangan proyek ini seperti yang anda minta, Namikaze-san. Jika tidak ada alar melintang, tanggal lima belas nanti kita akan bersaing dengan perusahaan-perusahaan lainnya."

Memandang layar proyeksi dibelakangnya, Naruto kembali memutar kursi yang dia duduki dengan wajah puas. "Kerja bagus, nona Tsunade. Tetap ikuti perkembangan mereka."

"Baik, Namikaze-sama." Seru wanita itu tegas.

"Kita juga harus memperhitungkan perusahaan yang berkompetisi, Namikaze-sama." Laki-laki mengenakan kemeja biru meraih remote proyeksi dari tangan Tsunade, kemudian memindah slide selanjutnya. Memperlihatkan daftar nama-nama perusahaan di jepang. "Tender yang diajukan oleh Jyuukatsu Corp pada tahun ini adalah tender berskala besar. Mengingat skala dari tender tersebut, potensi dari perusahaan yang berkompetisi tidak bisa kita abaikan begitu saja. Proyek besar pasti akan melahirkan kecurangan yang besar juga. Aku khawatir perusahaan-perusahaan ini menjalin kerjasama ilegal dengan panitia tender agar terpilih menjadi pemenang, parahnya lagi persaingan ini mungkin akan membawa kita kedalam ranah perkara negatif secara personal. Dan yang kutakutkan hal itu akan membahayakan keselamatan kita." Sai memutar gusar pena miliknya.

Wanita bersurai merah mengangguk seraya memperbaiki letak kacamata dipangkal hidung. "Aku juga berpikir seperti itu, untuk perusahaan besar yang ingin memenangkan tender seperti ini pasti menghalalkan segala cara. Melanggar hukum mungkin sudah biasa mereka lakukan agar dapat menggertak pesaing."

Mengetuk ujung jari pada permukaan meja, Naruto memandang Sai dalam pemandangan intens. "Terus amati perusahaan mereka Sai, jika terjadi sesuatu yang mencurigakan konfirmasikan kepadaku sekecil apapun itu agar aku dapat mengambil sikap atas perbuataan mereka." Memejamkan mata sejenak, Naruto menghembuskan nafas pelan. "Usahakan bagi kalian para perempuan untuk tidak keluar dimalam hari seorang diri."

"Baik, Namikaze-sama." Sai menganggukan kepala, menyanggupi perintah Naruto.

Pemuda berkulit coklat tersebut menggumam pelan, dengan sebelah tangan membuka salah satu tumpukan berkas diatas meja. "Aku telah membentuk tim khusus untuk menangani tender kali ini. Tanggal lima belas nanti, kosongkan jadwal kalian Shikamaru, Kimimaro, dan Neji Hyuuga." Beranjak berdiri dari kursi yang diduduki, Naruto memutar ulang proyeksi microsoft power point hingga memuat program miliknya. "Strategi yang akan kuterapkan pada proposal kita adalah mengajukan harga penawaran dibawah tetapi mendekati harga tender."

Wanita bersurai pirang dengan model rambut potongan bob mengerutkan kening. "Kenapa kita mengajukan harga penawaran dibawah dari harga yang ditetapkan?"

Naruto menggelengkan kepala pelan, menumpu kedua telapak tangan pada permukaan meja. "Mengajukan harga lebih tinggi tidak menjamin kita bisa memenangkan tender itu. Kemungkinan besar bila menjalankan konsep tersebut, kita akan kalah dengan perusahaan lain yang menawarkan harga lebih murah." Mengarahkan tongkat kecil pada layar proyeksi, Naruto menjelaskan skesta diagram miliknya. "Namun menawarkan harga terlalu murah juga tidak baik karena kita bisa dianggap melakukan pengurangan spesifikasi dan kualitas barang untuk mendapatkan harga termurah. Aku sudah menyiapkan standart harga yang telah ku sesuaikan untuk menarik pihak dari Jyuukatsu. Pelajari prosposal yang akan kuberikan pada kalian nanti, Shikamaru, Kimimaro, Neji."

"Baik." Sebut ketiga pria tersebut mantap.

"Ohh ya, satu hal lagi Shikamaru." Mendengar suara Naruto yang memanggil namanya, laki-laki berkuncir nanas tersebut mengalihkan wajah menatap sang pemimpin. "Lengkapi lagi persyaratan yang diisyaratkan pada proses tender nanti. Spesifikasi teknis harus sesuai dengan persyaratan serta metode pelaksanaan dibuat serinci mungkin agar kita bisa dianggap menguasi perkerjaan yang akan dilelangkan dan juga tidak meninggalkan proses perkerjaan pada masa pemiliharaan kedepannya." Putusnya mutlak memberi tugas baru. "Temari-san akan membantumu untuk menyelesaikan semuanya."

Menolehkan wajah menatap wanita cantik berada disembrang meja, Shikamaru menghela nafas frustasi sembari bergumam pelan. "Merepotkan."

Bersedekap dada menatap seluruh perserta rapa yang berada didepannya, Naruto menatap singkat pria bersurai perak berada tak jauh didekatnya. "Perhitungan harga pernawaran yang telah kusesuaikan kedalam proposal baru sebanyak 5 rangkap. Satu untuk diajukan, satu untukku dan tiga lainnya agar bisa dipelajari Shikamaru, Kimimaro, dan Neji." Perintahnya dalam satu tarikan nafas cepat. "Harga penawaran yang sudah kutetapkan tidak melampaui HPS, tetapi tetap masuk pada RAP yang sudah direncakan. Penulisan yang salah pada dokumen penawaran ataupun pada jaminan penawaran dapat menggugurkan penawaran kita. Kau harus berhati-hati menjalankan proposal baru ini, Kakashi."

Pria bersurai perak menggaruk pelan sisi kiri rambutnya. "Yes Sir."

Mengalihkan wajah, Naruto menatap kembali ketiga laki-laki dideretan bangku sebelah kiri. "Untuk kalian bertiga pastikan perizinan perusahaan masih tetap berlaku dan jaminan penawaran sesuai dengan persyaratan saat eksekusi nanti!"

'Kerja rodi.' Batin ketiga pria tersebut, namun mereka tidak bisa berbuat banyak selain menerima segala perintah dari Naruto. "Baik, Namikaze-sama."

"Mana dua orang yang kau tunjuk sebagai arsitek dan kontraktor untuk menggarap proyek ini, Kiba?" Mengarahkan pandangan mata keseluruh penjuru arah, pertanyaan Naruto tertelan oleh keheningan ketika ketukan dari pintu kaca terdengar. "Sudah kuberitahukan kepadamu bila aku sedang mengadakan rapat dengan tim divisi pemasaran!" Naruto terlihat tak senang akan kemunculan sang sekretaris dari balik pintu.

"Maaf Namikaze-"

"Aku sibuk!" Potong Naruto menatap tajam wanita pirang pucat tersebut dalam intonasi suara yang terdengar kelam. "Aku paling tidak suka jika ada yang mengangguku ketika sedang berkerja. Katakan pada siapapun itu untuk tidak menghubungi atau menemuiku saat ini."

"Tapi Namikaze-sama..."

"Keluar." Suara Naruto terdengar semakin mencengkam meski kini ia membalikan badan tak lagi menatap sekretarisnya itu. "Kukatakan sekali lagi, mana dua orang yang kau tunjuk sebagai arsitek dan kontrak-"

"Maafkan aku Namikaze-sama! T-etapi, i-ibu anda..." Suara Naruto terhenti akibat pernyataan yang dilantunkan sekretaris dalam intonasi tinggi. "Ibu anda mengalami kecelakaan ketika dalam perjalanan pulang kembali ke Tokyo. Di distrik Musashino-shi, Midoricho2!"

Mata biru Naruto membulat seketika, genggaman tangan pada tongkat proyeksi merenggang saat mengalihkan secara perlahan menatap sang sekretaris.

.

.

.

Naruto tidak tahu lagi mobil yang ia kemudikan telah melampaui batas atau tidak, pemuda bertahtakan rambut pirang cerah dengan mata sebening lautan tidak tahu dan tak mau tahu. Fokus pikiran laki-laki berusia dua puluh delapan itu kini terbagi, terbagi akan sosok tercinta yang telah melahirkan ia kedunia terbaring dalam ranjang pesakitan. Tepat dua puluh delapan menit lalu saat berada diperusahaan miliknya, Naruto tidak bisa lagi mengendalikan gejolak pada tubuhnya. Darahnya terasa bergemuruh, berdetak dengan kencang hingga seakan-akan hatinya ingin meledak didetik ini juga. Bagaikan kesetanan, begitu mendengar kabar mengenai ibunya yang mengalami kecelakaan, Naruto lekas keluar dari ruang rapat tanpa ada sepatah kata sebagai penutupan rapat, ataupun pesan kepada para pegawainya. Fokus tujuan Naruto sekarang hanya satu, memacu mobil miliknya secepat mungkin agar lekas sampai dirumah sakit.

Begitu sampai dikawasan rumah sakit, Naruto segera menghentikan mobil miliknya tepat dipintu masuk. Tergesa-gesa keluar dari mobil sembari berlari kencang, tak lagi peduli jika beberapa orang perawat yang sedang menurunkan pasien lain dari dalam mobil ambulans menghardik dirinya akibat memarkir mobil ditempat yang tak seharusnya. Menghempaskan pintu kaca menggunakan kedua tangan, Naruto melangkahkan kaki dengan lebar memasuki rumah sakit seperti orang tak waras, bahkan tak urung ia kehilangan keseimbangan akibat menabrak perawat serta orang-orang yang melintasi koridor rumah sakit ketika melangkahkan kedua langkah kaki dengan lebar.

Berhasil menemukan resepsionis berada tepat ditengah aula rumah sakit, Naruto segera menghampiri mereka dengan nafas terputus-putus. "Di-Dimana pasien yang baru mengalami kecelakaan di distrik Musashino-shi?!"

"Apakah anda keluarganya?" Melihat wajah Naruto sejenak, sang suster terkesan mengabaikan Naruto yang terlihat khawatir sembari berusaha menormalkan deru nafas.

"AKU ANAKNYA! CEPAT KATAKAN PADAKU DIMANA IBUKU SEKARANG?!" Laki-laki berkulit coklat madu tersebut mengerbak meja resepsions dengan kuat, tak bisa menahan emosi disaat ia mengkhawatirkan keadaan sang ibu, sang perawat justru memperlambat pergerakannya.

"R-Ruang emergency, tepat diujung lorong sebelah kiri setelah dipersimpangan koridor." Suster itu reflek menjelaskan rute ruangan dengan cepat, merasa terkejut sekaligus takut akan sikap agresi Naruto.

Tanpa memprotes sikap tak sopan sang suster ataupun sekedar meminta permintaan maaf, Naruto melangkahkan kedua kaki kembali. Berlari menyusuri lorong panjang melewati arus orang-orang yang hilir mudik disekitaran koridor rumah sakit. Mendapati lampu tepat diatas pintu bertuliskan emegency berwarna merah menyala, tubuh Naruto lemas seketika, terperosok diatas lantai menyadari sesuatu yang serius kini terjadi pada ibunya.

"J-Jangan lagi... "

Kekalutan menguasai, membuat Naruto tak bisa mengontrol bibirnya yang bergetar hebat.

"Ja-Jangan lagi..."

Mata sapphire Naruto membelalak lebar, kedua tangan yang bergetar hebat akibat tak kuasa mengendalikan diri perlahan terangkat, memeluk erat tubuhnya yang bergejolak dengan detak jantung terus menghentak dada. "A-Aku mohon ja-jangan lagi..."

Tidak sanggup menahan pikiran negatif datang silih berganti dipikiran Naruto memejamkan mata erat, merapalkan kalimat yang sama berulang-ulang seperti sebuah mantra. "Ja-ngan lagi, Tuhan... Aku mohon ja-jangan..."

Kepala Naruto tertunduk, meratapi diri dalam doa memohon kepada Tuhan agar hal pahit yang harus ia rasakan ketika sang ayah telah tiada, tak terulang kembali. 'Jangan tinggalkan aku...'

Lampu merah pada bagian atas pintu emergency meredup, beberapa orang berpakaian serba hijau dengan masker hijau dimulut keluar dari ruangan. Mengetahui dokter yang menangani ibunya telah keluar dari ruangan, Naruto segera beranjak. Menerjang satu persatu dokter tersebut dengan pertanyaan seragam. "Bagaimana keadaan ibuku, dok?"

Diabaikan.

Sebanyak satu orang dokter serta dua orang perawat yang ada mengabaikan Naruto, membuat pemuda bersurai pirang diwarnai binar kekhawatiran kembali bertanya pada dua orang dokter lain dibelakang. "Bagaimana keadaan ibuku?! Apa yang terjadi? Apa dia baik-baik saja?!"

Keterkejutan masih nampak diwajah, kedua mata yang terbelalak lebar tidak menunjukan gestur rileks, Naruto benar-benar ingin mengetahui bagaimana keadaan ibunya langsung dari mulut sang dokter. Namun sayang, dua orang dokter terakhir yang melintas keluar ruang emergency tak memberikan konfirmasi apaan. Naruto hampir merasa gila, ingin berteriak disaat itu juga meminta perhatian dokter-dokter tersebut agar lekas menyampaikan keadaan ibunya.

"Dokter?!" Naruto lekas memerangkap seorang dokter hendak melintas dengan menggenggam erat kedua lengannya. "Apa yang terjadi dengan ibuku? Dia baik-baik saja bukan? Operasinya berjalan lancarkan?"

Tak seperti dokter lainnya yang mengabaikan Naruto, dokter tersebut terdiam dihadapan Naruto sembari melepaskan masker menutupi mulut. "Apakah kau anak dari korban?"

"Iya!" Angguk Naruto cepat, berusaha menyembunyikan rasa getir. "Ibuku baik-baik sajakan? Dia tidak mengalami luka yang serius kan, dok?"

Mendapati sang dokter mengalihkan wajah selain arah, mata Naruto semakin membelalak dengan lebar, raut wajah shock terlihat jelas dari mata sang dokter yang kini melepaskan kacamata bulat dipangkal hidung. "Tidak!" Gelengnya kuat. "Ibuku baik-baik saja bukan? Dia saat ini sedang pemulihan pasca operasikan dok? Ibuku pasti baik-baik saja. Ibuku baik-baik saja."

Sebelah tangan sang dokter melepaskan genggaman tangan Naruto, lalu beralin menuju pundak laki-laki tersebut. Mencengkram erat pundak Naruto seakan mengirimkan kekuatan. "Ibu anda..." Gumam dokter tersebut pelan.

"Jangan!" Kedua tangan Naruto menghentak tangan sang dokter dalam hentakan kuat. "Jangan katakan itu dokter! Ibuku baik-baik saja?! Ibuku pasti baik-baik saja!" Kepala laki-laki berkulit coklat itu menggeleng kencang.

Pancaran mata iba terlihat dipengheliatan dokter tersebut, melangkahkan kaki perlahan hendak mendekati Naruto. "Maaf, kami telah berusaha segenap kemampuan kami untuk menyelamatkannya. Tetapi dengan berat hati harus kami katakan bahwa..." Sang dokter nampak berusaha menguatkan sisi emosial pria itu saat akan ia memberitahukan segalanya. "...ibu anda tidak bisa kami selamatkan."

Tercenung.

Kedua bola mata Naruto membelalak lebar, raut wajah terkejut nampak jelas dari tubuhnya yang membeku ditempat. Tak bergerak, bahkan pergerakan nafas Naruto pun tak terlihat selama beberapa detik akibat terlampau kaget. Menggerakan kepala hingga tertunduk, Naruto mendengus pelan menatap sepatu miliknya diatas permukaan lantai. "Tidak mungkin..."

Dokter bersurai perak tersebut mencoba mendekat, Naruto sebaliknya melangkahkan mundur. Menggeleng kepala dengan perlahan namun seiring waktu semakin menguat dan menguat. Mempungkiri fakta yang baru ia terima. "Tidak mungkin... I-ini pasti tidak mungkin..."

Raut wajah sang dokter kontan berubah, kesedihannya kian bertambah dihadapkan akan kondisi keluarga korban yang tak bisa ia selamatkan. "Tuan-"

"TIDAK!" Sebelah tangan Naruto terangkat, mengultimatum sang dokter untuk berhenti bicara. "Anda pasti salah, dok. Anda pasti salah!" Teriaknya keras. "Ibuku baik-baik saja. Ibuku ada dalam perawatan anda, sebagai seorang dokter anda pasti bisa mengobati ibuku! Anda seorang dokter, anda pasti bisa menyembuhkan ibuku!" Kembali menggenggam erat tangan dokter dihadapannya. Naruto menatap dalam penuh pengharapan diantara keterkejutan yang melanda. "Tolong periksa kembali, dokter. Ibuku masih hidup. Ibuku masih hidup..."

Gelengan pelan terlihat dari kepala sang dokter. Memutuskan segala pengharapan Naruto. "Maaf..."

Setitik air mata jatuh, membasahi pipi Naruto yang kini tak berujar sepatah kata. "Ibuku..." Gumam Naruto pelan. "Ibuku tidak meninggal, kan?"

Tangan kanan sang dokter terangkat, menggenggam erat pundak Naruto. "Tabahkan diri anda..."

Naruto mendengus pelan. "Tidak..." menggelengkan kepala seraya mencengkram erat surai pirangnya, laki-laki itu terus merapalkan kalimat yang sama selama berulang-ulang. Menolak akan kenyataan bahwa kini ia kembali ditinggal oleh orang yang ia cintai dalam hidupnya. "Tidak... Tidak... TIDAK!"

Menghempaskan tangan sang dokter untuk kedua kali, Naruto lekas berlari. Memacukan langkah kaki dengan sebelah tangannya mendobrak pintu ketika memasuki ruang emergency, tempat dimana ibunya berada sekarang. Terdiam... Langkah kaki Naruto yang menggebu-gebu memasuki ruang emergency terhenti seketika. Tercenung ditempat mendapati seseorang terbaring diatas ranjang dengan kain putih menutupi tubuhnya sampai batas kepala.

"I-Ibu..." Panggil Naruto lirih, melantunkan nama wanita yang telah melahirkannya dengan perasaan terluka. "Bangun bu..."

Hancur... Hati Naruto benar-benar hancur saat melangkahkan kaki perlahan-lahan mendekati sosok yang terbujur kaku dengan sebelah tangan terangkat, ingin mengapai kain putih menutupi wajah. "Ibu-"

Lepas.

Kain putih yang menutupi wajah sosok tak bernyawa terlihat, menampakan seorang wanita cantik bersurai merah terpejam erat, tak bernafas, tak bergerak, dengan luka jahitan pada bagian keningnya. Jantung Naruto yang semula bergemuruh menghentak dada terasa berhenti didetik itu saat melihat pemandangan tertangkap dimatanya, mata Naruto menatap tak percaya, membelalak lebar disertai air mata membasahi pipi. Sebelah kedua tangan Naruto terangkat, bergetar hebat ingin menyentuh wajah sang ibu yang telah mendingin.

"Ibu... Bangun bu..." Ujar Naruto ditengah asa yang terluka. "Bangun bu, ini aku..."

Sama seperti saat menginjakkan kaki untuk pertama kali ke ruang emergency, keheningan yang menyambut Naruto dari jasad tak bernyawa. Air mata Naruto kian merebak, tak mampu membendung kesedihan mendapati ibunya terdiam. Tak menjawab pertanyaannya.

"Ibu kumohon bangun... Buka matamu, bu." Naruto mengusap punggung tangan ibunya, ingin memberi kehangatan pada tubuh yang kian mendingin. "Ada aku disini bu. Ibu tak perlu takut, semua baik-baik saja." Menghirup nafas pelan diantara linangan air mata, sebelah tangan Naruto mengenggam erat jemari tangan sang ibu. "Ibu tak perlu takut. A-Aku akan melindungi ibu, aku akan melindungimu dengan kedua tanganku. Untuk itu... Kumohon penuhi permintaanku. Buka matamu, bu. Lihatlah aku."

Hening.

Hanya kesia-siaan belaka.

Naruto bukanlah orang bodoh. Dia tahu sekeras apapun ia mengusap tangan ibunya untuk memberi kehangatan, sekuat apapun keinginannya untuk melindungi sang ibu melalui genggaman tangan yang bertaut, segigih apapun berkali-kali memanggil ibunya meminta untuk bangun, semua yang ia lakukan tak lagi berarti...

"Ibu bangun, bu! Jangan tinggalkan aku! Jangan tinggalkan aku!"

Memeluk tubuh Kushina yang kaku diatas pembaringan dengan isak tangis mengiringi. Naruto tahu, ibunya telah berpulang kesisi Tuhan. Tidak akan kembali meskipun ia memohon untuk tak pergi.

.

.

Discailmer: Masashi Kishimoto

Classical Romance

Rated: M

Pairing: Uchiha Sasuke & Uzumaki Naruto

Warning: M-PRENG, AU, OOC, Miss Typos, Yaoi, Alur terlalu cepat. Sedikit bumbu Canon, rada Gaje. Didedikasikan untuk fans setia SN.

Selama nulis fic ini, w selalu denger lagu The Bali Story yg Piano (inst'a drama korea memories of bali), Yok Mang eh Dut (Dream in Bali, Ost'a memories of bali juga), Piazzcato Tittle, Ending Tittle (Ost I'm Sorry I Love you Instrumental), utk pertengahan cerita dnger Ave Maria Ost Stairway to Heaven. Semoga makin ngena juga buat Readres yg baca smbil dnger lagu diatas^^

Spesial for Rin, akang nomor 2 w *ditimpuk*

.

.

Tiada langit mendung yang menaungi keberadaan Naruto ditengah hembusan angin yang mengalun mengugurkan dedauan hijau pada sebuah pohon besar. Mata biru sejernih samudera terpaku, seorang diri menatap sebuah nisan yang baru diletakan pada gundukan tanah. Walau kini ia seorang diri setelah ditinggal pergi para pelayat, tak ada kata yang Naruto ucapkan sebagai perpisahan terakhir pada ibunya. Cukup saat berada dirumah sakit semalam Naruto menumpahkan seluruh perasaan hancur yang ia rasakan menerima kepergian Kushina, sama seperti saat dimana ayahnya pergi untuk selama-lamanya karena penyakit yang diidap, Naruto hanya menyalurkan perasaannya dalam satu waktu saja. Naruto tahu, baik ayahnya, maupun ibunya tak menginginkan ia terlarut dalam kesedihan menyesalkan kepergian mereka.

Mendengar nada ponselnya berbunyi, Naruto lekas merogoh saku celana, meraih ponsel tersebut tanpa mengalihkan tatapan mata dari dua buah nisan dihadapannya.

"Naruto?"

Baru beberapa detik setelah menekan tombol, suara seorang wanita teralun. Sakura ternyata membalas pesan suara yang ia kirimkan semalam sebelum mengikuti rapat. "Maaf baru menghubungimu sekarang, saat ini aku sedang sibuk. Banyak perkerjaan yang harus kuselesaikan."

Mata Naruto terpejam erat, menikmati suasana teduh dari keadaan sekelilingnya, meresapi setiap bait suara yang terlantun ditelinganya. "Bagaimana keadaanmu? Kau baik-baik saja, bukan?"

Masih seperti dulu, Sakura selalu mengkhawatirkan dirinya dalam kondisi apapun. Membuat hati Naruto dilanda rasa rindu, ingin bertemu.

"Aku baru mendengar kabar mengenai ibumu tadi pagi. Kuatkan dirimu, Naruto. Semuanya pasti akan baik-baik saja." Jeda sejenak, tetapi suara Sakura kembali terdengar. "Ohh, ya. Maaf ya Naruto, aku tidak bisa berlama-lama. Jika ada waktu, aku akan menghubungimu lagi. Aku mencintaimu... Jaga dirimu baik-baik."

Tidak ada lagi yang terdengar setelah Sakura mengucapkan kalimat terakhir. Menilik layar ponsel yang tertera, Naruto segera menekan tombol satu. Memunculkan sebuah nama dalam panggilan cepat, kemudian ia kembali menempelkan ponsel tersebut ke telinga.

"Tidak aktif..."

Baru sesaat menerima pesan suara yang dikirimkan Sakura, Naruto tak bisa menghubungi ponsel wanita bersurai merah muda itu. Beragam pertanyaan pun memenuhi pikiran Naruto, menerka-nerka mengapa Sakura tidak menghubunginya secara langsung? Kenapa harus melalui pesan suara? Dan sekarang kenapa ponselnya tidak bisa dihubungi?

Mengusap surai pirangnya dengan kasar mengusir perasaan kalut, Naruto mencari sebuah nama dari deretan kontak ponselnya, kemudian menempelkannya kembali ketelinga. "Aku ingin proposal pengajuan untuk tender nanti sudah ada dimeja ku. Empat puluh lima menit lagi aku sudah sampai di kantor."

Setelah mengucapkan sederat kalimat lugas tanpa menyambut salam yang diucapkan Kakashi, pemuda laksana mentari itu memutuskan sambungan telepon. Merogoh kacamata hitam tersemat pada saku jas, lalu mengenakannya. Berbalik arah meninggalkan nisan kedua orang tuanya, Naruto melangkah dengan mantap keluar dari komplek pemakaman menuju kearah mobil sedan putih terparkir sempurna disisi jalan.

Tidak ada waktu untuk memikirkan masalah Sakura ataupun kematian ibunya, jika terlalu larut dalam dalam kesedihan, terbenam oleh rasa putus asa karena permasalahan klasik kehidupan manusia, hidup Naruto sendiri hanya akan berakhir dengan kesia-siaan belaka. Ia tidak boleh mengecewakan ayahnya yang telah memberinya tanggung jawab penuh untuk mengurus perusahaan. Naruto harus bisa berpikir rasional, mengesampingkan segala kecamuk agar tiada lagi permasalahan lain yang akan mendera.

Melajukan mobil sedan putih menembus keramaian jalan raya, sebelah tangan Naruto mengamit earphone ponsel, mengenakannya ketelinga sebelah kanan sembari fokus menyetir. Tidak banyak yang bisa ia lihat selama perjalanan berlangsung, deretan mobil-mobil yang mengarungi jalan raya, pepohonan pada sisi trotoar pejalan kaki, hanya pemandangan itu lah yang terlihat selama empat puluh menit kedepan dari Inokashira menuju jantung kota Tokyo.

Dilanda keheningan seorang diri tanpa ada seseorang yang menemani, sebelah kaki Naruto terus memijak pedal gas dengan konsisten, menatap kearah depan disertai raut wajah yang telah mengenakan topeng sandiwara, dimana sebuah tuntutan yang selalu ia lakoni setiap harinya muncul dibalik kacamata hitam tersebut. Citra sebagai pemimpin otoriter, sosok yang bertangan besi hingga mampu menerbangkan nama perusahaan miliknya kekancah penindustrian nasional Jepang, seseorang yang berhati dingin, rasis bahkan cenderung apatis jika menerima pekerjaan yang tak sesuai dari para pegawainya. Dan untuk Naruto sendiri, sisi lain dari pribadinya tidak akan pernah ia bagi kepada siapapun. Sekalipun pada orang yang ia cinta, ia tak ingin menunjukan sisi lemahnya.

Melihat lampu tepat dihadapannya berwarna merah, mobil sedan putih itupun berhenti sempurna tepat pada sisi bawah zebra croos. Terlalu fokus menyetir, Naruto tidak menyadari jika kini ia telah sampai di Tokyo. Tepat dipersimpangan jalan salah satu distrik Yayoicho yang terkenal telah dipadati oleh lautan manusia, mereka menyerbrangi jalan raya dengan dua arus berlawanan memadu menjadi satu. Orang-orang yang menyebrang nampak bergegas memacu kedua langkah kaki sebelum lampu lalu lintas kembali berubah warna menjadi hijau. Seperti rutinitas monoton yang sering ia dapati dalam keadaan apapun, Naruto mengalihkan wajah kelain arah. Mengusir rasa bosan yang melanda dengan enumpu pipi pada telapak tangan kanan yang ia sandarkan dijendela pintu mobil.

Semula memandang tak berminat akan keramaian terjalin didepannya, mata sapphire Naruto tiba-tiba membulat seketika menyaksikan dengan sangat jelas sosok yang sangat ia kenali terlihat dipandangan mata berada disisi trotoar lampu lalu lintas tepat pada persimpangan sebelah kiri seperti sedang menunggu kedatangan seseorang. Mengalihkan wajah kedepan menilik lampu lalu lintas didepannya masih berwarna merah, Naruto menggeram gusar. Berharap lampu tersebut segera berganti menjadi warna hijau agar ia bisa bertemu dengan Sakura. Belum sempat niat tersebut terlaksana, sebuah mobil mewah berhenti tepat didepan Sakura, memperlihatkan seorang laki-laki tinggi berkulit putih keluar dari dalam mobil. Mata Naruto kian terbelalak lebar, menyaksikan dengan mata kepalanya Sakura dan laki-laki misterius tersebut berciuman selama sesaat, sebelum akhirnya pria itu membukakan pintu mobil mempersilahkan Sakura untuk masuk.

Dalam sekejab hati Naruto bergemuruh, berubah dengan sangat ekstrim saat jantungnya berdetak kencang, dadanya terasa semakin sesak manakala nafasnya memburu. Terbakar emosi mendapati kekasihnya berciuman dengan pria lain.

Inikah alasan Sakura yang sebenarnya? Bila disetiap kesempatan Naruto mengajak bertemu, Sakura selalu menolaknya mentah-mentah. Berdalih sibuk kerja padahal nyatanya ia berselingkuh, parahnya lagi dia tak bisa dihubungi karena berhubungan dengan pria tersebut ketika ia sendiri sedang membutuhkan dukungan seorang kekasih. Begitu lampu lalu lintas telah berubah menjadi hijau, Naruto lekas menekan pedal gas dengan kencang. Menginjaknya sekuat mungkin sembari memutar kemudi hingga mobil miliknya menikung tajam saat berbelok kesebelah kanan.

Mobil Lamborghini Reventon berwarna hitam nampak jelas didepan mata Naruto, melesat stabil mengarungi jalan raya dengan beberapa buah mobil berada dibelakangnya. Naruto kian menginjak pedal gas semakin dalam, memutar kemudi mobil dengan gesit kekiri dan kekanan menghindari enam buah mobil dihadapannya. Berhasil mendahului mobil-mobil tersebut, mobil sedan putih milik Naruto kini bersejajar tepat disebelah lamborghini hitam, berjalan beriringan dengan kecepatan mobil Naruto kian membabi buta disetiap detiknya.

Emosi yang merasuki relung hati Naruto semakin membara, membelenggu pikiran serta nalarnya dengan drastis ketika terbersit akan kenyataan bahwa Sakura berada didalam mobil tersebut, bersama seorang lelaki yang ia ciumi mesra dipersimpangan jalan.

Menambah kecepatan mobilnya menjadi 220km/jam, satu kali putaran kencang saat memutar stir kemudi mobil Naruto melesat tajam. Langsung berbelok kearah kiri begitu berhasil membuat jarak yang cukup jauh, kemudian berhenti mendadak secara tiba-tiba. Bunyi decitan rem pun terdengar, memekakan telinga para pengguna jalan disertai permukaan aspal menimbulkan asap pekat, jejak ban mobil pun terlihat jelas akibat pergesekan ban saat mobil Naruto menikung tajam.

Menghembuskan nafas yang memburu oleh amarah yang menggelora, Naruto melepaskan kacamata hitam diwajah seraya membuka pintu mobilnya dengan kasar kemudian membantingnya. Berbalik arah melangkah cepat, tatapan murka Naruto arahkan pada mobil lamborghini yang berada dibelakang mobilnya disertai masing-masing pintu mobil tersebut terbuka, menampakan sosok Sakura yang membelalakan mata, terkejut menatap Naruto.

"Na-Naruto?!"

Mengabaikan Sakura yang berteriak kaget sembari berlari menuju kearahnya, Naruto terus melangkah mendekati laki-laki berkulit putih dengan onyx kelam menghiasi matanya sedang bersandar pada sisi mobil.

'BUAGH!'

Kepalan tangan Naruto mendarat telak dipipi pria yang ia cengkram erat kerah blazzernya. Kontan saja kepala laki-laki itu tersentak kebelakang, menerima pukulan dilayangkan oleh Naruto dengan kekuatan penuh. Tak puas memukuli pipi pria tersebut dalam satu kali pukulan saja, Naruto yang hendak memukul pria tersebut tiba-tiba tersentak. Merasakan rasa sakit luar biasa dari tulang pipinya yang dipukul keras oleh si lelaki.

"Oh Tuhan!" Sakura terperangah, membulatkan mulut tak percaya seraya menutupnya dengan ekspresi terkejut.

Tidak terima.

Itulah yang Naruto rasakan mendapat pukulan balasan dari pria tersebut. Mengeratkan deretan gigi yang bergemelutuk menahan amarah, Naruto kembali melesatkan pukulan mengenai sebelah pipi pria tersebut, memperlihatkan setitik darah pada sudut bibir si pria yang robek akibat pukulannya.

"Astaga!" Suara Sakura kembali terdengar, "BERHENTI!" dan kini wanita bersurai merah muda itu menjerit keras melihat pria berkulit putih melayangkan serangan, menendang tulang rusuk Naruto hingga tertunduk menahan rasa sakit. "BERHENTI! AKU MINTA KALIAN BERDUA UNTUK BERHENTI!"

Hendak membalas serangan pria tersebut, Sakura tiba-tiba berlari. Menerjang sosok itu dengan pelukan erat sembari mengangkat sebelah tangannya menahan Naruto. "Aku mohon, berhenti Naruto!"

Tercenung.

Pergerakan Naruto yang ingin menghajar pria tersebut terhenti, menatap tak percaya Sakura menangis tersedu-sedu memintanya untuk berhenti dengan memeluk erat laki-laki itu tepat didepan kedua mata. Hati Naruto seketika hancur, segala amarah yang semula merasuki relung hati hingga mampu membutakan dirinya selama beberapa saat langsung memudar mendapati Sakura rela mengorbankan dirinya yang akan terkena pukulan hanya demi laki-laki itu.

"B-Begitukah?"

Suara lirih Naruto terdengar diantara bingar kendaraan yang berlalu lalang disekitaran jalan. 'Kenapa Sakura...' Mata sejernih samudra menatap nanar Sakura yang membenamkan wajah pada pelukan laki-laki itu disertai isak tangis. 'Kenapa kau harus lakukan ini padaku?!'

"Selama ini kau tidak ingin bertemu denganku karena..."

Bagaikan menelan nila, kenyataan yang harus Naruto terima terasa menyakitkan. Membuatnya sulit untuk berbicara sekedar mengucapkan sepatah kata mengharap Sakura menyangkal semuanya.

"...dia?"

Hening melanda, tiada seorang pun yang buka suara diantara mereka.

Sebelah tangan Naruto mengepal erat, memperlihatkan buku-buku jari memutih seketika melihat bagaimana tatapan khawatir dihadiahkan Sakura ketika mengusap bekas pukulan Naruto pada pipi laki-laki itu. Naruto masih ingat, Sakura pernah memberikan tatapan seperti itu kepadanya lima tahun lalu dimana ia menderita karena kehilangan ayahnya. Dan sekarang kenyataan pahit yang harus ia terima disaat ia merasa sakit, Sakura justru membagi hati dan perasaannya kepada orang lain. Tepat dihadapannya, Sakura mengabaikannya, tak merasa khawatir sedikit pun kepada Naruto yang juga terluka karena lelaki itu. Bagai seonggok sampah, setelah melukai perasaan Naruto mengenai perselingkuhannya. Sakura membuang Naruto begitu saja tanpa ada penjelasan atau sekedar mendamaikan hati Naruto yang dilanda amarah.

"Tiga belas tahun kita bersama..." Sapphire indah sebening samudra tertahta indah dimata Naruto memicing tajam, "Apakah semua itu tak lagi berarti bagimu-" memandang bengis sepasang insan dihadapannya. "-Sakura?"

Wanita bersurai merah muda mengigiti bibir bawahnya erat, mengepalkan tangan sembari menundukan wajah menghindari tatapan Naruto. Mendapati reaksi Sakura tak pernah ia terka sebelumnya, Naruto turut mengepalkan tangan. 'Jangan minta maaf, Sakura...' Batinnya bergemuruh berharap hal yang ia takutkan tidak terjadi. 'Kumohon, jangan meminta maaf kepadaku!'

Menggenggam erat kerah blazzer pria yang ia dekap erat, Sakura menggelengkan kepala perlahan. "Maafkan aku, Naruto." Ucapnya pelan disertai isak tangis. "Maafkan aku..."

Satu kalimat singkat berhasil lolos dari bibir Sakura, namun berhasil menghancurkan hatinya berkeping-keping hingga porak-poranda. 'Begitukah?' Mata Naruto tiada henti membulat lebar, menatap tak percaya dengan raut terkejut mendominasi wajahnya. 'Jadi Sakura benar-benar ingin melepaskanku hanya demi laki-laki itu? Menghancurkan perasaan cintaku selama 13 tahun dalam sekejap karena kehadiran orang ketiga?'

"Na-Naruto?!"

Suara Sakura teralun, membaur bersama deru suara kendaraan yang berlalu lalang silih berganti menyaksikan Naruto berbalik arah, berjalan meninggalkan mereka berdua tanpa menegok kebelakang atau sekedar berhenti selama saat mendengar Sakura memanggil namanya. Bibir Naruto melukiskan senyum pahit, tertawa kecil disertai raut wajah terluka akan keputusan Sakura yang ternyata lebih memilih melepaskan dirinya.

Membuka pintu mobil kemudian menduduki dirinya pada kursi kemudi, Naruto segera memacu mobil miliknya kembali kejalan. Menginjak kuat pedal gas hingga mobil tersebut melesat kencang, membaur dengan puluhan kendaraan lain yang melintasi jalan raya.

.

.

Terdapat lima belas meja dengan masing-masing meja tersebut dihuni empat orang pria duduk saling berhadapan kearah meja berbentuk persegi panjang. Dihadapan mereka dua orang pria berserta satu wanita duduk disisi meja yang lainnya, saling berhadapan dengan penghuni lima belas meja tersebut. Tumpukan kertas dari masing-masing kubu menyebar disetiap lingkup meja. Menunjukan keunggulan dari perusahaan guna menarik hati ketiga orang dihadapan mereka.

Aanwijzing, merupakan istilah yang cukup familiar dikalangan dunia konsultan proyek. Kegiatan aanwijzing adalah salah satu tahapan dalam proses tender suatu proyek yang berupa pemberian penjelasan dari pihak panitia tender kepada perserta tender terkait subtansi dari dokumen pengadaan. Bagaikan melakukan merger dengan perusahaan lain, tahapan yang dilakukan tidak jauh berbeda yaitu memberikan materi penjelasan yang disampaikan oleh panitia tender, biasanya hal tersebut mencakup subtansi dari persyaratan, tata cara penyampaian dokumen, administrasi, teknis, anggaran biaya, kerangka acuan kerja serta hal-hal lain terkait dengan adanya perubahan subtansi dokumen. Sudah hampir empat jam lamanya tiga orang perwakilan panita tender berkutat pada berkas-berkas penting serta proposal pengajuan dari perusahaan perserta tender. Selain pemberian penjelasan dan beragam materi penyelanggaran tender, puncak dari proses aanwijzing adalah mencakup tanya jawab antara panitia dengan peserta tender berikut keputusan-keputusan tertentu yang membutuhkan kesepakatan bersama untuk penggarapan proyek nantinya.

Beragam pertanyaan silih berganti mereka lontarkan sebagai media penilaian, seperti tak melewatkan kesempatan emas untuk menarik minat panitia tender, mengepalai perwakilan perusahaan yang ia gawangi bersama tiga orang karyawan terbaik, Naruto berusaha keras memberikan penawaran yang terbaik agar perusahaan mereka dapat memenangkan tender tersebut.

"Apakah anda yakin, bisa menjalani proyek sebesar ini dengan modal 1,4% dari harga normal pembuatan itu sendiri?" Wanita paruh baya memiliki tahi lalat dibibir mengangkat dagunya tinggi, sangsi.

Pemuda bersurai pirang mengulas senyum menawan, senyum yang selalu dia perlihatkan untuk memikat kolega baru. "Kami menawarkan resolusi harga baru setelah melakukan sejumlah penyelidikan mengenai harga barang yang beredar dipasaran." Ucap Naruto singkat. "Mengurangi harga penawaran bukan satu-satunya acuan yang kami tawarkan untuk menangani proyek ini, kami juga membuat metode kerja yang cocok agar pengerjaan proyek lebih efisien serta efektif sehingga pihak Jyuukatsu tak hanya mendapatkan harga yang lebih murah, namun tetap menghasilkan perkerjaan dengan kualitas maksimal."

Melampirkan sebuah berkas yang ia letakan dihadapan panitia tender, Naruto tersenyum kecil seraya mengaitkan jemari tangan diatas meja ketika duduk kembali dikursi miliknya. "Ini adalah list dari daftar penyedia material yang menjalin kerjasama dengan perusahaan kami. Dari list harga yang kami lampirkan pada masing-masing satuan material, anda bisa memastikan sendiri kualitas dan kuantitas barang yang kami ajukan. Selain itu, tidak cuma kualitas material bangunan saja kami tawarkan untuk pembangunan proyek ini, kami akan mengatur cash flow dan memberikan inovasi-inovasi yang akan kami lakukan agar meminimalisir biaya supaya perkerjaan dapat berjalan dengan lancar, disertai peralatan yang lengkap dan didukung profesionalitas para tenaga kerja kami yang tak perlu diragukan dalam bidangnya, juga akan saya kerahkan untuk penggarapan proyek ini bila nantinya kita telah menemukan kata sepakat menjalin kerjasama." Menyandarkan punggung nyaman pada sandaran kursi, Naruto terlihat rileks namun tak mengurangi antusiasmenya hingga terkesan tak menyepelekan proses aanwijzing ini. "Walau menawarkan estimator perkiraan harga produk yang murah, saya bisa menjanjikan sendiri kepada anda pelaksanaan proses perkerjaan pada masa pemeliharaan nanti akan maksimal, ditambah material barang milik kami jauh lebih berkualitas dibandingkan perusahaan lainnya."

Salah seorang laki-laki dari panitia tender menganguk pelan. "Tidak mengherankan kenapa anda berani memberikan harga dibawah normal."

Senyum tipis disertai binar khasrimatik terpeta diwajah Naruto. "Aku hanya memberikan yang terbaik untuk mitra kerja perusahaan kami."

Selepas mengucapkan kalimat tersebut, nampak ketiga panitia tender menarik diri untuk membahas sesuatu hal yang bersifat privasi. Meski dalam batin telah yakin dan teguh akan performanya yang begitu prima dihadapan panitia, Naruto tetap tak memungkiri jika ia dilanda rasa gelisah menanti keputusan panitia tender. Apakah mereka berhasil memenangkan tender? Ataukah mereka harus menguburkan impian mereka sedalam mungkin karena gagal memenangkannya? Naruto tidak bisa menebaknya sebab dalam dunia bisnis apapun bisa terjadi.

Pria berkumis lebat berdeham pelan membersihkan serak dikerongkongan sembari mengaitkan jemari tangan diatas meja. "Berdasarkan hasil keputusan kami mengenai proposal pengajuan milik perusahaan anda untuk menggarap proyek dari perusahaan kami, maka kami memutuskan..." Jeda sejenak, sang pria pun mempersilahkan satu-satunya wanita diantara mereka bertiga untuk melanjutkan kalimatnya.

"...untuk menunda pertemuan kita diminggu selanjutnya." Tutup si wanita berujar dengan nada lugas.

Baik Shikamaru dan Neji membelalakan matanya tak percaya, sementara Kimimaro sendiri mengerutkan keningnya mencerna maksud perkataan panitia tender. Naruto masih terlihat tenang, nampak tak terpengaruh akan perkataan panitia tender yang memunculkan banyak spekulasi dipikiran hingga tak urung memicu emosi. Apakah mereka benar-benar gagal?

"Kami harus menuangkan hasil dari kesepakatan kita dalam berita acara." Membereskan berkasi-berkas tersebar dimeja dalam satu tumpukan, wanita itu tersenyum lebar pada Naruto. "Kami akan menghubungi anda selaku pimpinan Cetta Corporation mengenai tempat dan waktu untuk penandatanganan dokumen berita acara."

Senyum diwajah Naruto kian melebar, membuat matanya terlihat sipit dengan tiga orang bawahannya menghembuskan nafas lega. Beban yang mereka sandang selama proses tender lenyap sudah, berganti dengan cengiran lebar sebagai euphoria atas kemenangan mereka.

"Kita berhasil!" Bisik Neji kepada dua orang rekannya.

Mendapati panitia tender beranjak berdiri dari kursi yang diduduki, Naruto turut beranjak. Mengajak ketiga panitia tersebut berjabat tangan sebagai tanda terjalinnya kesepakatan kerjasama. "Terima kasih."

"Sama-sama." Menganggukan kepala sembari melepaskan jabatan tangan. Shikamaru, Neji, dan Kimimaro ikut berjabat tangan yang kemudian ditutup dengan saling menundukan kepala memberi penghormatan.

Mengetahui hasil tender dimenangkan salah satu pihak lawan, perwakilan dari perusahaan perserta tender berdecak kesal. Membereskan proposal serta berkas-berkas dokumen mereka sembari bergegas meninggalkan ruangan.

"Kerja bagus, teman-teman!" Ujar Naruto mengapresiasi usaha kerja keras pegawainya dengan mengajak berjabat tangan.

"Sebagai perayaan atas kemenangan kita, bagaimana kalau minum bersama disalah satu restaurant shushi di Shibuya?" Senyum simpul terpahat sempurna diwajah Neji menjabarkan idenya.

Naruto menggelengkan kepala pelan, menolak. "Kalian saja bersama rekan-rekan yang lain. Aku dalam keadaan tidak mood untuk minum."

"Ck! Tidak seru pak direktur kalau kau tidak datang." Dengus Kimimaro memasukan kedua tangan pada saku celana. "Restaurant disana juga menyediakan ramen, aku dengar anda suka sekali dengan ramen. Bagaimana kalau malam ini aku yang mentraktir anda?"

Neji merenggut tak setuju. "Hanya Namikaze-sama saja?" Decaknya bersedekap dada. "Kami juga harus kau traktir. Jangan pelit-pelit pada sesama rekan kerja, Kimi."

Shikamaru menguap lebar, mengangguk samar mendukung Neji. "Dia benar. Jangan pelit-pelit pada sesama rekan kerja. Terlebih kami ini seniormu."

"Kheh!" Gelengan keras terlihat dikepala Kimimaro, mencibir kedua rekannya. "Terakhir mentraktir kalian makan, aku harus menggadaikan KTP ku kepada pemilik kedai!"

Shikamaru dan Neji saling pandang selama sesaat sebelum akhirnya terkekeh pelan merasa lucu akan nasip sial dialami Kimimaro sampai-sampai harus menggadaikan KTP disalah satu kedai tak jauh dari stasiun Seibu-Shinjuku. Shikamaru serta Neji memaklumi bila porsi makan mereka sangat besar, apalagi berkumpul bersama rekan kerja saling berbagi cerita. Tak mengherankan bila Kimimaro jera mentraktir mereka makan.

"Keikhlasanmu sedang diuji, Kimi. Kau tak boleh menyerah hanya karena baru sekali mentraktir kami makan." Tawa Neji terdengar. Sedangkan pemuda bersurai perak itu mendengus kesal.

Naruto menepuk lengan Kimimaro, mengarahkan dagu kearah meja. "Kalian bertiga berhentilah bermain-main, cepat bereskan berkas-berkas ini lalu kembali ke kantor."

Tak mengiyakan, ketiga pria tersebut segera bergerak membereskan berkas-berkas dimeja walau wajah mereka terlihat berberat hati untuk melakukannya. Apakah mereka harus berkerja lagi setelah bersusah payah memenangkan tender ini?

Membiarkan kedua rekannya membereskan meja terlebih dahulu, getaran hebat disaku celana menghentikan pergerakan Shikamaru. "Ya, senior. Ada apa?"

Dahi Shikamaru mengerut dalam, mencermati perkataan sang lawan bicara selepas ia menerima telepon tersebut. "Baiklah." Melepaskan ponsel dari telinganya, Shikamaru pun menyodorkan ponsel tersebut kearah Naruto. "Direktur, Kakashi-san ingin berbicara dengan anda."

Sebelah alis Naruto naik keatas menerima ponsel disodorkan Shikamaru, terlebih lagi panggilan tersebut dari Kakashi. Tetapi Naruto segera meraihnya begitu mengingat ponsel miliknya ia matikan sebelum mengikuti tender. "Ya, Kakashi?"

"Namikaze-sama, apakah proses tendernya telah selesai?"

"Ya." Angguknya pelan. "Ada apa?"

"Bisakah anda segera kembali ke kantor, Namikaze-sama?" Suara Kakashi terdengar gusar, jelas memancing tanda tanya dipikiran Naruto mengenai sikap aneh Kakashi. "Ada masalah serius yang sedang terjadi di kantor."

Tak butuh waktu lama untuk sampai dikantor setelah menerima telepon dari Kakashi. Bersama dengan Kimimaro, Neji serta Shikamaru, Naruto lekas memacu langkah kaki menyusuri lobi kantor menuju kearah lift untuk sampai diruangan mereka. Usai menekan tombol pada sisi kiri pintu lift, Shikamaru tak memungkiri jika ia sendiri merasa gugup mendapati Naruto lebih banyak berdiam diri selama dalam perjalanan. Apa yang sebenarnya dikatakan seniornya dari divisi pemasaran ditelepon tadi? Masalah besar apa yang menimpa kantor mereka hari ini hingga menyulut reaksi lain dari Naruto? Semua pertanyaan tersebut bergumul dipikiran, tak cuma Shikamaru saja merasakan hal demikian, kedua sahabatnya juga. Seperti yang sudah-sudah, baik Shikamaru maupun kedua rekannya tidak bisa berbuat banyak selain berusaha meminimalisir situasi mengerikan yang mungkin akan terjadi dalam beberapa menit kedepan.

Begitu pintu lift terbuka, belasan karyawan dari departemen pemasaran terlihat diseluruh penjuru sudut ruangan. Berdiri tegak mengabaikan perkerjaan mereka diatas meja dengan tatapan mata mengarah kedepan seperti memandang sesuatu. Mengikuti arah pandangan para pegawai yang tertumpu pada satu titik tepat berada bagian sudut ruangan dari puluhan bilik-bilik meja karyawan sebagai penghalang, Naruto pun melangkah mantap menyusuri bilik-bilik meja, diikuti mata para pegawai teruju kearahnya begitu menyadari kedatangan Naruto.

"Namikaze-sama." Kakashi yang sedang bersandar pada sisi sebuah meja kerja salah satu karyawan beranjak berdiri melihat kemunculan Naruto.

"Ada apa Kaka-"

Berniat melontarkan satu pertanyaan yang mengganggu dirinya sejak pertama menginjakkan kaki dikantor, bibir Naruto terkunci seketika tak sengaja memandang punggung seorang laki-laki yang berdiri tegak menghadap jendela kaca. Dalam satu waktu, mata Naruto terbelalak lebar melihat laki-laki tersebut membalikan tubuh, menampakan wajahnya seraya memasukan sebelah tangan kesaku celana diiringi tersenyum sinis ia tunjukan pada Naruto. Seketika emosi Naruto kembali menyeruak, memicing tajam menatap laki-laki itu dengan sebelah tangan mengepal erat tanpa ia sadari.

"Kau!"

Senyum dibibir si lelaki kian mengembang, menatap tajam Naruto disertai dagu terangkat tinggi. "Masih mengenaliku?"

Dada Naruto bergemuruh kencang, nafasnya terlihat memburu menatap bengis si lelaki. Tentu Naruto masih ingat dengan jelas, bahkan masih terekam dimemori pikiran akan peristiwa yang terjadi tiga minggu lalu dimana wanita yang ia cintai menjalin cinta terlarang tepat dibelakangnya bersama pria itu. Seolah dendam yang berkobar dihati tak bisa terpadamkan walau sejenak, Naruto tak segan-segan meruntuhkan topeng yang selalu ia kenakan didepan para pegawainya dengan memandang murka pria tersebut.

Melangkahkan kaki menuju kearah meja yang berada didekatnya, laki-laki itu pun menundukan diri diatas meja. "Tak perlu berlama-lama, kedatanganku kemari hanya ingin menyampaikan sesuatu pada kalian semua."

Naruto mendengus, berusaha keras untuk tak menunjukan kemarahannya. Lelaki itu pasti akan semakin merasa menang jika ia terus tersulut amarah karena permasalahan kemarin. "Kau harus sadar pada tempatmu untuk tak membuat kekacauan disini!"

Kepala si lelaki tertunduk, tersenyum mengejek. "Tempatmu?"

Merasa sudah cukup sabar menghadapi tingkah laki-laki itu, Naruto mengalihkan wajah menatap tajam Kakashi. "Panggil petugas keamanan untuk mengusir orang ini." Kemudian membalikan badan ingin meninggalkan ruangan tersebut.

"Baik, Namikaze-"

"Kau bukan lagi direktur Cetta Corporation, Naruto." Suara si lelaki yang terdengar lugas berhasil membuat Kakashi terdiam dengan Naruto menghentikan langkah kakinya.

Perlahan namun pasti Naruto memutar tubuhnya memandang si lelaki yang menyeringai bengis kearahnya. "Apa?"

"Haruskah aku menegaskannya untuk kedua kali?" Tungkas lelaki itu tak menurunkan intesitas tatapannya. "Kau bukan lagi direktur Cetta Corporation." Aura kebencian nampak menguar dari tubuh si lelaki. "Yang seharusnya sadar akan tempatnya adalah kau."

Naruto mendengus.

"Kau pikir aku akan mempercayai omong kosong ini?" Memicingkan kedua mata, laki-laki pirang itu memandang tajam Sasuke. "Jangan harap!"

Mengalihkan pandangan mata tertuju kearah sekumpulan pegawai yang memadati sudut ruangan, "Jika kau menginginkan bukti otentik." kepala lelaki itu bergerak. Mengisyaratkan seseorang untuk mendekatinya. "Berikan dokumen pengesahan itu..." seorang wanita bersurai pirang berjalan mendekat dengan kepala tertekuk dalam. "...nona Tsunade."

Tak percaya adalah ekspresi wajah yang paling mendominasi didiri laki-laki berkulit coklat tersebut mendapati seorang yang ia percayai lebih dari apapun menusuknya dari belakang, menjalin koalisi terselubung bersama seseorang untuk menjatuhkannya. Terlebih menyakitkan lagi, orang tersebut adalah laki-laki yang membuat hubungannya bersama sang kekasih kandas ditengah jalan.

"Maafkan aku, Namikaze-sama." Mata Naruto menatap nanar sebuah dokumen bersampul map biru dengan lambang sembilan buah tanda koma mengelilingi logo perusahaan GM Corporation disodorkan oleh Tsunade. Sebuah bukti otentik yang absolut, mengesahkan posisi laki-laki albaster itu.

"Kau tidak mempunyai hak atas perusahaan ini setelah Hagoromo-sama memberi wewenang penuh kepadaku sebagai direktur Cetta Corporation yang baru." Raut wajah laki-laki tampan itu berubah dalam sekejap, tak lagi menunjukan seringai bengis. Datar adalah ekspresi dominan selain tatapan benci terus ia lancarkan pada Naruto. "Kau tidak mungkin berani melanggar apa yang telah ia tetapkan bukan?

Sama seperti halnya si lelaki, tiada ekspresi lain yang berubah diwajah Naruto selain balas membenci. Mengeratkan giginya yang bergemelutuk menyimpan amarah, Naruto lekas meraih map biru dari genggaman tangan Tsunade.

"Aku memang tidak akan melanggarnya."

Membukanya hingga memperlihatkan beberapa lembar kertas memiliki logo perusahaan GM dibagian kepala kertas. Menatap mata onyx kelam melalui kedua mata birunya, tanpa disangka-sangka Naruto merobek kertas tersebut menjadi dua bagian secara vertikal kemudian menumpuknya dan merobeknya lagi hingga menjadi beberapa bagian.

'SRAKK!'

Kertas tersebut dilempar Naruto tepat diwajah si lelaki dengan kasar, membuat serpihan-serpihan kecil dari robekan kertas itu berhamburan ditengah udara. Mata onyx si lelaki menatap Naruto tak berkedip, namun ia tetap berdiam diri tak tersulut emosi akan perlakuan Naruto.

"Namun harus kau tahu. Itu jawaban dariku." Berbalik arah hendak pergi meninggalkan ruangan, suara si lelaki kembali terdengar.

"Uchiha Sasuke."

Langkah kaki Naruto terhenti seketika.

"Kau harus tahu nama pemimpin mu sekarang, wakil direktur." Seringai iblis terpahat sempurna dibibir si lelaki menyadari sudut mata Naruto tertuju kearahnya. "Sekalipun kau pandai melarikan diri dari masalah, aku akan menyeretmu kembali tanpa ada celah untuk pergi."

Naruto membalikan wajahnya kembali, tak sudi menatap laki-laki itu. "Sebanyak apapun kau melakukan taktik kotor untuk melenyapkan ku." Jeda sejenak sebelum akhirny Naruto melangkah keluar dari ruangan. "Aku tidak akan pernah pergi karena ini adalah perusahaan milik ayahku!"

'Kheh! Milik ayahmu?' Membiarkan Naruto berlalu meninggalkan kawasan tempatnya berada, tatapan penuh benci terus Sasuke arahkan, kembali menyulut amarah didirinya hingga menggepalkan sebelah tangan didalam saku celana. 'Orang memuakkan sepertimu harus tahu arti penderitaan!'

.

.

Sebuah mobil taxi berhenti tepat didepan gedung, memunculkan sosok wanita mengenakan sepatu boots coklat sebatas mata kaki keluar dari dalam taxi. Mengeratkan tas digenggam tangan, wanita itu pun melangkahkan kaki menuju kearah pintu yang telah dibuka oleh security gedung tersebut. Merapikan coat putih yang ia kenakan, bibir mungil dilapisi lipgloss berwarna peach menggoreskan senyum menawan, berjalan mengarungi lobi gedung.

"Bisa aku bertemu dengan Uchiha Sasuke." Ucapnya pada sang resepsionis.

Tak banyak yang bisa Naruto ucapkan melihat plat nama pada pintu kaca ruangan miliknya. Membuka pintu kaca mengunakan sebelah tangan, Naruto pun segera memasuki ruangan, menduduki kursi sembari melayangkan pandangan kearah jendela kaca. Seperti melewatkan sesuatu hal yang penting, Naruto memutar kursi miliknya, mengerutkan kening mencermati dinding pembatas terbuat dari kaca menampilkan sebuah ruangan. Tidak ada yang istimewa dari ruangan tersebut, seperti ruangan miliknya ruangan itu memiliki komputer, kursi, lemari berisi buku-buku, dan peralatan yang lainnya untuk menunjang perkerjaan. Menyandarkan punggungnya nyaman kesandaran kursi memilih mengabaikan, disisi lain pikiran Naruto yang terus menerka-nerka pemilik ruangan tersebut berhasil memaksanya untuk beranjak berdiri dari kursi ia duduki kemudian lekas keluar dari ruangannya.

"Siapa!" Naruto berdiri tepat didepan seluruh karyawannya yang berada dibilik kerja masing-masing. "Siapa yang memerintah kalian untuk membuat ruangan itu disebelah ruanganku?!"

Para pegawai dibagian departemen pemasaran nampak terkejut, saling pandang satu sama lain sampai pada akhirnya suara seorang laki-laki terdengar dibalik punggung Naruto.

"Aku."

Mengeratkan kepalan tangan, Naruto lekas membalikan badan menatap tajam Sasuke. "Kau kira perusahaan ini tak memiliki cukup tempat sampai-sampai tidak mempunyai tujuan lain selain membangun ruangan disebelah ruanganku?!"

"Kenapa?" Balas Sasuke cepat, memandang penuh intimidasi. "Kau terlalu takut untuk berhadapan denganku yang berhasil menguasai perusahaan milik ayahmu?"

Dagu Naruto terangkat tinggi, menunjukan sikap arogan secara terang-terangan dihadapan Sasuke. "Aku hanya tidak sudi berada satu lingkup dengan manusia menyedihkan seperti dirimu!"

Senyum sinis terpahat sempurna diwajah Sasuke ketika membalikan tubuhnya berjalan menuju ruangan miliknya. "Tunjukan lebih banyak lagi rasa tak sudi mu pada manusia yang menyedihkan ini, karena aku tidak akan berhenti sampai disini."

Satu kalimat lolos telah menjadi penanda akan tiadanya itikat baik dari Sasuke.

'Kau pikir kau siapa!' Melangkah cepat mendahului Sasuke yang akan menuju ke ruangannya, kedua tangan Naruto terangkat, melepaskan plat nama didepan pintu ruangan Sasuke kemudian menghempaskannya keatas lantai.

'PRANK!'

Memicingkan mata memandang tajam Sasuke , raut wajah Naruto tak menampilkan ekspresi apapun selain kebencian. "Aku bukanlah orang lemah yang bisa kau hancurkan dalam sekejab. Berpikirlah seribu kali sebelum kau melakukan hal ini kepadaku. Camkan itu baik-baik!"

Hening menyelimuti, tiada seorang pun yang buka suara pasca Naruto menghempaskan plat nama tersebut.

"Kau pikir..." Suara Sasuke kembali terdengar, tertunduk tak menatap Naruto. "Aku tidak mampu membuatmu berakhir mengenaskan seperti plat nama ini?"

Sudut bibir Naruto tertarik. "Kau menantangku?"

Injak.

Dalam satu kali pijakan kuat. Sengaja menghempaskan kasar sebelah kaki mengenakan sepatu pantovel hitam, Naruto menginjak plat nama tersebut ketika melangkahkan kakinya melawati Sasuke. "Ini yang akan kulakukan sebelum kau melakukan hal itu kepadaku."

Mendapati Sasuke terdiam ditempat memandang datar plat namanya.

"Sasuke!"

Suara seorang wanita berhasil menghentikan pergerakan Naruto yang berniat beranjak dari posisinya untuk kembali kedalam ruangan. Paras itu... Senyum itu... Naruto tak menyangka wanita itu muncul dihadapannya dalam kondisi yang begitu memilukan hati. Menemui Sasuke bukan dirinya.

"Sasuke? Kenapa kau berada disini-"

Tercenung, Sakura yang ingin menghampiri Sasuke terhenti seketika melihat Naruto berada tepat dihadapannya. Wanita cantik itu lekas mengalihkan wajah kelain arah menghindari kontak mata dengan Naruto.

"Kau datang, Sakura?" Sudut bibir Sasuke mengukir senyum bengis lalu membalikan tubuhnya berjalan menghampiri Sakura.

Memandang Naruto yang melayangkan tatapan datar kearahnya saat berhadapan, Sasuke segera melingkarkan sebelah tangan memeluk tubuh Sakura ketika pernyataan diucapkan Naruto beberapa saat lalu terlintas dipikiran. "Aku baru saja ingin menghubungimu, tidak disangka kau malah datang mengunjungiku."

Tersipu malu akan perlakukan Sasuke, Sakura melonggarkan sedikit pelukan Sasuke dengan lembut. Jelas wanita berparas cantik itu tak nyaman, terlebih Naruto memandangi mereka tanpa ekspresi. "Sa-Sasuke..."

Bukannya mengikuti keinginan Sakura, Sasuke justru mengusap tengkuk leher Sakura dengan sensual, mengecup pipi wanita itu. "Kenapa harus malu, hn? Kau tidak tahu kalau aku sangat merindukanmu."

Merenggut dagu Sakura menggunakan sebelah tangan. "Eh? S..Sasu- mpph!"

Sasuke menempelkan bibirnya tepat dipermukaan bibir Sakura. Mengecupnya singkat yang dilanjutkan pangutan panas, menghisap penuh bibir mungil tersebut dengan nikmat seraya mengalihkan tatapan mata mencemooh Naruto.

Tidak ada ekspresi khusus ditunjukan Naruto melalui wajah datarnya, begitu pula dengan mata sapphire Naruto yang menyorot kelam aksi ciuman dua insan tersebut. Meski Sasuke gencar melayangkan ciuman ganas serta tak urung memasukan lidahnya sebagai aksi, sesungguhnya Sasuke tahu tatapan datar dari Naruto menyimpan sebuah makna. Marah, benci, dan rasa tak terima adalah emosi dasar setiap manusia bila menyaksikan orang yang mereka cintai bercumbu mesra tepat didepan matanya.

Naruto tahu, Sasuke sengaja memupuk kebencian didirinya agar ia merasa muak lalu pergi meninggalkan perusahaan. Walau telah berhasil merebut satu hal terpenting didalam hidupnya, Naruto telah meneguhkan tekad, berikrar didalam hati untuk tidak akan putus asa. Terlebih mengenai Cetta Corporation yang diamatkan sang ayah kepada dirinya.

'Aku tidak akan menyerah semudah itu.'

Tanpa menunggu waktu lama, Naruto lekas berlalu. Melangkahkan kaki memasuki ruangan miliknya meninggalkan Sasuke dan Sakura.

.

Langit cerah, dihiasi awan putih membentang seantero angkasa. Hembusan angin mengalun lembut, menerpa tubuh laki-laki bersurai pirang yang sedang mendudukan diri dibangku taman. Mengangkat tinggi tangan kanannya keatas, mata biru Naruto menyipit menghindari sinar matahari ketika memandang tangannya. Mengalihkan wajah menatap datar kaleng minuman digenggaman tangan kiri, Naruto kembali menegaknya mengusir dahaga.

'TUK!'

Meletakan kaleng minuman tersebut tepat disampingnya, Naruto menjulurkan kedua kaki seraya bersandar. Menggerakan perpotongan leher kekiri dan kekanan sebelum akhirnya memejamkan mata sejenak. Tubuh Naruto benar-benar terasa lelah setelah memeriksa kembali berkas-berkas yang telah diselesaikan para pegawainya.

Keadaan disekitar taman yang ramai dipenuhi suara anak-anak kecil bermain dengan teman sebaya, dahi Naruto mengerut dalam terganggu akan keramaian yang terjalin dikawasan taman tersebut. Menilik jam tersemat dipergelangan tangan, pemuda bersurai pirang itu beranjak berdiri.

"Sebaiknya aku kembali."

Tiada pemandangan khusus yang dapat Naruto saksikan ketika keluar dari taman selain para pejalan kaki datang silih berganti mengarungi trotoar jalan. Mengalihkan wajah kekiri dan kekanan, Naruto segera menyeberang kesisi jalan. Membaur bersama puluhan pejalan kaki yang lain sembari menyesap teh kaleng miliknya. Melewati sebuah ruko yang menampilkan roti beragam bentuk di etalase, langkah kaki Naruto terhenti. Tampak bimbang akankah ia mampir ditoko roti tersebut untuk membeli beberapa roti atau tidak.

Memutuskan untuk mampir sejenak membeli dua buah roti sebagai penganjal.

"Kyaaa!"

Tubuh Naruto tersentak kaget, tak sengaja menabrak seorang wanita bercoat hitam hingga berteriak cukup kencang.

Menutup rapat mulutnya sadar ia menjadi pusat perhatian para pejalan kaki, wanita itu merapikan kembali topi dan kacamata hitam yang ia kenakan, berusaha menyembunyikan wajahnya.

"Maaf." Ucap wanita itu menundukan kepala namun wajahnya teralih kelain arah, tidak menatap Naruto secara langsung.

"Tidak." Hendak menahan tubuh wanita itu agar tak menundukan kepala, wanita itu reflek mundur kebelakang. "Maaf, aku tidak bermaksud apa-apa." Naruto menarik undur tangannya melihat reaksi si wanita terkesan tak ingin disentuh. "Seharusnya aku yang minta maaf karena tidak hati-hati. Apakah kau terluka?"

Si wanita nampak tersentak, memicingkan sudut mata melalui kacamata hitam yang ia kenakan. Mengerutkan kening selama sesaat, bibir si wanita tiba-tiba membulat sempurna dengan telunjuk menunjuk Naruto. "K-Kau?!"

Naruto menunjuk dirinya sendiri disertai sebelah alis terangkat tinggi. "Aku?"

"Iya! Benar itu kau!" Menarik pergelangan tangan Naruto, wanita itu pun membuka pintu toko roti. Memaksa laki-laki itu untuk ikut masuk kedalam toko tersebut. "Kau Naruto, bukan? Namikaze Naruto?!"

"Ya." Melipat kedua tangan diatas dada, pikiran Naruto tiada henti menerka mengapa wanita ini tiba-tiba menyeretnya. "Kau siapa? Apakah aku mengenalmu sebelumnya?"

Meski mengenakan kacamata, bisa dilihat bila kini wanita itu mengerutkan keningnya. "Kau tidak mengenaliku?"

"Tidak."

Gadis itu menghembuskan nafas frustasi, menerbangkan beberapa helai poni dikeningnya. "Kau benar-benar tak mengenaliku?" Melepaskan kacamata hitam ia kenakan, sosok wanita cantik bermata lavender terlihat dimata Naruto. "Aku Hinata. Hyuuga Hinata. Kau pasti pernah mendengarnya bukan?"

Kening Naruto mengerut dalam, merasa familiar. Seperti pernah mendengarnya tetapi Naruto benar-benar tidak ingat kapan dan dimana tepatnya ia mengetahui nama itu. "Ohh iya..." Gumam Naruto pelan. Beberapa bulan yang lalu ia ingat Kiba pernah menyinggung nama itu dikantor. "Kau artis sekaligus penyanyi yang sedang naik daun itu." dan Kiba begitu memujanya.

"Kau mengingatku hanya sebagai seorang artis?" Tak terima namun si wanita tak merasa kecewa Naruto tak mengingat dirinya. "Dua puluh tahun lalu, kita saling mengenal satu sama lain. Di sekolah dasar Haiku, sejak duduk dibangku kelas dua." Wanita itu menyisipkan rambut panjangnya kebelakang telinga secara tak langsung menunjukan keanggunan yang ia miliki. "Bahkan tiga belas tahun lalu kita satu kelas selama tiga tahun di SMA Dekigenkai. Kau benar-benar tidak ingat siapa aku, hm?"

Sejenak Naruto menatap langsung mata bertahtakan warna lavender yang indah melalui pengheliatannya. Mencermati wajah wanita memiliki surai indigo sebatas pinggul dengan ujung rambutnya keriting, kulit putih mulus dengan bulu mata lentik, pipi dihiasi blush on merah muda menampakan rona yang selaras. Tidak asing, dan Naruto kian gigih mengulang kembali kepingan memori agar bisa mengingatnya.

"Kheh!" Sudut bibir Naruto tertarik. "Kau si kutu buku itu, sekretaris kelas."

Bibir si wanita merenggut. "Aku bukan kutu buku lagi?!" Berdecak pelan. Si wanita mengalihkan wajah kekiri dan kekanan, kemudian mengenakan kacamata. "Maaf harus bicara denganmu dalam kondisi seperti ini. Kau tahu sendiri, aku tidak bisa menunjukan diriku didepan umum." Menyaksikan Naruto menggeleng kepala sembari melangkah meraih keranjang rotan, si wanita mengekori Naruto dari belakang. "Ngomong-ngomong kenapa kau berada disini?"

Menyodorkan sebungkus roti secara tiba-tiba didepan wajah Hinata, wanita itu tersentak kaget mundur satu langkah menjauhi Naruto. "Membeli roti."

Raut kesal nampak jelas diwajah Hinata. "Sepuluh tahun tak bertemu. Aku tidak menyangka kau menjadi semakin menyebalkan."

"Kau bertanya dan aku menjawabnya. Apanya yang menyebalkan?" Memilah sejenak mencermati setiap bungkus roti disebuah meja memiliki 8 buah wadah, Naruto beralih kemeja selanjutnya.

"Setidaknya bersikaplah lebih ramah pada teman lamamu. Bagaimana pun kita pernah satu kelas." Mengambil satu bungkus roti, Hinata pun memasukan roti tersebut dikeranjang Naruto.

"HEI!" Naruto melotot tajam. "Kenapa kau masukan roti itu kedalam keranjangku?" Meletakan kembali roti tersebut ketempatnya, laki-laki itu melanjutkan akitivitasnya memilah roti. "Ambil keranjangmu sendiri jika ingin membelinya."

"Kenapa tidak satu tempat saja? Aku masih ingat roti yang ingin kubeli." Memasukan roti tersebut kedalam keranjang, untuk kedua kali Naruto mengeluarkan roti itu dari keranjangnya.

"Ambil keranjangmu sendiri."

Meletakan tiga buah roti kedalam keranjang, Naruto pun melangkah menghampiri meja kasir meninggalkan Hinata. Bukannya ikut mengekori Naruto seperti beberapa saat lalu, Hinata terus berdiam diri mengirimkan tatapan tak mengenakan yang begitu terasa dipunggungnya. Naruto mendengus kasar, berbalik arah menatap wanita itu.

"Pilih saja rotimu, lalu masukan kedalam keranjang ini."

Senyum diwajah Hinata merekah, mengambil lebih dari sepuluh buah roti dalam dekapan dengan cepat kemudian memasukan roti-roti tersebut kedalam keranjang. "Terima kasih, Naruto!"

"Hei!" Mata sapphire laki-laki berkulit coklat itu melotot sadis, meleguh protes akan tingkah Hinata. "Aku tidak tahu mana roti milikku jika kau memasukannya sebanyak ini!"

Wanita tersenyum simpul sembari mengeratkan kerah coatnya. "Kalau begitu kita makan siang bersama! Kau membeli roti-roti ini untuk makan siangmu, bukan?"

Mendengus keras, Naruto meletakan keranjang roti ke meja kasir tanpa menjawab usulan Hinata. "Berapa semuanya?"

Selesai menghitung total keseluruhan roti melalui mesin scan, sang kasir pun menjawab. "Lima belas ribu yen."

Melihat Naruto mengeluarkan beberapa lembar uang, Hinata terus mengekori Naruto keluar dari dalam toko roti menenteng tas kertas digenggaman tangan. "Hei! Kau mau kemana? Bagaimana dengan ideku tadi? Kau mau pergi makan siang bersamaku atau tidak?" Seperti yang terjadi sebelumnya Naruto tetap diam. Tak menjawab. "Hei?! Tunggu aku! Kau mau mau makan siang denganku tidak?! Hei! Naruto?!"

Menutup rapat wajahnya menggunakan kerah coat, wanita bertubuh sintal itu terus mengekori Naruto walau kesulitan akibat sepatu hak tingginya. "Naruto?! Naruto?! Hei, Naruto?! Kau mau kemana? Tunggu aku, jangan jalan cepat-cepat. Kakiku pegal!" Mengerlingkan pandangan keseluruh penjuru arah melalui kacamata hitam ia kenakan, Hinata memekik pelan. "Astaga! Kau sebenarnya mau kemana, Naruto? Kenapa kau pergi ketempat sepi seperti ini?! Jika tidak ingin makan siang denganku, kembalikan roti-roti itu. Aku akan membayar-"

Berhenti.

Naruto membalikan badan, menatap jengkel Hinata. "Kau sendiri yang bilang tidak bisa menunjukan dirimu didepan umum."

Menyusul Naruto yang berjalan didepannya, wanita berambut panjang itu menyenggol lengan Naruto saat berjajar. "Coba bilang dari tadi. Aku tidak akan salah paham."

Naruto mendengus kasar mendapati wanita itu terkikik kecil. Menemukan tempat yang cocok untuk menyantap roti-roti tersebut, pemuda laksana mentari duduk diatas rerumputan dengan kanal air dan deru suara kereta api tak jauh dari posisi mereka menjadi pemandangan. Memilah roti-roti didalam tas kertas, Naruto mengambil satu buah roti lalu membuka bungkusnya.

"Kau tidak mau makan?" Sebelah alis Naruto terangkat tinggi.

Senyuman lebar terlihat diparas cantik Hinata. "Baik-baik. Aku akan makan." Mendudukan diri tepat disebelah Naruto, wanita itu mengambil satu buah roti. "Ngomong-ngomong... Kau sudah berkerja, Naruto? Dilihat dari pakaian yang kau kenakan, kau pasti berkerja di perusahaan besar bukan?"

"Kau ini mau makan atau apa?" Cibir Naruto dengan sebelah alis terangkat tinggi. "Kita berada ditempat sepi. Tidak ada seorang pun yang tahu kau berada disini." Jelas laki-laki itu terganggu dengan penampilan Hinata.

"Oke, oke." Melepaskan kacamata hitam miliknya, wanita cantik itu kembali menatap Naruto. "Jadi, bagaimana? Kau berkerja di perusahaan mana? Atau- Ohh! Aku tahu. Kau berkerja di perusahaan ayahmu. Iya kan?"

Diam.

Naruto tak banyak bicara, berdiam diri menyantap roti yang ia makan walau Hinata memberondongi laki-laki itu dengan pertanyaan seputar kehidupannya.

"Baik! Aku anggap itu artinya ya." Bibir Hinata nampak merenggut maju, cukup kesal akan sikap Naruto. "Jadi bagaimana dengan kabar ayahmu? Apa beliau sehat-sehat saja?"

Genggaman Naruto pada bungkus roti yang telah kosong saat melahap potongan terakhir menguat, mencengkram bungkus tersebut seraya mengalihkan wajah menatap Hinata.

"Kenapa?" Raut bingung nampak jelas diwajah Hinata.

"Ayahku sudah meninggal lima tahun lalu."

Satu kalimat lolos dari bibir Naruto membuat Hinata terkejut, menutup mulutnya tak percaya. "M-Maaf..." Ucapnya pelan. "Aku tidak bermaksud untuk menyinggung perasaanmu. Setelah lulus sekolah, aku pergi ke Amerika dan baru kembali kemarin."

Anggukan samar terlihat. "Tidak perlu minta maaf, lagipula kejadian itu sudah lama berlalu." Beranjak berdiri dari rerumputan hijau yang ia duduki, pemuda bersurai pirang itu menepuk bagian belakang celana menghilangkan sisa-sisa rumput yang menempel. "Aku harus pergi, jam makan siangku telah berakhir."

Hinata ikut beranjak berdiri, mengamit tali tas kertas dalam genggaman tangan mengekori Naruto yang telah pergi meninggalkannya. "Bagaimana dengan roti milikmu?"

Mengangkat tinggi sebelah tangan, Naruto terus melangkah tanpa melihat lagi kebelakang. Dimana Hinata berada.

.

.

Deru mesin pesawat mengudara. Menampakan burung besi nan gagah memasuki landasan terbang dengan seorang marsheel telah berdiri didepan pesawat guna memberi petunjuk akan tepat pemberhentian pesawat itu. Menempatkan lorong panjang didepan pintu pesawat, para penumpang pun bergegas melangkahkan kaki melintasi koridor sempit menuju bagian dalam bandara kemudian mengambil sebuah koper berwarna merah dari bagasi setelah selesai dipindai. Sosok mengenakan kacamata hitam dipadu coat panjang berwarna coklat tua membuat takjub para wanita yang melintas, memandang tak berkedip bahkan urung beberapa diantara mereka bertabrakan satu sama lain karena mengabaikan keadaan disekelilingnya akibat terlalu terpesona.

Sosok tersebut terlihat acuh akan keberadaannya yang menjadi pusat perhatian, tak menanggapi berpasang-pasang mata menghujaninya dengan binar kekaguman. Suara ponsel berdering kencang, laki-laki berkulit putih itu meraih ponsel dari balik saku coat.

"Ya, aku sudah sampai."

Meski mengenakan kacamata hitam, alis si lelaki mengerut dalam nampak keberatan mendengar suara sang lawan bicara. "Baik-baik, aku mengerti. Aku akan melakukannya sesuai dengan apa yang telah kita rencanakan. Namanya Namikaze Naruto, iya kan?"

Memutuskan telepon tersebut lalu memasukannya kedalam saku. Laki-laki itu menghela nafas kasar, berhenti tepat didepan pintu masuk bandara memandang hamparan langit biru dibalik kacamata hitam.

"Aku pulang."

.

Keluar dari dalam ruangan menenteng beberapa lembar kertas ditangan, Naruto berdiri tepat di depan seluruh pegawainya. "Apakah pihak Jyuukatsu sudah menghubungi kita untuk penandatanganan berita acara serta berkas-berkas perjanjian kontrak yang telah disepakati, Shikamaru?"

Mendengar namanya dipanggil oleh Naruto, Shikamaru mengaruk surai kepalanya yang tidak gatal. "Bagaimana mengatakannya, ya."

Kedua tangan Naruto lipat didepan dada, tak sabar menunggu jawaban. "Iya atau tidak?" Tekannya kemudian.

Shikamaru menghela nafas frustasi. Tidak ada pilihan lain, ia harus mengatakannya pada Naruto. "Sudah, Namikaze-sama."

Kening Naruto mengerut dalam. "Kenapa kau tidak mengkonfirmasikannya kepadaku jika memang mereka telah memutuskan dimana pelaksanaan penandatanganan berita acara!" Melototi Shikamaru tajam, Naruto tak segan-segan menunjukan pada bawahannya itu bila kini ia murka akibat tak memberi informasi apapun. "Cepat hubungi mereka! Konfirmasikan bila aku akan datang lima belas menit lagi."

Shikamaru terlihat gusar, tiada henti menghembuskan nafas dengan sebelah tangan menggenggam erat bolpoin miliknya. "Uchiha-sama telah menemui mereka dua jam yang lalu untuk penandatangan berita acara dokumen proyek kerjasama." Langkah kaki Naruto terhenti, sedangkan Shikamaru menghempaskan punggungnya kesandaran kursi— melampiaskan rasa kesal. "Maafkan aku, Namikaze-sama. Kami tidak bermaksud membiarkan ia mengambil alih proyek yang telah anda menangkan. Posisi tertinggi saat ini dipegang oleh Uchiha-sama, parahnya lagi dia sudah mengetahui proyek itu dan kami tak mempunyai wewenang untuk menahannya agar tak menyentuh proyek ini."

Naruto memijat pelan pelipis sebelah kirinya, menghela nafas pelan berusaha mentralisir emosi menyergap relung hati. "Tidak perlu minta maaf, aku bisa memahaminya." Menggerakan dagu, laki-laki itu mengisyaratkan seluruh pegawai untuk berkumpul diruang rapat. "Persiapkan diri kalian, lima menit lagi aku ingin mengadakan rapat mengenai proyek kerjasama dengan bagian ekspor dan impor Hebi Corporation."

Baru berjalan beberapa langkah selama sesaat, Naruto menolehkan kepala ke belakang mendapati para pegawainya tidak juga beranjak dari bilik meja kerja. "Kenapa kalian diam saja? Kukatakan sekali lagi, aku ingin mengadakan rapat membahas proyek kerjasama dengan Hebi Corporation?!" Naruto tak bisa toleransi lagi. Emosinya kian tak terkontrol. "Apa masih kurang jelas!"

Wanita bersurai merah buka suara dari bilik meja kerja. "Uchiha-sama bilang kami tak boleh menjalani rapat mengenai pembahasan proyek tanpa persetujuan darinya." Merapikan kacamata yang melorot, Karin terlihat gentar menghadapi Naruto. "Jika melanggar, kami harus menerima konsekuensi yang cukup berat. Dia tak segan-segan memecat kami."

Memejamkan mata erat, laki-laki memiliki kulit coklat terbakar matahari melangkahkan kaki menuju kearah meja Kakashi. "Segera hubungkan aku dengan ponsel Uchiha Sasuke!"

Mengangguk cepat, Kakashi lekas menekan beberapa digit nomor kemudian memberikan ganggang telepon kepada Naruto. Lama nada sambung terdengar. Suara seorang laki-laki pun menyapa telinganya.

"Apa maksudmu melarang mereka menjalani rapat yang akan kulaksanakan!"

"Aku hanya meminimalisir adanya tindak kejahatan dari pelaksanaan rapat secara ilegal yang tak kuketahui." Si penerima telepon nampak tak terkejut akan intonasi suara Naruto yang meninggi masuk dipendengaran. "Nasip perusahaan kini bergantung kepadaku, bagaimana pun juga aku akan menyingkirkan orang-orang yang ingin menjatuhkan Cetta Corporation."

"Kau pikir aku akan menjatuhkan perusahaan ini, begitu?!" Kesabaran Naruto kian terkikis, laki-laki itu dengan kasar menghempaskan berkas keatas meja Kakashi, meluapkan amarah. "Bagaimana cara otakmu itu berkerja, Uchiha Sasuke?! Cetta Corporation adalah perusahaan ayahku! Dia memberi tanggung jawab penuh kepadaku untuk membangun usahanya! Tidak mungkin aku menghancurkan perusahaan ini sedangkan selama bertahun-tahun aku berusaha keras memajukan perindustriannya agar dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar lainnya!"

Suara Sasuke yang semula santai menanggapi kemarahan Naruto berubah menjadi kelam. "Kau harusnya lebih sadar diri. Cetta Corporation bukan lagi milik ayahmu, tetapi miliku."

Sorot mata Naruto berubah gelap, mengeratkan genggaman tangan pada ganggang telepon yang ia tempelkan ditelinganya.

"Aku yang memiliki posisi tertinggi diperusahaan ini. Sebagai bawahanku, hendaknya kau mematuhi segala aturan yang sudah kutetapkan." Jeda sejenak, suara Sasuke kembali terdengar. "Jika kau berani melanggarnya, tetap gigih ingin melaksanakan rapat ataupun memegang kendali proyek kerjasama tanpa seizinku." Terasa lebih berat, sarat akan makna bahwa Sasuke tidak main-main dalam perkataannya. "Aku akan membuat hidupmu lebih menderita, berkubang dalam penyesalan memohon pengampunan kepadaku! Sekalipun kau bersujud bahkan mencium kakiku. Aku tidak akan pernah memaafkanmu."

Aura tubuh Naruto menguar semakin gelap kala menahan amarah, giginya bergemelutuk kuat. Naruto telah sampai dititik terendah emosinya, hingga mampu menghancurkan apa saja yang berhubungan dengan laki-laki bersurai raven itu.

"Kheh!" Berdecih kasar, Naruto seakan menghina Sasuka secara terang-terangan. "Kau pikir aku takut mendengar gertakan yang kau buat?" Sudut bibir Naruto tertarik, membingkai senyum iblis. "Lakukan saja bila kau berani menghadapiku!"

Satu kali gerakan, Naruto menghempas ganggang telepon. Menatap tajam para pegawai yang berada didalam ruangan tersebut. "Pergi ke ruang rapat, sekarang!"

Tanpa banyak kata ataupun sanggahan dilontarkan oleh masing-masing pegawai, mereka lekas beranjak berdiri berbondong-bondong pergi keruang rapat.

"Cukup sudah aku bersabar selama ini." Menggepalkan kedua tangan menampakan buku-buku jari Namikaze muda itu memutih seketika. "Jika kau menabuh genderang perang, akan kulayani. Kita lihat, siapa yang akan menderita diakhir nanti-" Naruto telah berikrar. Tak akan berbaik hati lagi pada Sasuke.

"Kau atau aku."

Mendengar suara sambungan telepon terputus secara sepihak oleh si penelpon, ponsel touchscreen tersebut disimpan kembali kedalam saku jas, mengalihkan tatapan mata memandang para koleganya dari pihak Jyuukatsu dengan tatapan hangat.

"Maaf menginterupsi penjelasan anda, saya harus pamit undur sejenak. Ada perkerjaan penting yang harus saya selesaikan." Beranjak berdiri dari sofa panjang disebuah cafe ternama di Tokyo, laki-laki itu pun memasangkan kembali kancing jas yang ia buka saat duduk sebelum memulai penandatangan berkas. "Perwakilan dari perusahaan kami akan melanjutkan proses penjelasan dari proyek kerjasama kita."

Perwakilan dari pihak Jyuukatsu tersenyum hangat akan pernyatan si lelaki. "Baiklah. Yang terpenting berkas berita acara dan beberapa dokumen lainnya mengenai kerjasama perusahaan kita telah selesai ditanda-tangani. Saya pun tidak mempunyai hak untuk menahan anda berlama-lama." Tuturnya penuh hormat. "Sebagai direktur, pastilah banyak pekerjaan yang harus anda selesaikan."

Si lelaki tersenyum melihat uluran tangan pria berkacamata, pihak mitra kerjanya. "Terima kasih atas waktunya Uchiha-sama. Saya berharap kedepannya hubungan kerjasama dari masing-masing perusahaan kita tak cuma berhenti sampai disini."

Menganggukan kepala singkat. "Saya pun berharap demikian." Laki-laki itu pun membungkukkan badan memberi salam. "Kalau begitu saya pamit dulu. Jika ada hal-hal yang ingin anda konfirmasikan kepada saya sekecil apapun itu, anda bisa menghubungi saya secara langsung."

"Baik, Uchiha-sama." Turut menundukan kepala membalas salam, pria berkacamata itupun melepaskan kepergian si lelaki yang telah berlalu, keluar dari cafe. "Mari kita lanjutkan, Juugo-san." Pria itu pun kembali fokus pada berkas-berkas diatas meja.

Begitu keluar dari cafe, si lelaki disambut oleh seorang supir yang telah membukakan pintu mobil, lalu menutup kembali pintu mobil tersebut setelah sang direktur masuk kedalam mobil. "Kita kembali ke kantor."

"Baik."

Tak menunggu waktu lama, mobil mewah berwarna hitam mengkilat tersebut membaur bersama ribuan kendaraan lain yang melintasi jalan raya. Jalanan nampak lenggang, tak dipenuhi antrian mobil-mobil memenuhi badan jalan yang biasa terlihat. Menempuh perjalanan selama empat puluh lima menit menyusuri keramaian pusat kota, mobil sedan hitam tersebut berhenti didepan gedung pencakar langit. Laki-laki itupun lekas turun dari dalam mobil sebelum sang supir bergerak hendak membukakan pintu, mengenakan stelan jas lengkap dengan coat hitam menutupi jasnya, pria itu berjalan memasuki gedung tersebut.

Memasuki lift setelah menekan sebuah tombol disisi pintu lift, sebuah ruangan didominasi warna putih dipadu gradiasi warna lain yang selaras terlihat dipandangan mata si lelaki. Dan seperti yang ia duga saat menjejakan kaki, hal pertama yang ia dapat ruangan tersebut nampak sepi, tak dihuni satu orang pegawai. Berbalik arah, laki-laki itu berjalan menuju ruangan lain terletak tak jauh dari bilik meja para pegawai.

Dinding-dinding kaca dengan lebih dari lima belas orang menghuni ruangan tersebut menjadi pemandangan. Tanpa banyak kata, lelaki itu melangkahkan kaki memasuki ruangan. Membuka kasar pintu kaca tersebut hingga ia menjadi pusat perhatian seluruh orang-orang.

"Kalian tidak bisa memahami apa yang telah kukatakan sebelumnya, hn?" Sebut pria itu memotong penjelasan seorang laki-laki bersurai pirang yang berdiri didepan layar proyektor. "Apakah aku harus melakukannya terlebih dahulu, baru kalian dapat memahami apa yang kukatakan?!"

Laki-laki bersurai pirang berdecak, menatap tajam pria dihadapannya itu. "Kau tidak lihat mereka sedang berkerja untuk menghadapi proyek selanjutnya?"

"Kau..." Mata onyx lelaki itu memicing tajam memandang Naruto. "Menganggap perkataan ku tadi hanya gertakan saja? Berani melanggar peraturan yang telah kutetapkan dengan menggelar rapat tanpa mendapat izin dari ku sama sekali."

"Kau pikir, aku peduli?" Mengabaikan tatapan intimidasi dilayangkan Sasuke, Naruto kembali membalikan badan menjelaskan pokok-pokok dari proyek terbaru yang akan ia garap. Mengacuhkan keberadaan Sasuke diambang pintu ruangan seolah tak berarti. Sudut bibir Sasuke membentuk seringai mengerikan saat menatap salah seorang pegawai yang duduk dikursi rapat.

"Namamu Karin, bukan?"

Mendapati kondisi sekitar terasa tak mengenakan akibat persertuan kedua atasannya, tak hanya Karin yang diliputi perasaan kalut namun perserta rapat lainnya. "Y-Ya."

Terlihat berhenti sejenak menjelaskan pokok permasalahan dari proyek yang ia tanggani, Naruto kembali melanjutkan penjelasan. Mengabaikan apapun yang akan Sasuke lakukan, jelas bagi Naruto pria bersurai raven itu hanya ingin menghancurkan konsentrasinya.

"Mulai hari ini kau bukan lagi karyawan administrasi Cetta Corporation."

Tercenung.

Tidak hanya Naruto saja yang membalikan tubuhnya memandang terkejut akan pernyataan Sasuke. Wanita bersurai merah mengenakan kacamata itu turut terdiam ditempat membelalak lebar menatap Sasuke. "U-Uchiha-sama."

Tanpa ada belas kasihan, tatapan dingin yang Sasuke hujam dimata wanita cantik tersebut terkesan semakin menggelap. "Segera kemas barang-barang milikmu. Aku ingin dalam waktu lima belas menit, kau keluar dari perusahaan ini."

Marah.

Naruto benar-benar merasa marah pada Sasuke yang tiba-tiba memecat Karin dengan tidak hormat, terlebih tanpa ada pemberitahuan resmi secara tertulis dari perusahaan serta persertujuan darinya. "Tetap duduk ditempatmu, Karin. Jangan beranjak sedikit pun tanpa persertujuan dariku."

"Na..Namikaze-sama..." Wanita bermarga Uzumaki itu mengalihkan wajah memandang Naruto yang melayangkan tatapan tajam kearah Sasuke.

Sasuke tetap tak menurunkan intensitas sorot matanya yang terlihat mengerikan ketika membalas tatapan mata Naruto. "Bereskan barang-barangmu sekarang, Uzumaki Karin."

Gerak nafas Karin memburu, raut wajah shock nampak jelas diwajahnya memandang Sasuke. Gigi Naruto bergemelutuk erat, "Kuperintahkan kau untuk tetap ditempatmu, Karin!" menahan rasa amarah yang kembali membelenggu hatinya. "Kau tidak akan pernah keluar dari perusahaan ini tanpa persetujuan dariku!"

Naruto tahu Karin adalah tulang punggung keluarganya, mengantungkan hidup ibu dan kelima adik-adiknya yang masih kecil dengan mengabdi diperusahaan ini. Bagaimanapun juga Naruto akan tetap mempertahankan Karin dari perlakuan semena-mena Sasuke. Ia tak akan membiarkan wanita itu pergi menanggung derita hanya karena taktir kotor Sasuke yang ingin menghancurkan dirinya.

Sorot mata Sasuke berubah semakin gelap. "Kau yang memaksaku, Naruto."

Melangkah keluar dari ruangan rapat menuju kesalah satu meja. Sasuke mengambil tong sampah tergeletak disisi meja tersebut, memasukan seluruh barang-barang yang berada diatas meja tersebut kedalam tong sampah. Mata biru Naruto membulat tak percaya, diikuti dengan para pegawainya beranjak berdiri dari tempat duduk melihat aksi Sasuke dari balik dinding kaca ruang rapat.

"Hentikan!" Melangkahkan kaki dengan kalap, Naruto keluar dari rapat hendak menghentikan Sasuke. "Aku bilang berhenti! Kau tidak berhak melakukan semua ini!"

Berhenti melangkah dengan tubuh setengah berbalik saat berada disisi pagar pembatas sebatas pinggul berbentuk lingkaran yang menampakan aktivitas orang-orang dibagian bawah ruangan. Tong sampah yang berada diluar pagar pembatas dengan sebelah tangan Sasuke menggenggam erat tong sampah tersebut perlahan-lahan merenggang, diiringi tatapan benci dan senyum mencemooh terbingkai sempurna dibibir Sasuke.

"Tidak berhak, kau bilang?"

Dalam satu kali gerakan, Sasuke melepaskan genggaman tangannya pada tong sampah tersebut. Membuat tong sampah yang berisi barang-barang milik Karin meluncur dengan bebas hingga akhirnya jatuh, membentur lantai hingga porak-porak poranda.

'BRAK!'

Senyum sinis dibibir Sasuke berganti, ekspresi datar pun terlihat dipengheliatan Naruto. "Perusahaan ini milikku sekarang dan aku..." Tak memudarkan sorot benci yang sendari tadi, Sasuke nampak menikmati setiap detik raut wajah Naruto saat ini. "...berhak melakukan apapun yang aku inginkan."

Kepalan tangan Naruto perlahan-pelahan menguat, menampakan buku-buku jari yang memutih ditengah keterdiaman memandang kaget barang-barang milik Karin dibuang oleh Sasuke. "Kau sengaja bukan..." Gumam Naruto pelan dengan kepala tertunduk. "Aku tahu... Aku tahu kau sengaja melakukan semua ini!" Tubuh Naruto menegang menahan amarah, tak segan-segan memandang keji Sasuke. "Sekarang apa lagi? Taktik kotor macam apalagi yang ingin kau lakukan untuk menjatuhkanku, HAH?! Jika kau mempunyai masalah denganku, jangan pernah libatkan orang-orang tak berdosa terjerumus kedalam masalah ini!"

"Aku memang sengaja." Sudut bibir Sasuke tertarik, menyeringai bengis. "Sengaja membuatmu menderita, dan semakin menderita menjalani kesengsaraan yang kubuat." Laki-laki bersurai raven itu mendengus sinis, mengejek sang Namikaze muda. "Jika kau sedikit sadar, tak bersikap sombong sehingga menyepelekan ucapanku yang kau anggap cuma gertakan, hal seperti ini pasti tidak akan terjadi."

Sasuke melangkahkan kaki perlahan, mendekati Naruto kemudian berhenti tepat disebelah lelaki bersurai pirang itu. "Bila kau berpikir aku telah menghancurkan kehidupan orang tak berdosa hanya karena ingin menjatuhkanmu, itu adalah suatu kesalahan besar. Aku sudah memberi peringatan sebelumnya untuk tidak melanggar apa sudah kutetapkan. Jika kau ingin menyalahkan orang lain atas nasip buruk menimpa pegawaimu." Mata onyx Sasuke menatap wajah laki-laki disampingnya yang tertunduk mengepalkan tangan. "Berkacalah dan lihat, apa yang telah kau lakukan pada pegawaimu sendiri."

Laki-laki bersurai raven itu pun berlalu, meninggalkan jejak senyum iblis. Nampak menikmati penderitaan Naruto.

'Aku akan menghancurkanmu secara perlahan-lahan. Membuatmu berkubang dalam rasa penyesalan karena telah membawa orang-orang terdekatmu dalam jurang kesengsaraan dan menyakiti mereka yang sangat kau sayangi hingga menderita seorang diri sampai kau menginginkan kematian. Kau harus membayar semuanya seperti yang telah dia lakukan pada ku, Naruto...' Sasuke melangkah meninggalkan Naruto yang memendam rasa benci didalam hati. 'Kau harus membayarnya!'

.

Ruangan yang sepi tanpa ada satu manusia pun menghuni ruangan tersebut dengan bilik-bilik meja kerja menjadi penghias kala keheningan meraja. Sosok wanita bersurai merah memasukan satu persatu sisa-sisa barang diatas meja kerja miliknya kedalam kotak persergi. Diantara aktivitas mengemas barang-barang yang tersisa, laki-laki bersurai pirang memunculkan diri dari keheningan ruangan melangkah menuju kearah si wanita.

'TUK!'

Sebuah amplop coklat berbentuk persegi panjang si lelaki letakan diatas meja. Karin tersenyum tipis. "Gajiku sedang diproses, seminggu lagi aku akan kemari untuk mengambilnya. Anda tidak perlu melakukan hal ini, Namikaze-sama."

Senyum tipis yang terbingkai sempurna diwajah Karin terlihat semakin lebar, menunjukan kepada Naruto bahwa kini ia baik-baik saja. Tak menangis tersedu-sedu seperti beberapa saat lalu pasca Sasuke memecatnya. Hati Naruto terenyuh. "Aku dengar keadaan ibumu belum membaik. Sekarang tahun ajaran baru, adik-adikmu juga membutuhkan keperluan sekolah."

"Jangan kasihani aku, Namikaze-sama karena aku tidak membutuhkannya." Karin menyodorkan kembali amplop coklat diatas meja kearah Naruto. "Maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk menolak kebaikanmu." Lagi, senyuman dibibir Karin tak hilang saat menolak pemberian Naruto. "Aku hanya tidak bisa menerimanya."

"Kumohon jangan tolak pemberianku, Karin." Geleng Naruto pelan. "Semua ini kulakukan bukan semata karena belas kasihan. Kau telah membantu banyak ketika ayahku masih hidup, memberi kontribusi penuh saat mengabdikan diri berkerja diperusahaan ini." Meraih kedua tangan Karin, Naruto mendudukan diri dikursi tepat didepan wanita itu lalu menggenggam tangannya erat. "Aku tidak bisa membalas semua kebaikan yang telah kau limpahkan selain membantumu meringankan beban yang kau sandang dari kemelut perekonomian keluargamu." Sorot mata Naruto menyedu. "Maka dari itu aku minta, jangan tolak segala pemberianku. Biarkan aku menebus derita yang kau pikul sebagai ganti karena harus berhenti berkerja sampai disini. Semua ini salahku kau jadi terseret dalam permasalahan yang tak kuketahui kenapa ini bisa terjadi."

Wanita bersurai merah itu tersenyum kecut. "Jangan salahkan dirimu Naruto." Karin membalas genggaman tangan Naruto. "Apa yang terjadi padaku tidak ada hubungannya dengan dirimu. Sudah saatnya aku berhenti, berhenti membebani dirimu yang terlalu empati terhadap masalah pribadiku. Kau tidak harus menanggungnya Naruto, aku sadari cepat atau lambat hal ini akan terjadi. Tidak hanya aku saja, pegawai dari perusahaan lain juga pasti akan bernasip sama." Wanita berkacamata itu tersenyum tipis seraya memegang lembut pipi Naruto. "Aku pasti akan mendapatkan perkerjaan lain dalam waktu dekat. Jadi jangan khawatirkan aku, Naruto. Tegarlah... Jika kau bersikap seperti ini, menyalahkan dirimu sendiri. Aku merasa berat untuk meninggalkanmu."

Senyum diwajah Naruto nampak, membalas perlakuan lembut dari seorang wanita yang ia anggap seperti kakak sendiri. "Selama kau berusaha mendapatkan perkerjaan, biarkan aku membantu merawat ibu dan adik-adikmu." Tungkasnya kemudian. "Bila kau telah mendapatkan perkerjaan yang layak. Menikahlah dengan laki-laki yang baik dan juga mencintaimu. Pikirlah kebahagiaanmu sendiri, kau pantas mendapatkan yang terbaik atas kerja kerasmu."

"Kau juga..." Melepaskan tangannya dari pipi Naruto, Karin pun meraih kotak berisi barang-barangnya diiringi tatapan hangat. "Aku pergi."

Naruto menundukan kepala mengulum senyuman. "Hati-hati dijalan. Jika ada waktu, aku akan mampir ke rumah sakit mengunjungi ibumu."

"Dia dalam keadaan sehat. Tidak perlu mengkhawatirkannya." Tangan sebelah kiri Karin terangkat, menepuk pundak Naruto. "Aku akan menghubungimu. Jaga dirimu baik-baik, Naruto."

Membiarkan Karin berlalu tanpa lagi menoleh kebelakang melepas kepergian salah satu pegawai terbaiknya, Naruto tetap memilih duduk ditempat seorang diri. Tak beranjak dari lingkup ruangan yang diselimuti keheningan. Dari ujung ruangan yang sepi tiada lagi sosok Karin terlihat dipandangan mata, laki-laki berperawakan tampan dengan surai raven kebiruan memandang Naruto sejenak sebelum akhirnya beranjak pergi menuju kearah lift. Begitu berhenti tepat didepan pintu menunggu selama beberapa saat, pintu lift pun terbuka, seorang wanita bersurai indigo terlihat kemudian berlalu keluar dari lift menyusuri koridor ruangan yang ia lalui. Dahi Sasuke mengerut dalam, seperti mengenali wanita tersebut. Namun hal itu tak berlangsung lama sebab ponsel Sasuke berdering hebat, tanda panggilan masuk.

"Aku akan menemuimu didepan." Tubuh Sasuke tak lagi terlihat, menghilang dibalik pintu lift.

"Naruto?!"

Mengalihkan kepala menoleh kebelakang, mata Naruto memicing tajam menatap seorang wanita yang berjalan mendekat kearahnya. "Hinata?"

Mata tak berpupil milik Hinata membulat lebar. Tak percaya. "Kau masih ingat padaku?!"

"Kenapa kau berada disini?" Naruto benar-benar tak habis pikir mengapa Hinata bisa berada disini sementara ia tak memberi informasi apapun mengenai keberadaannya.

"Kau bertanya kenapa aku berada disini?" Gadis cantik itu bersedekap dada. "Tentu saja aku menemuimu! Memangnya apalagi."

Laki-laki bersurai pirang menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Cukup sudah ia menjalani hari yang berat. "Ada perlu apa kau datang kemari?"

Bibir Hinata merenggut maju. "Jangan seperti itu. Aku kemari ingin mengajakmu makan malam sebagai permintaan maafku atas kejadian tempo lalu. Kau sudah selesai berkerja kan? Ayo kita makan bersama-sama."

Naruto beranjak berdiri. "Maaf, aku lelah. Aku ingin pulang dan beristirahat."

Tarik.

Hinata melingkarkan kedua tangan membelenggu sebelah lengan Naruto. "Hei, jangan ketus begitu?! Aku sengaja membatalkan pemotretan penting hanya untuk datang mengunjungimu. Sebentar saja, cuma makan malam biasa. Tidak lebih. Ayolah."

Naruto mencoba melepaskan tangan Hinata dari lengannya. "Tidak bisa, Hinata. Maaf, saat ini aku lelah." Suara Naruto terdengar lembut, memberi pengertian pada wanita itu. "Aku tidak ingin diganggu."

"Ayolah, Naruto. Cuma sebentar saja." Kedua tangan Hinata bergerak, menggoyangkan lengan Naruto memberi pandangan mata memohon. "Jika kau tidak ingin makan malam, bagaimana kalau kita makan takoyaki yang berada tak jauh dari kantormu? Lima menit saja, setelah itu aku tidak akan memaksamu lagi. Bagaimana? Kau mau kan?"

Terdiam sesaat menimang ajakan Hinata, Naruto akhirnya menganggukan kepala. "Baiklah."

"Yayy!" Wanita berkulit putih itu tertawa riang, menutupi bibir mungilnya menahan perasaan senang.

Mengamit jas hitam tersampir diatas sandaran kursi ruangan miliknya, Naruto dan Hinata pun berjalan berdampingan setelah keluar dari dalam lift. Begitu menginjakkan kaki di lobi utama gedung kantornya, Naruto disuguhi pemandangan familiar yang selalu terlihat setiap pulang kerja. Sasuke dan Sakura, berpegangan tangan dengan Sasuke sendiri mendekap erat tubuh sang kekasih, mengumbar kemesraan didepan Naruto untuk membuatnya semakin meradang. Menatap datar sepasang insan dimabuk asmara tersebut, Naruto terus melangkah menggenggam tangan Hinata secara tiba-tiba ketika berjalan.

Raut bingung nampak jelas diwajah Hinata, menatap sepasang kekasih yang memandang mereka berdua secara bergantian kemudian memandang lagi kearah Naruto. Terlebih kebingungan Hinata semakin menjadi ketika pemuda bersurai pirang itu berbisik.

"Pegang lenganku, Hinata."

Tanpa banyak kata atau sekedar bertanya untuk memastikan, Hinata lekas mengalungkan lengan Naruto menggunakan sebelah tangan yang bebas. Sakura mengalihkan wajah menatap kelain arah, sedangkan mata onyx Sasuke memicing tajam menatap intens Naruto dan Hinata menganalisa hubungan mereka berdua.

'Kau mencoba menunjukan perlawanan kepadaku?' Sudut mata Sasuke terus mengamati pergerakan Naruto yang kini keluar dari gedung. 'Jika kau kira bisa mengatasi kepedihan mu karena aku merebut semua milikmu yang berharga dengan mengganti posisi Sakura. Kita lihat... Apakah kau mampu bertahan dari penderitaan yang akan kubuat nanti.'

Kedua kaki Naruto yang melangkah konstan terhenti didepan mobil berwarna putih diparkir basement gedung. "Maafkan aku, Hinata."

Hinata turut berhenti, menatap pria disampingnya. "Kenapa minta maaf."

"Karena membuatmu melakukan hal bodoh seperti ini." Meski wajahnya tak berbicara banyak, menilik dari nada suara bisa diterka bila laki-laki itu diliputi rasa penyesalan. "Kau pasti merasa tidak nyaman bukan?"

Wanita cantik itu mengendikan bahu sejenak. "Aku bukannya tidak nyaman, hanya sedikit bingung." Meneliti wajah Naruto, Hinata menghela nafas pelan. Ia tahu terjadi sesuatu dengan Naruto dan ia tidak bisa membiarkannya begitu saja. "Dilihat dari wajahmu, sepertinya kau sedang mengalami masalah. Pasti ini ada hubungannya dengan perkerjaanmu, bukan?"

Naruto terdiam berjalan meninggalkan Hinata sembari membuka pintu mobil miliknya. Hinata merenggut, namun senyum merekah terukir indah dibibirnya saat terselip suatu ide untuk menghibur Naruto.

"Kita akan bersenang-senang malam ini!"

.

.

Naruto menyandarkan punggung dengan nyaman kesandaran kursi seraya memutar kursi hitam tersebut menghadap kearah kaca jendela berukuran besar. Malam telah meraja, mengganti langit biru yang indah menjadi gelap gulita tanpa dihiasi satu bintang pun. Kerlap-kerlip lampu gedung pencakar langit menemani diantara semilir angin yang mengalun lembut memecah kesunyian.

Mendengar suara ponsel berdering hebat, pemuda laksana mentari mengamit ponsel diatas meja. "Ohh, sudah dibalas."

Satu pesan masuk dari Hinata terlihat dipengheliatan, memberitahukan bahwa bila wanita cantik itu tidak keberatan Naruto menunda acara makan malam mereka dilain hari. Senyum diwajah Naruto terlihat, membalas pesan Hinata dengan seuntai kata-kata disertai emoticon smile. Tuntutan perkerjaan menjadi alasan, dan untuk kesekian kali dalam dua minggu terakhir Naruto selalu pulang larut malam, dan selama itu pula kedekatan yang terjalin antara mereka berdua semakin intens. Terdapat chemistry yang kuat hingga disetiap kesempatan jika bertemu, Hinata mampu mengusir kekalutan hati Naruto dengan tingkahnya yang ceria. Sejak ditinggal pergi ayahnya, Naruto diberi tanggung jawab penuh untuk mengurusi perusahaan. Polarisasi anti sosial mengubahnya menjadi orang yang amat tertutup, terlalu invortet akan privasi hidupnya, cenderung skeptif hingga tak membagi hal sekecil apapun termaksud kepada kekasihnya. Semenjak mengenal Hinata, kehidupan Naruto yang kaku dan juga monoton berubah. Menjadi sedikit rileks, tiada beban menghinggapi.

"Haah..."

Melonggarkan dasi yang tersemat dileher sembari melepaskan kerah kancing kemeja, Naruto menghela nafas panjang memejamkan mata sejenak meringankan beban yang mendera sebelum memutuskan untuk melanjutkan kembali perkerjaan yang tertunda. Menilik keluar ruangan tiada seorang pun yang berada dikantor selain dirinya, Naruto beranjak berdiri dari kursi, berjalan keluar ruangan menuju ke pantry.

Menyeduh sekantung teh lipton kedalam cangkir porslein, Naruto memasukan dua blok gula, menanggalkan sendok perak usai mengaduk teh tersebut lalu membawa cangkir tersebut digenggaman tangan. Meniup sejenak teh tersebut kemudian menyesapnya, laki-laki berkulit coklat terbakar matahari mengarungi koridor ruangan seorang diri bertolak ke ruangan miliknya.

'BRUK!'

Baru meneguk teh didalam cangkir sebanyak tiga kali tegukan. Langkah kaki Naruto tiba-tiba terhenti, menyandarkan tubuhnya kedinding koridor menggelengkan kepala pelan mengusir rasa pusing yang tiba-tiba menyergap. Mengalihkan mata kedepan, sepanjang memandang menyapu kesegala penjuru arah, Naruto merasa apa yang ia lihat terasa buram. Tak menampakan satu wujud nyata dari keadaan sekitarnya hingga mengfokuskan diri melangkahkan kaki menyusuri koridor Naruto merasa sangat sulit. Berkali-kali menggelengkan kepala guna mengembalikan pengheliatannya seperti semula, Naruto tak menemukan perbedaan apapun. Tetap sama. Rasa pusing semakin mendera, tidak cuma membuat pandangan matanya terlihat buram, koridor tempat ia berada seolah berputar-putar tak tentu arah.

'Ada apa ini?'

Meneguhkan kedua kaki kembali melangkah menuju keruangan miliknya, tubuh Naruto kembali oleng. Pegangan pada gelas porslein yang kini bergetar hebat mulai merenggang secara perlahan-lahan manakala tubuh laki-laki bersurai pirang tersebut membentur sisi dinding ketika mencoba menyeimbangkan diri. Kondisi tubuh Naruto kian ekstrim, semakin ia berusaha melawan ia malah tak bisa mengontrol dirinya. Bahkan belum sempat mencapai pintu dimana ruangannya berada, genggaman tangan Naruto pada gelas porslein terlepas-

'PRANK!'

-diiringi tubuh laki-laki itu terjatuh membentur lantai yang dingin dengan posisi telungkup tak jauh dari serpihan pecahan gelas.

Tepat diujung lorong ruangan yang sepi dan gelap tanpa diterangi cahaya sedikit pun, sosok mengenakan stelan jas lengkap dipadu sepatu pantovel hitam berjalan mendekat lalu berhenti tepat didepan pria yang terbaring tak sadarkan diri. Senyuman diwajah sosok tersebut terlihat, menyeringai kejam.

.

Membuka kedua mata secara perlahan karena terusik akan suara berisik yang memasuki gendang telinga, kelopak mata tertutupi kulit tan terbuka. Mengerjap selama sesaat guna mengembalikan fokus pengheliatan. Membuka-tutup matanya lebih dari tiga kali menghilangkan pemandangan yang nampak buram kala menatap segala penjuru arah, suasana gelap dalam sebuah kamar yang sepi terlihat dimata laki-laki bersurai pirang tersebut walau kantuk masih mendera hingga ia sulit membuka mata dengan sempurna.

"Nghh..."

Rintihan pelan terdengar, meluncur mulus dari bibir si lelaki tanpa ia sadari ketika merasakan sesuatu yang basah dan juga kasar disaat bersamaan terasa dirahang bagian bawah. Tak hanya berfokus pada satu bagian bawah rahang saja, benda lunak tak bertulang tersebut bergerak, menjelajahi perpotongan leher laki-laki berkulit coklat. Bergerak naik turun secara konsisten menggundang leguhan laki-laki itu saat merasakan sesuatu yang kasar menghisap ceruk lehernya.

"D...Dimana aku?"

Berhasil mengembalikan kepingan memori hingga mampu tersadar akan keadaan disekelilingnya, si lelaki yang mencoba beranjak dari sebuah tempat yang ia rasa ranjang ukuran besar kembali terbaring, tidak bisa melawan rasa kantuk menyergap hingga sekedar membuka mata laki-laki itu merasa sulit. Tak hanya rasa kantuk saja yang mendera, si lelaki juga merasakan sebuah tangan menahan tubuhnya, menekan dadanya dengan dorongan pelan yang membuat ia tak mampu bergerak. Bahkan ketika mengerjapkan mata untuk kesekian kali mencermati keadaan sekeliling arah, si lelaki sadari ada sesuatu yang aneh dikedua pergelangan tangannya. Membuat ia merasa seperti dikekang.

"Nn..."

Begitu mengalihkan kedua mata menatap kekiri dan kekanan mencari jawaban kenapa ia tak mampu bangkit dari kasur, bola mata si lelaki membelalak lebar menatap tak percaya kedua tangannya terbelenggu oleh seutas tali berwarna merah pada bagian atas kepala tempat tidur.

"A..Apa-apaan ini!"

Mencoba menarik kedua tangan yang terbelenggu, si lelaki bukannya terbebas malah membuat pergelangan tangan terasa semakin sakit dan yang lebih mengejutkan lagi selain berusaha melepaskan diri dari ikatan tali pada kedua pergelangan tangannya, sosok ditengah kegelapan ruangan minim pencahayaan menampakan diri, menghisap penuh rokok terselip diantara belahan bibir sembari menyapukan telapak tangan di perpotongan leher si lelaki.

Memaksakan diri agar terlepas namun disisi lain tenaga si lelaki kian terkuras, mata biru sejernih samudara memicing sadis ketika mengalihkan wajah menatap tajam sosok yang kini memperlihatkan seringai mengerikan.

"Ka-Kau..." si lelaki tercenung seketika, membeku diatas tempat tidur.

"Sudah bangun, Naruto?"

Dia...

Uchiha Sasuke!

Deretan gigi Naruto bergemelutuk erat mengetahui pria yang ia benci kini berada tepat dihadapannya. "Berengsek!" Senyum diwajah Sasuke kian menjadi dengan sebelah tangan melempar handuk yang berada dipundak sembarang arah. Naruto semakin meradang. "Apa yang telah kau lakukan sebenarnya? Kenapa aku bisa berada ditempat ini?!"

Menghisap penuh rokok yang ia selipkan diantara jemari tangan sembari melayangkan sudut mata menatap tajam Naruto, bukannya menjawab pertanyaan dilayangkan laki-laki itu secara bertubi-tubi Sasuke justru menggumbar senyum. Menghembuskan asap rokok kearah Naruto dengan rokok ditangan ia letakan kembali ke asbak diatas meja sisi tempat tidur. Memperlihatkan kilat sorot mata yang terlihat semakin menggelap, tak urung Naruto dihinggapi spekulatif negatif. Mensugestikan dirinya bila kini ia terjepit oleh situasi yang tidak menyenangkan.

"Kau bertanya apa yang akan kulakukan, hn?"

Mata Naruto memicing sadis, memandang murka Sasuke tanpa mengubah ekspresi berarti diwajah tampannya. "Jangan mendekat."

Seringai Sasuke semakin melebar, membalas tatapan mata Naruto dengan balik mencemooh. "Kenapa? Apa yang kau takutkan Naruto?"

Sasuke sedang mempermainkan dirinya.

Dan Naruto tahu akan hal itu.

"Jangan main-main denganku, berengsek!" Gigi pemuda berkulit coklat itu mengerat, menahan amarah. "Sekali lagi kau mendekat, aku tidak akan segan-segan menendang wajahmu!"

Dengus.

"Tidak perlu menunjukan sikap agresi mu didepanku, Naruto." Menyisir helaian surai ravennya yang basah menggunakan jemari tangan kanan, Sasuke mengalihkan wajah sejenak sembari berdecak kasar lalu memandang kembali wajah Naruto. "Karena hal itu hanya akan membuatku semakin bertindak liar. Sekalipun kau memohon belas kasihan minta pengampunan dariku, harus kau tahu aku tidak akan pernah berhenti."

Menanggapi kecaman Sasuke? Bukan Naruto namanya sebab laki-laki itu malah tersenyum mengejek, mencibir perilaku Sasuke yang bersikap seolah ia seorang penguasa atas hidupnya. "Sekalipun kau berharap aku akan tunduk. Simpan baik-baik harapanmu itu dan enyahlah! Hal itu tidak akan pernah terjadi!"

Mengadahkan wajah menatap sikap angkuh yang menguar dari gestur Naruto, ekspresi wajah Sasuke berubah total. Tak menampakan apapun selain sorot mata penuh dendam kearah Naruto. "Kau pasti mengerti bukan apa yang akan kulakukan padamu? Kau telah merasakannya, dan terlihat begitu menikmatinya." Menggenggam erat selimut tersampir diatas tempat tidur, intensitas kebencian dari onyx kelam Sasuke kian terasa. "Sekarang kita lihat sampai dimana kau mampu mempertahankan sikap angkuhmu didepanku jika aku melakukan hal yang lebih menyakitkan."

Dalam satu kali tarikan, laki-laki bersurai raven mengenakan handuk melilit dipinggul melepaskan selimut tipis menutupi tubuh Naruto. Laki-laki bersurai pirang itu tercenung seketika, mendapati tubuhnya kini polos tak tertutupi sehelai benang pun.

"Kenapa?" Ucap Sasuke merangkak naik. "Tidak perlu bereaksi seperti itu, karena ku yakin kau tahu kita akan melakukan permainan apa." Menahan sebelah kaki Naruto dengan menindihnya menggunakan siku kaki kiri, Sasuke pun beranjak keatas tubuh telanjang Naruto.

'BUAK!'

Belum sempat memposisikan diri tepat diatas laki-laki itu, wajah Sasuke tersentak kebelakang menerima serangan telak diarahkan Naruto melalui kakinya yang bebas tak ditindih Sasuke.

"Kau pikir ucapanku ini hanya gertakan saja sehingga kau menyepelekan peringatanku?!" Seringai bengis terukir indah diwajah Naruto. Mengulang kalimat yang sama diucapakan Sasuke saat memecat Karin. "Kau harus bersyukur, kali ini hanya kakiku yang menendang wajahmu. Sebelum aku marah, cepat lepaskan aku!"

Mengalihkan wajah perlahan memandang Naruto, sudut bibir yang terluka akibat tendangan laki-laki itu Sasuke usap pelan kemudian memandang jejak darah pada jempol tangan kirinya.

"Kheh!" Aura tubuh Sasuke kian menggelap, tak lagi mengirimkan tatapan intimidasi yang selalu ia arahakan ke laki-laki pirang itu. "Kelemahan manusia yang akan terus ada sekalipun mereka bersikap congkak seolah menguasai segala yang ada dibumi ini cuma ada satu, yaitu rasa takut." Sasuke kini justru menunjukan kemurkaan yang sangat mendalam, tak kasat melalui ekspresi datar wajahnya namun begitu terasa ditatapan mata onyxnya. "Suatu rasa yang tidak bisa dihindari walau mereka selalu menggunakan topeng sandiwara menutupi jejak tersebut agar tak dilihat sebagai makhluk yang lemah."

Mengangkat sebelah tangan bekas darah disudut bibirnya, Sasuke lekas mencengkram kaki Naruto. "Satu yang kupelajari dari semua orang yang kutemui untuk menimbulkan rasa sakit didiri mereka hingga menuai penderitaan serta perasaan hancur akibat terlalu menahannya, adalah dengan permainan emosi. Mempermainkan mental dan psikis seseorang yang merupakan dua titik krusial pada setiap manusia." Melepaskan kaitan tali pada sebelah tangan Naruto lalu mengenggamnya erat menahan perlawanan laki-laki itu, Sasuke mengikatkan sebelah kaki Naruto yang ia cengkram. "Dari biososial yang kulakukan, kau pasti mengerti bukan bila menderita akibat dua faktor tersebut seseorang akan menjadi gila, bahkan menginginkan kematian sebagai akses jalan pintas."

Naruto mendengus kasar, berusaha memberontak. "Lepaskan aku berengsek!"

Tak peduli akan pemberontakan Naruto yang gigih ingin melepaskan diri, sebelah tangan Sasuke menyusuri bagian dalam tubuh Naruto yang terekspos setelah mengikat pergelangan kaki dan tangannya secara bersamaan. "Kau tahu baik laki-laki maupun perempuan, asalkan memiliki lubang. Mereka bisa memuaskan birahi seseorang, hasrat biologis semua manusia..." Lalu ibu jari Sasuke menekan kasar lubang kecil berwarna merah dibalik bongkahan pantat Naruto. "Memancing rasa sakit seseorang tidak cuma terletak pada perilaku ofensif. Bisa juga mencakup pelecehan secara verbal agar subjek mengalami rasa penghinaan yang mengarah kemerosotan moral dari subjek tersebut. Untuk dapat membangkitkan rasa sakit, aku harus terlebih dahulu mendalami kepercayaan si subjek untuk melakukan hal yang bertentangan dengan nilainya."

Melepaskan handuk yang meliliti pinggul kemudian melemparkannya keatas lantai. "Memaksa orang-orang yang menentang homoseksualitas untuk berhubungan secara langsung." Seringai kejam terlihat dibibir Sasuke saat mendekatkan penis miliknya bertemu dengan cincin anus Naruto. "Bagaimana menurutmu, Naruto?"

Naruto menyeringai jijik, menatap tajam Sasuke tanpa mengurangi pergerakannya guna melepaskan diri. "Kau orang yang sangat menyedihkan! Manusia rendah! Makhluk hina sepertimu apa tidak mempunyai malu selalu menghalalkan segala cara untuk melenyapkan orang lain melalui taktik-taktik kotor!" Intensitas nada suara Naruto tak berubah, tetap stabil meski amarah merasuki relung hati. "Salah besar jika kau berpikir melakukan tindakan hina seperti ini bisa menghancurkan diriku! Aku tidak akan pernah tunduk sekalipun kau merebut semua milikku hingga tak bersisa satupun!"

Senyum iblis mengembang seketika diwajah Sasuke. "Kau menantangku, eh?" Merenggut kedua pipi Naruto secara kasar, Sasuke mendekatkan penisnya tepat dipermukaan bibir Naruto. "Buka mulutmu."

Naruto mengatupkan kedua bibirnya dengan rapat, hendak mengalihkan wajah kelain arah menghindari penis yang Sasuke sodorkan namun rengkuhan laki-laki berkulit putih tersebut menghalangi Naruto hingga tak bisa bergerak lebih.

"Kukatakan sekali lagi." Jemari tangan kanan Sasuke semakin menguat, menampakan buku-buku jari memutih seketika. "Buka mulutmu." Tekannya disetiap suku kata.

Naruto tetap tak bergeming sekalipun didesak oleh Sasuke melalui perilaku kasar. Mengangkat dagu tinggi tertantang akan perlawanan Naruto, Sasuke pun mengarahkan dua buah jari menyusuri bongkahan pantat Naruto yang terangkat tinggi, memperlihatkan cincing lubang anus bewarna merah mudah yang masih tertutup rapat. Tanpa melumuri jari-jari tangannya menggunakan cairan pelumas, Sasuke dengan kasar memasukan dua buah jadi kedalam liang Naruto, menerobos lubang anus tersebut dengan kuku-kuku jari miliknya hingga tak urung menggores cincin anus. Naruto terperanjat ditempat, membulatkan mata mengekpresikan rasa sakit melalui mimik wajah.

"NNH!" Mengatupkan belahan bibir dengan rapat. Mata Naruto menatap Sasuke tajam, memanipulasi raut kesakitan dari mata yang terlihat memerah akibat menahan marah.

Memaju-mundurkan kedua jari yang membuka paksa lubang cincin Naruto, Sasuke menyeringai bengis. Mengangkat sudut bibirnya memancing emosi Naruto melalui pergerakan jemarinya. "Panas... Bagian tubuhmu benar-benar panas, Naruto. Apakah kau bisa merasakannya, hn? Merasakan bagaimana dua buah jariku memasuki tempat privasimu?" Suara Sasuke terdengar, melantunkan huruf O yang cukup panjang dengan dagu terangkat tinggi. "Apa kau mulai menikmatinya? Sehingga menatapku seperti itu seolah kau meminta diriku untuk mengeksplorasi otot-ototmu?"

Kedua alis Naruto mengerut, diiringi dengan tatapan tajam ia arahkan pada laki-laki itu. "Kau menjijikan!"

Tusuk!

Jari tengah Sasuke yang panjang menusuk dinding anus Naruto, sengaja mengoreskan kuku jari tengahnya dengan kuat. Naruto memekik tertahan, merasakan bagian dalamnya ditusuk oleh kuku jari. Perih, dan yang jelas Sasuke meninggalkan goresan yang cukup dalam dibagian dinding anusnya.

"BERENGSEK!" Maki Naruto memutar tubuhnya kiri dan kekanan, hendak melepaskan diri dan dua buah jari Sasuke yang terus keluar masuk dari anusnya.

"Kheh!" Dengusan kasar lolos dari bibir Sasuke. Sedikit banyak laki-laki itu tersulut emosi akan perlawanan Naruto. Tak memperdulikan lubang anus Naruto yang belum sepenuhnya terbuka, Sasuke segera memasukan jari ketiga. Membuat tubuh laki-laki bermata biru itu bergetar, berkontraksi hebat akibat bersinggungan secara kasar dengan jari ketiga, membuka lebar lubang anus yang kesat.

'Kurang ajar!' Batin Naruto berseru keras, meminimalisir rasa sakit ditorehkan Sasuke dengan menghela nafas putus-putus. Berusaha rileks agar tak semakin menyakitkan anusnya yang perih. Penyiksaan dilakukan oleh Sasuke pada awal penestrasi didalam anusnya yang sempit cukup membuat Naruto kualahan, tapi tidak berefek penuh. Naruto tetap dengan wajah arogan, menganggap tak berarti pergerakan jari Sasuke.

Seringai Sasuke tak memudar, terus menggempur lubang sempit dari anus Naruto yang telah ia masuki tiga buah jari. Walau amarah membakar hatinya, tak suka mendapati gestur angkuh dari pria itu, pikiran Sasuke tiada henti memikirkan cara-cara lain yang ingin segera ia realisasikan. Ia pahami butuh waktu untuk mencapai pada puncak permainan.

Sadar permainan statis dari ketiga jarinya tak memberi efek signifikan, Sasuke mencoba alternatif lain, melakukan kolaborasi pada ketiga jari dengan gerakan-gerakan tak biasa. Menekan-nekan ketiga jari secara bersamaan sembari memutarinya menyapa ruang didalam lubang anus tersebut, memasukan jari-jari tersebut semakin dalam menstimulus sesuatu yang ia tunggu agar dapat menjalankan rencana selanjutnya, gerakan jemari tersebut bergerak liar. Keluar masuk dengan cepat dan semakin cepat mengakomodir dinding-dinding anus yang secara tidak langsung membuat penis Naruto menegang, setengah ereksi.

"Nnh!"

Masuk!

Disaat Naruto tak kuasa menahan desahan akibat prostatnya disentuh jari tengah, Sasuke yang berhasil mengambil alih fokus pikiran Naruto memasukan penis dengan cepat. Memasukan benda panjang nan gemuk tersebut secara paksa saat menusuk titik prostat Naruto dengan kasar menggunakan jarinya.

"Jangan coba-coba untuk mengigitnya!" Menangkupkan kedua pipi dalam rengkuhan tangan memaksa mulut pria tersebut agar tersebut terbuka. Sasuke mulai memaju-mundurkan pinggulnya, menarik sudut bibirnya menghina perlawanan yang Naruto lakukan. "Bagaimana Naruto?"

Mata Naruto terpejam erat, berusaha sekuat tenaga menahan sejenak perasaan jijik yang meluap dari dirinya merasakan penis Sasuke memasuki rongga mulutnya. Mencoba tak merasakan, jelas Naruto tidak bisa. Naruto bukan manusia yang mati rasa. Panca indra pengecapnya masih bisa berfungsi dengan baik, tiada lagi yang dapat ia rasakan saat ini selain mengecapnya. Bagaimana kulit dari daging gemuk tersebut meraba rongga mulutnya dengan gerakan kasar, menyodok pangkal kerongkongan hingga bernafas pun terasa sulit, menjijikan lagi cairan precum yang terus keluar dari kepala penis Sasuke. Lolos memasuki tenggorokan saat kepala penis menghantam pangkal kerongkongannya.

"Kau dapat merasakannya bukan?" Intonasi suara Sasuke berayun riang, menikmati permainan ia mainkan kala menggerakan pinggulnya maju dan mudur dirongga mulut Naruto. "Merasakan benda yang selalu memanja Sakura setiap malam hingga ia berpaling darimu, jatuh kedalam pelukan ku seperti seorang pelacur yang mengemis. Mengiba padaku tak lebih seperti anjing jalanan."

Mata Naruto membulat lebar, terbakar emosi, terkonfrontasi akan perkataan laki-laki itu hingga mengigiti penis Sasuke yang berada didalam mulut.

"Argh!"

'BUAKK!'

Kepala Naruto tersentak kesamping kiri, membiarkan nafasnya memburu sembari tertunduk dalam membiarkan cairan berwarna merah keluar dari sudut bibir selepas Sasuke melayangkan lengannya memukul pipi Naruto. Menimbulkan kurva kemerahan dari sudut bibir yang teraliri darah.

Sasuke telah berada dipuncak amarah, tak dapat menolerir lagi akan tindakan Naruto yang ia rasa tidak bisa dibenarkan. Merenggut pipi Naruto dengan kasar, merengkuhnya menggunakan sebelah tangan mencengkram erat menimbulkan pori-pori fabrik. Tulang pipi Naruto menyemul memunculkan diri. "Kau-"

Ludah.

Walau rengkuhan jemari tangan Sasuke pada kedua pipinya kian menguat, Naruto terlihat mengabaikan rasa sakit dari cengkraman tersebut bahkan laki-laki bersurai pirang itu malah meludahi wajah Sasuke. Memandang tajam Sasuke yang kini memejamkan kedua mata mendapat serangan tak terduga dari Naruto.

"Jangan pernah hina Sakura seolah dia binatang karena kau lah dalang dibalik perubahan sikapnya menjadi seperti ini!"

Pundak Sasuke bergetar pelan, lantunan suara tawa yang mengerikan terdengar seantero ruangan kamar usai mendengar ultimatium keluar dibibir laki-laki bersurai pirang. Kesalahan teramat fatal dilakukan oleh Naruto, mengundang seringai kejam Sasuke yang sedang mengusap wajahnya akibat terkena saliva bercampur darah menggunakan telapak tangan.

"Aku akan membuatmu menyesal karena melakukan hal ini kepadaku!"

'THRUST!'

"Akh!"

Bola mata Naruto membelalak lebar, menggeram kasar tak kuasa menahan rasa sakit yang ia rasakan dibagian belakang tubuhnya ketika benda asing tak ia kenali menerobos masuk, membuka paksa cincin anus yang masih tertutup rapat tak tersentuh cairan pelumas meski diisi dengan penestrasi melalui jari-jari tangan, membuat lubang tersebut terbuka dengan lebar. Naruto memejamkan kedua mata dengan erat, meredam rintihan yang akan lolos dari bibirnya saat merasakan pergerakan lain dari benda panjang nan keras memasuki liangnya, bergerak brutal, melebarkan akses lubang anus dengan kasar hingga rasa sakit dibagian cincin lubang anus terasa semakin menyakitkan, Naruto seperti terbelah menjadi dua dengan sebilah pisau.

Sasuke menyeringai dalam kegelapan ruangan, menggerakan pinggulnya maju mundur dengan cepat, tanpa tempo bahkan terkesan memaksa lubang anus tersebut. Tak urung pergerakan dari penis Sasuke yang tak dilumuri cairan pelumas menggesek kasar dinding anus, melukai lubang cincin dari pantat kesat menimbulkan goresan-goresan kecil disekitar dinding anus yang bisa Naruto rasakan.

Seakan ingin lebih menyiksa Naruto, Sasuke yang mengetahui pergerakan penisnya bisa melukai anus Naruto tak menurunkan kadar serangannya sedikitpun, terus memaju-mundurkan pinggul guna memuluskan rencananya yang ingin mempermainkan psikis Naruto.

"Nhh! Nggh!" Bibir Naruto mengatup erat, menahan rasa sakit dari penis Sasuke yang terus menggempur anus miliknya dengan kasar.

Membalas tatapan dilayangkan Naruto tepat dikornea mata, Sasuke memajukan-mundurkan pinggul secara terus menerus. Menumbuk suatu titik yang menimbulkan resonasi suara seperti pantulan benda tumpul, namun tertumbuk sempurna. Menyenangkan untuk Sasuke tetapi menyakitkan bagi Naruto yang harus menahan kesakitan.

Onyx hitam Sasuke menyipit tajam, kembali menampakan lengkungan kejam dibibir. Nafas laki-laki itu bergemuruh, terisolir akan sensasi panas dari penis yang memasuki liang sempit. Geraman demi geraman kasar lolos dari bibir Sasuke, mengindikasikan gelora birahi sudah memasuki tahap, menuju puncak yang kemudian akan dilanjutkan pada fase akhir. Dinding-dinding anus menyempit, mengekang keseluruhan badan penis keluar masuk mengeksplor hasrat biologis yang meminta lebih. Tubuh boleh menyiratkan makna bahwa ia begitu dimanja akan kenikmatan, tetapi pikiran Sasuke tidak sinkron dengan apa yang ia rasakan. Naruto terus melawan, tidak menunjukan ekspetasi Sasuke yang melatarbelakangi si raven hingga melakukan hal sejauh ini.

'Apa boleh buat...'

Sasuke mengangkat tinggi sebelah kaki Naruto, menarik keluar penis yang basah akibat cairan precum mencapai cincin anus. Gerak nafas Naruto tidak beraturan, menghirup oksigen sebanyak-banyaknya pasca menahan perih dibgaian privasi. Kembali membingkai bibir dengan seringai kejam, dalam gerakan cepat Sasuke memasukan lagi penis miliknya. Menusuk rektum Naruto hingga penis tersebut tertanam sempurna.

"NNH!"

Bola mata Naruto membelalak lebar, merasakan penis Sasuke bergerak dengan idiom yang sama seperti sebelumnya. Tubuh Naruto terlonjak, terdorong akan tenaga yang di interpretasi Sasuke. Laki-laki bersurai raven itu mengentak-hentakan pinggul, membiarkan perut dibagian bawah menampar-nampar kedua bongkahan pantat Naruto yang melekuk indah. Penis Sasuke kian membengkak, membesar dibalik dinding otot anus yang menyelimutinya. Kepala penis Sasuke mengaduk isi perut Naruto, bergerak tak konstan bahkan terkesan tak memiliki arah tujuan, mencari-cari titik prostat laki-laki itu laksana seperti mengaduk-ngaduk organ didalam tubuh Naruto guna menyentuhnya. Tekstur kasar dari bagian kulit penis, efek panas dari suhu tubuh yang menanjak, dan basah diseluruh bagian karena subtansi cairan precum, Naruto bisa merasakan setiap detil kejantanan laki-laki itu walau tak mengumbar tatapan untuk melihat.

Kesekian kali pemuda bersurai pirang itu terkesikap, sebelah kaki Naruto yang terikat melengkung sebagai wujud atas ketidak-nyamanan ia rasakan, dinding anus berkontraksi secara signifikan, menimbulkan urat-urat sebesar kabel headset diseluruh penjuru dinding. Rima detakan dari masing-masing urat yang menyebar menabuh gelora Sasuke, merasakan setiap denyutan begitu terasa dikulit penisnya.

Naruto hampir mencapai klimaks dan Sasuke mengetahui hal itu. Segera pria berkulit albaster dihujani keringat seluruh tubuh meraih handuk tersibak diatas lantai, membentang keseluruhan handuk sembari memompa penisnya, masih mencari satu titik terdalam Naruto yang bisa membuat dinding-dinding anus mencengkram kejantanannya. Ketika tak sengaja menusuk titik tumpul tak terfokus-

"U-UHH!"

-bola mata Naruto membelalak lebar, menerima sentuhan tak kasat namun mampu menggetarkan tubuhnya. Reflek dalam satuan waktu, dinding-dinding anus Naruto bereaksi hebat. Mengekang erat penis Sasuke hingga tiada lagi yang tersisa selain cengkraman erat. Memelintir batang penis dengan remasan hebat bahkan dominan meremas laksana ingin memipihkan benda panjang tersebut. Gemuruh detakan demi detakan terdengar, menstimulus batang penis Sasuke hingga kondisi serupa terjadi. Penis Sasuke berdenyut, menyeruakan urat-urat kecil menjalar dibatang penis disertai detakan.

Sasuke kian gigih, mempompa keseluruhan penis menggerahkan energi yang tersalurkan melalui setiap tetes keringat. Menahan rintihan tubuh Naruto meremang, tak patah arang melawan, berusaha mengeluarkan penis Sasuke walau nyatanya sulit untuk dilakukan. Sasuke terus menusukan kepala penis pada prostatnya, mengundang leguhan tak tersamarkan dari Naruto dengan kepala mendongkak keatas.

"Nnh! Nghhn!" Kedua tangan Naruto mengepal erat, memejamkan kedua mata dengan erat meminimalisir rasa sakit.

Nafas Sasuke semakin berat, rasa panas yang terasa didalam lubang anus secara tak langsung menginjeksi penis Sasuke untuk membuncahkan sesuatu, seperti diambang batas, memasuki fase dimana puncak permainan akan berakhir tetapi bagi Sasuke ini bukanlah akhir yang sebenarnya. Bibir Naruto bergetar hebat, puting dada miliknya mengacung tegak, menantang suara kecapan serta gemuruh nafas masing-masing diantara mereka. Penis miliknya yang terbangun, terus mengalirkan cairan pening dari mulut penis menimbulkan rasa ngilu luar biasa, bagaikan rentetan efek domino penis Naruto turut berkedut keras, meliuk-liuk mengikuti hentakan tubuh Sasuke, pikiran Naruto terasa terbang keawang. Desakan dibagian perut mulai terasa, merambat bak rel rollercoster hingga rasa ingin keluar telah sampai dipucuk.

"Nn...fuuh..."

Sedikit lagi...

Sedikit lagi Naruto akan sampai pada fase klimaks, era dimana ia menyakini semua penyiksaan seksual dilakukan oleh Sasuke berhenti sampai disini. Namun ekspetasi tersebut seakan memuai, hilang dalam sekejap ketika akan mengeluarkan semua hasrat.

"A..AHH!"

Rintihan Naruto teredam, merasakan sakit yang luar biasa dibagian puncak kepala penis. Sasuke menekan kepala penisnya, dan dengan tidak manusiawi laki-laki itu malah mengikat kejantanannya menggunakan handuk yang sebelumnya ia raih, membentuk sebuah lilitan erat dibagian pangkal penis. Tindakan preventif teramat bejat, Naruto tiada henti berusaha menormalkan deru nafas, membelalakan kedua mata menahan rasa sakit, sedangkan Sasuke menyeringai bengis. Menampakan bilah senyuman mematikan dengan pinggulnya terus bergerak konstan.

'SLURPH!'

"Ooh..." Leguhan pun terdengar, disusul subtansi cairan kental nan hangat menyembur keluar, menginjeksi prostat Naruto dalam beberapa kali tembakan membanjiri lubang anus pemuda berkulit coklat tersebut dengan komposisi liquid dominasi warna putih. Ketika masa mengeluarkan sperma berlangsung, Sasuke menarik penis miliknya, sengaja meninggalkan jejak sperma menyilangi wajah mayoritas kulit tan terbakar matahari, membentuk sebuah pola abstrak melalui cipratan.

Naruto terdiam, menundukan kepala menggeratkan deretan gigi bergemelutuk. Perasaan marah membuncah, mendominasi hingga melengserkan rasa sakit dari penisnya. Sasuke beranjak dari tubuh Naruto, melenggang pergi dari atas tempat tidur menyisir helaian raven yang basah akibat keringat. Meraih sebuah kulkas mini terletak tak jauh dari ranjang, mengeluarkan isotonik untuk melepaskan dahaga.

Namun semua gambaran akan sirat dari makna wajahnya tak lantas membuat Sasuke berhenti. Terbukti laki-laki memiliki tinggi 185cm kembali meneguhkan langkah kaki, mendudukan diri tepat disisi ranjang usai menghampiri, menegak isotonik menunjang botol tersebut menggunakan sebelah tangan sembari membuka laci mengeluarkan suatu objek.

"Lepaskan aku!" Desis Naruto tajam, tak cuma mengecam.

"Jika kukatakan tidak, kau mau apa?" Balas menyerang. Sasuke menandaskan habis cairan isotonik kemudian melemparkannya ke atas lantai.

"Kau kira aku akan melupakan semua tindakan ini?" Naruto tak bisa menghentikan nada suaranya yang terdengar pahit saat memuntahkan kenyataan akan perilaku laki-laki itu. "Aku bisa membuatmu membusuk didalam penjara atas asas tindak pelecehan seksual! Menjeratmu pada konsekuensi hukum dalam pasal berlapis agar tidak ada satu pengacara pun yang bisa mengeluarkanmu!"

Sasuke berdecih, memberikan kontur tubuh tak menanggapi pernyataan Naruto. "Lakukan saja." Seringai iblis bermain dibibir Sasuke. "Justru akan lebih mudah bagiku untuk membalikan segala laporan yang kau tuduhkan, perlawananmu akan menjadi bumerang. Kau tidak mempunyai saksi mata, tak memiliki alibi yang kuat untuk menyakinkan penegak hukum bahwa sesungguhnya peristiwa ini terjadi. Orang-orang hanya akan menganggapmu sebagai seseorang yang tak mempunyai akal, terlalu depresi tidak bisa menerima kenyataan ibumu yang sudah meninggal dunia hingga mencari kesalahan orang lain membuat cerita memuakkan mengenai kasus sodomi."

Kepalan tangan Naruto menguat, menampakan kurva memutih pada rubik jemari. "Manusia tak memiliki pemikiran sempit, terlebih untuk mempercayai omong kosongmu!" Sapphire tak menurunkan kadar sorot benci. "Hasil visum telah cukup menjadi bukti otentik."

Si raven nampak tak bergeming, lengkungan dibibir telah cukup menunjukan proses pemikirannya yang menganggap pernyataan Naruto tak lebih seperti sampah. "Silahkan." bibir Sasuke mendekat pada cekungan telinga Naruto. "Bila kau ingin meratapi rasa malu menerima stigma negatif masyarakat luas akan skandal hubungan gelap bersama seorang pria. Sekalipun kau membeberkan hasil visum atas tindak kekerasan, aktor pengganti masih bisa menjadi alternatif. Cuma butuh skenario baru, aku dapat menjerumuskanmu kedalam penjara." Seringai merekah luas. "Masih berpikir jika aku tidak bisa melakukan apa yang kuinginkan?"

"Berengsek!" Naruto tersulut, mengeratkan kepalan tangan menyalurkan perasaan amarah, reflek kaki sebelah Naruto yang bebas melayang. Hendak menghantam wajah pria itu untuk kesekian kali tetapi kembali terhalang, Sasuke menahan.

"Lepaskan!" Menampilkan objek dalam genggaman tangan albasternya, "Lepaskan aku!" Naruto menghardik Sasuke melalui tatapan mata. "Hentikan itu, Uchiha! Aku bilang berhenti sekarang!"

Satu kali hentakan kasar, sebelah tangan Sasuke mendorong paksa tubuh Naruto hingga kembali terlentang, berusaha mengontrol tubuh Naruto yang berontak kekiri dan kekanan ingin melepaskan diri. "Diam."

Nafas Naruto memburu, mengerahkan seluruh tenaga agar bisa memutuskan ikatan dipergelangan tangan. Terkesan mustahil memang, Naruto tak menyerah dan terus memberontak.

'BUAK!'

Satu pukulan bersarang, dikerahkan Sasuke yang terkonfrontasi akan sikap Naruto. Kepala Naruto tersentak kesamping, tertunduk dalam merasakan perih dibagian sudut bibir yang robek kembali mengalirkan darah. Jemari tangan merengkuh pipi Naruto. Menatap kejam manik sapphire.

"Diam."

Tatapan Sasuke berubah kelam.

Naruto mengepalkan genggaman tangan, "Kenapa..." mengirimkan getaran emosi tersalur melalui deretan gigi mengatup erat. "Seumur hidupku aku tidak pernah menyakiti satu orang pun didunia ini, bahkan kepada orang yang tak kukenali secara langsung." Lantunan suara pelan menggema. "Aku tidak tahu siapa kau, tetapi mengapa kau datang kedalam kehidupanku dan menghancurkan semuanya?!"

Tiada lagi seringai kelam terpantri, tiada lagi sorot mata membenci diarahkan Sasuke. Bagai sketsa kosong, ekspresi ditampilkan terkesan minim. Tak bernyawa.

"Jangankan menerka apa yang telah ku perbuat. Melahirkan dosa yang membuatmu menumpuk kebencian sehingga mempelopori perilaku menjijikan ini pun aku tidak tahu apa sebabnya!"

Naruto meluapkan amarah yang tak mampu terbendung, mempertanyakan asas tindakan Sasuke.

'Kheh!'

Sedangkan laki-laki itu berdecih kasar, diiringi wajah datar dengan sebelah tangannya tetap eksistensi merengkuh pipi Naruto. "Kau anggap dirimu tak berdosa setelah apa yang ayahmulakukan pada keluargaku?!" Gestur tubuh menunjukan otonomi yang besar. "Kau berbahagia diatas penderitaan keluargaku akibat perbuatan ayahmu sementara kami harus meratapi penderitaan hingga satu persatu dari keluargaku pergi meninggalkan aku seorang diri didunia ini!"

Naruto bergeming, mengerutkan kening mencerna perkataan laki-laki itu merujuk etiologi dasar kebenciannya.

"Kepribadian impulsif ayahmu membuat ia begitu serakah! Mengekploitasi hak yang semestinya dimiliki oleh ayahku dengan tindakan kotor!" Kognitif Sasuke telah cukup mengambarkan perasaan laki-laki itu. "GM Corporation adalah tempat dimana ayahku dan ayahmu berkerja sebagai mitra satu atap dibawah kepemimpian Hagoromo-sama. Sebagai salah satu dari segelintir orang yang turut mengembangkan GM Coprporation dari nol hingga membuka anak cabang dalam berbagai aspek bisnis, Hagoromo-sama berniat mengalihkan satu perusahaan untuk didedikasikan sebagai bentuk apresiasi atas kerjakeras ayahku." Ambang toleransi Sasuke merendah, terkikis oleh kisah masa lalu. "Sublimasi ayahmu membangun impuls buruk dalam premis yang keliru, tanpa manusiawi mengubah mekanisme regulasi perusahaan membuat ayahku terjepit keadaan tak menguntungkan yang telah ia ciptakan untuk menyingkirkannya!" Deru nafas Sasuke bergemuruh, rasa sesak didada menyeruak, memercik emosi. "Kau tahu apa yang terjadi kepada ayahku setelah apa yang ayahmu lakukan, hah?!"

Naruto terdiam. Menjatuhkan pandang mata onyx Sasuke.

"Menanggung malu dicemooh oleh orang-orang atas tindakan yang tak pernah ia lakukan, kehilangan perkerjaan, tertekan secara psikis hingga ia hampir gila karena memikirkan kehidupan kami selanjutnya akan seperti apa!" Seringai Sasuke bermain dibibir, tak selaras dengan ekpsresi wajahnya yang kelam. "Diusia tiga tahun kau bersenang-senang bukan? Dimanja dengan gelimpangan harta, kasih sayang, serta kehangatan seorang ayah. Sedangkan hidupku?"

Sasuke tertawa pahit.

"Aku yang tak tahu apa-apa harus menanggung derita kehilangan figur seorang ayah! Dimana setiap hari ayahku selalu memukuli ibuku, memukuli diriku seperti orang gila karena harus menanggung beban seorang diri!" Mata Sasuke menggelap, dingin tanpa impresi. "Dimana rasionalitas mu menilai subjektif itu? Sampai ayahku merenang nyawa menghunuskan mata pisau dipergelangan tangan, kau masih mengelak bila kau tak mempunyai dosa kepadaku, eh?" Sebelah tangan Sasuke mencengkram leher Naruto, terprovokasi, menggelapkan nalarnya. "Kau harus membayarnya, Naruto! Membayar dosa yang telah ayahmu lakukan pada keluargaku!"

Naruto menghentak-hentakan kedua kaki, membelalak lebar merasakan kerongkongan terasa semakin sempit, Sasuke mencengkram leher Naruto terlalu kuat, mencekik laki-laki itu seolah ingin melenyapkannya didunia ini. Peningkatan denyut jantung, tekanan darah yang memacu adrenalin dan noradranalin Naruto menyeruakkan perasaan dominan secara perilaku dan kognitif maupun fisiologi, memaksanya memilih mengambil tindakan guna menghentikan secara langsung agresi Sasuke. Perlawanan Naruto mengandung konsekuensi, namun sepadan akan kompensasi yang ia terima.

Lepas.

"Fuah!"

Derak nafas Naruto berima cepat, berhasil membebaskan diri dari cengkraman Sasuke setelah gigih menghentakan kaki bahkan tak urung menendang.

Mata laki-laki pirang itu memicing sebagai respons psikologis. "Sekalipun aku terjebak dalam situasi yang kau alami. Aku bukanlah orang sakit jiwa sepertimu yang mudah menyakiti dengan tindakan amoral!"

Sebelah alis Sasuk terangkat. "Tindakan amoral?" Terkekeh berat melantunkan suaranya yang semakin kelam, kemudian terdiam. Menjabarkan afeksi tanpa optimistik tersalur lewat mimik wajah datar. "Akan kutunjukan tindakan amoral sesungguhnya!"

Membuka lebar kedua kaki Naruto, Sasuke memasukan objek dalam genggaman tangan. Tidak seperti sebelumnya, Sasuke tak melakukan manuver-manuver lain sebelum mengeksekusi pergerakannya.

"Berhenti!" Tak menunjukan reaksi teatrikal berlebih, kepala laki-laki pirang menghujam tajam tatapan Sasuke. "Berhenti, Uchiha Sasuke!"

Menanggapi desisan Naruto menyebutkan nama, Sasuke menyeringai kecil. Memasukan benda panjang terselimuti kulit silikon lembut bertekstur bergerigi dalam satu kali gerakan kasar.

"A-AHH!"

Lagi. Rasa perih itu kembali Naruto rasakan untuk kesekian kali, dimana vibrator ukuran sedang bergetar konstan menyapa otot-otot dinding anus. Konatif Sasuke tak berhenti sampai disitu saja mendapati raut kesakitan terpeta diwajah Naruto, dinilai dari gestur pemuda tersebut Sasuke mengacungkan penis miliknya.

Mata Naruto membulat lebar. "Berhenti!" Tungkasnya dengan intonasi tinggi, menggeleng pelan terus-menerus berkata jangan sebagai penolakan. "Berhenti! Jangan lakukan itu Sasuke! Jangan lakukan!"

Raut wajah verbal ditujukan seolah menganggap perkataan Naruto sebagai angin lalu. "Kau tak bisa memberi kepercayaan penuh kepada manusia yang amoral ini, Naruto?" Tanyanya dengan nada berayun. "Tenang saja. Aku akan melakukan yang terbaik untuk menyiksamu jauh lebih dalam."

Masuk.

"ARRGH!"

Penis Sasuke menerobos masuk, membuka paksa cincin anus yang telah melebar akibat keberadaan vibrator. Kepala Naruto mendongkak keatas, tak kuasa menyembunyikan rasa sakit merasakan anusnya terasa dirobek. Pinggul Sasuke menjalankan peranan, menjaga eksistensi pergerakan konstan menompa lubang sempit tersebut diiringi getaran nikar dari vibrator. Sasuke melenguh.

"Kau sungguh nikmat, Naruto." Ujarnya dengan suara berat disertai geraman akan fantasi yang ia rasakan.

Dengan sedikit tremor, tubuh Naruto diselimuti hawa panas mengeliat kasar. Melengkungkan dalam jemari kaki yang dicengkram Sasuke, kedua tangan diikat pada sebuah tali meremas kuar sprai putih, membuat permukaan sprai yang teracak-acak jadi semakin berkerut. Rintihan demi rintihan lolos dibibir Naruto, tanda rasa sakit dibagian anus tak bisa ia sembunyikan. Ditambah pelupuk mata hendak menumpahkan perasaan tersalut dari rasa sakit yang tak sanggup ia bendung.

"Be-Berhenti..." Lirih Naruto mencoba mengultimatum laki-laki itu, namun sambutan yang ia terima justru berbanding terbalik. Sasuke tak menampakan ekspresi signifikan, sekedar indikasi akan adanya rasa simpatik. "Be..hen..tih!"

Semakin Naruto mengeliat, ingin meloloskan diri dari serangan Sasuke. Tubuh laki-laki itu bahkan tak mampu bergerak sekedar menjauh, terhentak-hentak kasar diatas ranjang hingga tak urung melonjak. Rasa perih dari vibrator yang bergetar didalam anus tak diselimuti pelumas disertai penis Sasuke yang terus keluar masuk bagaikan rentetan kesakitan.

Bagaikan menikmati setiap jengkal raut wajah ditampilkan Naruto, Sasuke mengeluar-masukan penis semakin cepat, tak bertempo, bahkan irama pergerakan keduanya tak begitu sinkron lebih banyak didominasi Sasuke. Laki-laki sempurna itu memejamkan mata erat, meleguhkan setiap sensasi ditawarkan oleh anus Naruto yang hangat, begitu basah, ditambah pijatan ekstra dari vibrator yang bergetar. Satu kata didalam batin Sasuke saat ini, nikmat. Laki-laki itu akan terus mengekspolari kenikmatan seksual, mengeruk kesempatan yang ada untuk menanamkan penderitaan didiri Naruto. Rasa traumatik, depresi, memuncakan satu tindakan akhir agar terlepas (pada masanya) kemudian memilih opsi bunuh diri...

Ya.

Rencana yang selalu Sasuke tanamkan didalam otaknya yaitu interaksi resiprositas, mendapatkan suatu bentuk kepuasan batin membuat Naruto menderita perlahan-lahan guna membayar dosa yang dilakukan oleh ayahnya.

Tekstur kasar dari kulit penis bergesekan dengan otot-otot dinding anus mulai menunjukan kontraksi presisi. Kembali memberi acuan pada Sasuke yang kini menganggkat kaki ia cengkram keatas pundak, tanda bila tubuh Naruto menerima keberadaan penisnya, ikut memberi rima walau nyatanya rasa sakit lebih mendominasi Naruto.

"Nggh! Nnh! Argh!"

Naruto tak pernah menginginkan suaranya keluar dari bibirnya. Semua stimulus dilancarkan Sasuke disalah satu titik privasi tidak ia kendalikan secara penuh, murni akan keinginan tubuh itu sendiri tetapi batin Naruto bergemuruh tak menginginkan. Siapa yang menghendaki kegiatan seksual didominasi paksaan bahkan tak urung melibatkan kekerasan fisik. Satu pihak menikmati, namun pihak lain menolak.

Kurva garis lipatan kelopak mata terlihat diwajah Naruto ketika memejamkan mata dengan erat. Kepala penis Sasuke berbentuk gelombang, bertekstur seperti silikon menumbuh titik terdalamnya begitu menganggu, seakan ingin menghancurkan, pergerakan kepala penis tersebut bergerak tak fokus, mengaduk-ngaduk perut hendak mencerai-beraikan organ dalam.

"Henti..kan -nggh! Ahng! Nnh- berhe..hent..tih!" Naruto menggelengkan kepala dengar erat. Reaksi dari otot-otot dinding anus yang memunculkan urat-urat halus disertai detakan kuat bersinggungan langsung dengan penis Sasuke yang ikut berdetak, menyakiti penis Naruto. Batang penis Naruto terasa ngilu, remuk rendam akibat tak bisa menyalurkan hasrat meski setetes cairan precum saja. Baik kepala penis maupun pangkal penis Naruto bak dihantam bola besi, menyakitkan, tak cuma memberi efek sama pada batang penis, namun dua buah zakar dipangkal serta perut Naruto terasa melilit.

"Jan-gan..." Naruto mengigiti erat bibirnya, memberi konotasi signifikan dari raut wajah menahan rasa saki dari dua faktor. Kulit tan yang eksotis tidak bisa menampung raut kesakitan tersebut, berubah pucat, dengan mata sayu laksana diambang batas kesadaran tak kuat menahan sakit. "Ja-Jangan lakukan lagi- Arggh!" Kepala Naruto tersentak. "J-Jangan lakukan lagi..."

Berbahagia atas rasa sakit tersirat diwajah, Sasuke tiada henti mengumbar senyum bengis. Tak cukup membuat Naruto merasa sakit sedemikian rupa sehingga ia menambah manuver pegerakan dengan menekan salah satu tombol vibrator. Benda panjang bergetar didalam anus tersebut berputar, lalu mengerakan vibrator maju mundur menggunakan sebelah tangannya.

"ARRGH! AHH! AHH!" Tubuh Naruto menggeliat hebat, menghentak kekiri dan kekanan sembari sesekali mengangkat kepalanya —menggeleng. "Berhenti! Tidak! Jangan lakukan itu!"

Sasuke memejamkan kedua mata, menikmati setiap kata yang Naruto keluarkan bagai nyanyian surga. Secara tak langsung penis Sasuke ikut terkontraksi, mengkaji dinding anus Naruto ia sakiti sedemikian rupa dengan percikan hasrat. Penis Sasuke membengkak, mempersimpit lingkup ruang dalam anus ditemani vibrator. Tekstur kasar dari penis bergesekan dengan dinding yang berdetak menjadi sensasi tersendiri, apalagi terasa nikmat urat-urat kecil memunculkan diri dinding anus menghimpit erat penis Sasuke. Reaksi biologi yang begitu kuat mengacu penis Sasuke. Menghujam kepala penis melalui tusukan kuat mengempur titik tumpul Naruto, semakin menggali kenikmatan, ditandai penis Sasuke juga ikut berkedut, memunculkan urat-urat gagah diselitar batang penis bersentuhan dengan urat dinding anus Naruto yang berdetak.

"A-ARRGH!"

'SLURPH!'

Dalam persekian detik, sperma Sasuke membuncah, menembakan prostat Naruto membanjiri ruang anus menyelimuti batang penis dan vibrator. Subtansi cairan putih nan kental juga ikut menerobos keluar dari lubang cincin, mengekspos pengheliatan Sasuke seakan memberitahukan keberadaanya.

"ARGH!" Mimik wajah Naruto menahan rasa sakit luar biasa, menyulut mekanisme genetika ekspresi laki-laki itu akan penderitaan yang harus ia kecap. "AKKH!" Menahan rasa ngilu yang menyakitkan karena tak bisa mencapai klimaks, ditambah perih dibagian dalam anusnya yang terluka terkena sperma hangat menambah momok Naruto.

Sasuke menyeringai puas, berusaha menormalkan deru nafas memburu selepas mencapai puncak. Tak terpengaruh akan reaksi fisiologi tersirat diwajah pucat pasi itu, Sasuke melepaskan tali pengekang dipergelangan tangan Naruto, membalikan tubuh laki-laki yang menahan rasa sakit hingga telungkup, menarik sebelah tangan Naruto dari belakang.

Naruto tersikap merasakan tangannya ditarik paksa, dengan posisi menyakitkan yang secara tak langsung memicu mekanisme genetika memunculkan secercah emosi —marah. "Berhenti! Apa lagi yang kau inginkan berengsek!"

Mengulum senyum simpul. "Menurutmu?"

Jemari Naruto mengepal erat. "Aku memang laki-laki, pada hakikatnya memiliki hasrat biologis melampaui birahi wanita manapun didunia ini." Sorot mata Naruto mengelap, tak terlihat dari anak poni mengutupi area sekitar mata. "Meskipun mempunyai nafsu yang sangat tinggi, presepsimu yang menitik-beratkan kodrat kelaki-lakianku serta kekuatan fisik yang ku miliki menjadi landasan untuk melakukan kekerasan seksual secara berkala..." Pori-pori fabrik muncul dari tangan kiri yang terikat memcengkram sprai. "...adalah suatu pemahaman yang salah! Nyatanya aku adalah seorang manusia sama seperti yang lainnya!"

'Itulah keinginanku sesungguhnya, Naruto!' Mengarahkan kepala penis pada cincin anus tertancap vibrator dipenuhi sperma, pucuk penis berwarna merah mudah dengan tekstru berkelombang membelai lembut lekuk pantat Naruto, lalu menancapkan kembali penisnya secara kasar. Memaju-mundurkan pinggul Naruto menuai rintihan kesakitan menggema seantero kamar, mendahului suara kecipak basah dari sprema dianus Naruto.

"Henti- ARRGH!"

Intonasi nada suara Naruto tak mampu teredam, menyalurkan rintihan demi rintihan menyakitkan ketika Sasuke dengan sengaja menekan pinggul Naruto. Memaksa laki-laki itu tengkuram diatas ranjang, penis yang menjuntai terikat handuk menekan sprai permukaan sprai, otomatis bongkahan pantat Naruto merapat. Menjepit vibrator dan penis Sasuke yang keluar masuk. Menambah rasa sakit Naruto menjadi beberapa kali lipat, menahan sempitnya cincin anus yang menjadi akses kini terbuka lebar, melukai area tersebut.

Sekeras apapun Naruto meminta, Sasuke tidak akan mundur. Keukeuh menyiksa Naruto seakan tak ingin berhenti. Walau sepanjang malam...

.

====SasuNaru====

.

Sinar matahari menembus bilah-bilah kaca bening, membias. Membiarkan eksistensinya menyinari wajah pria terselimuti sprei putih hingga terjaga dari tidur lelapnya. Membuka kedua mata secara perlahan mengerjap sejenak guna menghilangkan pandangan buram. Sapphire bertahtakan warna senada langit angkasa memandang segala penjuru arah, mengumpulkan kepingan memori akan pertanyaan 'mengapa membuatnya terdampar ditempat asing ini'.

Sorot mata Naruto dalam sekejap berubah dingin, tak menampilkan ekspresi apapun menyibakan selimut menutupi pinggulnya. Begitu beranjak turun dari tempat tidur hendak melangkah menuju kamar mandi.

'BRUK!'

Membelalakkan mata terkejut akan tarikan gravitasi, laki-laki itu terduduk diatas lantai dengan bagian anus mengalirkan cairan kental tiada henti —begitu banyak.

Pikiran Naruto seketika terbang keawang-awang akan kejadian semalam dimana bagian genitalnya disentuh, digagahi oleh seseorang memiliki moral tak lebih seperti binatang. Perilaku verbal yang sangat menjijikan, parahnya lagi terus menerus melakukan hal tersebut secara berkala sampai dua jam terakhir sebelum akhirnya si lelaki melepaskan handuk melilit dipenisnya, membuncahkan hasrat sendari tertahan hingga Naruto terlelap. Mengistirahatkan tubuh yang terkuras baik secara psikis maupun mental.

Mengeyahkan rasa sakit dibagian anus dengan tungkai kaki berdiri tegak, kedua kaki yang bergetar hebat melangkah perlahan-lahan, memunguti pakaian dilantai sepanjang perjalanan ke kamar mandi. Bagaimanapun juga Naruto harus menunjukan kredibilitas serta profesionalisme-nya dengan tetap kooperatif pergi ke kantor seperti biasa menjalankan peranannya sebagai wakil direktur.

"Untuk kali ini akan kubiarkan." Sketsa wajah terduplikasi melalui kaca terpahat di dinding kamar mandi. Sirat mata bening tersebut tak menampakan cahaya, mengurai dendam merasuk relung. "Selanjutnya aku tidak akan membiarkan kau merasa menang."

Satu niat telah tertanam dibenak, bila Naruto tak semudah itu dikalahkan. Walau harus menghancurkan kehidupannya, Naruto bersumpah tak akan terjerumus oleh taktik licik Sasuke.

"Tidak akan pernah!"

Menangkupkan air pada keran yang telah ia putar, laki-laki bersurai pirang tersebut membasuh wajah. Mengusap kasar permukaan kulit berkali-kali menggunakan air tersebut, lalu mengadahkan wajah menatap diri dicermin. Menyisir helaian pirang yang basah terkena air, gestur angkuh mengenakan topeng sandiwara yang selalu ia kenakan.

Mobil sedan putih berhenti tepat diantara mobil-mobil lainnya, memunculkan sosok laki-laki mengenakan stelan jas rapi keluar dari dalam mobil, mengarungi basement gedung memasuki lift untuk sampai dilobi utama. Pemandangan biasa dengan aktivitas biasa, selalu terlihat kala menyapu pandangan mata. Mencapai ruangan tempat ia berada, laki-laki itu melangkah mantap menyusuri koridor. Membuka pintu kaca, sosok tersebut lekas mendudukan diri diatas kursi hitam, mulai memilah-milah berkas-berkas diatas meja sampai akhirnya sorot mata lelaki itu teralih, memandang kedepan dimana dinding kaca penghubung antara ruangannya dengan ruangan si pelaku utama.

Laki-laki berkulit albaster, memiliki mata onyx menghujani dirinya dengan tatapan mata kelam. Tak ingin tersulut emosi yang membuat dirinya berpotensi melakukan kekacauan, Naruto meraih remote kecil tepat disamping cangkir minuman lalu menurunkan lipatan tirai elektronik. Menutupi pemandangan memuakkan dari Uchiha muda itu.

Meletakan kembali remote diatas meja, telepon pun berdering. Lekas Naruto mengangkat ganggang telepon, menempelkannya ditelinga.

"Dua puluh lima menit lagi berkumpul diruang rapat untuk membahas proyek pengajuan kerjasama dengan Hebi Corporation mengenai ekspor impor."

Genggaman tangan Naruto menguat. 'Si berengsek ini!' Air muka Naruto tetap stabil, mengontrol diri sebaik mungkin agar tidak mudah terprovokasi. "Kami telah membahasnya kemarin. Tidak ada kewajiban bagi kami, terlebih aku sendiri untuk mengikuti rapat yang seharusnya tak diselenggarakan." Tungkas Naruto singkat. "Tentu akalmu masih berprogres dengan baik bukan? Sekalipun memiliki kecacatan moral melampaui batas, untuk seorang jenius sepertimu ingatan akan rapat yang kami laksanakan enam belas hari lalu, tak mungkin dilupakan begitu saja."

"Tentu." Jawab Sasuke cepat. "Tentu aku tak akan pernah bisa melupakan kejadian kemarin. Terlebih mengenai karyawati kesayanganmu -siapa namanya? Ohh... Ya... Karin. Uzumaki Karin yang harus pergi dengan wajah tersedu karena menerima konsekuensi atas pelanggaran peraturan yang sudah kutetapkan. Melaksanakan rapat secara ilegal, tanpa persetujuan dariku." Naruto bisa menangkap jelas nada suara itu. Terdengar riang tetapi menyimpan bisa yang bersiap melumpuhkannya setiap saat bagai bom waktu. "Masih berpikir jika ucapanku cuma gertakan saja, hn? Atau kau ingin aku melakukan eksekusi langsung? Menerbarkan paradigma polemik pemecatan pegawai Cetta Corporation. Tema yang sangat menarik. Ahh~, bahkan aku tak sabar melihat satu persatu karyawan-karyawati yang kau anggap sebagai keluarga pergi dari sisimu."

'Terkutuk kau!' Naruto berusaha keras meredam amarah bergolak didada. "Baik." Kali ini Naruto akan mengatasi sendiri agar tiada lagi orang tak berdosa terkena dampak problema ini. "Dua puluh lima menit lagi."

Meski tak melihat secara langsung, Naruto bersumpah ia bisa merasakan senyum memuakkan itu dibibir Sasuke. "Tunjukan performa prima mu yang terbaik. Buat aku terkesan."

Menjatuhkan pandangan mata kearah depan -dimana dinding kaca tertutupi tirai elektronik berada. Naruto meletakan ganggang telepon. Konsistensi pergerakan tangannya tetap stabil, tak mengalirkan gejolak kemurkaan yang malah akan semakin membuat Sasuke merasa menang...

Menang karena berhasil mempermainkan emosi Naruto.

Mengemas berkas-berkas serta laptop miliknya untuk menunjang kelangsungan rapat, ketika menjejakan kaki keluar ruangan sosok Sasuke terlihat dipandangan mata. Tersenyum mencemooh berusaha memancingnya. 'Kau berniat memastikan sudah sejauh mana kadar psikologis ku atas permainan yang kau mainkan?' Naruto mendesis diam. 'Akan kutunjukan semua yang kau lakukan hanya akan berakhir kesia-siaan belaka!'

Mendudukan diri tepat mengambil kursi terletak didepan proyektor, Naruto lekas membuka laptop. Memilah berkas-berkas penting yang lebih layak untuk ia bagi pandang, mengabaikan narasi pembukaan rapat dari Sasuke. Seperti rapat yang sering ia jalani, inti-inti pokok jalannya rapat berlangsung kondusif dibagian awal, namun seiring waktu mulai memanas terlebih perang pendapat akan mengenai provit biaya serta akomodasi penanganan proyek menjadi kendala utama yang akan dipecahkan.

Walau terdiam, Naruto menyimak. Menganalisa kelangsungan rapat dengan memikirkan metode penerapan melalui hipotesis kecil di pikirannya agar bisa memunculkan kata sepakat. Keberadaan Sasuke sebagai ruang mediasi pasti tak memberi peranan berarti, Naruto akan mengambil ranah tersebut, membuat bajingan itu menyetujui perkatannya. Tentu konteks okupasi mereka harus dipertimbangkan, mengesampingkan urusan pribadi, itupun jika benar profesionalisme Sasuke bukan sekedar pajangan saja.

"Apa pokok pengajuan kerjasama kita agar Hebi Corp tertarik dengan proyek ini?" Sebelah jari Sasuke menangkup sudut bibir, tangan kirinya menekuk menyangga rahang bawah.

Kakashi memandang sejenak berkas ditangan. "Sama seperti perusahaan international freight forwarder lainnya, sasaran kerjasama kita kepada calon mitra adalah melayani pengiriman barang import, LCL/FDL, resmi/legal, serta peminjaman perusahaan under name ke Jepang."

Gelengan pelan terlihat dikepala Naruto, tak menyetujui opsi pengajuan tersebut. "Itu tidak akan cukup." Laki-laki itu menyandarkan punggung nyaman kesandaran kursi. "Berikan juga pengajuan lain pada berkas yang akan kita kirimkan nanti berupa penanganan semua jenis import komodity dengan air freight atau sea freight ke Jepang. Cantumkan juga jika kita bisa menghandle pengerjaan sistem borongan atau all in, berupa spesifikasi barang sebagai berikut seperti mesin baru, pompa air, besi/baja, alat kesehatan, spare part, genset, elektronik, pipa serta barang-barang lainnya."

Sudut mata Sasuke teralih, mengarah kearah Naruto seorang. "Jangan lampirkan pengajuan itu kedalam berkas, Kakashi."

Tak menanggapi tatapan Sasuke. "Sepertinya diruangan ini terdapat satu orang yang memiliki edukasi terbelakang. Tak mengetahui basis kerjasama yang diajukan untuk menarik minat kolega." Berujar santai mengedarkan pandangan keseluruh ruangan. "Lampirkan semua pengajuan yang kukatakan tadi, Kakashi."

"Kutekankan sekali lagi, Kakashi." Mendudukan diri dengan nyaman kesandaran kursi, Sasuke mengaitkan jemari tangan. "Batalkan."

Kakashi terdiam, mengedarkan pandangan menyapu dua orang laki-laki yang duduk bersebrangan. Tak menampilkan secarik kemurkaan terpeta diwajah, namun aura intimidasi keduanya saling bergolak, menekan, tak sedikit dari perserta rapat terdiam. Memilih menyibukan diri pada perkerjaan masing-masing.

"Lampirkan Kakashi!" Bilah fabrik jemari Naruto menguat, mengalihkan sudut mata memerangkap Sasuke. "Ini perintahku."

"Apa kau bodoh?" Sasuke nampak jengah, mengecam Naruto melalui tatapan mata. "Basis kerjasama yang kau cantumkan hanya akan membuat kerugian besar bagi perusahaan kita, bukan malah membuat anggaran perusahaan semakin mengecil. Jangan kau kira, aku tidak mengetahui metode penerapan yang ingin kau terapkan. Memakai sistem borongan dengan harga murah, bahkan dengan bodohnya memberi penanganan berupa import komoditi sea freight sementara perusahaan kita tak memiliki kapal sebagai angkutan untuk pemuatan barang!"

Naruto menggeram tertahan. "Sekalipun tak memiliki kapal, jika proyek pengajuan kerjasama berhasil. Aku bisa membeli sebuah kapal untuk pemuatan dengan anggaran yang sesuai."

Sasuke berdecak kasar. Sorot matanya terlihat berbeda. "Kapal apa yang ingin kau beli dengan kisaran harga seperti ini? Kapal kecil yang hanya akan mengangkut 25 ton gula begitu?" Kertas ditangan terangkat, mengintimasi Naruto melalui tatapan tajam. "Sesuaikan akomodasi pemuatan barang dengan komoditinya. Cek harga pasaran yang beredar, seimbangkan kapasitas perusahaan kita. Jangan celakakan perusahaan ini dengan ide gila hanya demi proyek murahan!" Melemparkan kertas tersebut hingga berserakan diatas meja. Sasuke beranjak dari kursi ia duduki.

"Cukup sea freight dengan komoditi angkutan tak melebihi kapasitas muatan pesawat kita, itupun diperuntukan khusus peralatan peralatan kesehatan, elektronik, serta sparepart." Mengancingkan kembali kancing jas yang sebelumnya ia buka.

"Rapat selesai!"

Sasuke pun keluar dari ruangan, meninggalkan perserta rapat.

Perlahan namun pasti para pegawai tersebut mulai merapikan kembali berkas-berkas milik mereka, bahkan mengemas kembali berkas dilemparkan Sasuke.

"Namikaze-sama?" Wanita bersurai coklat dengan sanggul rapi dilapisi hairnet menyodorkan berkas milik Naruto.

"Ya." Meraih berkas tersebut, Naruto mengemasnya dalam satu kali tumpuk.

Kakashi menggaruk surai peraknya yang tak gatal. "Maaf Namikaze-sama, kami harus-"

"Tidak perlu mengatakan apapun." Tungkas Naruto cepat. "Aku mengerti akan hal itu."

Baik Kakashi dan karyawan lain saling pandang, sebelum akhirnya pamit undur diri. Naruto menyandarkan punggung secara kasar, menggenggam erat ballpoint miliknya. "Berengsek!"

.

.

.

Ponsel putih fitur touchscreen diatas meja berdering, menandakan sebuah panggilan masuk yang langsung disambut hangat oleh Naruto. "Ya, Hinata?"

"Malam ini kau sibuk, tidak?"

Mengingat kembali agenda yang disampaikan Ino sang sekretaris. "Tidak. Aku tidak sibuk. Kenapa?" Naruto tahu ia harus memenuhi janji wanita itu. "Kau ingin mengajakku makan malam?"

Suara tawa terdengar disebrang telepon. "Ya. Sudah lama kita tidak makan malam. Banyak yang ingin kuceritakan padamu. Ohh iya." Jeda sejenak. "Kau tidak keberatan kan kita makan bersama?"

Tidak ada alasan untuk menolak, "Baiklah. Aku akan menjemputmu sebentar lagi."

"Ahh~ tidak perlu!" Hinata memekik senang, nyaris berteriak. "Aku dalam perjalanan menuju kantormu, delapan menit lagi mungkin akan sampai. Lebih baik kita berangkat bersama-sama, lagipula aku tidak ingin merepotkanmu."

Naruto mengulas senyum tipis. Bercengkrama dengan Hinata mungkin bisa mengusir segala perasaan tak menyenangkan ia lalui hari ini. Hinata bisa diandalkan. "Baik, aku akan bersiap-siap. Kita bertemu di lobbi utama."

"Oke!"

Memutuskan sambungan telepon, laki-laki berkulit tan tersebut mengenakan kembali jas hitam tersampir disandaran kursi. Berjalan keluar dari ruangan miliknya menyusuri koridor dihuni satu dua orang pegawai berlalu lalang. Begitu memasuki kawasan sepi menuju kearah lift.

"Sasuke!"

Naruto lekas berhenti. Menjejakan diri tepat tak jauh dari sesosok wanita bersurai merah muda berada didepan pintu lift menggenggam erat lengan tangan seorang pria tepat didepan ruangan laki-laki itu.

"Ke-Kenapa?" Mata Sakura menatap nanar. "Kenapa ka-kau lakukan ini kepadaku?"

Sudut bibir Sasuke tertarik, "Kau bertanya kepadaku, kenapa?" membentuk sketsa sinis, mendukung kontur tubuhnya menolak genggaman tangan si wanita. "Kau..." Tak sengaja mengalihkan mata memandang Naruto, Sasuke mendekatkan telinga dibibir Sakura. "...membuatku bosan. Aku sudah tak membutuhkan dirimu lagi."

Genggaman tangan Naruto menguat, sedangkan Sakura membelalakan mata. "A-Apa?"

Sasuke mendengus. "Kau seharusnya sudah tahu, bukan? Setiap hubungan pasti akan mencapai klimaks pada satu kesepakatan. Entah itu komitmen hidup bersama ataupun berakhir dengan kegagalan. Tergantung dari individu yang menjalani. Begitu juga dengan hubungan kita berdua." Mengerlingkan mata, Sasuke menatap Naruto tajam sembari merengkuh tubuh Sakura. "Dan pilihan akan hubungan kita berdua cuma satu..." Jeda sejenak.

"...yaitu berpisah."

Sakura menggelengkan kepala, menolak statement Sasuke. "T-Tidak! Kita tidak boleh berpisah Sasuke! Kita tidak boleh berpisah!" Menggenggam erat lengan Sasuke dalam pelukan, Sakura terus menggelengkan kepala. "Apa yang tidak kau sukai dariku? Apa yang membuatmu bosan padaku? Aku akan memperbaikinya, Sasuke! Aku akan memperbaiknya! Katakan padaku saja, Sasuke. Aku pasti akan berubah!"

Raut wajah Sasuke berubah, tak sedikit sorot mata menghina kentara jelas diwajah tampannya. "Tanpa kukatakan pun, tidak ada yang berubah. Aku tetap pada pendirianku, sekalipun kau berusaha keras untuk mempertahankannya."

"Sasuke!" Berbalik arah hendak pergi sembari melepaskan tangan Sakura, wanita bersurai merah muda itu kembali memegang erat lengan Sasuke. "Kumohon jangan lakukan ini padaku, Sasuke... Jangan lakukan ini kepadaku?! Aku berjanji..." Menenguk saliva dalam satu kali teguk, Sakura kembali berujar. "Aku berjanji akan melakukan apapun yang kau inginkan. Aku akan memberikan semuanya, semua yang kumiliki! Tapi kumohon satu hal padamu..." Mata emerland nampak berkaca. "Jangan tinggalkan aku... Ja-Jangan tinggalkan aku..."

Dalam satu kali hentak, Sasuke menghempaskan tangan Sakura. "Semuanya?" Ulangnya dengan sebelah alis terangkat. "Apa lagi yang ingin kau berikan padaku setelah tiada lagi yang tersisa? Omong kosong, hn?" Decak Sasuke jengah. "Aku tidak ingin mempertahankan sesuatu yang sia-sia dari awal, sebaiknya kita hentikan sekarang sebelum aku muak."

Mengirimkan tatapan bengis kearah Sakura, Sasuke melenggang pergi. Meninggalkan Sakura yang ingin memerangkap lengan laki-laki itu menggunakan kedua tangan, namun ditahan oleh Naruto. Menarik tubuh wanita itu hingga menghadap kearahnya.

"Cukup!" Tekan Naruto menggenggam erat pergelangan tangan Sakura. "Pikirkan harga dirimu sebagai seorang wanita. Kau tidak pantas mengemis kepada seorang laki-laki berengsek seperti dia."

Sasuke menyeringai. "Seperti yang telah kuduga." Memandang skeptis Naruto. "Seorang pencundang mencoba bersikap heroik menginginkan sampah yang telah terbuang."

Bagai tersulut bara, Naruto diradang murka. Bergerak maju mengepalkan tangan kanan hendak memukul Sasuke. "KAU-"

"NARUTO!" Memandang terkejut akan aksi Naruto, Sakura segera menari pergelangan tangannya yang digenggam erat Naruto kemudian menepisnya. "Pergi dari hadapanku, Naruto! Aku tidak menginginkan kau berada disini!"

Senyum diwajah Sasuke terukir, mencoba meninggalkan kedua orang tersebut namun Sakura mencegah. Ingin menggapai tangan laki-laki berkulit albaster itu. "Sasu-"

"Kau terlihat menyedihkan, Sakura!" Merenggut lengan Sakura kasar, Naruto menatap tajam wanita cantik tersebut. "Kau lihat sendiri, bukan? Dia bahkan tak menginginkanmu lagi?! Dimana harga dirimu sebagai seorang wanita masih menginginkan laki-laki yang telah menghinamu dengan kata-kata sampah!"

Hempas.

"Aku tidak butuh rasa iba darimu, Naruto!" Sebut Sakura mengerling tajam, mengangkat tinggi jari telunjuknya mengultimatum Naruto. "Aku tidak butuh!"

"Sakura!" Gigi Naruto bergemelutuk erat, mengepalkan sebelah tangan yang sebelumnya merengkuh lengan Sakura.

"Jangan pernah muncul lagi dihadapanku, terlebih ikut campur urusan pribadiku bersama dengan Sasuke!" Ungkap wanita itu menatap berang Naruto. "Ku harap kau mengerti batas privasi kita! Aku sudah bersama dengan Sasuke, dan kau... Kau tidak ada hubungan apapun denganku!"

Menarik kembali pergelangan tangan Sakura ketika wanita itu hendak pergi.

"Aku mencintaimu, Sakura!"

Sosok wanita berkulit putih dengan surai indigo sebatas pinggul muncul dari pintu lift kedua pintu lift pertama tempat dimana ketiga insan itu berada. Wanita itu tercenung, membelalakan mata memandang tangan Naruto mencengkram erat tangan Sakura.

"Aku masih mencintaimu! Itu yang menjadi alasanku tidak suka kau bersikap menyedihkan seperti ini!"

Denting suara lift terdengar disusul pintu berlapis baja tersebut terbuka, melangkahkan kaki memasuki bilik lift. Sasuke menatap singkat Naruto dan Sakura dalam seringai cemooh sebelum akhirnya pintu lift tertutup.

"Sasuke!"

"Cukup, Sakura!" Mengeratkan deretan gigi, Naruto mendesis. "Dia telah meninggalkanmu!"

Hentak.

"Aku tidak lagi mencintaimu, Naruto!" Sakura menghentak tangan Naruto, tak sungkan membagi tatapan penuh benci. "Aku mencintai Sasuke dan Sasuke juga mencintaiku! Salah besar jika kau berpikir dia pergi mencampakanku!"

Melangkah cepat menuju kearah lift sebelahnya yang kosong. Sakura segera memasuki lift tersebut, meninggalkan Naruto yang berbalik badan ingin menghentikan Sakura namun laki-laki itu terdiam memandang seorang wanita dibelakangnya.

"Hinata..."

Wanita berparas cantik itu memandang Naruto, mengulas senyum pahit secara perlahan-lahan terkembang dibibirnya. Menahan getir. "N-Naruto..."

Sebelah tangan Naruto terangkat, menyisir surai pirangnya sembari menggeleng erat. Helaan nafas frustasi lolos, beban kembali menghimpit membuat Naruto merasa sesak. "Maaf Hinata..." Sesalnya kemudian. "Malam ini sepertinya kita tidak bisa makan bersama."

"Na-Naruto..." Melangkah satu langkah ingin mendekati laki-laki itu.

Naruto malah menjauh, menekan tombol disisi lift. "Maaf... Lain kali kita bisa makan bersama. Malam ini aku ingin istirahat dirumah."

Lalu menghilang dibalik pintu lift. Hinata terpaku, mengurungkan kembali sebelah tangan hendak menggapai Naruto.

.

.

.

Bersambung ke chapter dua