Terima Kasih
Naruto©Masashi Kishimoto
Gadis berusia 8 tahun itu berjalan tergesa di tengah keramaian desa Konoha. Langkah kakinya yang mungil hendak membawanya menuju kediamannya, di mana ada sosok ibu dan ayahnya di sana. Ada orangtua yang menantinya, yang begitu disayanginya. Ayahnya adalah seorang shinobi kebanggaan Konoha, salah satu keturunan dari klan terbesar di Konoha. Ayahnya adalah Uchiha Sasuke, salah satu pahlawan di Perang Dunia Shinobi Keempat. Dan ibunya adalah kunoichi medis terbaik yang pernah ada, murid dari Hokage Kelima desa Konoha. Ia adalah putri satu-satunya dari pasangan Uchiha Sasuke dan Haruno Sakura. Ia putri kebanggaan orangtuanya. Ia, Uchiha Sarada. Seorang kunoichi yang mewarisi darah Uchiha yang kelak akan menjadi ninja terhebat yang pernah ada.
Sarada adalah sosok gadis kecil yang sangat merindukan ayahnya. Hal ini karena ayahnya sering bepergian ke luar desa dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Bahkan pernah, ia tak bertemu ayahnya selama satu tahun. Ibunya bilang, ayahnya sedang dalam perjalanan menebus dosa. Entah dosa apa yang ditanggung oleh ayahnya, sang ibu tak pernah memberi jawaban pasti. Sakura hanya menjawab bahwa ketika sudah waktunya, ia akan tahu. Namun apapun itu, Sarada sedikit tak terima. Ia membutuhkan ayahnya ada disisinya. Ia ingin bermain dan berlatih bersama ayahnya. Bahkan terkadang, ia iri pada teman-temannya yang ketika pulang dari akademi dijemput oleh ayah mereka. Ia iri pada teman-teman sepermainannya, yang seringkali terlihat bersama ayah mereka, entah itu untuk bermain atau sekadar jalan-jalan di sepanjang jalan Konoha sambil bergandengan tangan.
Sarada hanyalah seorang anak biasa. Sejenius apapun dirinya, ia tetaplah anak-anak yang masih membutuhkan kehadiran dan bimbingan orangtuanya. Ibunya selalu ada untuknya. Meski Sakura juga sibuk, tetapi Sakura selalu ada di rumah sebelum Sarada pulang dari akademi atau dari latihannya. Ia selalu menyiapkan makanan untuk Sarada tepat pada waktunya. Ia memenuhi hampir setiap kebutuhan putrinya tersebut. Ia memberikan gadis kecil itu kasih sayang yang berlimpah. Ia mendengarkan segala keluh kesah Sarada, mendampingi Sarada belajar, dan menemani putrinya ketika hendak tidur.
Sakura seringkali membagi pengalamannya sebagai ninja kepada Sarada. Ia pun sering bercerita tentang Sasuke padanya. Sarada mendengarkan dengan antusias. Ia senang mendengar segala macam cerita yang diceritakan oleh ibunya, terutama tentang ayahnya. Karena ketika Sakura bercerita tentang Sasuke, maka Sarada akan merasa begitu dekat dengan ayahnya. Sakura bilang padanya bahwa sejauh apapun ayahnya berada, mereka berdua akan selalu ada di hati Sasuke. Sakura bilang bahwa Sasuke sangat menyayanginya melebihi apapun. Sasuke akan selalu memikirkannya, memikirkan Sarada dan juga Sakura. Setelah itu, Sarada hanya akan terdiam seperti memikirkan sesuatu dengan rasa rindu yang membuncah, lalu bibir mungilnya menampakkan senyum sambil berkata, "aku akan menunggu Papa pulang."
Dan ia akan terus menunggu dan menunggu, karena ia percaya ... ia percaya, selama apapun itu, Sasuke akan kembali, Sasuke akan pulang dan menemuinya. Ya, menemuinya dan juga ibunya.
Namun langkahnya terhenti ketika tanpa sengaja ada beberapa anak laki-laki yang sedang bermain kejar-kejaran menabraknya hingga ia terjatuh. Kacamatanya terlepas dan terinjak oleh orang yang berlalu-lalang di sana. Gadis itu bangkit sambil memasang wajah sebal. Ia mengambil kacamatanya yang telah hancur. Tatapannya berubah sedih ketika melihat kacamatanya sudah tak berbentuk. Kacamata itu adalah hadiah dari ayahnya ketika dua tahun yang lalu ia mengatakan bahwa pandangannya mulai buram ketika melihat sesuatu, terutama tulisan dari jarak jauh. Itu pertama kalinya ia merasa ada yang salah dengan penglihatannya. Dan pada saat itu, Sasuke memberinya kacamata untuk membantu penglihatannya. Namun sekarang, kacamatanya hancur. Matanya nyaris berair sambil memandangi benda pemberiaan sang ayah. "Maafkan aku, Papa."
"Kau tidak apa-apa?" Suara seorang wanita membuatnya tersadar. Ia menatap wanita itu. Tanpa kacamata, ia tak dapat melihat dengan jelas rupa wanita itu. Namun wajahnya hanya datar tanpa ekspresi.
"Hn," jawabnya persis seperti yang sering dilakukan oleh Sasuke. Anak dan ayah tak ada bedanya, pikir orang-orang yang sering berinteraksi dengan mereka. Namun wanita ini tak mengenalnya. Ia pun tak mengenal wanita berambut merah yang berdiri dihadapannya saat ini.
"Anak ini mirip seseorang." Batin wanita itu. Sarada tak mempedulikan tatapan penuh selidik dari wanita yang juga memakai kacamata seperti dirinya. Ia kembali berjalan dengan langkah yang lebih pelan. Salah-salah ia bisa menabrak. Dan tanpa ia sadari, wanita itu terus menatapnya dari kejauhan sambil terus berpikir.
"Anak itu ... mirip Sasuke?"
Deg
Mata wanita itu membulat di balik kacamata yang dikenakannya. "Tidak, tidak, tidak. Aku pasti salah. Tidak mungkin Sasuke ... tidak. Sasuke tidak mungkin ..." Nyatanya hatinya teriris. Memikirkan gadis cilik itu adalah putri Sasuke membuat dadanya sesak. Sepuluh tahun lebih sejak Perang Dunia berakhir, ia belum bertemu kembali dengan Sasuke. Kemungkinan besar Sasuke kembali ke Konoha. Ia ingin menemuinya dan memintanya membawanya serta. Namun ia tak memiliki keberanian untuk menginjakkan kaki di Konoha. Hingga akhirnya saat ini ia berada di sini. Di Konoha, untuk menemui Sasuke. Ia ingin sekali menghajar pria yang sudah mencampakkannya tersebut. Namun selama ia menyusuri desa ini, tak sekalipun ia merasakan chakra Sasuke. Hingga akhirnya ia bertemu dengan Sarada dan pikirannya pun berkecamuk tak karuan. Bagaimana jika Sasuke sudah menikah? Bagaimana jika Sasuke memang sengaja meninggalkannya? Bagaimana dan bagaimana jika Sasuke ... blablabla. Segala macam pertanyaan bermunculan di kepalanya.
"Ikutlah denganku, Karin!"
"Hah? Kenapa aku?"
"Aku membutuhkanmu."
.
.
"Tadaima," ucapnya lesu sembari melepaskan sandalnya. Sakura langsung keluar dari dapur menuju pintu depan.
"Okaeri, Sarada," sambut Sakura dengan senyum yang mengembang mewarnai wajah cantiknya. Namun senyuman itu luntur ketika menyadari putri semata wayangnya itu tak mengenakan kacamata. Wajah gadis itu pun terlihat sedih.
"Sarada, kacamatamu ..." Gadis itu menunjukkan kacamatanya yang hancur. Sakura menatapnya miris.
"Rusak, Ma." Nada suara gadis itu bergetar seolah menahan tangis. Sakura mengerti. Ia paham sekali dikarenakan kacamata itu adalah hadiah dari Sasuke. Ia tersenyum kemudian mensejajarkan tingginya dengan Sarada. Mata hijaunya yang bening menatap Sarada tenang, seolah hendak mengatakan tidak apa-apa. Namun Sarada tak mengerti. Mata hitam gadis itu tak lepas dari kacamata yang dipegangnya, yang sudah hancur tak berbentuk.
"Kita akan membeli yang baru nanti," hibur Sakura. Namun itu sama sekali tak mempan. Karena Sarada malah menatapnya tak terima.
"Tapi ini dari Papa, Ma," jawab Sarada nyaris dengan nada yang tinggi hingga membuat Sakura sedikit terkejut. "Dan aku merusaknya," lanjut gadis itu lirih. Sakura meletakkan tangannya di pucuk kepala anaknya penuh sayang, membuat Sarada menatapnya.
"Apa Sarada berpikir Papa akan marah atau kecewa?" tanya Sakura. Sarada menggeleng pelan.
"Ketika kita tidak bisa menjaga benda pemberian dari orang yang kita sayangi, bukan berarti kita tidak sayang. Bukan berarti pula orang itu tidak menyayangi kita." Sakura tersenyum. Ia menurunkan tangannya dan beralih memegang pundak putrinya tersebut.
"Sarada sayang Papa, kan?"
Gadis itu mengangguk.
"Nah, apa Sarada berpikir jika Papa tidak bersama kita, itu artinya Papa tidak menyayangi kita?"
Sarada menggeleng.
"Tidak, kan? Begitu pula dengan ini ..." Sakura menunjuk kacamata itu. "Rusak juga bukan berarti Sarada tidak menyayangi Papa. Lagipula, bukan Sarada yang merusaknya, kan?" Lanjut Sakura. Sarada mengangguk pelan. Wajahnya tertunduk. Sakura memeluknya.
"Kalau Papa ada di sini dan melihat Sarada sedih hanya karena hal ini, Papa pasti tidak akan suka. Jadi, nanti kita akan membeli yang baru. Lalu kita perbaiki kacamata Sarada yang rusak, semampu kita," kata Sakura menenangkan sambil mengusap punggung kecil putrinya. Sarada mengangguk, meski tanpa disadari, ada airmata yang mengalir membasahi pipinya.
.
.
"Jadi apa keputusanmu?" Pria berambut kuning itu bertanya pada sahabatnya yang tengah berdiri memandangi Konoha dari atap gedung Hokage. Pria yang lebih tinggi beberapa senti darinya itu belum menjawab. Mata hitamnya masih fokus pada desa Konoha yang terlihat begitu damai dari atas sini.
Angin berembus perlahan hingga jubah mereka berdua agak sedikit terayun mengikuti arah angin. Keduanya masih terdiam. Namun pria berambut kuning yang mengenakan jubah Hokage itu tersenyum cerah.
"Rasanya seperti mimpi, ya, Sasuke? Melihat Konoha yang seperti ini ... aku benar-benar tak bisa berhenti bersyukur."
"Hn."
"Kau ini, kenapa tidak berubah sama sekali, sih?" protes Hokage Ketujuh itu. Sasuke meliriknya sekilas nampak tak minat.
"Kaupikir dirimu berubah, Naruto?" balas Sasuke sinis. Naruto menatapnya sebal. Namun tak lama. Karena yang terjadi selanjutnya adalah obrolan tentang anak-anak mereka.
"Aku sudah tak tau harus melakukan apalagi untuk mengatasi kenakalan Boruto. Anak itu suka sekali berbuat onar," keluh Naruto dengan nada pasrah. "Dia susah sekali diatur. Gurunya sering mengadu padaku jika mereka sudah tak sanggup lagi menangani Boruto," lanjut Naruto. "Aku ... merasa gagal menjadi ayah."
Sasuke terdiam. Agak miris sebenarnya. Naruto yang merupakan pahlawan, orang yang mampu menyadarkan banyak orang untuk kembali ke jalan yang benar, kini harus kalah dalam menghadapi anak kecil yang nyatanya adalah anaknya sendiri.
"Dia hanya membutuhkanmu," jawab Sasuke dengan nada datar khas miliknya. Namun demikian, hal itu cukup untuk membuat Naruto tertohok. Ya, bagaimanapun juga ia sadar bahwa kesibukannya sebagai Hokage membuatnya jarang bersama dengan keluarganya, terutama dengan anak-anaknya. Ia cukup sadar bahwa Boruto hanya membutuhkannya, bukan yang lain. Tapi ia tak bisa melarikan diri dari tugasnya. Ia memiliki tanggung jawab untuk melindungi desa dan rakyatnya. Dan ia berharap putranya itu mengerti. Namun, ia tak sadar jika Boruto hanyalah anak-anak. Ia tak peduli pada hal seperti itu. Ia hanya membutuhkan ayahnya, tak peduli pada hal lain selain itu.
"Tapi tugasku tak bisa diabaikan. Kau tau itu dengan jelas Sasuke. Aku Hokage. Aku tak bisa hanya memikirkan dirinya. Desa ini adalah tanggung jawabku," jawab Naruto membela diri. Sasuke menatapnya sinis.
"Jadi kau lebih memilih kehilangan keluargamu. Begitu, eh?"
Mata biru milik Naruto membulat sempurna. Kemudian ia menatap Sasuke tajam. Pria Uchiha itu tak gentar. Ia balas menatap tajam Naruto.
"Lalu apa bedanya kau dan aku, Sasuke? Kau juga meninggalkan Sakura-chan dan Sarada. Apa itu artinya kau tidak mengabaikan mereka? Seharusnya kau tanyakan pertanyaan itu pada dirimu sendiri. Kita berdua sama-sama shinobi. Kita berdua tau dengan jelas dunia shinobi itu seperti apa. Salah satu memang ada yang harus dikorbankan. Aku ..."
"... aku tidak akan mengorbankan Sakura dan Sarada. Itu jawabanku!" potong Sasuke tegas tanpa ragu. Naruto terkejut. Seakan tersadar, ia menundukkan wajahnya. Ada gurat penyesalan di sana. Menyesal karena ia telah salah dalam mengambil keputusan. Bukan karena ia menyesal menjadi Hokage. Tidak. Tapi karena ia tak bisa menjadi ayah yang baik bagi anak-anaknya. Sikap nakal Boruto adalah bentuk protes pada dirinya. Seharusnya ia menyadari hal itu.
"Aku akan melindungi desa ini. Itu janjiku. Sekaligus meneruskan perjuangan Itachi. Tapi, aku juga tidak akan pernah mengorbankan keluargaku demi desa seperti yang dilakukan oleh Itachi. Sakura dan Sarada, mereka berdua lebih berharga dari desa ini," lanjut Sasuke yang membuat Naruto makin tak bergeming dan berpikir ulang.
"Sasuke, sepertinya kali ini kau yang menyadarkanku." Naruto mengangkat kepalanya dan menatap Sasuke. Pria Uchiha itu malah menatapnya dengan pandangan bertanya.
"Aku akan melindungi semuanya. Desa ini dan juga keluargaku. Itu janjiku!" Lanjut Naruto. Sasuke hanya mendengus sambil memalingkan wajahnya. "Ngomong-ngomong Sasuke, kau mau, kan jadi gurunya Boruto?" Tanya Naruto dengan wajah penuh harap dan mata yang berbinar, membuat Sasuke risih melihatnya.
"Tidak mau."
"Eeeeehh?"
.
.
"Tidak bisa diperbaiki, ya?" Tanya Sakura dengan nada kecewa. Demikian pun dengan Sarada.
"Kerusakannya sudah parah. Ini sudah patah. Jika hanya kacanya saja yang pecah, kami bisa menggantinya. Tapi ini keseluruhan framenya pun patah. Ini sudah benar-benar hancur," jawab pria yang bekerja di optik tersebut. Pria tersebut sebenarnya akan memperbaiki kacamata Sarada. Namun penjelasan yang didapat memupuskan harapan kedua wanita berbeda usia tersebut.
"Sarada?" Panggilan Sakura menyadarkan Sarada. Ia mendongak menatap wajah ibunya.
"Hn."
"Beli yang baru saja ya?" tawar Sakura memberi solusi pada gadis berambut pendek tersebut. Sarada mengangguk pasrah. Sakura pun meminta pria itu memperlihatkan koleksi kacamata di optik tersebut. Kali ini, Sakura yang akan memilihkan kacamata untuk Sarada.
"Kalau boleh aku tau, berapa ukuran minus kacamatamu?" Tanya pria berambut kecokelatan itu pada Sarada. Sakura menatap putrinya. Sarada agak berpikir, berusaha mengingat-ingat terakhir kali ia memeriksakan matanya.
"Sebaiknya kita periksa lagi saja, Sarada. Bagaimana?"
"Iya, Ma."
Gadis itu pun kembali menjalani pemeriksaan mata. Agak menyebalkan sebenarnya. Namun tak ada jalan lain. Ia pun merasa jika minus matanya bertambah. Aa, ini pasti karena hobi membacanya yang sedang meningkat. Dan juga, lampu kamarnya tidak terlu terang sehingga ia sering membaca dalam kondisi seperti itu tanpa diketahui orangtuanya.
"Mata bagian kanan minus 1,25 dan bagian kiri minus 1. Ini cukup besar untuk anak seusiamu," kata pria itu menjelaskan. Sakura terkejut. Namun Sarada nampak biasa saja seolah sudah memperkirakan. Sakura menatap anaknya penuh tanya. Sarada terlihat tak peduli.
"Tapi bagaimana bisa?" Tanya Sakura tak percaya. Selama ini ia sudah berusaha menyembuhkan mata putrinya. Ia berusaha meminimalisir faktor-faktor yang akan membuat minus anaknya bertambah. Tapi kenapa malah tambah parah?
"Putrinya harus sering diberi jus wortel. Atau bisa memakannya mentah. Dan jangan membaca di tempat yang pencahayaannya kurang. Atau membaca sambil tiduran. Itu akan membuat matanya tambah parah."
"Aku tidak apa-apa, Ma."
"Mama butuh penjelasanmu di rumah." Sakura terlihat seperti mengancam. Ini buruk bagi Sarada. Salah satu hal yang ditakutinya adalah kemarahan Mamanya. Bahkan Papanya pun tak berani jika Mamanya sudah marah.
Selesai membeli kacamata, kedua wanita itu tak langsung pulang ke rumah. Sarada menemani Sakura berbelanja dulu di minimarket dekat optik tersebut. Bahan makanan di rumah sudah habis. Dan sebentar lagi malam. Jadi mereka harua bergegas. Dan Sarada pun berniat membantu Sakura memasak. Meski ia agak sedikit tomboi, tetapi tetap saja ia seorang perempuan. Ia senang membantu Sakura melakukan pekerjaan rumah tangga.
"Mama akan membeli tomat lagi?" Tanya Sarada ketika melihat Sakura hendak memasukkan tomat-tomat segar ke dalam plastik untuk ditimbang. Sakura tidak menjawab. Ia malah memilih tomat-tomat yang menurutnya bagus.
"Papa belum tentu pulang malam ini," kata Sarada ketika merasa diabaikan oleh Sakura. Wanita berambut merah muda sebahu itu menghentikan kegiatannya. Ia menatap putrinya sebentar. Ada ekspresi kecewa di mata anak itu.
"Tapi Papa akan tetap pulang," jawab Sakura sambil tersenyum. Sarada merengut. Sakura terkekeh melihat anaknya itu. Dan melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda.
.
.
Wanita itu berhenti. Ia bisa merasakannya. Chakra itu, Sasuke.
Uchiha Sasuke ada di Konoha.
Dekat. Ya, benar-benar dekat dengannya sekarang. Tapi di mana? Ia menolehkan kepalanya ke kanan, tak ada di sana. Di sebelah kiri pun tak ada. Matanya terus mencari. Langkahnya tergesa tak beraturan. Tapi satu hal yang pasti, ia harus bertemu dengan Sasuke.
Deg
Mata wanita itu membulat. Ia melihatnya. Pria itu. Uchiha Sasuke berdiri beberapa ratus meter dari dirinya. Pria yang mengenakan jubah hitam itu. Tak salah lagi. Itu Sasuke. Namun apa yang Sasuke lakukan di sana. Di depan sebuah minimarket.
Wanita itu mengikutinya. Langkahnya tak lagi tergesa seperti tadi. Ini lebih teratur. Ia berusaha sebisa mungkin menyembunyikan aliran chakra-nya. Ia berusaha sebisa mungkin agar Sasuke tak menyadarinya. Entah kenapa, ia tak ingin Sasuke tau. Terlebih lagi ia ingat akan gadis kecil yang ia temui sebelumnya. Gadis yang memiliki kemiripan dengan Sasuke. Ia harus menyelidikinya. Ya, meski sekarang ia terlihat seperti seorang penguntit.
"Ada yang kau inginkan, Sarada?" tanya Sakura. Putrinya itu tampak berpikir sambil melihat beberapa makanan ringan yang tersedia di minimarket itu.
"Tidak ada, Ma. Aku ingin pulang," jawab Sarada. Putrinya terlihat lelah. Sakura tersenyum maklum.
"Kita akan pulang setelah Mama membayar ini," ujar Sakura sambil melirik keranjang belanjaannya. Ia pun berjalan diikuti oleh Sarada yang berada di belakangnya. Gadis itu benar-benar lelah. Ia ingin segera istirahat dan memimpikan ayahnya. Aa, ia kembali mengingat kacamata itu. Ekspresinya kembali berubah sedih. "Papa ..."
Bruk
"Sarada!"
Sakura refleks menoleh dan mata hijau beningnya membulat sempurna melihat putrinya jatuh. Keranjang belanjaan tersebut terjatuh. Wanita itu berlari menghampiri Sarada dengan kecemasan yang luar biasa.
"Sarada," Helaian merah muda Sakura terjatuh. Tangannya terulur menyentuh kening Sarada yang ternyata sangat panas. Ya Tuhan, kenapa ia tak menyadarinya? Rasa bersalah itu menyergap hatinya. Putri kecilnya sakit.
"Aku akan membawanya pulang. Kau selesaikan dulu belanjamu," perintah pria yang memegang tubuh Sarada. Suaminya, Uchiha Sasuke sudah kembali. Tepat sebelum anak itu jatuh, Sasuke menahannya agar tubuh kecil itu tak membentur lantai. Dan kini Sarada berada dalam gendongannya. Sakura mengangguk pelan, melaksanakan perintah Sasuke.
Wanita itu berbalik menuju kasir, sedangkan Sasuke menuju keluar. Namun langkahnya terhenti ketika melihat wanita itu berdiri dihadapannya.
"Karin?"
.
.
"Seharusnya aku menyadarinya," sesal Sakura sambil mengompres kening Sarada. Sasuke duduk di sampingnya. Tak ada kata yang terucap. Ia hanya memandangi putrinya sedih. Namun dalam hati ia bersyukur. Setidaknya ia tidak terlambat berada di sana. Keputusan untuk menyusul mereka berdua adalah keputusan yang tepat.
"Berhenti menyalahkan dirimu sendiri," kata Sasuke tanpa mengalihkan pandangannya dari Sarada. Sakura tersenyum miris tak menanggapi. Namun kemudian ia menatap Sasuke. Wajah itu begitu dirindukannya, dirindukan pula oleh putri mereka. Entah sudah berapa lama Sasuke pergi, Sakura bahkan tak mengingatnya. Hanya saja ia bersyukur, Sasuke berada di tengah-tengah mereka di saat keadaan seperti ini. Memikirkan hal itu membuatnya nyaris menangis. Sasuke yang menyadari hal itu langsung memegang pundaknya dan berkata, "aku pulang."
Senyum Sakura pun merekah. Ia memeluk pria itu dan tak dapat menahan dirinya untuk tak menangis. Sasuke menyentuh punggung Sakura dan balas memeluknya. Rasanya asing. Entah kenapa semua terasa berbeda. Apa karena ia terlalu sering pergi dan jarang berinteraksi dengan istrinya? Namun, dibalik semua itu, ia pun merindukan Sakura. Hingga akhirnya rasa hangat itu menyentuh relung hatinya. Ia memeluk Sakura erat. Dan wanita itu semakin deras mengeluarkan airmatanya.
"Okaeri, Sasuke-kun," jawab Sakura sambil tersenyum setelah Sasuke melepaskan pelukannya. Pria itu hanya tersenyum tipis dan membuat rona merah di pipi Sakura. Bahkan sekarang ia merasa seperti remaja yang sedang jatuh cinta. Nyatanya ia memang jatuh cinta, entah untuk keberapa kalinya. Tapi Sasuke selalu dan selalu membuatnya kembali merasakan jatuh cinta.
"Aku akan menyiapkan makan malam dulu."
"Pergilah. Aku akan menjaga Sarada."
"Dia benar-benar merindukanmu, Sasuke-kun." Sakura menjelaskan. Hal itu malah membuat Sasuke merasa bersalah. Ia mengusap pelan pipi putih putrinya tersebut. Sepertinya demamnya mulai turun.
"Kacamata Sarada rusak. Ada sedikit kecelakaan kecil tadi," jelas Sakura. Sasuke menatapnya tajam, namun penuh tanya. Siapa yang telah melukai putrinya? Ia pasti akan membuat orang itu menyesal.
"Hanya kecelakaan kecil. Dan Sarada tidak apa-apa. Dia hanya terjatuh dan kacamatanya terinjak," lanjut Sakura. Sasuke mendesah lega. "Seharusnya tadi kau melihatnya. Ia menangis ketika melihat kacamata darimu itu tak bisa digunakan lagi. Mungkin ia merasa bersalah padamu, Sasuke-kun."
"Aku akan membelikannya yang baru nanti," jawab Sasuke.
"Aku sudah membelikannya."
"Hn?"
"Minus Sarada makin parah," terang Sakura sedih. Sasuke nyaris membulatkan matanya. Ia tak menyangka telah melewatkan banyak hal selama ia pergi. Astaga, ia merasa tak berguna sekarang. "Mungkin aku yang akan mengobatinya langsung, Sasuke-kun."
"Apa saja yang sudah kulewatkan?" tanya Sasuke datar. Namun Sakura tau bahwa pria itu tengah menyesali sesuatu. Sakura tersenyum padanya berusaha mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Dan senyuman Sakura memang obat yang paling mujarab untuk mengobati kegelisahan hati Sasuke.
.
.
"Aku ada urusan."
"Tunggu, Sasuke!"
"..."
"Aku hanya ingin bertanya. Apa itu ... anakmu?"
"Ya. Anak ini putriku."
Ia benci mengakuinya. Namun kenyataan itu menyakitinya. Dugaannya benar. Gadis yang bertemu dengannya adalah putri Sasuke. Pria itu sudah menikah. Tanpa sadar airmata menetes membasahi pipinya.
"Airmata sialan!" Ia mengusapnya. Tapi air itu terus menetes tak berhenti. Hingga akhirnya ia terisak di apartemennya.
"Sasuke menyebalkan! Brengsek! Bodoh! Sial! Kenapa aku bisa jatuh cinta pada pria brengsek sepertimu?" Tangisnya makin keras disertai umpatan-umpatan kasar yang tak pantas didengar. Ia patah hati. Itu kenyataan yang luar biasa menyakitkan.
Kenapa Sasuke memberinya harapan jika memang hanya akan membuatnya terluka? Padahal ia sudah mengorbankan segalanya. Diinjak, dibuang, ditinggalkan. Ia bahkan nyaris mati karena Sasuke. Tapi apa yang ia dapat? Kecewa. Sakit hati.
"Siapa ... wanita yang kau nikahi, Sasuke?"
.
.
Gadis itu menggeliat tak nyaman ketika ada sebuah tangan yang lebih besar darinya tengah memeluknya. Matanya hendak terbuka namun entah kenapa sangat berat. Kepalanya terasa pusing. Aa, ia ingat. Kemarin ia mengantar ibunya berbelanja kemudian ia tak ingat lagi apa yang terjadi.
"Eunghh ..."
Sasuke membuka matanya ketika menyadari pergerakan dari putrinya disertai desahan pelan. Perlahan ia menyingkirkan tangannya dari tubuh Sarada. Tangannya beralih ke kening Sarada. Demamnya sudah turun. Ia tersenyum penuh kelegaan. Bibirnya mengecup pelan kening itu sebelum akhirnya beranjak dari sana.
"Papa ..." gumamnya pelan. Sasuke berhenti. Ia menatap kembali putrinya. Mata itu masih terpejam. Ia kembali menghampiri ranjang Sarada dan berbisik, "Papa pulang, Sarada."
Perlahan mata hitam itu terbuka. Dan tepat di depan wajahnya, sang ayah yang begitu dirindukannya tengah menatapnya. Ia segera bangkit dan menerjang Sasuke, memeluknya erat yang dibalas oleh Sasuke. Sesekali ia mengecup kepala Sarada, menyalurkan segala kerinduan dan kasih sayangnya kepada putri semata wayangnya tersebut.
Sakura yang ternyata sudah berdiri di depan pintu kamar Sarada yang terbuka sedari tadi, tak jadi masuk dan mengganggu momen ayah dan anak tersebut. Ia tersenyum hangat. Ya, hatinya menghangat menyaksikan pemandangan yang amat manis tersebut. Sepertinya ia akan melanjutkan rencana berkebunnya. Aa, Sakura tak sabar untuk itu.
.
.
Hal terbodoh yang dilakukan Karin adalah mendatangi kediaman Sasuke untuk meminta penjelasan. Ia tak ada hubungan apapun dengan pria itu dan sekarang ia berniat meminta penjelasan. Karin bahkan tak memiliki alasan logis kenapa ia melakukan hal bodoh seperti ini. Ia hanya tak siap dengan kenyataan yang menyakitkannya. Mungkin itu alasan yang tepat hingga membawanya ke depan rumah Sasuke. Dan melihat wanita itu di sana.
Sakura yang hendak keluar rumah membeli bibit tanaman terkejut ketika mendapat seorang wanita tengah berdiri di depan rumahnya. Wanita berambut merah panjang yang pernah ia liat saat hendak membunuh Sasuke. Wanita itu mantan rekan Sasuke yang dulu diselamatkannya setelah nyaris tewas dibunuh Sasuke.
"Ano ... ada yang bisa kubantu?" tanya Sakura ragu.
"Aku ingin bertemu Sasuke," jawab Karin tanpa basa-basi. Ia tak menyangka akan bertemu dengan Sakura di sini. Pikirnya mengatakan bahwa Sakura adalah istrinya Sasuke. Namun, ia menepis segala pikiran itu. Setau Karin, Sakura adalah rekan Sasuke di Konoha. Ada kemungkinan wanita berambut merah muda itu memang sedang mengunjungi Sasuke, sama seperti dirinya.
note: saya jengkel karena beberapa kali saya save tapi gagal terus. Yaudah, nanti kalo udah mood saya lanjutin lagi. Atau saya republish. Dan maaf buat typo.
Terima kasih :)
