OWNER : MASASHI KISHIMOTO

STORY BY : LLYCHU

PAIR : NARUTO X HINATA

Rated : M

HAPPY READING!

Part I : Hyuuga's strory

.

.

.

Ini sudah ketiga kali pemilik apartemen itu mendatanginya. Menagih uang sewa yang sudah mogok selama dua bulan. Wanita paruh baya itu sebenarnya tak tega harus terus menekan gadis pekerja keras seperti Hinata. Tapi mau bagaimana lagi? Ia juga memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi.

"Uang depositomu hanya tersisa untuk sebulan lagi. Aku sebenarnya tak terlalu tega padamu, mengingat dulu kau paling rajin membayar uang sewa. Tapi Hinata, kau tahu sendiri aku ini janda dan punya anak."

Gadis berambut panjang itu mengangguk dalam tundukan kepalanya. Ia meringis menahan tangis, mengingat ia sudah menyusahkan ibu pemilik apartemen yang ia sewa. Sebenarnya ia ingin sekali membayar, ia bukan gadis yang suka menampung hutang. Hanya saja… hanya saja kali ini ia benar-benar sedang susah.

Biasanya ia bekerja di tiga kerja part-time. Tapi karena alasan tubuhnya yang sakit dan waktu yang bertabrakan, ia terpaksa berhenti dan hanya bekerja di dua tempat. Toko buku dan minimarket 24 jam.

Jika kelihatannya Hinata akan punya banyak uang dengan giat bekerja begitu, memang ia memiliki cukup banyak uang. Penghasilannya bisa mencapai sejuta yen jika digabung dengan uang lemburnya. Uang begitu termasuk berlebih untuk gadis sederhana sepertinya.

Tapi ia tidak menikmati hasil keringatnya itu sendiri. Ia harus berbagi dengan batita yang dua tahun terakhir menjadi tanggung jawabnya.

"Ma-maaf, bu. Saya akan usahakan minggu ini melunasinya." Cicit Hinata pelan. Ia memandang wanita itu dengan penuh permohonan.

"Baiklah—" wanita paruh baya dengan senyum tipisnya menepuk pelan pundah kecil Hinata. Tubuh mungil itu terlihat lebih kurus dari terakhir yang ia ingat. "Aku mengerti keadaanmu. Aku tidak bisa banyak membantu, kita sesama ibu tunggal, Hinata. Jadi aku mengerti bagaimana sulitnya mengurus seorang anak sendiri."

Setelah mengucap terimakasih, Hinata membungkuk beberapa kali. Mengantar pemilik apartemen sewaannya itu sampai depan pintu. Setelah itu, setelah tak ada seorang pun didekatnya, Hinata merosot tepat saat pintu mungil itu tertutup rapat.

Ia ingin sekali mengeluh, mencurahkan semua beban hidupnya yang terasa sangat berat dan menyesakkan. Jujur saja, ia mulai menyerah dengan suratan takdir yang tertulis untuknya. Menengok kebelakang, ia merasa menjadi gadis yang baik selama ini.

Selalu menurut orang tua, tak pernah nakal dengan mengikuti anak muda seusianya, rajin belajar, dan beberapa hal lain yang dianggap kuno.

Ia bersyukur dengan semua keadaan. Ia tak pernah menyalahkan siapapun atas kesusahan yang dideritanya. Menjadi anak tertua membuat Hinata harus lebih mengerti dan mandiri.

Tapi semua berubah semenjak dua tahun lalu. Semenjak ia lulus dari bangku kuliahnya.

Masih memegang rangkaian bunga dan surat tanda lulusnya, Hinata begitu senang memasuki rumahnya. Rumah yang tak besar tapi juga tak kecil. Rumah yang ia tinggali, bersama ayah, ibu dan juga adiknya yang berjarak tiga tahun darinya.

Ingin sekali hatinya memberitahu nilainya yang termasuk dalam jajaran lima terbaik dalam fakultasnya. Tapi belum sempat itu terjadi, ia sudah diberi kejutan lain.

Hanabi, adiknya yang baru lulus sekolah menengah atas itu hamil diluar nikah. Terlebih, kandungannya sudah memasuki bulan kelima. Sang ibu, yang memang memiliki penyakit jantung bawaan terkena serangan jantung mendadak. Dan tepat saat Hinata memegang tangan ibunya yang sedang meregang nyawa diruang tamu, Hikari –sang ibu- sudah menghembuskan nafas terakhirnya.

Semenjak kematian sang ibu, Hinata harus berjuang mengurus Hanabi yang mulai kehilangan kewarasannya. Ia didera depresi dan terguncang karena rasa bersalah yang besar. Padahal, dari ayah dan Hinata sendiri tak pernah menyalahkan siapapun.

Hiashi, ia tentu marah, kecewa dan merasa gagal. Tapi mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Ia tak mungkin memaki putrinya, mau memaki pun tak akan ada yang berubah.

Hinata meyakinkan dirinya bahwa semua bisa menjadi lebih baik.

Dan nasib malangnya berlanjut. Kehamilan Hanabi harus berhenti saat janinnya berumur delapan bulan. Operasi sesar pun dilakukan demi menyelamatkan cabang bayi. Hinata sempat lengah dan membiarkan Hanabi ke kamar mandi sendiri. Hanabi jatuh dan membuatnya mengalami pendaharan hebat.

Hanabi yang sudah banyak kehilangan darah tak bisa diselamatkan. Tapi bayi laki-lakinya lahir dengan sehat. Bayi laki-laki yang tampan dengan mata hitam pekatnya. Rambutnya juga berwarna coklat pudar seperti Hanabi, dan kulitnya putih bersih. Kemiripannya dengan Hanabi hanya duapuluh persen, dan sisanya, bayi laki-laki itu mengikuti gen ayahnya.

Rasa kehilangan sang adik tentu mampu membuat Hinata terpuruk. Apalagi, berita yang datang lima belas menit kemudian membuatnya makin terpuruk. Berita tentang ayahnya yang mengalami kecelakan dalam perjalanan ke rumah sakit dan tak terselamatkan.

Saat itu juga, rasanya Hinata ingin melompat dari atap gedung rumah sakit itu. Hinata benar-benar akan melakukannya kalau saja tidak mendengar jeritan tangis keponakannya. Bayi itu tak berdosa. Kalau tak ada yang mau bertanggung jawab untuknya, bayi itu akan sendiri dan kesepian.

Dari daftar tragis hidupnya, hanya Kou —nama yang diberikan Hinata-, yang bisa membuat Hinata bangkit. Walaupun harus mendengar cibiran dari orang-orang yang melihatnya sebagai single parent, atau mendapat cobaan saat ternyata ayahnya punya cukup banyak hutang karena membiayai pengobatan sang ibu, Hinata harus tetap bisa bertahan.

Namun… bolehkan kali ini ia ingin menangis?

Menangis tertahan dengan luapan emosi yang maksimal. Ia tentu tak mau membangunkan Kou yang sekarang sedang tidur siang.

Ia akan menangis sampai puas sekarang. Dan berjanji menjadi perempuan kuat setelah itu.

Untuk Kou, titipan terkahir dari adik tersayangnya.

.

.

.

Malam hari adalah jadwal Hinata untuk menjadi kasir di swalayan 24 jam di daerah distrik Y. Hanya perlu berjalan sepuluh menit dari apartemennya.

Masalah Kou, ia akan menitipkannya di rumah Sakura. Mereka berteman semenjak SMP, hingga keluarga Sakura sudah tahu semua musibah yang menimpa sahabat putrinya itu. Kedua orang tua Sakura tak mempermasalahkan penitipan Kou di rumahnya. Malah mereka sempat menawari Hinata untuk tinggal bersama mereka. Mengingat kedua orang tua Sakura yang jarang ada di rumah karena kesibukan masing-masing, mereka ingin Hinata menemani Sakura. Terlebih Sakura anak tunggal.

Tapi tentu Hinata menolak. Dengan menitipkan Kou pada pagi hari saat dirinya bekerja di toko buku dan malam saat menjadi kasir saja rasanya Hinata sudah banyak menyusahkan. Walaupun Sakura senang-senang saja karena dirinya memang membuka praktek klinik anak di rumahnya. Terlebih ada beberapa pembantu keluarga Haruno yang cukup banyak. Sakura memang dari keluarga berada. Kadang kala, Hinata merasa sedikit iri pada wanita berambut pink itu.

"Kau terlihat pucat, Hinata. Kau sakit?" Sakura menegur pelan Hinata yang sedang menaruh Kou di kasur miliknya. Beruntungnya, Kou selalu anteng saat dititipkan.

"Hm? Tidak, kok. Aku baik-baik saja."

Senyum dipaksakan begitu Sakura sudah sering lihat. Hinata akan memberinya kalimat panjang lebar bahwa dirinya baik-baik saja. Kadang sifat keras kepala Hinata yang terlalu memaksakan diri begitu membuat Sakura gemas. Tapi ia juga mengerti bahwa Hinata mempunyai beban yang berat.

"Ini, minum vitamin ini. Jangan menolak, itu tak mahal kok. Aku dapat dari sponsor."

Hinata tahu Sakura berbohong. Mana ada obat menjadi sponsor klinik rumahan begini. Walaupun koneksi Sakura lumayan luas berkat kedua orang tuanya.

"Terimakasih, Sakura. Aku titip Kou, ya? Maaf terus merepotkanmu." Akhirnya Hinata mengalah. Ia mengemut vitamin rasa lemon itu. Membuat senyum pada bibir ranum Sakura terkembang.

"Ponakan lucumu itu sangat anteng, kok. Dia hanya bangun saat pempersnya penuh atau lapar. Dan untungnya, ia selalu bangun tepat dengan jam pagiku. Seperti alarm,"

Keduanya terkekeh pelan. Lalu berjalan keluar menuju pintu keluar. Sakura memandang sendu pundak Hinata yang berjalan lebih dulu darinya. Tubuh sahabatnya itu makin mengurus, bahkan pipinya yang biasa chubby sekarang sudah menyusut.

Bagaimana tidak mau kehilangan berat badan kalau Hinata hanya tidur kurang dari lima jam setiap harinya?

Dari pagi hingga siang ia bekerja di toko buku sebagai pembukuan. Setelah itu menjemput Kou dari rumah Sakura. Tepat pukul tujuh malam ia akan kembali mengantar Kou. Lalu menjadi kasir hingga tengah malam.

Sebenarnya Kou lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Sakura. Itu tak masalah sama sekali untuk dirinya. Kou termasuk balita yang pengertian. Ia jarang menangis dan selalu anteng jika ditinggal sendiri. Bahkan Kou menjadi penghibur bagi Sakura jika kliniknya sedang senggang.

"Aku pamit dulu, ya. Tolong jaga Kou."

Sakura tersenyum dan melambai pada Hinata yang keluar dari pagar rumahnya. Ia mungkin sudah menyerah dari lama jika menjadi Hinata.

"Bekerja yang baik ya, Hinata."

.

.

.

"Selamat datang."

Hinata membungkuk sebentar saat ada pelanggan yang datang. Walaupun tengah malam, pasti ada saja satu atau dua orang yang datang ke minimarket untuk membeli sesuatu.

Manik bulan Hinata sedikit melebar saat mendapati pria tampan bersurai kuning itu. Matanya biru dengan warna kulit yang eksotis. Pria seperti itu lebih mirip bule daripada orang Jepang kebanyakan.

Pria itu memang bukan sekali dua kali datang ke minimarket ini. Hinata sudah melihatnya beberapa kali dalam sebulan terakhir. Mungkin pria pirang itu salah satu penghuni apartemen mewah yang tak jauh dari minimarket ini.

Dan Hinata sedikit banyak hafal apa-apa saja yang akan pria itu beli.

Dua box kondom dan beberapa kaleng bir dingin.

Well— Hinata sangat tahu hal apa saja yang akan orang dewasa lakukan dengan pengaman itu. Zaman sekarang memang lebih baik mencegah jika kalian hanya bermain-main.

"5900 Yen, tuan." Ujar Hinata setelah menghitung belanjaan yang disodorkan padanya.

Hinata baru sadar selama ini ia belum pernah mendengar pria itu bicara. Paling hanya berupa gumaman saat pria itu bicara pada ponselnya.

"Terimakasih," tak ada sahutan, bahkan sodoran kembalian yang Hinata berikan tak dihiraukan. Selama ini Hinata akan mengantungi uang lebih jika pelanggan misterius itu yang membeli.

Mata Hinata tak bisa lepas dari gerakan tubuh atletis pria itu saat meninggalkan minimarket menuju mobil sport mewahnya. Mobil yang harganya Hinata tafsir akan sama dengan membeli satu unit rumah mewah.

Dasar orang kaya. Semua barangnya benar-benar di luar logika. Untuk Hinata sendiri, lebih baik mengumpulkan uang untuk hal-hal penting seperti berbisnis atau mengumpulkan harta masa depan seperti rumah dan tanah. Dari pada membeli mobil segitu mahalnya.

Desahan halus keluar dari Hinata saat sadar pemikiran konyolnya. Mungkin saja harta pria itu sudah seperti gunung tingginya, hingga mobil mewah seperti itu tidak akan menyenggol rentetan nol direkengingnya.

"Tak baik memandangi orang sebegitunya, Hinata."

Teguran halus dari arah belakangnya membuat Hinata sedikit kaget.

"Kiba? Kenapa sudah datang?" ini memang masih jam sebelas malam. Shiftnya masih ada sekitar dua jam lagi. Dan Kiba sudah datang lengkap dengan seragamanya.

"Aku bosan di rumah. Jadi ke sini lebih awal."

Pemuda dengan tattoo lucu di masing-masing pipinya itu tersenyum lembut. Lalu mengacak pelan surai indigo Hinata dengan gemas. Bukan rahasia lagi jika Kiba menaruh hati pada Hinata. Tapi untuk Hinata sendiri belum mau berurusan dengan cinta-cintaan. Dan sebagai pria sejati, Kiba cukup tahu diri.

"Kau pucat sekali." Mata tajam Kiba nampak khawatir. "Pasti kurang tidur ya? Kou rewel?"

Hinata tersenyum dan menggeleng pelan. "Tidak kok, Kou itu bocah yang baik."

Kiba sudah tahu semua perihal masalah Hinata. Memang awalnya sulit akrab dengan gadis tertutup macam Hinata. Tapi semakin kesini Hinata sebenarnya gadis yang mudah bergaul. Hanya saja malu jika bertemu orang asing.

"Jangan memaksakan diri, oke? Kau bisa meminta bantuanku kapankun, kok. Kita… teman, kan?" ada rasa tak iklas saat menyebut kata teman. Kiba ingin lebih. Ia mau menjadi sandaran gadis rapuh seperti Hinata.

"Tentu! Kau juga, jika ada masalah bisa bercerita padaku. Jangan sungkan."

Detak jantung Kiba semakin tak beraturan saat melihat senyum tulus dari Hinata. Maunya hati menarik tubuh mungil itu untuk ia dekap, tapi ia sadar diri jika hubungannya dengan Hinata hanya sebatas teman.

Dan yang bisa pria Inuzuka itu lakukan sekali lagi hanya mengusap pucak kepala Hinata, sayang.

.

.

.

Jika ada yang bertanya hal apa yang paling ia benci, maka Naruto akan dengan tegas menjawab pengkhianatan. Menurutnya, pengkhianat itu adalah kalangan paling rendah dari semua kalangan yang ada di dunia.

Bahkan pengemis dijalan pun akan lebih baik dari pada pembohong ulung.

Menjadi anak tunggal membuat Naruto sulit bersosialisasi. Berwatak keras dan egois memang menjadi ciri khasnya. Ia akan baik pada orang yang menjalankan perannya dengan baik. Namun ia juga bisa menjadi mimpi buruk pada mereka yang tak tahu diri.

Seperti sekarang. Ingin sekali rasanya melempar pria paruh baya itu dengan meja besar yang sekarang ia duduki. Masa bodoh dengan kesopanan, toh manusia yang sekarang menggigil takut di hadapannya itu tak ada harganya. Mana mau Naruto repot-repot menjaga manner jika dirinya saja tak di hargai.

"Berapa keuntungan yang kau dapat?" nada Naruto santai dan terkesan main-main. Tapi yang seperti itu yang lebih berbahaya. Sulit ditebak apa yang akan penerus uzumaki tunggal itu lakukan.

"M-maaf tuan— a-aku dijebak d-dan…"

"Jawaban macam apa itu?" Naruto turun dari meja, berdiri tegak dengan memasukan kedua tangannya di saku celana. "Jawab yang serius. Kau itu melunjak ya,"

Ada sebersit keraguan saat dirinya ingin jujur. Sial memang, dirinya kurang berhati-hati dan menyepelekan mata elang Naruto.

"Ti-tidak sampai sepuluh kali li-lipat gajiku."

Seringai tipis Naruto berikan. Bagus juga si tikus gemuk itu mengaku.

"Untung saja mood ku sedang bagus hari ini," gumam Naruto. Matanya menajam, begitupun seringai yang makin melebar. "Bereskan barang-barangmu, pergi dari Tokyo sejauh mungkin. Jangan sampai menginjakan kakimu di dekatku."

Dewi fortuna sepertinya sedang menempel pada pria tambun itu. Sudah hafal sifat boss besarnya, tanpa basa-basi pria itu segera mengangkat kaki meninggalkan ruangan mewah yang seperti tempat eksekusinya. Mengucap syukur berkali-kali dalam hati karena hukumannya tak sampai membuatnya gigit jari. Pergi dari Tokyo bukan hal besar bagi perantau sepertinya.

"Dasar cecunguk," desis Naruto tajam.

Jika mengira Naruto adalah pria baik hati, maka siap-siap saja menjilat ludah sendiri.

Maksud mood baik itu tentu bukan untuk melepas pengkhianat yang sangat amat ia benci begitu saja. Hanya ia tak ingin mengotori tangannya kali ini dengan mengeluarkan pistol kecil yang selalu melekat apik di gespernya dan mengarahkan dengan senang hati tepat di dada kiri berlemak itu, atau memaksa pria tambun tadi meminum racun didepannya.

"Kakashi, urus tikus gemuk menjijikan itu."

Sambungan telpon diputus sepihak. Naruto tak perlu menjelaskan dengan detail permainan apa yang cocok untuk dedemit seperti itu. Kakashi yang sudah menjadi tangan kanannya cukup lama pasti hafal bagaimana cara memuaskan amarah Naruto.

.

.

.

TBC~

Hay— iya ini multichap kkkkk

Tapi ada beritanya, bahwa daku hanya akan bisa update akhir pekan. Kalau beruntung, hari biasa bisa. Cari celah aja. Hehehe

Lagipula dikit lagi liburan, author yang gabut dan gak punya duit kek aku paling dirumah aja.

So— happy reading!

Thanks to put attention on my ff!

Salam LLYchu~