Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto
Secret Marriage
Warning! Fic ini mengandung unsur: AU/OOC/typo/abal/gaje/dan kawan-kawannya!
Secret 1: Last Will
"Uuugh…" rengek seorang gadis. Surai merah jambunya terlihat mencolok sekali diantara manusia-manusia lain yang mengisi KRL Konoha pagi itu. Ia terlihat kepayahan berdesak-desakan dengan penumpang KRL yang lainnya. Ia bahkan tak bisa bergerak saking banyaknya orang di sekitarnya. 'Kapok naik KRL deh, kalau begini caranya.' batinnya mengeluh. Ia tak menyangka harus berdesak-desakan seperti ini kurang lebih 2 stasiun lagi.
Gadis itu adalah Sakura Haruno, usianya 18 tahun. Ia murid kelas 3 Konoha Gakuen yang sedang dalam masa-masa menjelang ujian kelulusan. Ia berasal dari keluarga sederhana pertengahan. Tahu kan? Tidak kaya tapi juga tidak miskin. Pagi itu ia tidak naik sepeda seperti biasanya karena ban sepedanya bocor tepat saat ia akan berangkat sekolah. Hanya KRL ini satu-satunya alternatif kendaraan yang bisa ia gunakan menuju sekolahnya, dan ia tidak terbiasa.
KRL berhenti bergerak di stasiun pertama, diikuti dengan terbukanya pintu penumpang. Seketika itu orang-orang berdesak-desakan lagi untuk cepat-cepat turun dari KRL. Sakura kini terdorong kesana kemari oleh arus manusia yang berdesak-desakan itu, tapi tiba-tiba sebuah desakan kuat dari arah depan membuat ia terdorong jatuh ke belakang.
Sakura limbung. Kaki kecilnya tak mampu menyeimbangkan tubuhnya, "E-eeh~!"
GUBRAK!
Sakura sukses jatuh terduduk di lantai KRL. Punggungnya yang – untungnya – dilindungi tas sekolahnya membentur dudukan kursi. Meskipun begitu, ia merem-merem kesakitan merasakan pantatnya yang menghantam keras lantai KRL. Belum lagi, ia merasakan sesuatu yang asing menekan dadanya.
Eh? Dada?
Sakura membuka matanya dan melihat seorang cowok emo dengan gaya rambut pantat ayam aneh berlutut dihadapannya. Sepasang mata onyx gelapnya terbelalak lebar. Sakura melihat kedua tangan cowok itu kini menempel manis di dada Sakura.
Hening sesaat. Bahkan orang-orang disekitar mereka mematung melihat adegan itu.
"KYAAAA! DASAR MESUUM!"
DHUUAKKK!
Tendangan Sakura mendarat tepat di perut cowok itu, membuatnya terpelanting ke belakang seketika.
Sakura sampai di stasiun tujuannya. Ia turun dari KRL, dan kaget begitu melihat cowok bermata onyx tadi juga turun di stasiun yang sama. Sakura membuang muka karena takut, cowok itu juga membuang muka tapi karena kesal. Perut cowok itu masih sedikit nyeri karena tendangan Sakura, belum lagi cap sepatu Sakura tercetak jelas di kemeja putih bersihnya. 'Benar-benar hari yang sial,' batinnya.
Sakura masuk ke kelasnya yang kini hampir sama gaduhnya dengan pasar. Maklum saja, wali kelasnya – Iruka Umino – belum datang. Jadi sebagian murid cewek menggosip ria, sementara murid-murid cowok heboh membicarakan sesuatu yang lebih baik tidak diketahui anak-anak dibawah umur.
Sakura duduk di bangkunya, pandangannya kosong seperti zombie, 'Aku merasa kotor,' batinnya mengeluh dramatis ketika mengingat kejadian di KRL tadi.
Sahabat pirang Sakura mencium gelagat aneh dari gadis merah jambu kita. Ia mendekati Sakura dan menepuk bahu sahabatnya itu, "Hei, forehead. Kau kenapa?"
Gadis merah jambu itu malah mendaratkan jidat lebarnya ke meja. "Sekuhara*" bisiknya lirih. Liriiih sekali hampir seperti desiran angin.
"APA? SEKUHARA?" si pirang itu, Ino Yamanaka berseru histeris. Sontak seluruh kelas menoleh padanya, terutama para cowok.
Masih dengan jidat menempel di meja, kaki Sakura menggilas kaki Ino dengan sempurna, membuat sahabat pirangnya itu meringis kesakitan. Tepat saat Ino akan membalas Sakura, Iruka-sensei datang. Ino terpaksa duduk kembali di tempat duduknya setelah berbisik – tepatnya mengancam – pada Sakura, "Kau nanti harus menceritakannya padaku, forehead!"
Semua segera kembali ke tempat duduk masing-masing, "Selamat pagi semuaa~" sapa Iruka-sensei. Hari ini ia ceria seperti biasanya.
"Seelaamat paagiii Seeenseeeeii~" balas murid-muridnya seperti anak TK.
"Baguus, rupanya kalian semangat sekali hari ini! ~hei Sakura. Ayo duduk yang benar!" Iruka-sensei menasihati Sakura yang jidatnya masih mendarat manis di permukaan meja.
"Maaf sensei~" gadis dengan rambut sewarna permen kapas itu akhirnya menegakkan duduknya.
"Di pagi yang cerah ini, aku akan memperkenalkan seorang siswa baru. Ia pindahan dari Amerika. Semoga kedatangannya dapat menambah semangat belajar kita, ya!" Iruka-sensei basa-basi dulu sebelum mempersilakan murid baru itu masuk. Terdengar bisik-bisik rendah dari seluruh penjuru kelas. Seorang murid baru di pekan-pekan terakhir menuju ujian kelulusan? Menarik sekali.
"Yak, silakan masuk!" Iruka-sensei memberi izin. Kemudian pintu kelas terbuka. Seorang cowok emo dengan rambut mencuat ke atas berjalan masuk ke dalam kelas. Jas seragamnya tidak dikancing. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya.
Tunggu. Sepertinya Sakura pernah melihatnya… hm, dimana ya? Apa di peternakan ayam ayahnya di Sunagakure? Bukan, bukan. Rambutnya saja yang seperti pantat ayam.
Cowok itu berhenti, lalu berputar 90 derajat untuk menyapa teman-teman barunya. Terdengar seruan kagum dari murid-murid cewek, sementara murid-murid cowok terlihat tidak suka. Tentu saja tidak suka, karena mereka merasa terintimidasi oleh ketampanan si murid baru.
Sakura masih berusaha mengingat-ingat, lalu ia mendapati cap sepatunya tercetak jelas di bagian perut kemeja cowok itu. Bagai tersambar petir, Sakura langsung ingat semuanya. 'D-dia kan… yang di kereta…' Bagaimana Sakura bisa lupa? Bukannya baru tadi pagi mereka bertemu? Bertemu dengan cara yang 'mengesankan' pula. Sakura langsung gelagapan seperti melihat hantu.
Cowok di depan kelas itu terlihat tak kalah terkejut, tapi dengan pandai ia menyembunyikannya.
"Hajimemashite. Aku Sasuke Uchiha." katanya singkat, padat dan kurang jelas bagi para cewek yang penasaran dengannya. "Aku harap kita bisa berteman baik," lanjutnya dengan nada sedingin es.
'Berteman baik apanya dasar mesum!' batin Sakura, berbeda 180 derajat dengan tanggapan teman-teman ceweknya yang lain seperti, "Tentu saja Sasuke-kun!" atau "Sasuke-kun aku mau jadi temanmu!" atau "Lebih dari teman juga tidak masalah!"
"Oh, Sasuke-kun kenapa kemejamu kotor seperti itu?" tanya Iruka-sensei setelah melihat cap sepatu terlukis artistik di seragam murid barunya.
'Mati aku, mati aku, mati aku!' Sakura panik sendiri. 'Jangan bilang…'
"Hanya kecelakaan kecil." jawab Sasuke enteng. Tapi jelas kini ia memandang Sakura setajam silet.
"Jadi Sasuke itu…" Ino tidak melanjutkan kata-katanya. Bagaimanapun ia masih tidak percaya kalau murid baru itu mesum seperti yang diceritakan Sakura.
Sekarang adalah jam makan siang di kafetaria Konoha Gakuen. Sakura kini sudah dikelilingi 2 orang teman sekelasnya. Ino Yamanaka dan seorang gadis berambut indigo dengan potongan hime-cut, Hinata Hyuuga. Mereka penasaran dengan kronologi 'sekuhara' yang dialami Sakura di KRL tadi pagi.
"Trus, cap sepatu di bajunya tadi itu… cap sepatumu?" Ino bertanya lagi. Sakura mengangguk.
Sementara itu Ino justru geleng-geleng kepala, "Aku yakin dia sebenarnya tidak sengaja melakukannya. Kasihan Sasuke-kun."
BLETAK! Jitakan manis mendarat di kepala pirang Ino. "Jadi kau membela pervert itu? Yang ada itu aku yang kasihan. Dia sih, pasti sengaja pegang-pegang dada cewek sembarangan."
Ino melirik dada Sakura yang tidak terlalu berisi. "Memangnya apa yang bisa diharapkan dari dadamu itu, hah?" Keduanya pun terlibat perang mulut.
"Eh, li-lihat Sakura-chan, dia memandangimu terus." lapor Hinata, menghentikan kericuhan diantara kedua sahabatnya itu.
Sakura melirik Sasuke dan memang, pemuda berambut raven spektakuler itu sedang memandanginya. Gadis merah jambu itu langsung berdiri dari kursinya, risih dipandangi seperti itu. "Tuh kan, apa kubilang. Sudah, aku mau pergi saja dari sini."
Di kubu Sasuke…
"Teme, kenapa kau tidak bilang mau sekolah disini?" tanya seorang cowok berambut jabrik kuning, agak kesal. Cowok itu namanya Naruto, dari kelas sebelah. Ia teman masa kecil Sasuke. Kepulangan Sasuke dari Amerika ini membuatnya agak merasa dikhianati karena Sasuke tidak cerita apa-apa padanya.
"Aku tidak berniat masuk sekolah ini, Dobe. Ibuku yang memaksa." jawab Sasuke tanpa memandang Naruto. Mata onyx kelamnya memandangi kepergian Sakura dari kantin.
"Teme, kau melihat siapa sih?" tanya Naruto yang sadar kalau pandangan Sasuke fokus ke arah lain. Ia melihat kemana mata onyx sahabatnya mengarah, lalu tersenyum simpul, "Oooh, Sakura-chan,"
"Sakura?" Sasuke tidak paham. "Ooh, namanya Sakura?"
Naruto tertawa. "Hahaha, kau masih baru sih, jadi jelas nggak tahu. Jangan banyak berharap padanya deh. Sakura itu cewek jadi-jadian. Dia itu bungkusnya saja yang cewek. Dalamnya? Lelaki tulen."
"Oh ya?"
"Iya! Dia itu sudah sabuk hitam di berbagai macam bela diri! Trus, dia juga terkenal tidak takut apapun! Dia juga terkenal dengan tendangan gledeknya! Macho sekali, kan?" Naruto menceritakannya dengan berapi-api.
Sasuke yang mendengarnya terlihat kesal, 'Pantas saja perutku masih nyeri karena tendangannya tadi pagi.'
Pulang sekolah, Sakura sangat bersyukur karena sudah tidak naik KRL lagi. Ia sepertinya trauma berat atas kejadian tadi pagi. Sebagai gantinya, Sakura dijemput kedua orangtuanya dengan sebuah mobil mini keluaran tahun 1985. Pokoknya mobil yang sudah terlihat tua sekali, dan kalau dijual pasti nilainya rendah sekali.
Sakura terheran-heran ketika ia menyadari ayahnya, Kizashi Haruno, mengemudikan mobilnya melalui jalan yang belum pernah ia lewati.
"Lho, kita mau kemana?"
"Ke rumah paman Fugaku. Kau masih ingat 'kan? Jangan bilang kau lupa." jawab ibunya, Mebuki Haruno.
Ditanya seperti itu, Sakura mencoba mengingat-ingat. Dulu, ketika ia masih duduk di bangku TK, memang ada seorang pria seumuran ayahnya – nyatanya pria itu adalah teman kuliah Kizashi – yang sering berkunjung ke rumah sambil membawa kue-kue yang enak untuk keluarga Haruno. Sakura memanggilnya paman Fugaku. Fugaku juga sering memberi hadiah yang mahal-mahal untuk Sakura. Sakura sendiri heran kenapa Fugaku begitu baik padanya. Apa jangan-jangan ia ini anak Fugaku yang tertukar atau bagaimana.
Tapi saat Sakura menanyai ayahnya tentang kebenaran itu – namanya juga anak berusia 5 tahun yang ingin tahu – Kizashi, tentu saja menjitak kepala Sakura sampai benjol. "Ngomong apa kau ini, Sakura-hime. Tentu saja kau anak tou-san dan kaa-san, rambut kita saja punya warna yang hampir sama. Fugaku sayang padamu karena semua anaknya laki-laki. Ia ingin punya anak perempuan, tapi istrinya bilang capek melahirkan. Akhirnya ia menganggapmu sebagai putrinya sendiri."
Mulai saat itu, Sakura menganggap Fugaku sebagai 'Ayah Kedua yang Sering Memberi Hadiah'. Semacam itulah.
Sakura kembali ke masa kini. "Tentu saja ingat. Memangnya ada acara apa kita kesana?"
Kizashi mendesah pelan, "Ia sakit, sayang. Kurasa kalau ia melihatmu sakitnya agak berkurang."
Mobil mini tua yang ditumpangi keluarga Haruno telah sampai di sebuah rumah bergaya tradisional Jepang. Di pintu masuknya tertulis huruf kanji, 'Uchiha' dan lambang kipas merah-putih di sampingnya. Sakura tiba-tiba merasa ada yang tidak beres. Ketika turun dari mobil, Sakura bahkan enggan untuk melangkah masuk ke bangunan utama rumahnya.
"Kenapa Sakura?" tanya ibundanya. Mebuki melihat Sakura seperti akan diajak masuk ke rumah hantu saja.
"Marga paman Fugaku itu… Uchiha?" Sakura bertanya untuk memastikan kalau Uchiha yang ini tidak ada hubungannya dengan Uchiha di sekolahnya yang pervert.
"Iya, terus?" Mebuki seperti tidak sabaran.
"Kau ini kenapa, Sakura?" ayah Sakura mulai kebingungan.
"Ano… apa~"
Sebelum Sakura sempat bertanya, seorang wanita dengan rambut panjang berwarna gelap datang menghampiri keluarga Haruno di halaman. Wanita itu adalah istri Fugaku, Mikoto Uchiha. "Ah, selamat datang! Ayo masuk!"
Rumah bergaya tradisional Jepang itu ternyata tidak sepenuhnya terlihat tradisional. Interior rumahnya adalah nuansa campuran antara Jepang dan barat, antara tradisional dan modern. Perabotannya juga, berani dijamin kalau otomatis dan canggih-canggih semuanya. Mesin penghangat ruangan otomatis, pintu otomatis, kloset otomatis, meskipun untuk yang terakhir ini Sakura tidak yakin. Tapi pesona rumah ini cukup kuat untuk membuat Sakura lupa akan pertanyaan tentang 'hubungan Fugaku Uchiha dengan Sasuke Uchiha'.
"Sakura, paman Fugaku sudah menunggu di kamarnya. Ia kangen sekali padamu." kata Mikoto pada Sakura. Kemudian ia mengantar Sakura masuk lebih jauh ke dalam rumah. Tak lama kemudian, mereka sampai di depan sebuah kamar. "Masuklah."
Pintu kamar dibuka. Sakura melihat seorang pria terbaring di tempat tidur, menatap bunga-bunga sakura berguguran di luar jendela. Tiang infus berdiri di sampingnya, dengan kabel infus yang tersambung di nadi pria itu. Sontak Sakura ingin menangis, karena tiba-tiba ia membayangkan bagaimana kalau ayahnya sendiri yang berada dalam kondisi seperti itu.
"Selamat sore paman," sapa Sakura.
"Oh, Sakura-chan." balas Fugaku. "Melihat bunga sakura itu, aku jadi ingat padamu. Kau sendirian?"
"Tidak, paman. Tou-san dan kaa-san di ruang depan." Sakura mengambil kursi lipat yang ada di situ, lalu duduk di samping tempat tidur Fugaku. "Bagaimana keadaan paman? Paman sakit apa?"
"Yah, seperti yang kau lihat ini. Biasa, penyakit tua," Fugaku menjawab sambil tersenyum, kemudian memandang keluar jendela lagi. Matanya menerawang, "Hh, andai aku tahu berapa lama lagi akan bertahan di dunia yang fana ini, oh…"
"Paman ini bicara apa sih? Paman pasti akan sembuh! Kalau paman sembuh, akan kubuatkan kue-kue seperti yang pernah paman bawakan untukku dulu." bujuk Sakura, seperti membujuk anak kecil saja. Padahal pria di depannya itu sudah hampir setengah abad usianya.
"Terimakasih Sakura, tapi percuma. Dokter bilang, paman tidak akan bertahan sampai 3 bulan kedepan,"
'Eh? Serius?' batin Sakura tak percaya. "Paman jangan bercanda."
Fugaku menggenggam tangan kecil Sakura. "Paman tidak bercanda, Sakura. Kalau boleh, paman minta satu hal saja darimu dan paman akan bahagia sekali."
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Sakura menoleh dan melihat sosok dengan rambut pantat ayam muncul di baliknya. "Tadaima, Otou-san."
Sasuke memandang Sakura. Sakura balik memandang Sasuke. Dua-duanya langsung membeku, mematung.
Jadi Sasuke Uchiha itu anaknya Fugaku Uchiha? Oke, kecurigaan Sakura terbukti sudah.
"Okaeri, Sasuke." Fugaku tiba-tiba terlihat ceria sekali. "Ah, kebetulan. Kemarilah, nak. Lihat, calon istrimu datang menjenguk tou-san. Manis sekali, kan?"
Mata Sakura terbelalak lebaar sekali, sampai sepertinya hijau emeraldnya itu akan menggelinding keluar dari rongganya saja. 'Sepertinya barusan aku mendengar kata-kata istri, itu tidak benar kan? Pendengaranku pasti salah, kan?'
Sasuke berjalan menghampiri ayahnya. Ekspresi di wajahnya datar sekali seperti triplek. Fugaku meraih tangan Sasuke dan menumpuknya dengan tangan Sakura. Matanya berkaca-kaca. "Kalian berdua, menikahlah. Ini permintaan terakhirku. Melihat kalian berdua menikah adalah permintaan terakhirku."
BLAM! Sakura kesal. Ia membanting pintu mobil keras-keras – tak peduli pintu itu akan rusak – agar orangtuanya tahu kalau ia sedang bad mood. Sebenarnya tanpa perlu diberitahu pun orangtua Sakura sudah tahu kalau putri semata wayang mereka sedang ngambek. Terlihat dari kerut-kerut yang terbentuk di jidat lebarnya.
Kizashi dan Mebuki saling melirik, seiring dengan mobil yang mulai bergerak untuk pulang ke rumah Haruno. 'Sepertinya ia sudah tahu apa maksud kita mengajaknya kemari.'
"Maksud tou-san dan kaa-san mengajakku kemari itu… apa ya?" tanya Sakura ingin memastikan. Nadanya memang manis, tapi aura kegelapan sangat terasa menyelimuti gadis merah jambu itu.
Kizashi memandang Mebuki untuk meminta dukungan, tapi istrinya itu tiba-tiba mengalihkan pandangan keluar jendela mobil, seolah mengamati pemandangan diluar jauh lebih penting daripada membantunya menghadapi kekesalan Sakura. Benar-benar tidak bisa diharapkan.
Kizashi mengelap bulir-bulir keringat sebesar biji jagung di pelipisnya yang entah kapan munculnya. Menjadi seorang ayah yang menghadapi kekesalan Sakura sama saja seperti menjadi matador yang menjinakkan banteng liar. "Tentu saja untuk menjenguk paman Fugaku, Sakura-hime." jawab Kizashi, separo jujur. Separo jujur karena niatnya yang separo lagi jelas-jelas untuk menjodohkan Sakura dengan putra bungsu Fugaku, Sasuke.
"Tidak. Aku tahu ada niat lain." tolak Sakura mentah-mentah. "Tou-san dan kaa-san berniat menjodohkanku dengan Sasuke, kan?"
JLEB! Tebakan Sakura tepat sasaran.
"Sakura-hime, begini ya," Kizashi mencoba menjelaskan, "Fugaku adalah sahabat tou-san. Ia sudah banyak membantu tou-san, apalagi ketika pertama kali kita pindah ke Konoha 13 tahun yang lalu. Ia juga yang membantu usaha tou-san, bersedia membuka peternakan ayam di Suna, memberimu banyak hadiah, pokoknya ia sudah memberi banyak pada keluarga kita. Tou-san hanya bisa melakukan ini untuk membalas kebaikannya pada keluarga kita."
"Tapi ini pernikahan, tou-san, kaa-san," Sakura mulai panik. Bagaimanapun, ia kan belum lulus sekolah, apa orangtuanya tidak sadar? "Orang-orang pasti akan berpikiran negatif kalau tahu aku menikah di usia semuda ini."
Kizashi dan Mebuki tahu kalau putri mereka akan mengeluarkan argumen seperti itu. "Kalau begitu jangan sampai ada yang tahu."
'Sial!' pikir Sakura. Ia mencoba mencari argumen baru untuk mematahkan keputusan orangtuanya, "Dan Sasuke! Ya ampun, aku saja tidak mengenalnya."
"Karena itu pernikahan ini dibuat agar kalian dapat mengenal satu sama lain, sayang." kini Mebuki yang menjawab.
Hening. Sakura tahu ia akan kalah berdebat melawan orangtuanya. Tapi tiba-tiba sebuah pemikiran 'dewasa' terlintas di benaknya. "Bagaimana kalau aku segera hamil?"
Kizashi nyaris membanting setir ketika mendengar perkataan Sakura.
"Tidak mungkin, kalian kan belum mengenal satu sama lain," Mebuki tetap tenang, tidak seperti Kizashi yang nyaris jantungan karena membayangkan Sakura dengan perut buncitnya ikut belajar di sekolah. Ayah mana yang tidak gila membayangkan putri semata wayangnya menderita seperti itu? "Kalaupun itu terjadi, paling cepat adalah saat kalian lulus sekolah nanti. Dan saat itu tiba, kalian sudah bebas dari peraturan sekolah, jadi kalian aman." Mebuki masih nyerocos.
Sakura yang mendengarnya langsung merengut, sementara Kizashi lega sekali. Setidaknya imajinasinya tadi terlalu berlebihan.
"Anggap saja pernikahan ini terjadi demi alasan kemanusiaan, Sakura." Kizashi mulai bisa membesarkan hati Sakura.
Lampu merah traffic light menyala, mobil pun berhenti. Mebuki memutar sedikit posisi duduknya agar bisa menatap wajah putrinya yang duduk di jok belakang, "Ya, anggap saja pernikahan ini terjadi demi alasan kemanusiaan, Sakura. Lagipula Fugaku hanya meminta menjadi mertuamu, apa itu salah? Kami tahu ia sayang padamu seperti kami menyayangimu, nak. Kami akan lega sekali kalau Fugaku dan Mikoto yang menjadi mertuamu karena itu artinya kami menyerahkanmu pada keluarga yang benar. Oh ya, Sasuke-kun juga sepertinya pemuda yang baik. Dan lagi, kau sadar tidak kalau dia itu tampan sekali?" jelas Mebuki panjang lebar, mengelus surai merah muda Sakura dengan lembut.
Sakura mendesah. Ia tahu, kali ini ia kalah telak. Tak ada pilihan lain baginya selain mengikuti kata-kata orangtuanya.
~To Be Continued~
*sekuhara = sexual harassment = pelecehan seksual
(A/N): uwaaah, chapter 1 fic pertamaku ini akhirnya selesai. Temanya memang klasik sih, tentang perjodohan. Aku sadar masih banyak kekurangannya juga, namanya juga fic pertama. (mungkin ada yang mau mengoreksinya satu2? #dhuakk) Gimana menurut kalian, readers? Read and review please, demi kenyamanan kita bersama ;) thank you
~Regards, Roraitori~
