.
.
.
.
.
.
.
Kamichama Karin © Koge Donbo
Warning:
Cerita ini hanyalah fiksi belaka.
DLDR
Selamat Membaca
.
.
.
.
.
.
.
"Kau yakin tidak mau menunggu sampai Kazune bangun?"
"Tidak usah Tou-san. Aku bisa bertemu dengan Kazune di sekolah nanti."
"Kazune pasti mau mengantarmu pulang kalau ku minta."
Karin menggeleng. Tetap menolak. "Kazune pasti lelah mencariku seharian kemarin. Dia butuh istirahat yang banyak. Aku bisa pulang sendiri."
Kazuto menghela napas. Tidak tahu harus berkata apa lagi untuk membujuk Karin agar tidak pulang sendirian atau setidaknya menunggu sampai matahari terbit.
"Kalau begitu, aku pulang dulu Tou-san. Sampaikan salam ku pada Kaa-san." Pamit Karin. Melambaikan tangannya.
Sekali lagi, Kazuto menghela napas.
"Hhh... Kazune pasti marah." Gumamnya, terpaksa melepas Karin pergi. Dia baru masuk ke dalam mansion setelah memastikan Karin keluar melewati gerbang utama dengan selamat.
Well, sebenarnya ini yang Kazuto khawatirkan.
.
.
.
"Sakuragaoka ya?" Karin menatap papan nama sekolah barunya dengan bingung. Tidak ada siapa pun disana. Selain dirinya dan kesunyian. Pakaiannya masih sama dengan yang kemarin dia pakai. Sejak awal dia tidak berencana untuk pulang ke rumah melainkan pergi ke sekolah lebih awal sebelum murid lainnya datang.
Dengan cekatan, tangan dan kakinya bekerja, memanjat gerbang sekolah.
"Yosh, waktunya berkeliling." Katanya semangat.
Dimulai dari bagian depan, loker, Karin mengecek satu persatu nama yang tertulis disana sambil menggumamkan satu nama. Miyon Yi.
"Ah! Ketemu!" Serunya senang.
"Tapi, sepertinya kurang sopan kalau aku tidak memberikannya secara langsung." Pikirnya.
Rupanya Karin ingin mengembalikan kostum yang dipinjamnya kemarin. Nama pemiliknya tertulis jelas di bagian kerah. Memudahkannya untuk menemukan si pemilik.
Tapi, apa tidak ada waktu lain untuk mengembalikan barang pinjaman? Pemilik barangnya saja mungkin masih tidur cantik di rumahnya.
Demi apapun, ini masih pagi buta Karin!
"Ya sudah, nanti ku titip kan saja pada Rika." Putusnya. Menggunakan perantara Rika. Bukan kah itu sama saja dia tidak mengembalikannya secara langsung ya?
Sungguh. Pikiran Karin sulit di deteksi!
Sekarang saja dia sedang melanjutkan tur di sekolah barunya itu.
Karin mengecek satu persatu ruang kelas, lalu kantin, gelanggang olahraga, taman, perpustakaan, toilet, kolam renang dan kakinya sudah tidak sanggup lagi untuk berjalan.
Sekolah ini luas sekali! Keluhnya sambil meniti tangga.
"Huaaa... Akhirnya sampai juga disini. Yey!" Katanya senang, berhasil menemukan akses masuk menuju atap sekolah.
Kakinya melangkah riang. Tidak selemas sebelumnya.
"Kirei ~ " Pujinya.
Matahari terbit, menyinari sebagian sekolah dengan sinar orangenya, Karin menempatkan dirinya di dekat pembatas. Mencengkram pagar kawat sambil melihat keajaiban alam. Burung-burung berkicau menyambut datangnya pagi. Semilir angin berhembus, Karin merapatkan jaket merah mudanya. Menghalau udara dingin. Matanya tidak lepas dari pesona alam yang terpapar jelas dihadapannya.
Dahinya mengernyit bingung, merasa ada yang salah. Kepalanya menengok ke kiri lalu ke kanan dan menemukan sebuah pita hitam mencurigakan. Pita itu terikat di tengah-tengah pagar kawat. Tanganya meraih pita hitam tersebut, terukir nama Rika Karasuma disana.
"Akkkhhhh! Rika menyebalkan! Licik! Tukang paksa! Dia pasti sudah melihat ini. Makanya dia sangat percaya diri saat mengatakan aku pasti menyukai Sakuragaoka." Gerutunya sebal sambil meremas-remas tangannya gemas lalu menendang udara kosong. Absurd sekali.
Ya, diantara semua orang yang Karin kenal. Rika lah yang paling tahu apa yang Karin suka. Selain melukis, Karin sangat suka berada di tempat tinggi.
Dia juga sudah tahu kebiasaan Karin yang suka melakukan penjelajahan rahasia pagi-pagi buta di tempat yang menurutnya asing.
Ini adalah senjata rahasia terakhir Rika supaya Karin bersedia pergi ke sekolah. Tanpa perlu dipaksa olehnya.
Mau tidak mau, kalau sudah diberi hadiah seindah ini. Karin sudah pasti nggak bisa mundur lagi.
Semua sudah diperhitungkan.
Rika sialan.
Berani sekali dia menusuk Karin dari belakang. Pikirnya.
"Hhhh... apa boleh buat, sebaiknya aku turun dan melihat seperti apa calon teman ku nanti."
Benar kan?
Cukup sogok Karin dengan pemandangan yang menggentarkan hati dan semua selesai!
.
.
.
"Kyaaaaa... Kujyou-kun!"
"Michiru-sama! Ohayou!"
Kazune dan Michiru datang bersamaan.
Satu berwajah masam dan satunya lagi kelewat ceria.
Seperti biasa, mereka berdua mengabaikan teriakan histeris tersebut.
Rutinitas yang membosankan dan terlihat menarik untuk sebagian orang.
"Nee, Kazune, kau sudah bertemu dengan Hanazono?" Tanya Michiru penasaran.
Kazune tidak langsung menjawab, dia justru melirik Michiru tajam, membuat Michiru terheran-heran.
'Aku salah bicara ya?' Pikirnya.
"Kazune-chan, Michi, ohayou ~ " Sapa Himeka dengan suara lembutnya yang halus. Dibelakangnya, Kazusa berjalan bersisian dengan Rika.
Himeka dan Kazusa semalam menginap dirumah Rika. Mengira Karin ada disana, tapi ternyata tidak ada.
"Ohayou mo, Himeka, Kazusa dan..." Michiru diam sebentar, berusaha mengingat apakah dia pernah berkenalan dengan seorang gadis berambut hitam. Rasanya wajahnya tidak asing lagi. "...Rika?" Panggilnya ragu. "Jadi, murid baru yang dikabarkan menghilang itu bukan Hanazono tapi kau?" tebaknya yang langsung mendapat jitakan gratis dari Kazusa.
"Baka!" Katanya mengejek.
"Hei! Apa salahku? Aku kemarin tidak melihatnya." Bela Michiru, menunjuk Rika.
Dia berkata benar. Kemarin michiru tidak sempat bertemu dengan Rika. Dia hanya mendapat kabar dari Kazune kalau Karin menghilang.
"Lama tidak berjumpa Michiru." Ucap Rika. Tersenyum manis.
"Dan dimana Karin?" Tanyanya pada Kazune. "Bukankah harusnya dia bersama mu?"
"Tidak. Dia sudah pulang sejak pagi." Jawab Kazune, datar.
"Ya ampun. Akhirnya dia menyerah juga. Baguslah." Rika menyeringai senang. Bisa menebak kemana perginya Karin.
"Siapa yang menyerah? Hanazono?" Tanya Michiru tidak mengerti.
"Ya. Aku sedikit kesulitan untuk membawanya kemari. Tapi, sekarang sudah tak apa."
"Kesulitan? Memangnya dia kenapa?"
Kazusa mencolek bahu Michiru dengan jarinya. Michiru menoleh, matanya menyipit, berusaha membaca tulisan di ponsel Kazusa. Isinya berita konyol tentang lomba tarik menarik antara dua gadis manis yang tak di ketahui namanya. Salah satu foto gadis yang ada di dalam pemberitaan itu sedang berdiri dihadapannya sekarang. Michiru langsung paham.
"Kau memaksa Karin untuk sekolah?"
Dia pun mengganti pertanyaannya dengan nada tak percaya
Rika tersenyum misterius. "Kadang ada hal yang perlu kita ketahui dan tak perlu kita ketahui." Kakinya kembali melangkah. "Ayo, sebentar lagi bel masuk berbunyi." Ajaknya.
Tidak berniat memberitahu mereka.
Bukan hanya Michiru saja yang menatap punggung Rika penasaran. Tapi... Kazune, Kazusa dan Himeka juga, mereka bertiga satu pemikiran dengan Michiru.
Rika menyembunyikan sesuatu dan sesuatu itu berkaitan dengan Karin.
Sementara itu, di tempat lain dan diwaktu yang sama.
Karin terjebak bersama seekor kucing.
"Sakit ya?" Tangannya mengelus lembut penuh perhatian pada kucing yang terbaring lemah dipangkuannya. Kaki kucing tersebut terluka. Karin menemukan kucing itu di halaman. Dia membawanya ke ruang kesehatan untuk di obati. "Tahan sebentar ya. Sebentar lagi, petugas kesehatan datang."
.
.
.
"Namaku Karin. Hanazono Karin. Pindahan dari Prancis. Salam kenal." Ucap Karin memperkenalkan dirinya sambil mengelus kepala kucing yang tidur nyaman dalam pelukannya.
Michiru mengusap matanya pelan, mengira Karin yang berdiri di depan kelasnya hanyalah ilusi atau hayalan dirinya saja. Jarinya menjulur kesamping, mencolek Kazune. Kemudian bertanya tanpa suara, 'Itu Hanazono?'
Kazune mendengus. "Hm"
Jelas itu Karin. Tidak ada yang salah dengan penglihatan Michiru.
'Mengapa dia disini?'
Kazune menggedikkan bahunya. Tidak tahu.
"Hanazono-san?" Panggil gurunya.
"Ya?"
Karin pikir Gurunya akan meminta dia untuk duduk. Karin merasa tidak nyaman menjadi pusat perhatian.
"Bisa taruh kucing kotor itu di luar?"
Tapi ternyata bukan.
"Kenapa?"
"Karena itu bisa mengganggu waktu pembelajaran."
Mata Karin mengerjap tidak mengerti. Menganggu? Bagaimana bisa kucing dengan luka di kaki bisa mengganggu pembelajaran? Bahkan untuk mengeong saja sulit! Pikirnya.
"Kau mau kemana?" Tanya gurunya bingung melihat gelagat aneh Karin. Menghentikan gerakan Karin yang akan membuka pintu.
"Jika ingin membuang kucing kotor itu bisa lewat jendela."
Karin menatap jendela yang di tunjuk oleh gurunya. Lalu beralih menatap Michiru yang sedari tadi bergerak tidak jelas, berusaha memberinya kode untuk tidak membantah guru satu itu. Sayangnya Karin tidak menangkap maksud Michiru, dia memberi Michiru kedipan mata jangan khawatir. Michiru menepuk jidatnya pasrah.
"Keluar, sensei." Jawab Karin kalem.
"Apa?"
"Bukankah tadi sensei menyuruhku untuk keluar. Aku Permisi."
Lalu dia keluar begitu saja, hampir satu kelas dibuatnya tercengang melihat aksi beraninya.
"Gawat. Hanazono dalam masalah besar." Gumam Michiru cemas melihat wajah gurunya yang sudah berwarna merah. Menahan marah. Sementara Kazune mengerutkan alisnya tipis seolah sedang menilai sesuatu.
Nina-sensei bernapas satu-satu. "Kerjakan soal latihan halaman 77! Jika tidak selesai, lanjutkan hal 121 -132. Bawa kerumah dan kumpulkan besok pagi!"
"Tapi, Nina-sensei itu...
"Tidak ada bantahan! Jika tidak selesai, lari 10 putaran!"
Nina membanting pintu kelas dengan keras.
"Yang benar saja! Masa kita yang jadi sasaranya. Padahal jelas anak baru itu yang cari gara-gara."
"Hukumannya tidak tanggung-tangung lagi. Bisa-bisa kita semua lari di lapangan besok pagi."
"Minta tolong pada guru les untuk menyelesailan soal yang bahkan kita belum pelajari rasanya percuma saja. Kalau satu soal sih, masih bisa di atasi. Lah ini! Puluhan! Matimatika lagi!"
"Kita benar-benar mati."
"Tamat sudah riwayat kita."
Michiru menahan senyumnya. Tidak baik tertawa di atas penderitaan orang lain. Sekalipun komentar teman-temannya itu menggelitik telinganya. Tapi, dia tidak boleh jahat dengan menertawakan mereka.
Matematika memang pelajaran mematikan. Apalagi kalau gurunya galak seperti Nina. Mereka benar-benar tamat. Kecuali jika Kazune bersedia memberi mereka contekan.
"Yah, itu tidak akan terjadi kalau bukan dia yang minta." Gumam Michiru dengan suara kecil.
"Mau kemana Kazune?" Tanyanya melihat Kazune yang sudah berdiri.
"Toilet."
Michiru tersenyum miring. Tidak percaya. "Paling mengejar Hanazono."
Pandangannya beralih pada buku tebal di atas mejanya.
"Hhhh... satu-satunya yang bisa menyelamatkan ku dari soal mematikan ini adalah profesor."
.
.
.
"Kenapa guru tadi terlihat marah ya? Dia juga tega menyuruhmu turun dari lantai tiga lewat jendela. Padahal kakimu sedang sakit, hmmm..." Ucap Karin berusaha memecahkan teka-teki dalam pikirannya. Dia heran saja, apa gurunya tidak merasa kasihan melihat kucing manis kesakitan?
Atau gurunya itu takut kucing?
Keningnya mengenyit penasaran.
Ya, mungkin saja.
"Hhh.. hampir saja aku ingin menghilang lagi." Katanya menghela napas.
"Enaknya pergi kemana ya?" Tanyanya, berdiri di tengah-tengah lorong yang sepi. Berhubung dia keluar disaat jam pembelajaran sedang berlangsung. Tidak ada satu pun orang yang bisa diajaknya bicara.
"Kita istirahat di atap saja, oke!" Putus Karin tersenyum manis. Menyeret kakinya menuju atap.
.
.
.
"Nii-san?" Panggil Kazusa ragu. Heran saja, tidak biasanya Kazune berkeliaran di koridor disaat jam pembelajaran masih berlangsung.
Kazune menatap Kazusa datar. "Hm?"
Dari jawabannya sih, Kazusa yakin kalau itu memang saudara kembar beda lima menitnya.
"Sedang apa? Tumben nii-san keluar kelas. Mau ke toilet? Atau mencari sesuatu?"
Kazusa sudah hapal karakter Kazune seperti apa, luar dan dalam, tidak ada yang bisa di tutupi lagi. Dia yakin seyakin yakinnya kalau kakaknya itu hanya akan keluar kelas di saat bel berbunyi saja.
"Jangan bilang kalau Karin-chan kabur lagi?" Tebaknya tidak percaya. Cuman Karin yang bisa membuat kakak dinginnya itu bertindak diluar karakternya.
"Bukan urusanmu. Kembali sana ke kelas." Jawab Kazune ketus.
Kazusa cemberut. "Ini aku juga mau ke kelas kalau tak bertemu nii-san."
"Lalu, apa yang kau tunggu?" Heran Kazune melihat Kazusa tidak beranjak seinchi pun.
"Aku menunggu jawaban nii-san. Siapa tahu aku bisa membantu. Mencari Karin-chan misalnya." Pancing Kazusa. Menunggu umpannya disambut ikan Kazune.
"Sudah kembali ke kelas sana!"
"Baiklah." Kazusa mengalah, menyeret kakinya lesu. "Hhhh... sayang sekali rasanya tadi aku melihat seorang gadis sedang membawa kucing... siapa ya dia?" Gerutunya dengan suara keras, sengaja, berharap umpan mahalnya kali ini disabut dengan baik. Mana ada ikan yang mengusir nelayan pergi.
"Kau bilang apa tadi?"
Yes, ikan kazune menangkap umpan mahalnya.
Kazusa menyeringai senang. Kakinya berhenti melangkah lalu berbalik, melihat wajah kaget kakaknya. "Bukan apa-apa, aku hanya asal bicara."
"Katakan! Dimana kamu melihatnya?"
Nah, kan, tebakan Kazusa benar. Kazune memang sedang mencari Karin.
Kazusa menghela napas, kalau saja dia sedang tidak dalam misi mengambil bahan materi, mungkin dia bisa berlama-lama disini untuk menggoda kakaknya.
"Dia berjalan menuju atap." Katanya acuh melengos pergi.
Kazune pun menyeret tungkai kakinya menuju atap. Dia ingin memastikan sesuatu. Kemunculan Karin di kelasnya sedikit menganggu pikirannya. Apalagi...
"... sorot matanya sangat hampa." Gumam Kazune pelan, merasa ada yang tidak beres dengan Karin.
"Heee, sungguh? Apa itu benar? Asyik, akhirnya aku punya senjata untuk membalas semua perbuatannya!"
Tangan Kazune menggantung di udara saat mendengar suara Karin yang ceria.
'Dia bicara dengan siapa?'
Dibukanya sedikit pintu yang menyambungkan ke atap sekolah. Shapirenya melihat Karin sedang melempar senyum pada seorang laki-laki yang terlihat seperti senior mereka.
'Siapa?'
Perlahan rahangnya mengeras. Matanya menyorot tajam. Kazune melepas genggamannya pada gagang pintu. Kemudian berbalik, berjalan menuruni tangga.
"Wah, ternyata benar. Sekalipun wajah Kirika-senpai tampan. Tapi, tubuh Kirika-senpai tidak bisa berbohong." Ucap Karin melepas pelukannya.
"Apa Rika menyusahkan mu?" Tanya Kirika, menatap ke bawah. Menyaksikan anak 12 bermain bola basket.
Karin menggeleng. "Tidak, Rika tidak pernah menyusahkan ku. Dia sangat baik, hanya saja terlalu cerewet dan pemaksa." Senyumnya memudar. "Justru sebaliknya. Aku yang sering menyusahkan Rika."
"Kurasa tidak."
"Hmm?"
"Rika bukan orang yang mudah dekat dengan seseorang. Jika dia terus mengganggumu, kurasa kau sangat spesial dimatanya."
Kepala Karin mendongak, melihat awan bergerak. "Nee, Kirika-senpai, bagaimana rasanya menjadi orang asing?"
.
.
.
"Dimana karin?" Tanya Rika pada Kazune yang sedang membaca buku. Bel istirahat sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu.
"Entah." Jawab Kazune cuek. Membuat Rika menggeram kesal.
"Ah! Gawat!" Kazusa menupuk keningnya, mencairkan suasana yang mendadak menjadi hening. "Aku baru ingat. Kudengar, hari ini stok roti melon dijual terbatas. Ayo Michi. Aku tidak mau kita kehabisan." Dia menarik Michiru, mengajaknya ke Kantin. Himeka bergerak gelisah di tempatnya, bingung dengan atmosfer di sekitar Rika dan Kazune.
Mengapa Kazune bersikap dingin pada Rika?
Padahal tadi pagi, mereka berdua baik-baik saja.
Rika mengepalkan tangannya kuat. "Kazune, aku bertanya dimana Karin?" Ulangnya.
"Aku tidak tahu."
"Kau sudah tidak peduli padanya?" Matanya memincing tajam.
Kazune menghela napas lalu menatap Rika malas. "Untuk apa? Dia sudah besar. Bisa mengurus dirinya sendiri."
"Oh, begitu. Kau benar. Maaf sudah menganggumu." Rika membalas dingin. Kemudian, menyeret kakinya ke luar dari kelas 12-A.
Himeka bolak balik menatap pintu dan Kazune, bingung apa yang harus di lakukannya. Mengejar Rika? Atau menenangkan Kazune yang terlihat marah?
"Rika-chan, tunggu."
Pada akhirnya dia memilih Rika. Dia bisa bertanya pada Kazune nanti setelah emosinya turun. Bicara dengan Kazune yang sedang marah, tidak akan menghasilkan apapun.
Namun, tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya lalu menyeretnya ke toilet sambil membekap mulutnya. Mata Himeka melotot panik. Dia tidak berhenti bergerak, berusaha melepaskan diri.
"Ini aku, Kazusa." Bisik tersangka penarikan. Melepas targetnya.
Himeka menghela napas lega. Jantungnya hampir saja copot, mengira dirinya akan di bully oleh sekumpulan gadis.
"Maaf, maaf, apa aku membuatmu takut?" Ucap Kazusa santai. Mengunci pintu toilet.
"Kazusa-chan, ada apa?"
Kazusa tidak langsung menjawab, dia malah mencuci tangannya lalu merapihkan poninya yang memang sudah rapih. Biru shapirenya melihat Himeka dari cermin, menunggu jawaban dari Kazusa dengan sabar.
"Kurasa aku sudah berbuat salah." Kazusa menarik napasnya. "Pada Kazune-nii."
Hhh... akhirnya dia bisa mengatakannya juga. Semua beban di pundaknya. Berat sekali kalau harus membawanya seorang diri. Kalau berdua, mungkin bisa sedikit ringan. Lenganya.
"Aku sudah meminta Michiru untuk mengejar Rika." Potong Kazusa mengira Himeka akan bertanya 'Kemana Michiru?'.
"Memangnya apa yang sudah Kazusa-chan lakukan?" Tanya Himeka bingung.
"Saat mengambil bahan materi, aku bertemu Kazune-nii di lorong. Kupikir dia sedang mencari Karin, jadi aku sengaja menegurnya." Kazusa memulai ceritanya. "Lalu, intinya aku memberitahu Kazune-nii dimana Karin berada. Tapi..."
"Tapi?"
"Saat aku pergi ke toilet, aku tak sengaja melihat Karin turun bersama seorang laki-laki." Ucap Kazusa dengan wajah memelas. "Bagaimana ini Himeka? Kurasa aku tidak seharusnya memberitahu Kazune-nii. Dia pasti sudah melihat..."
Kazusa tidak sanggup meneruskan ceritanya. Tangannya menarik rambutnya cemas. "Kazune-nii pasti salah paham. Akhhh! Kenapa aku bisa punya kakak keturunan es batu sih?! Bisanya cuman marah-marah nggak jelas! Nilai plus nya cuman kepintarannya saja!"
Himeka tersenyum. Dia sekarang tahu alasan Kazune marah.
"Ini bukan salah mu Kazusa-chan." Dia meraih tangan Kazusa lalu meremasnya lembut, berusaha menenangkan hati Kazusa yang diselimuti rasa bersalah. "Sekarang tenangkan dirimu. Apa kau tahu siapa laki-laki yang sedang bersama Karin-chan?"
Kazusa memejamkan matanya, berpikir, kira-kira siapa laki-laki misterius itu. Kalau dilihat dari seragamnya sih. "Dia senior kita."
.
.
.
"Himeka, Kazusa, disini!"
Michiru melambaikan tangannya pada Himeka dan Kazusa yang kebingungan mencari tempat duduk. Saat jam makan siang kantin selalu penuh. Sangat sulit mendapatkan kursi kosong jika tidak mengirim salah satu temanmu untuk menenpatinya terlebih dahulu.
Kazusa melihat Michiru. Dia... glek... sedang bersama Rika.
Kazusa tidak menyangka, Michiru serius melaksanakan perintahnya. Mengejar Rika.
Himeka sudah setengah jalan menuju kursi mereka berdua, dia tidak punya pilihan lain, selain maju dan hadapi. Padahal dia sudah berniat untuk tidak bertemu Rika maupun Kazune untuk sementara waktu sampai dia tahu siapa lelaki misterius yang sedang bersama Karin tadi.
"Aku sudah selesai. Permisi."
Rika menyudahi acaranya makannya. Kazusa tersentak kaget. Dia melihat punggung Rika yang menghilang tertelan ramainya kantin.
Kazusa menghela napas sabar. Perlakuan seperti ini sudah biasa dia dapat dari orang-orang yang menaruh dendam pada kakaknya. Kenapa sih wajahnya harus mirip dengan Kazune?
"Kalian bicara apa saja tadi?" Tanyanya pada Michiru dengan nada sedikit keki.
"Tidak banyak. Rika tidak mau mengatakan apapun, selain dia menyatakan deklarasi perang pada Kazune."
Seketika tubuh Kazusa merinding. Dia harus segera menemukan lelaki itu sebelum masalah ini semakin rumit. Secepatnya dia harus mendamaikan dua monster yang mungkin saja siap mengamuk dan saling memakan satu sama lain. Tapi...
"Ada yang aneh." Kata Kazusa tiba-tiba.
"Aneh?" Alis Michiru terangkat satu. Tidak mengerti.
Kazusa mengangguk sekali. Raut wajahnya berubah serius. "Iya, apa dulu Rika memang seperti ini? Ah, maksudku, jika dia Rika yang kita kenal dua tahun yang lalu, normalnya dia akan bersikap acuh tak acuh pada Karin. Sayangnya yang kita lihat sekarang adalah kebalikannya, dia terlihat seperti melindungi Karin. Bukankah itu artinya, di Prancis, tanpa kita ketahui, sesuatu telah terjadi. Seseorang tidak mungkin berubah begitu saja kan?" Jarinya bermain dipinggiran cangkir seolah sedang menimbang sesuatu. "Kira-kira kejadian apa ya yang bisa merubah Rika si keras kepala menjadi lembut?"
Dan jawaban dari semua pertanyaannya ada di Prancis.
Kazusa tahu itu.
"Michiru... bisa tanyakan pada orang itu. Mungkin dia tahu."
.
.
.
To Be Continue
.
.
.
Maaf... aku nggak tahu kalau ada yang menunggu kelanjutan cerita yang ini, hehe /gak
Ku coba lanjutkan, tapi nggak janji bisa update cepat karena cerita yang saya tulis bukan ini saja, poin utamanya sih kesibukan ki di duta yang nggak tentu... jadi, saya cuman bisa nulis kalau ada waktu luang dan ide / peace
Itupun, musti giliran dengan cerita yang lain, jadi mohon maaf kalau lanjutannya super lelet /dibakar /eh?
Akhir kalimat, terima kasih sudah membaca sampai akhir ~
- Aixa Tangerina -
01/10/2017
