Itu adalah malam yang indah. Langit cerah tanpa ada awan yang menutupi indahnya bintang dan bulan purnama. Mungkin sudah pukul sembilan malam lewat, tetapi jalanan masih saja ramai. Kebanyakan adalah anak-anak yang masih bermain gundu, dan para orangtua mengobrol sambil mengawasi.
Setiap kali ada para pekerja yang lewat di jalan itu, seperti dokter yang baru kembali dari klinik atau polisi yang sedang berjalan menuju pos jaga, mereka akan sibuk menyapa nama masing-masing. Desa Konoha adalah desa yang kecil, dan semua orang mengenal nama satu sama lain. Agar warga yang jumlahnya bahkan mungkin hanya sekitar seratus orang ini tidak terpecahbelah, Kepala Desa Pertama mengimbau agar warga ramah satu sama lain—untuk setidaknya menyapa jika bersua di jalan. Imbauan ini diterima baik oleh warga Konoha, dan sampai Kepala Desa Ketiga menjabat pun, sampai anak-anak kecil sudah diajari untuk bersikap ramah.
Persentase kriminalitas yang dilakukan warga desa ini nyaris nol. Sekalipun ada, biasanya hanya iseng. Atau, mungkin ada pedagang dari desa lain yang datang, lalu berbuat onar. Makanya, polisi Desa Konoha hampir selalu hanya berjaga di sekitar batas desa saja. Polisi akan memantau orang asing yang datang sampai ia kembali keluar dari desa. Seperti misalkan malam ini, seorang pria berambut gelap yang tak dikenal datang.
Usianya mungkin sekitar akhir tiga puluhan. Rambutnya agak berantakan, katanya karena angin berhembus kencang dari kiri dan kanan dalam perjalanan, tidak kelihatan jelas warna rambutnya lewat bantuan penerangan obor. Seorang penulis sekaligus pengembara, akunya, ia ingin melihat desa-desa dan menulis tentang tempat-tempat yang ia datangi.
"Begitukah?" tanya Fugaku, sang Kepala Kepolisian Konoha. Memang memasang senyum, tapi diam-diam tetap memicingkan mata, memerhatikan Si Pengembara dari atas sampai bawah.
"Saya habis dari Desa Ame," jawab Si Pengembara, lalu mengaduk tasnya, mengambil bukunya dan membolak-balik halaman sebelum menunjukkannya pada Fugaku. "Tuh, saya menulis tentang desa itu."
Sang Polisi membaca sekilas beberapa baris lalu mengangguk. "Kau mau menulis tentang Konoha?"
Pengembara mengangguk mantap. "Hanya jika diizinkan."
"Baiklah." Fugaku mengoper buku bersampul kain di tangannya pada empunya. "Saya akan bawa kau pada Kepala Desa." Senyum Pengembara mengembang. Fugaku menoleh pada pondok jaga, dan dengan suara agak keras ia berkata, "Sasuke! Ayo bangun! Ayah akan bawa tamu ini ke Kepala Desa, kau jaga yang benar disini!"
Yang dipanggil Sasuke itu terbangun kaget. Ia langsung lompat dari tempatnya, buru-buru mencari pentungan, dan keluar dari pondok. Habis mengerjap melihat Pengembara, Sasuke mengangguk pada Fugaku. "Oke."
.
.
Disclaimer: Naruto adalah milik Masashi Kishimoto, fanfiksi ini terinspirasi dari permainan 'Werewolf' (atau 'Mafia') yang diperkenalkan oleh Dmitry Davidoff pada tahun 1986. Author tidak mengambil keuntungan.
Warning: AU, OOC, typo(s), bukan crossover.
.
The Vampire Game
Awal Mula
by Fei Mei
.
.
Hal pertama yang didengar oleh Sasuke ketika matahari terbit adalah bahwa Kepala Desa Ketiga meninggal. Ia diberitahu sang kakak, Itachi, yang kemudian bersama-sama datang ke kediaman Kades, di mana Fugaku telah membentangkan garis kuning agar warga tidak sembarangan masuk.
Mayat Kades ada di lantai yang sudah dihiasi bercak darah yang tidak banyak. Tubuhnya sudah kaku, tapi nampaknya tidak ada bekas luka dan lebam yang berarti. Kedua dokter Konoha, Sakura dan Ino langsung memeriksa tubuh yang tergeletak, lalu menyatakan Kades meninggal karena kehabisan darah semalam. Jelas semua bertanya-tanya dalam gumaman, kok bisa kehabisan darah?
"Ayah, bukannya kau mengantar tamu menemui Kepala Desa?" bisik Sasuke pelan.
Fugaku mengangguk. "Pria itu langsung mengutarakan niatnya untuk menulis tentang Desa Konoha, Pak Kades mengizinkan dan mempersilakan tinggal di rumahnya selama disini. Habis itu aku langsung kembali ke pondok jaga."
Sasuke ber-oh pelan. Memang semalam ayahnya kembali ke pondok jaga sekitar satu jam setelahnya. Putra kedua Fugaku ini menoleh kiri dan kanannya, lalu melayangkan pandang kepada kerumunan warga yang ada di belakang garis kuning. "Tamunya mana?"
"Itulah yang kubingungkan," dengus Fugaku. "Sebelum kau datang dengan Itachi, aku sudah mencari seisi rumah, orang itu tidak ada. Kutanya pada warga kalau mereka melihat orang asing setelah kemarin malam kuantar, nihil—mereka hanya melihat aku saja yang keluar dari rumah ini sejak semalam."
"Oke, jadi asumsinya, tamu itu yang melakukan ini, kan?" tanya Itachi. "Maksudku, orang tidak mungkin kehabisan darah begitu saja dalam semalam, kecuali jika ada penyakit baru yang tidak kita tahu. Dan, yah, pria itu tidak ada disini sekarang. Antara dia masih bersembunyi di sekitar desa, atau entah bagaimana dia bisa keluar dari desa."
Tiba-tiba Fugaku kepikiran. "Tunggu, tunggu, siapa yang berjaga di batas desa sekarang?" Ia jadi agak panik sesaat. Jelas saja, kalau ia dan kedua putranya yang mana hanya mereka bertiga yang menjadi polisi di Konoha ada disini sekarang, bisa saja Pengembara mengendap-endap keluar dari desa tanpa seorang pun yang melihat!
"Ada Genma," jawab Itachi dengan nada tenang yang sama. "Aku menjemput Sasuke tadi dengannya, jadi sekarang Genma yang ada di pondok.
Fugaku menghembus nafas agak lega, lalu ia mendengus lagi saat melihat tubuh kaku Kades. "Ini dia kenapa bisa begini, ya ... " bisiknya dengan lirih.
Sakura dan Ino mengangguk pada satu sama lain, lalu Sakura bangkit dan menghampiri para polisi. "Tidak ada tanda-tanda kekerasan. Kami benar-benar tidak paham bagaimana darah dalam tubuhnya bisa habis kering begitu. Maaf, tapi mungkin kami akan butuh waktu untuk coba mencaritahu lebih lanjut."
Ayah dua anak ini mengangguk hormat. "Terimakasih atas kerja keras kalian."
Sang dokter membalas anggukkannya. "Kalau begitu, sekarang saya dan Ino akan coba melihat kondisi keluarga korban."
"Konohamaru sudah sadar?" tanya Fugaku, mengingat anak laki-laki berumur empat belas tahun itu langsung pingsan melihat kakeknya tergeletak tak bernyawa disana.
Sakura menggeleng. "Sepertinya belum. Saya sudah bilang pada Bu Kurenai dan Pak Asuma untuk memanggil kami jika anak itu sadar. Nah, saya akan mengecek mereka, permisi."
Fugaku mengangguk, membiarkan dokter perempuan itu pergi. Ia menghela. Kasihan sekali, pikir Fugaku. Jelas saja. Konohamaru, cucu tunggal Kades Ketiga langsung pingsan tadi. Asuma, satu-satunya putra Kades yang masih di Konoha ini langsung mematung, seakan ia pingsan dalam kondisi berdiri. Hanya Kurenai, istri Asuma, yang bisa langsung sigap menahan tubuh keponakannya dari benturan lantai tadi, dan kemudian mengiring pelan suaminya ke kamar sambil tersedu-sedu.
"Ayah, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Sasuke cemas. Seumur hidupnya, jika menemukan mayat manusia, Sasuke hanya melihatnya di rumah sakit. Ia benar-benar bingung. "Maksudku, iya, aku tahu kita harus menyelidiki hal ini, lalu mencari Si Tamu itu. Tapi bagaimana?"
Sebenarnya jangankan Sasuke, karena Fugaku pun sedang memeras otaknya juga. Kades Pertama dan Kedua meninggalkan karena usia dan karena sakit juga, itu pun setelah menjalani perawatan di rumah sakit. Sedangkan Kades Ketiga ini ... ia benar-benar tidak paham.
"Yang pasti—" Dengan suara lantang seseorang berjalan dari kerumunan, maju bahkan melewati garis kuning, "Kita harus punya Kepala Desa yang baru."
Yah, tidak salah sekali, sih. "Benar. Sambil menunggu hasil pemeriksaan Dokter lebih lanjut, bagaimanapun kita butuh pemimpin baru untuk desa ini," balas Fugaku juga.
Pria yang tadi muncul dari tengah kerumunan ini tersenyum lebar. "Dan aku mengusulkan diriku sendiri yang menjadi Kades Keempat."
Dan semua yang ada di sana hanya bisa mengerjap melihat betapa percaya dirinya orang itu.
"Ap—maaf?" tanya Itachi. "Tuan Danzo, apa saya tidak salah dengar?"
Orang yang dipanggil Danzo itu menyeringai. "Tentang aku mengusulkan diriku sendiri itu? Kau tidak salah dengar, Nak. Aku adalah yang paling tua di Desa Konoha sekarang, setelah Si Sarutobi ini tidak ada, jadi aku yang paling tahu seluk-beluk desa. Jadi, ya, seharusnya tidak ada yang lebih pantas untuk menjadi Kades Keempat selain diriku."
Banyak gumaman tak jelas, antara yang setuju ataupun tidak tentang apa yang baru saja terlontar dari mulut Danzo. Tapi memang benar, di antara semua warga Konoha, Danzo pasti yang lebih paham tentang desa, karena faktor umurnya.
"Kita semua sedang terguncang dengan kepergian Kades Sarutobi," ujar seseorang yang lain, seorang pria berambut hitam yang diikat naik, dengan dua garis luka panjang di wajahnya, dan janggut hitam. "Tapi kita memang butuh Kades baru. Walau hanya sementara, aku akan setuju Danzo menjadi pemimpin desa. Jika semua sudah tenang, aku mengusulkan Pemilihan Kepala Desa, untuk mencari yang memang bisa menjadi pemimpin."
Danzo berdecih. "Ya? Seperti kau, misalnya, eh, Nara?"
'Nara' menyeringai. "Tidak, aku bukan tipe pemimpin, aku tahu itu. Tapi jika aku boleh beri usul, Uchiha Fugaku ini bisa jadi Kepala Desa yang baik. Itachi sudah besar dan mungkin sudah bisa diberi tanggungjawab untuk jadi Kepala Kepolisian yang baru. Sasuke pun sudah bukan anak remaja ingusan lagi. Jadi, ya, aku akan menunjuk Fugaku saja."
Fugaku bisa melihat Danzo dan Shikaku saling melempar tatapan tak suka, dan ia serta warga sudah lama tahu tentang bagaimana kedua orang ini saling tidak senang satu sama lain. Aduh, namaku pakai disebut-sebut segala, dengus Fugaku mengingat ucapan Shikaku.
Jadi Kepala Kepolisian Konoha dengan tegap berjalan menuju garis kuning yang ia bentangkan tadi. Kini ia menghadap warga desa, dan ditatapnya mereka setegas mungkin. "Warga Desa Konoha terkasih," ucapnya lantang, "Kita semua baru kehilangan Kades Sarutobi, dan membutuhkan Kades baru. Namun, kita tidak mungkin mengadakan pemilihan dalam kondisi seperti ini. Jadi, Tuan Shimura Danzo akan menjadi Kepala Desa untuk saat ini. Jika ke depannya beliau terbukti cakap, ia akan tetap menjadi Kades. Jika ia melakukan sesuatu yang tidak pantas, maka kita akan mengadakan pemilihan. Bagi yang setuju, silakan angkat tangan."
Para warga menoleh ke kiri dan kanan mereka. Semua terlalu mendadak. Fugaku tahu dan hatinya mencelos. Tapi harus bagaimana lagi?
Lalu ia melihat seseorang mengacungkan tangan, diikuti dengan beberapa tangan lagi ke atas, sampai Fugaku tidak bisa menghitungnya satu-satu. Akhirnya ia meminta tangan-tangan itu diturunkan, meminta mereka yang tidak setuju untuk gantian angkat tangan. Tapi tidak ada yang mengangkat tangan lagi—semua tampaknya setuju dengan keputusan Uchiha Fugaku.
"Baiklah," Fugaku menoleh pada 'Kepala Desa Sementara', "Tuan Danzo, mohon kerjasama dan petunjuknya."
Danzo menyeringai penuh kemenangan. "Keluarga Sarutobi sedang terguncang, kita tidak boleh mengganggu mereka. Para Dokter akan bekerjasama dengan pihak Kepolisian untuk kasus ini. Dan saya sangat berharap, terutama Kepolisian, agar tidak menyembunyikan apa pun berkenaan dengan hal tragis ini."
Fugaku mendengus. Baiklah, pikirnya. "Kemarin malam seorang Pengembara datang, bilang ingin menulis tentang desa-desa yang ia kunjungi. Saya melihat sekilas tulisannya tentang Desa Ame, desa yang ia kunjungi sebelum kemari. Lalu saya membawanya pada Kades Sarutobi, karena ia ingin minta izin. Pak Kades mengizinkan dan menawarinya untuk menginap di rumah ini. Usai perbincangan itu, saya keluar dari kediamannya, tidak tahu-menahu lagi tentang mereka yang masih di rumah.
"Tadi pagi saya dan Itachi datang untuk memberi laporan pagi seperti biasa, menemukan beliau sudah tergeletak di sana. Jadi saya minta Itachi pergi memanggil para Dokter dan Sasuke. Saya mencari Pengembara itu, kalau tidak salah dia bilang namanya Sasori, di sekitar rumah. Konohamaru, Asuma, dan Kurenai yang bingung langsung keluar kamar dan melihat tubuh Kades. Kurenai, satu-satunya yang saat itu bisa diajak bicara, mengaku bahwa ia memang melihat Sasori semalam, tapi ya hanya sekilas begitu saja. Saya menunggu Dokter datang di luar rumah, menanyai setiap dari kalian yang lewat kalau-kalau mereka melihat orang asing, tidak membuahkan hasil.
"Jadi sampai detik ini, Kades Ketiga meninggal karena kehabisan darah yang entah bagaimana bisa, dan Si Orang Asing tidak tahu ada dimana," jelas Fugaku lengkap. Itu benar-benar lengkap, ia tidak menyembunyikan apa-apa.
Danzo mengangguk. "Begitulah. Kalian semua bubar dari sini. Cobalah beraktivitas seperti biasa sambil tetap waspada, siapa tahu Sasori itu masih di sekitar sini. Laporkan segala sesuatu yang kalian temukan pada yang berwenang."
Fugaku tidak senang akan Danzo, tapi ia setuju juga. Dengan bantuan kedua putranya, mereka berhasil membujuk setiap warga meninggalkan kediaman Sarutobi.
.
.
Hari keempat sejak Kepala Desa Ketiga Konoha tewas, warga tidak bisa berbohong dengan mengatakan bahwa mereka sudah baik-baik saja. Banyak yang masih terguncang dengan kepergian orang yang sampai sekitar lima hari lalu adalah orang tertua di desa. Asuma masih agak diam, itu jelas, tidak peduli walau sudah dihibur istrinya, atau teman-temannya seperti Kakashi dan Guy, wajah Asuma tetap tidak mencerah sama sekali. Kondisi Konohamaru jauh lebih baik, mungkin karena ada Moegi dan Udon yang tidak ada bosannya mengajak cucu tunggal Kades Ketiga itu bermain.
Memang masih merasa kehilangan, tapi sesuai perkataan Sang Kades Baru, warga berusaha untuk tetap beraktivitas seperti biasa, sambil mendelik mencari Sasori. Empat hari mereka awas, tapi Sasori tetap tidak ditemukan. Sakura dan Ino tidak menemukan petunjuk baru. Fugaku bersama Itachi dan Sasuke tidak menemukan orang keluar dan masuk desa.
Warga Konoha masih belum terbiasa dengan ketiadaan Kades Sarutobi. Masalahnya, di pagi kelima sejak Kades Ketiga ditemukan tewas, seorang Sarutobi lain ditemukan kehabisan darah juga.
.
'Anaknya?'
'Astaga, kasihan sekali Konohamaru!'
'Apa kau pikir rumah itu terkutuk?'
'Bisa jadi, belum seminggu dan dua orang penghuni rumah itu tewas dengan kondisi yang sama.'
'Kudengar katanya Kurenai sudah dua hari ini ke rumah sakit memeriksa kesehatannya sendiri. Kalau ternyata dia hamil, kasihan sekali!'
'Konohamaru kemarin siang sudah bisa tertawa, kasihan dia jadi histeris saat lihat pamannya.'
'Kudengar, ada beberapa bekas gigitan di leher dan lengan atasnya, ya?'
'Itu bukan bekas gigitan cinta istrinya?'
'Tidak, tidak, katanya seperti bekas gigitan ular!'
'Tidak ada ular di Konoha, kan?'
'Oooh, mungkin vampir? Mereka mengisap darah manusia, kan?'
'Dasar anak kecil, vampir itu tidak ada!'
'Lalu bekas gigitan itu apa?'
...
...
.
.
Villager: warga biasa, harus memutuskan siapa yang ternyata adalah manusia serigala yang pura-pura inosen.
Moderator: penentu jalannya permainan/cerita.
.
Bersambung
.
.
A/N: Fei sudah sangat lama kepikiran untuk bikin ini, tapi pada akhirnya menggunakan 'vampir' bukan 'werewolf' hanya gara-gara mengawatirkan siklus bulan purnama. Walau begitu, peranan para tokoh yang dipakai tetap dari permainan Werewolf, walau tidak dengan gamblang dikasihtahu atau secara harafiah. Dan maaf tidak akan semua peranan akan dipakai dalam fict ini. Sebenarnya peran vampir memang ada di permainan Werewolf, tapi atas alasan yang sudah ditulis sebelumnya, biarlah kali ini vampir saja yang jadi pernah utamanya.
Tentang fict ini, Fei harus mutusin plot dan peranan para tokoh selama dua hari: siapa jadi vampir, siapa jadi korban, siapa yang dijaga Guardian, siapa yang ditunjuk warga sebagai tersangka, dst. Dari chapter satu sampai akhir udah Fei tentuin, sampai dirinciin pagi-siang-sore-malam tiap chapter-nya. Semoga realisasinya bisa sebagus coretan Fei.
Omong-omong, rencananya tuh, prolog dan chapter 1 itu gabung, karena niatnya prolog 200-300 words cukuplah, eeeehh ternyata sampe 2k words demi apa. Fict ini pun termasuk hasil kenekadan Fei, karena belum pernah bikin genre ini, multichapter AU pula.
Review?
