Shingeki no Kyojin/Attack on Titan belong to Isayama Hajime.
Rated : M
Warning! AU, Sex Toys, Foul and Vulgar Language, Adult Themed, NOT FOR CHILDREN.
Pairing : Rivaille/Eren , Levi/Eren (RiRen)
Summary Chapter 1 : Eren Jaeger kebingungan karena uang jajannya habis. Ia terpaksa mencari pekerjaan untuk menambah uang jajannya untuk membeli buku kesayangannya. Sayangnya, toko yang menerimanya ternyata bukan toko biasa.
.
.
THE ADULT SHOP
Oleh Mikurira
Chapter 1 : Job
.
.
Hari ini Eren Jaeger berangkat dari rumah seperti biasa. Memakai sepatu hitam bertali putih miliknya, membawa tas coklat berisi buku-buku pelajaran dipunggungnya, dan dengan rona muka yang cerah—tidak, hari ini dia tidak secerah biasanya.
Eren melangkahkan kakinya keluar dari rumah. Wajahnya terlihat suram tidak bersemangat. Ia menguap terlebih dahulu sebelum benar-benar membuka gerbang rumahnya sendiri. Di depan rumahnya terlihat dua sosok yang ia kenal, Armin sang sahabat dan Mikasa saudara angkatnya.
"Mikasa? Bukannya kau tadi sudah berangkat duluan karena harus mengurus OSIS?" tanya Eren pada gadis itu. Mikasa menggeleng, menjawab kalau dia tidak mau hanya karena mengurus OSIS dia tidak bisa berangkat dengan lelaki itu. Armin hanya tertawa kecil agak dipaksa mendengarnya. Padahal jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh kurang lima menit, dimana kemungkinan terlambat adalah paling besar.
"Tapi apa tidak papa, Mikasa, kau terlambat hanya karena menunggu Eren?" tanya Armin pada perempuan itu, "kau kan anggota kuat OSIS," kata Armin lagi.
"Kau sendiri bagaimana Armin? Kenapa kau mau terlambat untuk menunggu Eren?" tanya Mikasa berbalik.
"Yah, entahlah," kata Armin agak tersenyum kecil, begitu juga Mikasa. Entah apa yang menarik dua orang itu, tapi tampaknya mereka tidak bisa meninggalkan Eren begitu saja. Apalagi saat Mikasa mendengar suara tinjuan dan pukulan-pukulan dari kamar Eren semalam—membuatnya merasa kalau terjadi sesuatu dengan saudaranya itu.
Berbeda dengan Armin yang mendapat pesan singkat dari Eren yang mengatakan bahwa dia sedang merasa kesal dengan kedua orang tuanya. Dia sedang marah besar. Dan Armin tahu kalau Eren sedang kesal seperti ini, moodnya selama seharian akan jelek dan bisa berakibat fatal dengan sekelilingnya.
Seperti waktu itu saat Eren dimarahi ibunya karena mengacak-acak kamar Mikasa. Padahal Mikasa yang menyuruhnya, tapi orang tua Eren tentu tidak berpikiran seperti itu. Alhasil, selama di sekolah, Eren nyaris membuat Sir Hannes harus memarahinya karena tidak memperhatikan sama sekali.
Kali ini nampaknya kasusnya tidak jauh berbeda. Wajah suram Eren terlihat jelas dari garis-garis hitam dibawah matanya. Tidak berani bertanya apapun, ketiga orang tersebut akhirnya berangkat ke sekolah.
Dengan langkah agak terburu—atau bahkan berlari, Eren, Armin dan Mikasa masuk ke kereta yang kebetulan sekali tepat akan berangkat ketika mereka sampai. Pintu tertutup. Berdesak-desakan di kereta adalah hal wajar bagi ketiga orang disana. Sampai lima menit akhirnya berlalu. Mereka akhirnya sampai di Survey School dalam waktu yang singkat.
Tidak banyak waktu yang mereka miliki, ketiga orang sekawan itu sampai di gerbang sekolahnya. Mata emerald membulat saat melihat gerbang itu tertutup. Armin sudah mati kutu saat melihat Sir Shadis berdiri di pintu sambil menatap mereka garang. Sementara Mikasa? Wajahnya masih sama datarnya dengan dinding sekolah di samping mereka.
"Eren Jaeger, Armin Arlert dan oh—Mikasa juga?" sang bapak tua plontos itu menatap ketiganya dengan garang. Intensitasnya adalah garang untuk Eren, marah untuk Armin dan juga Mikasa. Tidak heran kenapa Eren sering bertemu dengan lelaki yang hobi menjaga gerbang ini, Jaeger selalu terlambat, dan semuanya tahu itu. Berbeda dengan Armin dan Mikasa yang menjadi murid teladan, tidak biasa bagi mereka untuk terlambat kecuali hari-hari seperti ini. Saat dimana Armin dan Mikasa berangkat bersama Eren Jaeger.
Selanjutnya, ketiganya berhasil mendapat hukuman berdiri diluar karena terlambat.
.
.
"Aku benci mereka," celetuk Eren pada sandaran kursinya, kerutan di antara alisnya mengatakan jelas kalau remaja ini sedang marah. Armin yang duduk disebelahnya hanya menatap Eren dalam diamnya, mendengarkan keseluruhan cerita Eren, "aku tidak diperbolehkan membeli buku Levi! Kata mereka aku terlalu freak dan terlalu banyak menghabiskan uang untuk membeli buku tidak jelas—padahal itu buku jelas!" kata Eren lagi menceritakan.
Eren Jaeger, 15 tahun, menyukai buku—terutama buku karangan Levi.
Armin hanya menghela nafas menatapnya. Tidak heran kenapa orangtua lelaki di sebelahnya kini meminimkan uang jajan anaknya tersebut. Terakhir kali yang Armin tahu, Eren berhasil memborong novel Levi—novel yang sama hanya karena sampul covernya yang berbeda. Freak. Kalau kata orang. Tapi Armin memang sudah tahu kalau Eren memang sudah menyukai buku sejak dulu. Hanya saja, ketertarikannya pada buku karangan Levi—yang bahkan pengarangnya saja tidak pernah menampakkan batang hidung di majalah ataupun televisi, sangat berlebih.
'Buku karangan Levi itu bagus, Armin', 'lihat! Bahasanya sungguh indah dan terang-terangan! Berbeda dengan buku lain!' dan komen-komen lain yang sering didengar Armin saat mendengarkan Eren bercerita tentang idolanya tersebut. Bagi Armin, pengarang favoritnya hanyalah Erwin Smith. Buku-buku yang beliau terbitkan bagaikan menyihir dirinya sampai jatuh ke dasar lubang terdalam.
Sebagai sesama pecinta buku, Eren dan Armin memang bersahabat dengan baik. Mereka sering mengobrol bagaimana tanggapan mereka tentang buku kesukaan masing-masing.
Misalnya saja, saat Levi mengeluarkan buku konspirasi tentang bagaimana kepolisian negaranya dan bagaimana tanggapan Erwin Smith terhadap pelaku kejahatan yang ditangkap oleh kepolisian dalam novel karangannya. Mirip-mirip tapi berbeda. Dari segi bahasa, sudut pandang, semuanya Eren dan Armin perdebatkan dalam satu hari. Sementara Mikasa yang mendengarnya hanya bisa terdiam memakan cheesecake miliknya.
Karena Armin sama-sama menyukai buku seperti Eren, ia tidak heran betapa struggling-nya Eren saat mengetahui kalau uangnya tidak cukup untuk membeli buku kesayangannya nanti.
"Aku tidak mau meminjam uang Mikasa lagi bulan depan, dan aku tahu bulan depan Levi akan mengeluarkan buku baru, jadi aku kesal Armin!" kata Eren mengacak rambutnya sendiri.
"Jadi karena itu kau terlambat hari ini?" tanya Armin pada lelaki itu.
"Ya! Semalaman aku tidak bisa tidur, aku bingung…" ucap Eren kesal, "apa yang harus kulakukan?" tanyanya menundukkan kepalanya di meja kayu di depannya.
"Uh, aku tahu ini bukan ide yang baik sih, tapi bagaimana kalau kau bekerja paruh waktu saja Eren?" tanya Armin pada lelaki itu, "kemarin Ymir bilang dia mulai bekerja paruh waktu di salah satu toko dvd di ujung jalan disana, punya pamannya sih, tapi kenapa tidak kau coba?" Armin menatap kearah Eren. Lelaki itu segera mengangkat wajahnya dan emerald itu berkaca, menatap kearah biru sapphire di sampingnya. Rona wajah yang kelam berubah menjadi ceria.
"Benar juga!" kata Eren semangat, "kau benar Armin! Kenapa aku tidak terpikirkan oleh hal itu!"
"Tapi kurasa akan sulit untuk mencari pekerjaan, Eren, sebab rata-rata kita harus berumur 18 tahun keatas kan?" ucap Armin pada Eren. Lengkungan senyuman di bibir lelaki itu langsung menurun, "yah, asal kau tidak melakukan pemalsuan umur—"
"Itu dia Armin!" Eren mengerjap lagi dan kembali tersenyum. Tangannya mengoyak tubuh lelaki pirang di sebelahnya, "pemalsuan!" kata Eren lagi dengan nada semangat.
"Pemalsuan apa heh, Jaeger!" sebuah suara berat mendekat kearahnya. Wajah seperti kuda yang Eren tidak sukai itu muncul di hadapannya. Jean Kirstein. Menatapnya dengan wajah sombongnya.
"Bukan urusanmu, tsk," Eren mendecak dan segera beralih matanya kearah Armin lagi, "jadi apa yang harus kulakukan pertama, Armin?"
"Uh…" tak ada jalan kembali untuk Armin, "kupikir kau harus menuliskan umur palsu saat menuliskan di CV, maksudku—yah, memang seperti itu kan?" tanya Armin tidak yakin. Eren terdiam sejenak memandang kearah sahabatnya itu.
"Umur palsu? Kalian membicarakan apa sih?!" tanya Jean lagi, "jangan bilang Armin mau memalsukan umur?!"
"Bukan aku Jean," kata Armin pada lelaki yang berdiri di sebelahnya itu, "kalau menurutmu bagaimana cara menipu orang agar bisa bekerja paruh waktu?" tanya Armin lagi pada lelaki itu.
Jean menatap kearah biru sapphire itu, "hmm… memalsukan umur saat menulis di daftar?" ucapnya sambil tangannya menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu, "ah! Jangan bilang Jaeger—kau yang mau memalsukan?!" tanya Jean kaget.
Eren dan Armin berdecak bersama. Menatap kearah Jean yang langsung diam.
"Kalau memang seperti itu, coba saja Eren, kalau memang tidak bisa, kita cari cara lain…" kata Armin menepuk pundak Eren.
"Ya. Baiklah, aku akan mencobanya…"
Begitulah keadaannya. Sepulang dari sekolah, Eren berniat melamar pekerjaan. Dengan perlengkapan yang disiapkan Armin—baju biasa, tas, pulpen, beberapa lembar kertas koran berisi daftar pekerjaan dan makanan pocky kalau-kalau ia merasa lapar dijalan, akhirnya Eren siap untuk mencoba melamar pekerjaan. Tentu saja semua rencana itu ia lakukan tanpa sepengetahuan Mikasa, saudara angkatnya. Kalau sampai Mikasa tahu, bisa-bisa perempuan yang punya Eren-complex itu langsung menawari diri untuk ikut bekerja bersamanya. Dan Eren tidak mau hal itu terjadi.
Eren berjalan diantara pertokoan disana, menatap satu persatu toko yang berjejer sambil mencari-cari tulisan 'dibutuhkan pekerja' atau 'dicari seorang pekerja' dan sebagai macamnya. Mata emerald lelaki bersurai coklat itu tiba-tiba mengarah pada satu papan yang ada di ujung jalan. 'Dicari, pemuda 20 tahun, bisa membuat roti' begitu tulisannya. Mata Eren membelalak senang, kakinya segera melangkah kearah papan tersebut. Dia tidak bisa membuat roti tapi tidak ada salahnya mencoba kan?
Eren terhenti sejenak. Saat ini yang ia butuhkan hanya meyakinkan mereka kalau ia sanggup melakukan pekerjaan itu. Jangan pernah menyebutkan umur atau apapun yang bisa membuatnya ketahuan kalau ia hanya bocah 15 tahun. Eren mengeratkan genggamannya dan masuk ke toko tersebut.
"Selamat datang…!" sebuah suara perempuan menyambutnya, "bisa saya bantu, tuan?" tanyanya dengan mata memburu berharap Eren membeli sesuatu disana.
"Umm… saya mau melamar pekerjaan…" kata Eren pada perempuan itu.
"Oh," wajah perempuan itu langsung menggelap, "pelamar pekerjaan… tunggu sebentar, biarkan aku memanggil pak manajer," ucapnya pergi masuk ke balik pintu di belakangnya. Eren terdiam sejenak sambil memperhatikan roti-rotian yang ada disana. Bau sedap juga menusuk hidungnya. Ah, mungkin tidak buruk juga bekerja di toko roti. Pikirnya sambil menatap kearah ponselnya.
Seorang lelaki tinggi besar berbadan kekar tiba-tiba sudah berdiri di sebelahnya, "ya?" tanyanya menatap Eren.
Eren tertegun menatap lelaki itu berdiri di sebelahnya. Wajahnya sangat tidak cocok dengan celemek merah muda yang dipakainya, lengkap dengan gambar boneka hello catty di pinggirannya.
"Uh, sa-saya mau melamar pekerjaan," kata Eren mengalihkan matanya dari lelaki itu.
"Hmm…" lelaki itu terdiam menatap kearah wajah Eren, membuat Eren sama sekali tidak bisa berkonsentrasi akan pikirannya sendiri, "kau… sekolah dimana?"
"Survey Scho—aah…" Eren terdiam sejenak. Lelaki itu makin bertampang seram saat menatap wajah di depannya.
"Kau tidak lihat? Kami mencari pemuda duapuluh tahun, bukan seorang bocah SMA," kata sang manajer lalu segera masuk ke dalam ruangan tadi lagi. Eren menundukkan kepalanya dan keluar dari tempat itu.
Bakery Shop. Coret.
.
.
Sampai sore itu, Eren belum juga mendapatkan pekerjaan yang diinginkannya. Menelepon Armin dan meminta bantuannya adalah sama sekali tidak membantunya. Eren menatap kearah kertas Koran yang ada di tangannya, memeriksa satu persatu pekerjaan yang sudah ia coba dan tidak ingin dicobanya.
Bakery shop. Coret. Toko buku. Coret. Pelayan BL-café. Eren terdiam, BL? Tidak mengerti. Coret. Sudah berapa toko dan kafe yang ia coba untuk melamar. Tidak ada yang mau menerimanya. Eren menghela nafas. Mungkin memang memalsukan umur tidak mungkin tanpa Kartu Tanda Penduduk. Begitu pikirnya.
Eren duduk di salah satu bangku di taman, menatap kearah langit diatasnya yang mendung.
"Bagaimana nasib buku Levi bulan depan…?" gumamnya menutup wajahnya dengan punggung tangannya.
Tes… sebuah rintikan air hujan membasahi pipinya. Eren segera bangkit dan menatap keatasnya. Rintikan itu makin banyak dan membuat lelaki itu nyaris basah kuyup karenanya, "sial!" maki Eren berlari kearah salah satu gedung berkaca hitam di dekatnya. Ia mencoba untuk meneduhkan diri disana. Satu-satunya hal yang ia pikirkan saat ini adalah bagaimana cara ia pulang ditengah hujan seperti ini.
Pemuda dengan tinggi 170 cm itu berdiri bersandar pada dinding yang ada di belakangnya. Matanya menyapu kearah jalanan yang kosong akibat hujan deras itu. Beberapa mobil lewat dengan kecepatan cukup tinggi, beberapa lagi berhenti untuk menjemput orang yang berada di toko seberang.
"Sebaiknya aku telpon Armin saja, supaya dia bisa menjemputku dengan payung…" pikir Eren mengambil ponselnya dari dalam kantong. Eren segera menekan tombol panggil pada nomor di ponselnya. Mata emeraldnya bergerak lagi menatap kearah sekelilingnya, meskipun pikiran dan otaknya masih pada telepon di genggamannya.
"Halo, Armin? Bisa kau jemput aku di…" Eren menatap sekelilingnya, "dekat taman Trost… iya, hujan." Eren terdiam sejenak, "Jangan! Jangan ajak Mikasa!" Eren mendengarkan celoteh Armin bagaimana gadis itu mengkhawatirkan dirinya yang tak kunjung pulang sore itu, "iya aku tahu, aku akan menjelaskannya dan aku belum mendapat pekerjaan, ya, aku tunggu disini," Eren menutup teleponnya.
Ketika Eren melangkah untuk lebih mendekat kearah Taman Trost di sebelah gedung itu, sebuah kertas yang tidak sengaja menempel di punggungnya terjatuh ke tanah.
Dibutuhkan seorang pekerja.
Mata Eren segera bergerak kearah gedung di sebelahnya. Balok bata tua dengan kaca film yang tak memperlihatkan isi toko tersebut, membuat Eren entah kenapa melangkahkan kakinya mendekat kearah pintu toko itu sambil membawa secarik kertas di tangannya.
"Umm…" Eren membuka pintu toko tersebut.
Gelap. Cahaya remang-remang di setiap sudut lemari rak di setiap pinggiran dindingnya. Tidak sempat melihat seisi toko tersebut, matanya langsung melihat pada sebuah meja counter dengan seorang perempuan—atau lelaki? Yang tengah duduk mengobrol dengan lelaki berjanggut pirang di depannya. Kedua orang itu menatapnya sejenak sebelum akhirnya kembali mengobrol. Tidak ada sapaan masuk pada pengunjung, eh?
"P-Permisi…" Eren mendekat kearah counter itu. Kedua orang yang ada disana langsung menatap kearah lelaki yang mendekati mereka.
"Ya? Kau cari apa? Bagian biasa atau black side?" tanya orang yang belum diketahui jenis kelaminnya itu.
"Eh, huh?" Eren kebingungan. Biasa? Black side? Eren menatap kearah lelaki pirang yang mengangkat sebelah alisnya sambil memperhatikan dirinya, "sa-saya kesini mau melamar pekerjaan…" kata Eren menaruh kertas itu diatas meja.
"Hooo, berani juga," ucap orang itu pada Eren, "namaku Hanji, salam kenal dan ini Mike" ucap orang di depannya itu sambil menjabat tangan Eren. Eren terdiam sejenak, menelan ludahnya, ada suasana aneh yang meliputi toko itu. Tidakkah pencahayaannya terlalu gelap? A-atau jangan-jangan ini adalah black market? Pikiran aneh mulai bermunculan dikepala remaja itu, membuatnya agak sedikit merinding ketika orang bernama Hanji itu menepuk pundaknya, "kalau begitu setiap pulang sekolah kau boleh datang kemari," kata Hanji pada lelaki itu.
"Iya—pulang—eeh?!" Eren menatap kearah dua orang disana secara bergantian.
"Tidak papa, bocah, tidak banyak orang yang ingin bekerja di toko seperti ini, kami hargai keberanianmu…" ucap lelaki bernama Mike itu sebelum mencoba mengendus Eren dalam-dalam. Eren mundur selangkah.
"Kita menerima pekerja dari berbagai usia kok! Uh—ya tapi tidak dibawah umur juga sih," kata Hanji sambil mengambil mug bergambar titan di depannya dan meminumnya, "tapi apa kau tidak papa bekerja di tempat ini?"
"Tidak papa!" kata Eren lantang, yes, aku dapat pekerjaan! Dalam hati Eren benar-benar bahagia karena disaat-saat terakhirnya ia berhasil mendapat pekerjaan untuk membeli perlengkapan koleksi buku Levi miliknya, "pe-pembayarannya?" tanya Eren pada mereka berdua.
"Oh, pas sekali!" kata Hanji tiba-tiba pandangannya tak lagi ke arah Eren, mata Mike juga langsung terarah pada suara pintu toko yang terbuka sore itu, "Rivaille, coba lihat ini ada pelamar pekerjaan!" kata Hanji melambai pada lelaki yang baru saja masuk ke toko tersebut. Eren memutar tubuhnya, menatap kearah sosok lelaki berkemeja putih yang baru saja masuk ke dalam. Mata emerald Eren sempat membesar saat lelaki itu mendekat kearahnya. Sekilat obsidian yang memandangnya itu membuat jantungnya berdetak satu kali.
"Bocah?" tanya Rivaille melirik Hanji yang tersenyum-senyum sendiri. Mata obsidian itu kini mengobservasi kearah lelaki 15 tahun di depannya. Eren bergidik ngeri saat merasa bulu-bulu di belakang lehernya naik karena dipandang oleh lelaki yang tidak lebih tinggi darinya itu.
"A-aku bisa membantu apapun, sir…" kata Eren pandangannya lurus kedepan. Entah kenapa tubuhnya sigap sendiri saat berada di depan lelaki itu. Entah aura apa yang dikeluarkan oleh lelaki bernama Rivaille itu tapi yang jelas Eren merasa harus menghormatinya.
"Kau tau toko yang kau jadikan pekerjaan ini, bocah?" tanya Rivaille lagi pada Eren. Meski Eren tidak tahu sebenarnya toko apa yang ia masuki ini, tapi ia mengangguk saja karena tidak mau pekerjaan ini lolos begitu saja, "bocah sepertimu tinggal meminta uang jajan pada mama-papa saja kan? Kenapa kau mau bekerja disini?" tanya Rivaille lagi pada Eren.
"Ayola, Rivai, jangan menakuti dia…" kata Hanji mencoba menenangkan lelaki itu atau mereka tidak akan mendapat seorang pekerja lagi, "kau tahu kan aku dan Mike tidak bisa selamanya menunggu toko ini," lanjut Hanji menggelengkan kepalanya sambil menghela nafas.
Rivaille memicingkan matanya menatap kearah Eren, "jawab bocah,"
"Sa-saya ingin membeli barang yang saya inginkan, sir! Dan saya tidak mau merepotkan orangtua!" bohong. Bukan Eren tidak mau merepotkan orang tua, tapi Eren memang tidak diberi uang lebih untuk membeli buku kesukaannya.
"Dan barang itu adalah dildo dan lubricant jadi kau masuk ke toko ini?" tanya Rivaille lagi. Apa itu? Bahkan Eren saja tidak tahu benda itu. Suara tawa bergemuruh di ruangan itu.
"Ahahaha! Cukup Rivai, kau benar-benar menakutinya!" kata Mike dan Hanji yang tertawa sambil memukul-mukul meja di depannya.
"Ti-tidak, sir! Saya ingin membeli buku Levi!" kata Eren memejamkan matanya, menelan suara gelak tawa yang kini meredam.
"Buku Levi?" Rivaille makin menatapnya tajam.
"Waw, hei, nak, orang yang ada di depanmu—"
"Diam Mike," Rivaille menatap tajam kearah Mike, Hanji nyaris tertawa kalau saja sebuah tatapan membunuh tidak dilemparkan padanya. Rivaille kemudian menghela nafasnya dan berjalan meninggalkan Eren setelah menepuk pundak lelaki itu, "tidak buruk, kau boleh bekerja disini," kata Rivaille kemudian masuk ke dalam pintu dibalik meja counter itu. Tawa Hanji langsung meledak di udara.
"HAHAHAHAHA! Tidak buruk tidak buruk!" Hanji masih tertawa bahagia.
"Aku sampai ditatap begitu," Mike menghela nafas sambil memegangi dadanya dengan lega. Sementara otot-otot Eren yang daritadi sudah menengang dengan jari-jari tangan yang mendingin segera melemas dan realaks, "maafkan sikap Rivaille yang seperti itu, nak, jadi katakan padaku, siapa namamu?" tanya Mike pada Eren.
"Na-namaku Eren, sir…" jawab Eren kini disodori selembar kertas.
"Tulis alamatmu dan apapun yang ada disitu, besok sepulang sekolah jangan lupa untuk kemari, dan karena Rivaille sendiri sudah mengizinkanmu jadi kau mau dibayar setiap bulan atau setiap minggu?" tanya Hanji pada lelaki itu.
"Uh, setiap minggu bisa?" tanya Eren sambil menulis biodata dirinya di kertas tersebut.
"Bisa-bisa, nanti kau bisa memintanya pada Rivaille," kata Hanji, "besok akan kuberitahukan segala jenis hal yang ada disini," lanjut Hanji lagi.
Drrrt…. Drrrt… suara ponsel milik Eren bergetar dari kantong celananya. Eren kemudian menyodorkan kertas itu pada Hanji dan segera mengangkat teleponnya. Itu dari Armin. Lelaki itu bilang kalau dirinya sudah ada di dekat taman Trost, tapi ia tidak melihat dirinya disana.
Setelah berpamitan pada Hanji dan Mike, Eren keluar dari toko tersebut dan segera berlari menuju ke taman Trost. Dilihatnya lelaki pirang yang tengah berdiri di dekat bangku taman sambil membawa dua buah payung yang ada di tangannya.
"Maaf lama, Armin!" kata Eren mengambil payung itu dari tangan Armin.
"Eren," sebuah suara alto perempuan memuat Eren kaget. Ada Mikasa di sebelah Armin, holy shit, "kenapa kau baru pulang? Darimana saja?" tanya Mikasa pada lelaki itu. Eren menatap Armin dan Armin hanya mengalihkan pandangannya.
"A-aku sedang mencari barang, tapi tidak ketemu," kata Eren mengalihkan matanya.
"Bohong," kata Mikasa melihat telinga Eren yang memerah.
"Su-sudahlah Mikasa, ayo kita pulang," kata Armin menghentikan pembicaraan mereka dan mengajak keduanya pulang. Akhirnya ketiga pelajar itu pulang kembali ke rumah masing-masing. Sebelum berpisah di perempatan jalan, Eren berbisik pada Armin kalau dia senang sudah mendapat pekerjaan, dan Armin membalas dengan sebuah permintaan untuk memberitahunya nanti malam.
Akhirnya ketika sampai di rumah, Eren segera masuk ke kamar dan menghamburkan tubuhnya di kasur. Ia menatap kearah buku bertuliskan Levi di bagian pengarangnya, membuat sebuah rona merah kecil di pipinya terlihat. Akhirnya bulan depan ia bisa membeli buku Levi dengan hasil uangnya sendiri.
Tangan Eren kemudian segera membuka ponselnya dan menelepon Armin.
"Jadi pekerjaan apa dan dimana Eren?" Tanya Armin pada lelaki itu, mata emerald itu membulat.
"Ah, iya, benar juga, aku tidak tahu itu toko apa, tapi yang jelas, umm…." Eren terdiam sejenak, dildo dan lubricant, dua kata itu teringat dari pikran Eren, "uh, Armin, toko apa yang menjual dildo dan lubricant?" tanya Eren dengan nada polos.
Hening. Suara gemuruh Armin—atau barang jatuh mungkin? Terdengar dari sisi lain ponsel Eren.
"Armin?"
"Eren! Toko yang kau masuki itu jangan bilang—"
Hening. Eren terdiam. Mendengar baik-baik kata-kata Armin di ponselnya. Seketika itu darahnya terasa memanas, wajahnya seketika memerah hingga ke telinganya. Eren menunduk malu. Tangannya memegangi dadanya yang berdebar kaget.
"Bohong kau, Armin,"
"Aku serius Eren! Toko yang kau masuki itu toko alat seks!"
.
.
Bersambung
.
A/N: fanfik pertama di fandom SnK malah temanya dewasa begini… (orz) Terimakasih sudah membaca, mohon di review dan oh ya, berikut penjelasan yang tidak ada diatas.
Dildo : alat permainan seks, biasanya berbentuk seperti alat kelamin pria, untuk interaksi jasmani dalam masturbasi atau hubungan seksual.
Lubricant : gel pelicin yang berfungsi untuk dioles pada alat kelamin ataupun bisa juga dioleskan pada alat seks.
