Can you hear the melodies?
Harry Potter belongs to JK Rowling
Written by DraRrys Lucifer
(Ai Minkyoo , Syiera Aquila)
Rate : R18!
Pair : Draco Malfoy x Harry Potter
Entertainment—Soulmate—AU!
.
.
.
.
Light stick diangkat menjulang.
Suara-suara gemuruh teriakan.
B-R-A-V-E ONE!
B
R
A
V
E
ONE!
Dua ribu lebih sorakan yang sama. Mengagungkan nama group band pujaan mereka. Fandom!
Tidak ada kepala yang terdiam. Semua mulut terbuka, mengikuti alur lagu yang dinyanyikan. Tangan-tangan terangkat maksimal. Memegang lights stick panjang dengan kepala benbentuk huruf B, bercahaya.
B for Brave.
"I—LOVE—YOU!" Sang leader berteriak memanaskan suasana.
Main vocal mengeluarkan nada tinggi andalannya.
Semua mata terpana.
Sang main vocal berlari menuju jalan panggung yang membentuk simbol infinite. Hingga tubuhnya benar-benar berada di depan dari semua member-member Brave One lainnya.
Membusungkan dada, mengangkat kepala. Membuka lapis bibir dengan memejamkan mata.
Mengeluarkan nada tinggi maksimal.
Dua ribu orang terdiam. Napas mereka tertekan dengan lantunan suara merdu maksimal.
Semua mulut tertutup rapat. Bahkan, tidak sedikit yang meneteskan air mata.
Inilah mahakarya.
Ketiga member Brave One terdiam di belakang sang main vocal.
Tersenyum bangga.
Dan saat sang main vocal menurunkan nadanya, menapaki klimaks alur lagu.
Seluruh suara kembali bergemuruh. Dengan teriakan dan tepuk tangan. Mereka melonjak bagai umat yang diberkati. Senang, bangga, merasa dicintai.
Dan konser Brave One selalu menjadi perbincangan sepanjang bulan. Song of the year, Artis of the year. Semua mereka rebut paksa.
Sebuah gemerlap dalam pencapaian.
.
.
"Jadi, apa jadwal setelah ini, Mrs Grangger?"
Hermione Grangger membuka lembaran-lembaran pada buku agenda tebalnya. Membaca teliti tiap rentetan waktu dan keterangan agenda.
"Seperti yang tertera, setelah ini kalian melakukan fans sign."
"Hmm, dan berapa lama itu? Kau tahu, fans sign adalah hal paling susah dalam setiap round event. Mereka—para fans itu—ahh, aku bingung menjelaskannya."
Hermione tersenyum simpul. Menatap leader group Brave One dengan tatapan menenangkan. "Cedric ... aku tahu bagaimana perasaanmu. Bahkan setelah satu tahun debut, kau belum terbiasa menghadapi mereka, bukan? Lagi pula, dunia menyorot kalian saat ini. Brave One selalu merebut semua kategori Billboard, dan itu semua karena para fans yang selalu membuatmu takut?"
Hermione kembali terkikik geli. Rambut ikalnya bergoyang mengikuti tubuhnya. Ia mengenal anggota Brave One bagai teman. Mereka akan memanggil nama kecil diluar pekerjaan. Seperti saat ini, Hermione akan memanggil Cedric—dengan nama kecil untuk menyemangatinya.
"Tenanglah ... Fans sign untuk round ini hanya seratus orang—" Cedric menatap Hermione tajam. "—Tenang! Ini tidak akan lama, dan ... aku sedikit khawatir untuk Harry. Bagaimana bisa setengahnya adalah fans site untuk Harry."
"What!?"
"Untuk kesekian kalinya, tenanglah Cedric! Kau bisa mengambil tempat disamping Harry—untuk berjaga-jaga—semenjak tanda soulmate Harry keluar, seakan ... seluruh dunia menginginkannya. Aku khawatir akan hal itu." Hermione menghembuskan napas kasar.
Cedric hanya bergeming ditempatnya. Menyandarkan tubuhnya pada sofa maroon itu, mengistirahatkan sendi-sendi yang pegal pasca konser.
.
.
Harry Potter. Member termuda dalam grup Brave One. Menyandang posisi sebagai main vocal. Wajah manis dan menawan. Member yang paling mencolok dan memiliki fans site paling banyak daripada member lainnya.
Ia mendapatkan tanda soulmatenya saat debut tahun lalu. Tanda berbentuk dua love bercermin yang saling berbelit seperti ular dengan simbol infinite yang merantai keduanya. Dengan itu ia telah baligh dan mempunyai seseorang—yang entah dimana—dan akan menjadi matenya kelak.
Beruntung world tour kali ini tidak terlalu menguras tenaganya. Jadi ia bisa sedikit bernapas lega.
Harry tahu, acara fans sign tidaklah mudah—baginya. Menghadapi puluhan orang secara langsung, tanpa pagar pembatas. Ia tahu, fansnya telah merogoh cek yang cukup besar untuk acara ini, tidak sepantasnya Harry menghindar. Lagipula, jika bukan karena para fans yang membuat namanya dikenal, maka siapa lagi?
"—Jadi ... um, menurutmu bagaimana dengan kadoku—um—apa kau suka, Harry? A—apa aku boleh memanggil namamu begitu?"
Harry tersenyum lembut kepada gadis yang kini berdiri didepannya. Mereka hanya terpisah oleh meja satu meter. Gadis itu, memberikannya hadiah berupa sekotak coklat berukuran medium.
"Tentu aku suka—" Harry menorehkan tanda tangan pada album sang gadis, "—terimakasih telah mendukung Brave One, nona."
Gadis itu bersemu dengan mata tertutup. Lalu melangkah pergi untuk mempersilahkan fans selanjutnya dalam barisan.
—Enghh. Harry merenggangkan otot-otot pada tangannya. Menarik kedua lengannya ke atas. Tak sengaja, ia menyingkap kerah kemejanya yang memang sengaja tidak dikancing penuh. Mempertontonkan tanda soulmate pada pundak kananya
"Selamat siang,"
Harry tersenyum lembut. Memandang fansnya yang kini telah duduk dihadapannya.
"Selamat siang, terimakasih telah datang dalam acara fans sign hari ini." Harry memandang sosok didepannya. Laki-laki berbadan tinggi, rambut hitam tertata rapi."Aku ingin tanda tangan dalam albumku,"
"—Ah, tentu saja."
Sembari menorehkan tanda tangan pada album tersebut. Sosok di depannya tak berhenti memandang Harry dengan tatapan mesum. Sesekali fans itu menjilat bibir bawahnya, jakun yang naik turun seakan mulai terbakar suasana.
Harry yang menghela napas, sedikit lelah. Kerah kemeja yang tersibak—tanpa ia sadari—mempertontonkan tanda soulmatenya yang indah. Kulit putih lehernya—
"Harry..."
-leher jenjang Harry terangkat, iris emeraldnya beradu dengan sosok didepannya.
"Ya?"
Harry menelan ludah, ia merasakan ada sesuatu yang tidak baik—oke, mungkin firasat selalu menuntunnya pada jalan yang buruk.
"Kau adalah mateku."
"..."
Satu sudut bibir Harry terangkat. Memang, firasatnya tidak pernah salah. Ia ingin tertawa remeh untuk sosok di depannya. Tapi, ia tahu etika.
"Maaf?"
"Kau adalah mateku, Harry!"
Sosok tersebut mulai memaksa. Sedikit berteriak.
Antrian fans di belakangnya mulai ricuh karena teriakan tersebut. Mereka memincingkan mata. Ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
"Maaf, aku tahu kau berbohong. Kau bukanlah orang pertama yang mengaku mateku, tuan."
"Tidak! Kau adalah mateku, dan itu harus!" Ia berdiri dari kursinya dan menghampiri Harry.
"Kyaaaa!" Para fans dibelakangnya berteriak histeris saat mengetahui Harry ditarik paksa oleh orang tersebut.
Mendekap Harry dari belakangnya. Menodong sebuah pisau lipat yang siap menebas leher Harry kapan saja.
Napas Harry tercekat.
"Security! CEPAT PANGGILKAN SECURITY!"
Keadaan ricuh tak terkendali.
Mereka berlari, berhamburan, bagai kerumunan semut-semut yang disapu angin besar.
Dan bagimana bisa, tidak ada petugas keamanana disekitar area fans sign.
"Kau tahu, Harry..." ia berbisik pada telinga Harry. Membuat Harry bergidik muak. Meniup cuping telinga Harry dengan sensual. "...aku selalu bermasturbasi dengan wajahmu sebagai pelampiasan. Itu sangat menyiksa! Aku ingin kau, Harry. Aku ingin menyetubuhimu brengsek!"
Harry tidak menggubris apapun. Dalam hatinya, ia ketakutan. Apa ini akan menjadi akhir karirnya—hidupnya? Mati ditangan seorang fans psikopat.
.
"Bersedia menjadi mateku atau mati ditanganku, sayang?"
"Dalam mimpimu, bajingan—AKHH!" Bilah pisau mulai menyat leher Harry perlahan. Menimbulkan sensasi perih yang sangat.
"Kuulangi sekali lagi sayang ... bersedia jadi mateku atau mati ditanganku!?"
"P—peduli setan!" Harry berteriak sedikit kencang, sembari mengesampingkan rasa sakit pada sayatan dilehernya.
"Baiklah, kalau kau ingin mati!"
Pisau lipat terangkat tinggi.
Harry menutup kedua matanya.
Menjemput ajal.
.
BRUKK!
"Maaf, tapi kau yang akan mati, tuan."
.
.
Sebagai leader yang bertanggung jawab. Cedric akan melakukan apapun untuk seluruh member Brave One. Bahkan jika ia harus mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan salah satu rekannya.
Luka Harry tidak terlalu fatal. Namun tetap saja, ia harus melakukan pengobatan maksimal. Mengetahui ia adalah anak emas dari agensi yang menaunginya.
Ron dan Seamus selalu mengikuti Harry kemanapun. Sejak kejadian dua hari lalu. Mereka akan menjadi tameng Harry, kanan dan kiri. Hingga mereka melakukan perjalanan pulang. Kembali ke negara asal tempat agensinya, setelah dua minggu melakukan world tour.
"Apa masih sakit, Harry?"
"Tidak terlalu, Ron. Ini hanya luka ringan."
Harry mendudukan dirinya pada sofa navy. Menyamankan dirinya hingga pesawat ini melandai di bandara London nanti.
Brave One mengenakan pesawat pribadi. Ah tidak, pesawat agensi, yang memang digunakan untuk para artis mereka melakukan world tour.
Berbentuk layaknya kamar hotel bintang lima, yang dimana akan memanjakan para member Brave One selama perjalanan.
"Jadi ... apa kau trauma?" Seamus menimpali. Ia ikut mendudukan dirinya di samping Harry sembari menyesap koktail blue ocean. Menuangkan likuit beralkohol pada kerongkongan.
"Huh? Aku bahkan tidak menghitung, sudah berapa puluh orang yang mengaku mateku saat fans sign." Harry mulai malas membicarakan hal itu. Tiap melakukan fans sign, selalu ada hal-hal yang mengancam keselamatan dirinya.
"Ahahaha, tenang Harry. Security tidak berada dilokasi saat itu, karena mereka semua berjaga di area stage dan gerbang utama. Bodoh memang, bagaimana bisa mereka tidak ada yang berada di dekat artisnya yang sewaktu-waktu bisa diculik oleh fans-fans. Syukurlah Cedric dengan cepat menghantamkan kursi besi ke kepala si psikopat itu." Ron hanya mencoba menenangkan suasana hati Harry, yang nyatanya semakin memburukkan suasana hatinya.
Harry mendengus kasar.
Meninggalkan kedua rekan rapper dan dancer Brave One dengan pandangan membunuh.
.
Memasuki kamar mandi, Harry menatap cermin dan memandang tanda matenya dengan tatapan kosong. Menyentuh tanda unik itu di cermin, Harry meghembuskan napas lemah. Entah harus berapa kali lagi kejadian seperti kemarin itu terjadi padanya sebelum dia bertemu matenya yang sebenarnya.
Kembali menghembuskan napas, Harry memperbaiki bajunya dan memutuskan untuk membasuh wajahnya. Saat ini ia butuh tidur, dan beruntung masih ada beberapa jam lagi sebelum mereka mendarat. Kembali ke Inggris dan memulai pembuatan single baru mereka.
.
.
Tom Marvolo Riddle, CEO dari TR Entertainment –tempat Brave One bernaung– menghempaskan berkas ditangannya ke meja dengan wajah murka. Irisnya yang berwarna kemerahan menatap tajam pada sosok pemuda berpakaian khas butler di hadapannya. "Katakan padaku, bagaimana kalian bisa lalai dalam menjaga Harry? Bukankah aku sudah memperingatkan kalian untuk memastikan kalau kali ini Harry takkan terluka lagi? Lalu bagaimana bisa dia terluka seperti itu hah!?"
Pemuda dengan setelan pakaian resmi itu hanya bisa menunduk, terlalu takut untuk menjawab pertanyaan bossnya yang sedang dilanda kemurkaan itu. Memang, sejak debut Brave One sejak setahun yang lalu, Tom Riddle seolah memprioritaskan keselamatan Harry Potter –anggota termuda Brave One– dimanapun mereka tengah mengadakan konser. Terlebih dalam World Tour ini. Dan, sebagai anak buah yang baik, dia beserta teamnya sudah berupaya melindungi para anggota Brave One, terutama Harry itu dengan sebaik-baiknya. Namun, siapa sangka kalau akan ada kejadian seperti itu?
"Siapa yang bertanggung jawab dalam mengarahkan para security itu?" Tom memijit pelipisnya dengan ekspresi lelah yang tidak disembunyikan.
"Ma-Madam McGonagall, sir." Jawab pemuda itu terbata.
"Panggilkan dia, dan kau boleh pergi." Usir Tom dengan wajah mencela.
Tanpa diperintah dua kali, pemuda itu bergegas pergi. Dan tak berapa lama, pintu ruangan Tom diketuk dari luar.
"Kau memanggilku, boss?"
"Apa saja yang kau arahkan pada security idiot itu sehingga mereka bisa melepaskan pengamanan pada Harry, hn?"
"Maaf boss. Saat itu para security memfokuskan pengamanan di luar area fans sign. Mengingat beberapa waktu lalu ada penyerobotan besar-besaran dari para fans itu. Makanya, mereka sedikit lalai dan..." Minerva McGonagall tidak melanjutkan kalimatnya. Karena, dia tau kalau pria berumur 30 tahunan itu paham maksudnya.
Tom berdecak kesal. "Bagaimana keadaan Harry sekarang?"
"Mereka sudah mendarat 15 menit lalu boss, dan dalam perjalan ke sini."
"Suruh mereka langsung istirahat dan tidak melakukan apapun. Lalu kau suruh Ms. Granger menghadapku."
"Baik boss!" dengan itu, Minerva mengundurkan diri dari hadapan Tom Riddle. Menutup pintu di belakangnya, Minerva tak perlu menengok untuk tau ekspresi terganggu dan khawatir yang tersirat di mata pemuda matang itu.
.
Seperti perintah Tom, kurang dari 30 menit kemudian Hermione Granger mengetuk pintu ruangan Tom. Tom yang sudah mengendalikan kondisinya langsung menatap datar gadis dengan rambut coklat mengembang di hadapannya itu.
"Erm... ini laporan tour Brave One, sir" ucapnya gugup sembari menyerahkan sebuah buku pada Tom.
Melirik sekilas, Tom terlihat tidak tertarik membaca apapun yang tertera di sana. "Kau, sampaikan pada publik kalau Brave One akan mengambil hiatus untuk sementara waktu."
"Hi-hiatus? Tapi kenapa sir?"
"Karena Harry terluka. Lagipula bukankah mereka baru saja melakukan world tour? Hal yang wajar bagi mereka untuk mendapatkan waktu istirahat."
"Ah... baik sir!" Hermione segera mencatat di gadgetnya.
"Dan... selama masa mereka libur, mereka akan melihat para trainee D'ragon berlatih."
"D'ragon, sir?"
"Grup baru yang akan debut 2 bulan lagi. Brave One adalah senior mereka, jadi tak ada salahnya bagi Brave One untuk melatih para junior mereka." Jelas Tom dengan nada malas.
"A-ah.. baik sir, saya mengerti!"
"Hn. Kau boleh pergi" usir Tom sebelum kemudian menekuni berkas yang ada dihadapannya. Tanpa buang waktu, gadis manis itu langsung undur diri dan menyambangi Brave One di dorm mereka –yang memang berada di gedung megah TR Entertainment itu.
.
"Guys... coba tebak!" Hermione membuka pintu dorm dengan wajah berseri-seri. Dia menatap penuh semangat pada 4 pemuda tanggung yang tengah bersantai di ruang tamu.
"Ada apa 'Mione?" Tanya Ron langsung. Malas menerka-nerka penyebab kebahagiaan manager mereka itu.
"Karena kalian sudah melakukan world tour selama dua minggu, pihak management memberikan kalian libur. Dengan kata lain, mulai besok kalian resmi hiatus dan menikmati liburan kalian." Jawab Hermione dengan semangat.
"Oohh kukira apa. Kalau begitu, apa kami bisa tidur sampai jam 12 siang?" Tanya Seamus yang langsung saja dihadiahi timpukan bantal dari sang manager.
"Libur atau bukan, kalian takkan pernah diizinkan untuk bangun sesudah jam 7 pagi, tahu!" ucapnya ketus. "Kalian ini idol, tapi pemalas sekali" sambungnya dalam gerutuan kecil.
"Aku hanya bertanya, okey?" Seamus mengelus kepalanya yang baru saja berciuman dengan bantal empuk itu.
Harry berhenti melahap makanan dihadapannya dengan wajah bingung. Dia menatap Hermione dengan iris emerald yang menyorot polos. "Lalu, apakah ada hal lain tentang ini, 'Mione?" tanyanya karena mendapati wajah gembira Hermione yang tidak kunjung hilang.
"Apa kalian tau mengenai D'ragon?" Hermione balik bertanya. Kali ini memasang wajah misterius.
Cedric menaikkan alisnya dan berpikir selama beberapa waktu. Tapi begitu tak ada satupun petunjuk sampai ke otaknya, dia menggeleng. Kemudian menatap penuh tanya pada Hermione.
"D'ragon itu bukankah grup baru yang akan debut 2 bulan lagi? Aku mendapatkan kabar kalau mereka berisi 5 orang pemuda yang lulus seleksi trainee beberapa bulan lalu." Harry menjawab cuek.
"Darimana kau tau, Harry?" Ron menatap Harry bingung. Biasanya, dalam segala informasi, Harry adalah orang yang selalu terakhir tau. Jadi ini cukup aneh saat Harry bahkan lebih tau tentang D'ragon saat sang leader bahkan tak tau apapun tentang mereka.
"Kalau kau mempunyai penata rambut seorang ahli gossip Ron, kau akan tau segala berita di management ini sebaik aslinya. Walaupun kebanyakan hanyalah rumor tanpa kenyataan yang jelas." Jawab Harry sambil mengangkat bahu dan kembali menekuni makanan di piringnya.
"Harry benar. D'ragon akan debut dua bulan lagi. Dan kalian, sebagai grup yang lebih senior, akan mendapatkan kehormatan untuk melatih mereka selama masa liburan kalian. Aku tak yakin sih, berapa lama Mr. Riddle akan memberikan kalian liburan. Tapi selama dua bulan ini, kalian akan memantau para trainee itu. Bagaimana? Bukankah ini adalah hal yang sangat keren?"
"Keren darimananya?" Ron langsung memasang wajah cemberut.
"Ini keren, tau! Sebelum kesini aku sudah mendapatkan data mengenai 5 orang itu. Dan percayalah, mereka itu adalah anak-anak yang sangat berbakat! Kalian tidak akan menyesal karena melatih mereka!" seru Hermione dengan aura bling bling disekitarnya. Tak mempedulikan Ron dan Seamus yang menatapnya aneh, Cedric yang hanya bisa tertawa kaku dan Harry yang masih sibuk dengan makanannya.
.
.
Tom menatap lembaran foto di tangannya dengan ekspresi tak terbaca. Foto-foto itu adalah foto-foto yang diambil oleh para paparazi sewaktu fans sign beberapa hari lalu itu. Irisnya yang merah menatap tajam pada sosok pemuda yang tengah menempelkan pisau ke leher Harry.
Bibir yang biasanya terkatup lurus itu memperlihatkan sebuah seringaian mengerikan. Seringaian itu seakan menjanjikan penderitaan pada siapapun yang mendapatkannya. Dan Tom akan pastikan, kalau sosok orang yang sudah mengancam Harry itu akan merasakan penderitaan yang paling kejam. Penderitaan yang akan membuatnya memilih kematian daripada menjalani hidup. Dan Tom selalu memegang kata-katanya!
.
.
Draconis Lucius Malfoy adalah sosok yang ambisius. Dia bukanlah sosok pemuda manja yang hanya bisa merengek pada ayahnya, tapi dia adalah pemuda keras kepala dengan ambisi menjadi nomor satu. Dan semua teman segrupnya, D'ragon tau itu dengan pasti.
Maka, takkan mengherankan bila melihat wajah tampan nan dingin itu menggelap saat melihat berita kesuksesan World Tour dari Brave One beberapa waktu lalu itu. Brave One yang sebenarnya merupakan senior mereka -mengingat Brave One dan D'ragon berada dibawah management yang sama- itu memang tengah merajai dunia musik. Bukan hanya karena album mereka yang selalu menjadi incaran nomor satu para fans diberbagai belahan dunia, tapi juga dikarenakan 4 pemuda Brave One itu memang sosok yang humble dan sama sekali tidak bertingkah.
Draco mendesah lelah, dia sudah bosan dengan semua berita mengenai kesuksesan Brave One itu, dan sayang sekali tak ada satupun siaran bagus yang bisa ditontonnya sekarang. Kalau sudah begini ... Satu-satunya cara untuk menghilangkan kebosanannya adalah dengan berlatih!
"Viktor, Blaise, Theo, Marcus, kita latihan sekarang! Kalian belum menyempurnakan koreo yang dibutuhkan untuk penampilan perdana kita. Dan sebagai leader yang baik, aku sama sekali tak ingin ada satupun kesalahan!" Serunya dengan nada tak terbantahkan.
"EEHHH?" hanya seruan tak percaya bercampur pasrahlah yang bisa di keluarkan oleh anggota D'ragon lainnya itu. Mata mereka memang memandang penuh protes pada sosok sang Leader, tapi sayang sekali mereka tak bisa melakukan apapun selain mematuhi perintah—hukum—dari leader mereka itu.
Alhasil, sore hari yang harusnya menjadi waktu istirahat D'ragon digantikan dengan latihan barbar yang dipimpin seorang Draco Malfoy.
.
.
"Harry! Look! Berita tentang penyerangan saat fans sign ... wow! Bukankah ini terlalu berlebihan!?" Seamus menyodorkan tablet dengan layar sepuluh inchi kearah Harry, dan hanya disambut dengan putaran bola mata sang main vocal.
"Aku tidak tertarik,"
Kini, ketiga member Brave One tersebut, menikmati hari pertama libur mereka.
Seamus yang sibuk dengan gossip-gossip pada tablet, Harry yang hanya menonton televisi sembari memakan snack, dan Ron yang juga sibuk dengan gadget layaknya Seamus.
"Aku tidak mengerti, bagaimana bisa para fans-fans itu mendapatkan video kita seperti ini, bahkan tidak kita sadari." Ron menunjukan sebuah video fancam kearah mereka berdua. Dalam video berdurasi satu menit memperlihatkan Cedric yang mengambil tas dari pundak Harry—sangat gentle.
"Bahkan disini tertulis CeRry, Cedric love Harry?" Ron membaca caption tersebut dengan terbata.
"Berhenti mengamati hal tidak penting seperti itu, Ron. Kau tahu kan, bukan untuk pertama kalinya para fans melakukan hal itu, bahkan foto topless mu pernah diedit dengan Seamus, ingat?" Si member termuda menanggapi santai. Dan Ron merasakan bulu-bulunya menegang, mengingat bagaimana fans-fans itu berfantasi liar tentang meraka.
Harry tidak pernah membayangkan kehidupan artis akan menyenangkan, dia sudah membuktikannya sendiri. Latihan setengah mati setiap hari, apa bedanya dengan mati tiap hari? Tapi bukan itu, semua orang mempunyai pilihan. Dan menjadi seorang idol adalah pilihannya.
"Guys! Jadwal kita hari ini..." Suara wibawa itu mengalun pada penjuru ruangan. Ruang rekreasi Brave One. Cedric melangkah perlahan, menghampiri member-member yang lain.
"Kukira kita benar-benar akan free, huft!" Seamus membuang napas sebal. Oh! Ayolah, siapa yang tidak memimpikan liburan jika kau dipaksa bekerja keliling dunia selama dua minggu.
"Uhuk!" Harry terbatuk. Sepertinya sang main vocal memang membutuhkan liburan.
"Tulangku sakit semua, Ced." Dan main dancer dalam grup pun ikut mengeluh.
Cedric hanya memutar bolamatanya. "Come on! Kalian hanya mengamati, sebagai senior, masih ingat grup D'ragon itu. Kalian cukup duduk tenang dan melihat."
.
.
Ruangan itu didominasi oleh warna silver yang berpadu dengan hijau sebagai pallet pada sudut-sudut dinding. Terdapat logo TR ENTERTAINMENT tercetak besar pada bagian belakang, dan dinding kaca yang berhadapan langsung dengan dinding berlogo agensi itu.
Seperti biasa, trainee yang akan debut itu, menghitung hari untuk membuka gerbang baru. Semakin giat berlatih, menjaga pola tubuh agar bugar atau lebih tepatnya agar mempesona untuk pandangan pertama nanti. Karena, besar fandom yang akan mereka raih, adalah dari pandangan pertama—debut.
Sempurna, hal wajib yang akan mereka tampilkan.
"Kalian telah berlatih dengan sangat baik, kawan. Dan ... hari ini kita akan kedatangan tamu spesial." Draco menyeka sedikit keringat yang mengalir pada pelipisnya. Rambut silvernya sedikit lepek dan menempel pada headband hitam yang ia kenakan saat ini.
"Oh ya? Kuharap aku tidak gugup," Theodore Nott—main vocal dalam grup menimpali lirih. Ia hanya terduduk santai, meluruskan kakinya, merenggangkan ototnya.
"Santai kawan, mereka hanya senior grup," Victor Krum—visual, menimpali keluhan Theo.
Tok tok tok
Satu-satunya pintu satu daun dalam ruangan terketuk. Menimbulkan sedikit keterkejutan seluruh member D'ragon.
"Ok, sepertinya itu mereka. Blaise, kau bukakan pintu. Dan kalian semua, berdiri berjajar di sampingku, saat senior kita masuk, kita harus menyambut mereka dengan hormat, mengerti?" Sang leader memberi arahan. Dan tanpa bertanya lebih lanjut, seluruhnya mengikuti arahan Draco. Sosok pemimpin yang tak terbantahkan.
.
.
Kehidupan adalah lembaran-lembaran naskah yang bahkan sang pemeran tidak mengetahui isi naskah tersebut. Pemeran akan bertindak sesuai alur pada naskah, tanpa mengetahui bagaimana lembaran naskah pada halaman selanjutnya.
Setiap orang didunia ini memiliki pasangannya. Memiliki belahan jiwanya. Jika kau bertanya, kenapa ada seseorang yang tidak memiliki pasangan hingga ajal menjelang? Jawabannya adalah satu, maka belahan jiwanya ada di surga, bukan di dunia.
Bahkan, Harry tidak mengetahui bagaimana dan dimana belahan jiwanya saat ini. Jangan menganggap jika ia layaknya remaja labil yang ingin bercinta. Bukan, ada kalanya ia sangat penasaran. Apakah benar? Jika lambang soulmate pada dirinya memiliki pasangan?
Nyatanya, Harry tidak mengetahui bentuk tanda dari teman-teman grupnya. Ataukah tercetak pada bagian yang tak terlihat?
"Harry, are you ok?"Cedric memandang Harry yang kini berjalan di sampingnya.
Tidak dapat dipungkiri. Harry terlihat gelisah. Dengan napas yang sedikit memburu dan kepalan-kepalan tangan yang dilakukannya tiap saat.
"I—i'm ok, Ced." Harry berusaha menenangkan tubuhnya yang bereaksi diluar ekspetasi. Jantungnya berpacu dua kali lebih cepat. Berdentum tidak karuan.
Ron dan Seamus berjalan dibelakangnya.
Pintu ruang latihan itu hanya berjarak sepuluh meter didepannya. Namun, Harry merasakan kalau tubuhnya memang perlu diistirahatkan.
Langkah demi langkahnya terasa berat. Namun, ada sesuatu yang mengganjil, yang membuat dirinya ingin segera berlari memasuki ruangan itu. Menemui, siapapun orang dalam ruang tersebut.
"Nah, ingat, yang perlu kalian lakukan hanya mengamati, dan memberikan arahan bila perlu," Cedric bersiap membuka pintu.
Pandangan Harry terasa berputar.
Pintu itu terbuka.
Harry melangkah perlahan dibelakang Cedric.
Namun, dalam hitungan detik setelahnya, ia tertahan paksa. Syarafnya mati, diam kaku ditempat.
Iris emeraldnya menangkap sosok asing yang menarik perhatiannya.
Sosok itu...
"—'Rry Potter!" Ron berbicara dengan keras tepat di depannya. "Kau melamun seperti patung." Dan pikiran Harry yang sempat kacau kini terkumpul kembali.
"A—ah, maaf."
"Cepatlah, aku ingin tidur siang."
Dan Harry hanya memutar bolamatanya menanggapi guyonan garing Ron. Ia mengikuti member Brave One yang lain untuk berbaris berhadapan. Saling memberi hormat.
.
Dan tanpa Harry sadari,
Ia berhadapan dengan sosok itu.
.
"Perkenalkan, Draco Malfoy, leader serta main rapper dalam D'ragon. Mohon bantuannya." Suaranya rendah. Serta berat dan berwibawa. Sosok pemimpin layaknya Cedric, namun, Draco memiliki aura mengintimidasi lawannya.
Harry reflek menunduk pelan.
"Theo, Theodore Nott, vocal."
"Blaise Zabini, rapp dan vocal."
"Marcus Flint, dancer dan rapper."
"Victor Krum, vocal dan visual."
Tiap member D'ragon memperkenalkan dirinya dengan cepat. Mereka membungkuk perlahan sebagai tanda penghormatan.
"Senang bertemu kalian, kami disini hanya akan mengamati kalian berlatih, tidak lebih."
Bagaimana suara Cedric menimbulkan helaan napas lega dari beberapa member di depannya.
"Kalian boleh memulainya, sekarang." Dan saat Cedric secara tidak langsung memberikan perintah.
Member D'ragon membentuk formasi sesuai koreo yang mereka pelajari.
Harry dan kawan-kawannya hanya terduduk tenang di pinggir ruangan.
Musik hip-hop memenuhi ruangan. Tiap gerakan koreo terakit indah.
Dan, entah sadar atau tidak, iris emerald Harry benar-benar tidak dapat berpaling dari leader D'ragon tersebut. Benarkah? Harry menampar pemikirannya.
Namun, hatinya tak dapat menghianati. Dirinya seakan tertarik. Ingin selalu didekat sosok itu.
Selama ini Harry tidak pernah merasakan hal konyol seperti ini, terlebih lagi, untuk tiap fans yang selalu mengaku dirinya sebagai mate Harry. Harry tahu, jika mereka berbohong, karena yang ia rasakan hanyalah kehampaan. Tidak ada yang spesial.
Dan sangat berbeda dengan yang ia rasakan saat ini. Ia bisa gila.
Tidak.
Tidak.
Tidak!
Harry berteriak dalam hati. Apakah Harry harus bertanya, memastikan bahwa sosok yang ia pandangi hingga koreo latihan berakhir itu adalah matenya?
"Amazing!"
"Itu sangat keren!"
"Kalian melakukannya dengan bagus, selamat!"
Bahkan, Harry tidak menyadari bahwa teman-teman grupnya telah berdiri sembari menyalami member D'ragon disana. Untuk kesekian kalinya, pikirannya kosong, tidak fokus. Perasaan-perasaan ini mengganggu, sedikit menyesakkan.
Tubuhnya memberikan reaksi berlawanan.
Kaki Harry berjalan cepat, menuju sosok yang kini berdiri di samping Cedric. Mereka bercengkrama.
Iris emerald Harry terlihat berlinang.
GREB!
Kedua lengan putihnya melingkar erat. Memeluk seseorang yang bahkan baru ia ketahui namanya limabelas menit yang lalu.
Harry membenamkan wajahnya pada dada bidang Draco Malfoy. Menghirup pekat aroma sosok yang ia yakini matenya itu.
"Belahan jiwaku," Harry bergumam.
"Belahan jiwaku ... belahan jiwaku ... belahan jiwaku-" Ia mengulang kalimat itu hingga tiga kali.
Draco termenung, "Tapi aku bukan belahan jiwamu." Balasnya pelan.
Iris emerald Harry membulat,
Melihat tanda soulmate pada punggung tangan Draco. Tanda yang berbeda dengannya.
.
.
To be continued.
.
.
AN : Draco—Harry, DraRry. Dua sejoli yang selalu sukses untuk memerangkap kita dalam jeratan cinta. Dua karakter yang selalu membuat tangan kita gatal untuk memeluk mereka berdua. Kami harap, kisah ini layak untuk disajikan dan dipersembahkan untuk kalian semua, para DraRry Shipper yang turut berenang dalam kolam romansa ini. Trims.
.
Salam manis,
Ai Minkyoo, Syiera Aquila.
