Yo! Holaaaa, Li-chan di sini. Ah, ya sebenarnya ini fanfic pertamaku.

Berhubung aku suka Fairy Tail, jadi kepikiran untuk buat fanfic ^^

Yosh langsung ke cerita~

Fairy Tail

Disclaimer: Hiro Mashima

Triplet Brave

Main pairing: Natsu x Lucy

Genre: Romance

Warning: OOC, Typo(s), Humor garing dll


Prolog

Pagi itu Gray sedang berjalan-jalan di Crocus, sebenarnya mage itu kemarin baru saja menyelesaikan misinya dan berencana pulang ke guild siang nanti. Sambil melihat orang yang berjualan di sekitarnya, dia berusaha mencari sesuatu untuk seseorang. Dipandanginya sebuah toko yang menjual perhiasan di tengah kota itu. Sebuah kalung bermatakan aquamarine menarik perhatiannya. Mungkin ia akan membeli kalung itu dengan bayaran misinya yang lumayan banyak.


Sementara itu di pinggiran Crocus..

"Ne, Haru kau tunggu di sini ya. Aku dan Polar akan membeli beberapa buku dan peta dulu." pesan seorang gadis berambut merah muda panjang sepinggang.

Gadis itu dan beruang kecil berbulu putih itu pergi meninggalkan seorang anak laki-laki yang warna rambutnya sama dengan gadis itu.

Tak berselang lama setelah gadis itu pergi, terdengar suara keleaparan dari perut anak laki-laki itu.

Tanpa sepatah kata pun anak itu langsung pergi dari tempat itu, tanpa mengingat pesan dari kakaknya.

Setelah keluar dari toko perhiasan itu Gray berencana ke penginapan terlebih dahulu untuk mengambil barang-barangnya. Namun baru berjalan beberapa langkah, dia tidak sengaja menabrak anak laki-laki berambut merah muda, membuat anak itu jatuh terduduk di tanah.

"Maaf aku tidak melihatmu, apa kau tidak apa-apa?" tanya Gray sambil membantu anak itu berdiri.

Anak itu menjawab dengan sebuah anggukan.

Reflek saja anak itu langsung menepuk-nepuk pakaiannya untuk membersihkannya.

"Begitu ya. Lain kali aku akan lebih berhati-hati. Kalau begitu aku pamit dulu." pamit Gray.

Sebelum pergi Gray sekilas memperhatikan anak itu. Rambutnya berwarna merah muda, memakai syal, mengingatkannya akan rivalnya di guild. Hanya saja wajah anak itu sangat datar, dan dia juga pendiam.

"Hah.. Setelah melihat anak itu, aku jadi teringat wajah Flamehead yang menyebalkan itu. Tapi entah kenapa setelah melihat anak itu dengan wajah datarnya membuatku jadi lebih kesal." ujarnya sambil menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal.

Tanpa terasa Gray sudah berada di depan penginapannya. Dia hanya tinggal mengambil barang barangnya yang ada di kamar setelah itu membayar ke pemilik penginapan. Namun saat akan membayar pada pemilik, Gray berusaha mengecek dompet disaku celana panjangnya berulang kali namun hasilnya tetap nihil. Yang dia temukan di saku celananya hanya sebuah bungkusan yang berisi perhiasan yang tadi dia beli. Apakah dompetnya tertinggal di toko perhiasan? Tidak, itu tidak mungkin. Karena setelah membayar, dompetnya langsung ia masukkan ke dalam saku celananya. Otaknya berusaha mengingat dengan keras kejadian setelah dia pergi meninggalkan toko perhiasan itu. Sampai akhirnya dia mengingat sesuatu.

"Sial, anak itu mengambil dompetku." katanya sambil merutuki kebodohan dirinya sendiri dan bergegas meninggalkan penginapan lagi untuk mencari anak tadi.


Gray menyusuri jalanan di Crocus dengan berlari, berusaha kembali ke tempat tadi. Dia yakin anak itu masih ada di sekitar tempat tadi. Mungkin akan sedikit sulit dan memakan waktu karena keramaian yang ada di Crocus itu sendiri. Namun dia tidak bisa menyerah begitu saja, karena di dalam dompet itu ada sesuatu yang menurutnya sangat berharga.

"Ah, itu dia!" gumamnya saat melihat anak itu sedang makan dengan lahapnya di sebuah restoran.

Gray mempercepat larinya agar anak itu tidak bisa kabur.

Sayangnya anak itu menyadari keberadaan Gray dengan langsung membayar makanannya dengan uang dari dompet Gray dan lari dari restoran itu sambil membawa potongan daging terakhirnya.

"Oy! Kembalikan dompetku anak nakal!" panggilnya.

Anak itu tetap tenang dan tidak menyahut.

Perlahan terlihat empat buah siku di dahi penyihir es itu.

"Beraninya kau mengabaikanku! Kubilang kembalikan dompetku. Atau aku akan membekukanmu dengan sihirku." ancam Gray pada anak itu.

Tetapi anak itu tetap tenang dan melahap potongan daging terakhirnya dengan sekali gigit.

"Cih. Membuat kesal saja." kata Gray yang langsung merapal sihirnya.

"Ice make: Lance!"

Tiba-tiba anak itu berhenti dan berbalik menghadapi Gray.

"Karyuu no ho-" anak laki-laki itu terhenti begitu seorang gadis berambut merah muda dan beruang kecil berbulu putih tiba-tiba muncul menghalangi di tengah-tengah mereka.

Dan dengan cekatan beruang yang semula hanya berukuran kecil itu membesar dan sudah mengenakan armor hitam legam memeluk erat gadis tadi.

Beruang itu melepaskan pelukannya.

"Ada apa ini? Kenapa paman menyerang adikku menggunakan sihir seperti itu? Paman ingin membunuhnya ya?!" kata gadis itu marah sambil berjalan mendekat kearah Gray.

"Kau salah paham! Bagaimana mungkin aku ingin membunuhnya? Yang kuinginkan hanya-" terlambat bagi Gray, tepat sebelum dia menyelesaikan kalimatnya gadis itu telah berada di sampingnya, melompat dan mengangkat sebelah kakinya.

"Luna Kick!" kaki kanan Luna tepat mengenai tengkuk Gray, membuatnya jatuh tersungkur ke tanah dengan tidak elitnya.

Meskipun Luna adalah seorang gadis, jangan pernah meremehkan tendangannya.

"Aww! Hei! Untuk apa tendangan tadi?! Aku tidak melakukan hal yang salah di sini." protes Gray yang langsung bangkit.

"Itu karena paman berusaha melukai Haru tahu." jawabnya masih disertai rasa kesal.

"Aku tidak berniat melukainya! Aku hanya ingin mengambil dompetku. Kau tahu? Adikmu, Haru telah mencuri dompetku!" jawab Gray berusaha meluruskan kesalahpahaman yang terjadi.

Dengan tidak percaya gadis bernama Luna menengok kearah anak tadi. Dengan santai dan wajah datarnya Haru mengeluarkan dompet yang dimaksud oleh si pemilik.

"APA-APAAN INI HARUU?!" teriak Luna murka.


"Sudah kubilang untuk menunggu di tempat tadi. Kenapa kau tidak mendengarku?" tanya Luna pada Haru yang sedang asik menikmati teriyaki pedasnya dengan tenang.

"Aku lapar, nee-chan." jawab Haru singkat.

"Tapi jika hanya karena alasan itu kau tidak perlu sampai mengambil dompet paman Gray, kan? Mama tidak pernah mengajarkanmu untuk mengambil barang orang lain tanpa ijin, kan?" kata Luna menasehati adiknya.

"Bukankah, nee-chan membawa semua uangnya?"

Luna tahu adiknya saat ini sedang menyalahkannya secara tidak langsung. Ah, Betapa bodohnya Luna tidak menyadari kesalahannya sendiri.

"Sudahlah, Luna.. Lagi pula paman sudah memaafkannya, tidak perlu diungkit lagi." tanggap Gray.

Mudah sekali ditebak kalau saat ini mereka bertiga sedang makan di restoran di pinggiran Crocus. Ini semua karena Luna merasa tidak enak dengan Gray atas kejadian tadi. Meskipun awalnya menolak, dengan terpaksa Gray menerima ajakan Luna karena Haru mengancam tidak akan mengembalikan dompet kesayangannya sampai Gray mau makan bersama mereka.

"Tapi kami jadi tidak enak dengan paman. Ditambah lagi dengan tendanganku yang mengenai paman."

"Tidak usah dipikirkan, lagi pula rasa sakitnya sudah hilang kok. Oh, iya. Kalian datang ke sini sendirian? Tidak bersama orang tua kalian?" tanya Gray yang penasaran karena Luna dan Haru terlihat masih sangat muda.

"Oh, soal itu-" kata Luna terhenti.

"Kami sedang mencari seseorang." jawab Haru spontan.

"Haru!" Luna merutuki seberapa cerobohnya adik kesayangannya itu, bagaimana bisa dia membicarakan hal sepenting ini dengan orang lain?

"Kalau begitu biar paman bantu. Kalian tidak terlalu kenal dengan daerah ini, kan?" tanya Gray.

Kedua anak berambut merah muda di depannya menunduk.

"Pasti kalian punya alasan kenapa tidak mengatakannya pada orang tua kalian, kan? Kalian bisa menceritakan apa yang terjadi padaku." sambung Gray.

"Sebenarnya kami berusaha mencari Ayah Luna dan Haru. Sampai kejadian itu terjadi tepatnya tiga hari yang lalu.." beruang putih kecil itu angkat bicara karena kedua anak itu hanya menunduk dari tadi.


Flashback

"Selamat ulang tahun, Shina!" kata Luna sambil membawa kue yang berlilin angka 8 di atasnya.

"Arigatou, nee-chan." balas gadis kecil berambut pirang diikat twin-tail itu sambil tersenyum.

Luna menggunakan sihirnya untuk menyalakan lilin itu.

"Nah, sekarang ayo buat permohonan dan tiup lilinnya." kata Luna sambil tersenyum pada Shina.

"Tapi mama tidak ada malam ini.. Mama kemana?" katanya murung.

"Bekerja." jawab Haru datar.

"Haru!"

"Aku hanya berusaha jujur di sini, nee-chan. Mama menitipkan ini untukmu." ucap Haru sambil menyerahkan sebuah kotak dengan kertas kado warna merah muda.

"Ini?"

"Hadiah dari mama. Karena Mama tidak bisa tinggal sampai hari ulang tahunmu." jawab Haru lagi.

Shina terdiam sambil menatap kotak hadiah ditangannya.

Ibunya pulang ke rumah setiap dua bulan sekali. Jadi, kalau Ibunya sudah kembali bekerja lagi maka dua bulan lagi dia bisa melihat ibunya pulang.

"Nah, sekarang ayo buat permohonan." ajak Luna sambil menunjuk-nunjuk lilin berangka 8 diatas kue ulang tahun Shina.

Shina memejamkan matanya, seperti mencari sebuah permohonan yang sulit ditemukan dari dalam lubuk hatinya. Namun seulas senyum kembali terukir saat dia menemukan permohonan yang dia harap bisa terkabul. Semoga saja begitu.

"Kuharap aku... bisa bertemu dengan ayah." katanya lalu meniup api lilin diatas kuenya.

Sontak saja, kedua kakaknya kaget dan kagum. Anak sekecil Shina sanggup mengungkapkan permohonan seperti itu. Mungkin saat mereka seumuran Shina mereka juga merasakan hal yang sama tetapi mereka tidak mampu mengungkapkannya.

"Apa aku boleh membuka hadiahku, nii-chan?"

"Tentu. Tapi Mama berpesan agar tidak sembarangan dalam menggunakannya." jawab Haru.

Tanpa aba-aba Shina langsung membuka kotak itu dan mengeluarkan beberapa kunci di dalamnya. Membuatnya merasa senang saat menemukan ada satu kunci emas dan dua kunci perak di dalamnya.

Tapi tiba-tiba kilatan cahaya keemasan muncul dan dari cahaya itu muncul sesosok makhluk berwujud jam.

"Ini memang sudah cukup lama. Aku kasihan sekali padamu hime." katanya lalu menangkap gadis bersurai pirang dan menguncinya di dalam ruangan tubuhnya.

"Shina?!" kata kedua kakaknya panik.

Tetapi saat Haru sudah mengeluarkan api di tangannya dan bersiap menghancurkan pintu jam itu sebuah kilatan cahaya kembali muncul.

"Tapi tenang saja aku akan membawamu 'kesana' dengan selamat." kata jam itu lalu menghilang.


"Saat itu aku sedang berada di luar rumah untuk berjaga-jaga. Jadi aku tidak tahu secara rinci kejadiannya. Tapi yang kutahu, setelah mereka berdua berteriak memanggil nama Shina, ada cahaya keemasan yang muncul. Dan Shina tidak bisa ditemukan dimana pun." kata beruang putih kecil bernama Polar itu menariik kesimpulan.

"Intinya kami ingin mencari Shina terlebih dahulu sebelum mencari Ayah." lanjut Luna yang telah kembali menjadi dirinya.

"Masalahnya, kami hanya punya pilihan untuk mencari Ayah lebih dulu." sambung Haru.

"Jadi begitu ya? Kalian sama sekali tak memiliki bukti untuk menemukan Shina makanya kalian tetap mencari Ayah kalian dulu. Jadi petunjuk apa yang kalian punya?" Tanya Gray.

Kedua anak itu mengeluarkan sesuatu, Luna mengeluarkan sebuah buku tebal dari tasnya sedangkan Haru mengeluarkan sebuah buku kecil dari sakunya.

"Ini adalah buku dongeng yang ada di rak buku rumah kami. Mama sering membacakannya sebelum kami tidur." jelas Luna.

"Petunjuknya?" tanya Gray.

"Mama membaca cerita yang sama. Dimana ada seorang manusia yang bertemu dengan peri dan diajak ke sarang peri."

"Kau bisa membawa kami ke sarang peri?"

"Sarang peri ya? Aku tidak pernah dengar ada tempat seperti itu.. Lalu buku kecil ini?" Tanya Gray sambil menunjuk buku kecil bercover warna cokelat di meja.

"Entahlah, mungkin dulunya digunakan sebagai diary." tebak Polar.

"Di dalamnya ada kata-kata yang cukup aneh. Aku sudah bilang buku itu tidak bisa dijadikan petunjuk tetapi dia masih saja membawanya." Jawab Luna.

"Pelabuhan Salamander, Menara Putri Bintang Jatuh, Pulau Tujuh, Kota Gerhana, END. Hanya itu tulisan yang ada dibuku itu." kata Haru membacakan isi buku yang dibawanya.

Gray terdiam, mencoba memikirkan kemungkinan apa arti dari kata kata di buku kecil itu.

"Kurasa itu nama sebuah tempat. Aku mungkin pernah mendengar tentang 'Kota Gerhana'. Tetapi yang lainnya aku tidak tahu dimana tempatnya." jawab Gray.

"Kau tahu dimana 'Kota Gerhana'?! Bisa bawa kami kesana?" pinta Luna.

"Tunggu dulu, nona muda. Kau belum pernah mendengar tentang 'END' kan?"

Luna menggeleng. Sedangkan Haru hanya diam saja.

"END adalah...sesosok iblis berbahaya yang diciptakan untuk membunuh Zeref, seorang penyihir yang tidak bisa mati." jawab Gray

Luna dan Haru sekali lagi terdiam.

"Artinya kau ingin mengatakan kalau kebenaran apa pun yang akan kami lihat nanti harus bisa kami terima?" tanya Polar pada Gray.

"Aku tidak tahu apa arti dari tulisan END di sini. Apakah Ayahmu adalah korban... atau orang yang menggunakannya." jawab Gray.

"Aku tidak peduli dengan kebenaran yang akan kuterima. Yang penting kau harus membawaku ke 'Kota Gerhana' itu."

"Baiklah-baiklah, nona manis. Tapi aku harus kembali ke guild dulu untuk melaporkan misiku. Kalian tidak keberatan?" tanya Gray.

"Tentu. Apa kami boleh ikut?" tanya Luna.

"Ya. Hanya saja mungkin suasana di sana 'sedikit ramai'. Jadi kau harus tahan dengan orang-orang di guild."

"Asal mereka tidak menyebalkan." tanggap Haru disertai tawa Luna dan Gray


Malam ini begitu cerah, namun karena sekarang bulan November dan musim dingin telah tiba jadi udaranya tergolong sangat dingin di Magnolia. Sebuah kilatan cahaya muncul di suatu tempat dan menghilang dengan cepat, meninggalkan seorang anak berambut pirang diikat twintail sendirian di tempat itu. Anak itu begitu bingung, dia tidak tahu tempat dia berdiri sekarang, dipandangnya sekeliling.

"Happy, cepatlah sedikit! Kalau tidak, akan kutinggal kau!" teriak seorang mage dengan tato fairy tail di tangan kanannya.

BUGH!

"Ah, maaf aku sedang terburu-buru." katanya.

Namun anak berambut pirang itu menangis, membuat sang Dragon Slayer api itu keheranan dengannya.

.

.

.

TBC