侍 : Cloud of Sparrows
.
Kuroko no Basket © Fujimaki Tadatoshi
Samurai: Kastel Awan Burung Gereja / Cloud of Sparrows: An Epic Novel from Japan © Takashi Matsuoka
We don't have the plot and the characters
Kami tidak mengambil keuntungan material dari fiksi ini
Warning: OOC! Edo AU! Genderbend! Oreshi!Akashi
Baru (1 Januari 1861):
I. Bintang Bethlehem
Kala menyebrangi sungai asing nun jauh dari tanahmu, lihat-lihatlah riak air di permukaan, dan amati jernihnya air. Cermati pula tingkah laku kuda. Tetapi, waspadai serangan tiba-tiba yang tidak disangka.
Ditanahmu, di jeram yang kau kenal akrab, tajamkan pandanganmu pada bayang-bayangan di seberang sungai, dan amati pergerakan alang-alang. Dengarkan desah napas kawan terekatmu. Waspadalah akan adanya musuh dalam selimut.
Suzume no Kumo
(1491)
Tetsuna pura-pura tertidur, nafasnya dalam dan tenang. Bibirnya terkatup rapat, orbs sewarna langit bersembunyi di bawah bulu mata yang tak bergerak. Dengan indranya dia tahu, lelaki yang berbaring disampingnya terbangun.
Ketika lelaki itu berpaling menatapnya, Tetsuna berharap dia akan melihat dirinya. Rambutnya yang secerah langit musim panas tergerai acak-acakan di alas tidur. Wajahnya yang sepucat salju musim semi, bersinar dengan bantuan cahaya bulan. Badannya yang berlekuk-lekuk indah dibawah selimut sutra yang halus.
Salju pada musim semi mungkin perumpamaan yang tak sebanding dengan dirinya, bahkan jauh berbeda. Tetsuna tumbuh di sebuah desa nelayan pinggiran, jauh dari kata kawasan elit. Pipinya berbintik, walau sangat sedikit. Sedangkan salju musim semi tidak berbintik. Namun, tetap ada sinar bulan yang menutupinya. Lelaki itu bersikeras Tetsuna memiliki wajah yang bak rembulan. Lagipula, dirinya tidak berani menentang dan mengatakan tidak setuju kepada lelaki itu.
Tetsuna berharap lelaki itu memandang ke arahnya. Tetsuna adalah orang yang anggun, meski tidak dengan rambut selepas bangun tidurnya. Apa yang akan pria itu lakukan? Apa dia akan memandangi kecantikan polosnya sampai puas? Ataukah dia akan tersenyum, menunduk dan membangunkannya dengan belaian-belaian menggugah hasrat? Ataukah seperti biasanya, lelaki itu akan dengan sabar menunggu mata Tetsuna terbuka sendiri?
Terkaan-terkaan seperti itu mengganggu pikiran Tetsuna. Berputar-putar di kepalanya.
Seijuuro ternyata tidak melakukan satu pun persangkaan Tetsuna. Dia malah berdiri dan berjalan menuju jendela. Dia bertelanjang dada di depan jendela, membiarkan dinginnya fajar menusuk-nusuk permukaan kulitnya dan fokus memandang apa pun yang ditangkap oleh visinya. Satu dua kali dia menggigil, tapi enggan beranjak untuk menutupi tubuhnya dengan baju.
Tetsuna tahu bahwa ketika remaja, Seijuuro pernah menekuni latihan bela diri demi membuatnya terlihat sempurna seperti yang ayahnya inginkan. Pria merah itu pernah menjalani latihan bersama dengan para rahib di Puncak Gunug Hiei. Mereka terkenal menguasai teknik pembangkitan panas tubuh yang membuat mereka tahan berdiri di bawah guyuran air terjun yang sedingin es selama berjam-jam. Tetsuna mendesah pelan, yang dibuatnya seakan gerakan yang wajar dalam tidur. Berusaha keras menahan tawa yang hampir keluar dari kedua belah bibirnya.
Jelas sekali bahwa Seijuuro belum menguasai teknik pembangkitan panas tubuh sebaik yang ada di dalam ekspetasinya. Desahan Tetsuna yang biasanya memperdaya pria, ternyata tidak mempan terhadap Seijuuro. Tanpa menoleh ke arahnya, Seijuuro mengambil teleskop kuno, menariknya hingga panjang maksimal, dan membuat fokus ke teluk. Tetsuna merelakan dirinya untuk merasa kecewa.
Tetsuna melihat Seijuuro yang berdiri di depan jendela. Seijuuro pasti akan menyadari bahwa sebenarnya Tetsuna sudah bangun, jika tuannya itu merasakan hawa keberadaannya yang setipis benang itu. Barangkali hawa tipisnya itulah yang menjelaskan mengapa tadi Seijuuro mengabaikannya saat terbangun, dan mengabaikannya lagi sesaat setelah ia mendesah. Dia memang tidak menyadari Tetsuna.
Seijuuro memang tidak seberapa tinggi. Dan, caranya membawa diri sangat kaku dan terlalu banyak pandangan yang mengintimidasi. Bahkan Tetsuna sempat meragukan dia tidak suka bermain-main, apalagi bermain wanita. Tanpa baju, tubuh itu memiliki garis-garis otot yang menandakan keseriusannya dalam menjalani pelatihan bela diri.
Kini, sangat sulit baginya untuk tetap berpura-pura tidur. Maka, Tetsuna membuka matanya. Ia memandang figur Seijuuro yang sedang sibuk sendiri di depan jendela. Apa pun itu yang telah menarik atensi Seijuuro pasti sangat menarik karena benar-benar menguras perhatian Seijuuro. Setelah beberapa saat, Tetsuna berkata dengan maksud memecah konsentrasi Seijuuro, "Tuanku, anda gemetaran."
Mata Seijuuro terus memandang teluk melalui teleskop. "Sayangnya, tidak. Aku kebal terhadap dingin," katanya. Berusaha menyangkal tuduhan.
Tetsuna beringsut dari ranjang dan mengenakan kimono miliknya. Dia meengeratkan kimono itu pada tubuhnya, berusaha menghangatkan sebisa mungkin sambil berlutut dan mengikat rambutnya. Ah, pasti pelayannya membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mengembalikan tatanan rambut seperti biasanya. Namun, untuk saat ini, ikatan longgar sudah cukup. Tetsuna mengambil kimono milik Seijuuro. Ia berdiri dan berjalan menghampiri Seijuuro dengan langkah pendek-pendek agak diseret seperti wanita terhormat Jepang kebanyakan, kemudian berlutut dan membungkuk saat tinggal beberapa langkah lagi dari Seijuuro.
Dia membungkuk untuk beberapa saat, tidak mengharapkan perhatian darinya, dan Seijuuro memang tidak memperhatikannya. Lalu, Tetsuna berdiri, menyelubungkan kimono yang ia bawa ke bahu Seijuuro. Seijuuro membiarkan kimono itu tersampir di bahunya. "Ini, lihatlah."
Tetsuna mengambil teleskop yang diulurkan padanya dan meneropong teluk. Sekarang dia tahu apa yang telah menarik seluruh perhatian Seijuuro tadi. Ada sebuah kapal layar bertiang tiga. Kapal yang baru tiba itu lebih kecil jika dibandingkan dengan kapal angkatan laut asing, juga tidak memiliki dayung dan cerobong uap. Di sepanjang dek kapal, tidak terlihat sandaran senjata dan meriam.
Meski terlihat kecil dibandingkan kapal angkatan laut asing, kapal layar itu dua kali lebih besar dari ukuran kapal Jepang. Tetsuna berkata, "Kapal saudagar itu belum ada di sana saat kita tidur semalam."
"Kapal itu memang baru saja membuang jangkar."
Tetsuna menengok ke samping kanan, "Apa itu kapal yang anda tunggu-tunggu?" tanyanya dengan penuh kehati-hatian.
"Mungkin." Seijuuro sendiri tidak tahu jawabannya. Sedang menunggu terpenuhinya sebuah ramalan, dan ramalan memang biasanya tidak terpenuhi.
Tetsuna membungkuk dan mengembalikan teleskop. Pikirannya terbang kemana-mana lagi. Dipandangnya kapal-kapal asing yang bertambah itu. "Kenapa orang-orang asing itu sangat ribut tadi malam?"
"Mereka merayakan malam tahun baru."
Alis Tetsuna bertautan, bingung dengan jawaban Seijuuro. "Setahu saya malam tahun baru masih enam minggu lagi."
"Untuk kita. Kita baru memasuki awal tahun setelah matahari melewati titik balik musim dingin pada tahun ke-15 Kekaisaran Komei. Tapi, bagi mereka tahun baru telah tiba," jelas Seijuuro. Tetsuna mengangguk-angguk pelan. "1 January," Seijuuro berkata dalam Bahasa Asing yang Tetsuna tidak pahami. "Kau mengerti apa yang aku katakan?" Tetsuna menggeleng sebagai jawabannya.
Lalu kembali ke Bahasa Jepang, "Waktu berlalu lebih cepat bagi mereka. Karena pengetahuan mereka yang lebih maju dari kita. Lihat saja, mereka sudah merayakan tahun baru sementara kita baru akan menghitung mundur enam minggu kedepan." Seijuuro memandang Tetsuna dan tersenyum. Kejadian yang amat langka.
Mata merah delima itu kembali mengara ke kapal-kapal ke teluk. "Mesin uap menggerakkan mereka, baik pada saat badai menerjang ataupun laut tenang. Meriam yang dapat menembak bermil-mil jauhnya. Senjata api untuk setiap tentara. Selama tiga ratus tahun, kita memperdaya diri sendiri dengan terlalu mendewakan pedang, sementara mereka sibuk berusaha agar lebih efisien. Bahkan, pikiran mereka pun lebih efisien. Sementara kita sangat suka dengan hal-hal yang disamarkan. Kita terlalu bergantung pada hal-hal yang tersirat, bukan tersurat. Seperti main kucing-kucingan."
"Apa efisiensi sedemikian pentingnya, Tuanku?" Tetsuna bertanya.
"Ya dalam perang, dan perang akan terjadi."
"Apa itu ramalan?"
Seijuuro menggeleng, "Bukan, hanya akal sehat. Orang-orang asing itu pergi ke berbagai penjuru dunia dan mengambil semua yang mereka bisa jarah. Nyawa, harta, tanah, dan wanita. Mereka merampas dengan rakus. Mereka tidak asing dengan yang namanya menjarah, membunuh, dan memperbudak."
"Sungguh berbeda dengan para Bangsawan Agung negeri ini," ucap Tetsuna.
Seijuuro tertawa singkat. "Maka menjadi tugas kami para bangsawan untuk menjamin semua bentuk penjarahan yang mereka lakukan di Jepang. Yang bisa melakukan itu hanya kami. Kalau tidak, bagaimana mungkin kami menamai diri Bangsawan Agung?"
"Kalau begitu, saya merasa aman mengetahui perlindungan yang demikian besar. Saya akan menyiapkan air untuk mandi anda, Tuanku," Tetsuna membungkuk.
"Terima kasih."
"Bagi kita saat ini adalah jam anjing[1]. Kalau bagi mereka sekarang jam berapa?"
Seijuuro melihat jam yang ada di atas meja. "Sekarang sudah jam tujuh lebih sepuluh menit"
"Tuanku, apakah anda memilih mandi pada pukul tujuh lebih sepuluh atau pada jam anjing?" Seijuuro kembali tertawa dengan tawanya yang ringan akibat humor yang baru saja Tetsuna lontarkan. Tetsuna sempat berpikir, dia suka mendengar Seijuuro tertawa. Karena jarang sekali lelaki itu tersenyum, apalagi tertawa seperti sekarang.
Tetsuna membungkuk kembali untuk menghormati pria di sampingnya, lalu mengambil tiga langkah mundur ke belakang dan menjauh. Tetsuna dapat merasakan jika Seijuuro tengah mengawasinya. "Tunggu sebentar." Tetsuna tersenyum. Yang telah mengabaikannya selama beberapa saat tadi kini menghampirinya. Tergoda, eh?
.
.
Pandangannya menyapu sebuah daratan yang padat dosa, tempat ia dikirim untuk menyebarkan ajaran agama yang dia anut kepada orang-orang Jepang yang berada dalam kesesatan. Dalam perang penentuan, para samurai Jepang pasti akan menjadi prajurit yang kuat jika mereka mau menerima Kristus dan menjadi tentara Kristen sejati. Tidak takut mati, lahir untuk berperang, mereka adalah martir yang sempurna. Itu adalah masa depan yang ideal, apabila memang ada masa depan. Tidak, pasti ada masa depan.
Saat ini, keadaannya tidak terlihat menggembirakan. Jepang adalah tanah yang dipenuhi sundal, para tunasusila, dan pembunuh. Tetapi, dia adalah pendeta yang mempunyai Firman Sejati yang akan menyokongnya dan dia akan menang. Kehendak Tuhan pasti terjadi.
"Selamat pagi, Jason."
Suara wanita itu dengan cepat melelehkan kemarahannya terhadap para penentang Tuhan, dan sebagai gantinya gairah mengerikan tengah bergejolak dalam otak dan tubuhnya. Tidak, tidak, dia tak akan menyerah terhadap nafsu yang hanya berlaku kepada hewan liar saja. "Selamat pagi, Alexandra," balasnya. Silver berusaha keras membangun dinding pertahanannya saat berbalik memandang Alexandra. Alexandra Garcia adalah pengikutnya yang paling setia. Silver mengusir pikiran tentang apa yang belum ia lihat dari Alexandra. Tubuh polos wanita itu.
Oh, godaan dan tipuan daging. Gairah yang lapar yang ditimbulkannya, api kegilaan yang ditimbulkan oleh daging dengan nafsu membakar. "Mereka yang hanya mencari kesenangan tubuh semata hanya akan mendapatkan tubuh kosong; tetapi, mereka yang mencari kepuasan ruhani akan mendapatkan kesenangan ruhani." Silver tanpa sadar mengucapkan hal itu keras-keras, sampai dia kembali mendengar suara Alexandra.
"Amin," kata Alex.
Pendeta berkulit gelap itu merasa seakan ampunan dan keselamatan yang telah dijanjikan pergi menjauhinya. Dia harus mengusir semua pikiran tentang tubuh elok. Silver kembali mengarahkan pandangan ke Edo. "Tantangan besar bagi kita. Begitu banyak pendosa di sana."
Alexandra tersenyum. "Aku yakin kau bisa melakukan tugas ini, Jason. Kau benar-benar hamba Tuhan sejati."
Rasa malu menjalari Silver. Apa yang dipikirkan wanita yang penuh rasa percaya ini jika dia tahu gairah yang selama ini ia pendam saat wanita itu sedang bersama dengannya? Silver berkata pendek, "Mari berdoa bagi orang-orang yang tersesat itu," lalu berlutut di dek kapal. Alexandra ikut berlutut di dekatnya. Terlalu dekat sehingga Silver bisa mencium wangi parfum wanita tersebut. Sungguh godaan di pagi hari.
.
.
Di tempat pengamatan laut menara Istana Edo, sebuah teleskop buatan Belanda sebesar meriam utama armada angkatan laut Inggris terpasang diatas tripod buatan Prancis yang sangat rumit sehingga mampu melakukan pengukuran secara sangat tepat. Saat jam anjing bergeser ke waktu jam babi[2], mata Aomine Daiki mengintip melalui teleskop besar itu. Teleskop tidak diarahkan ke ruang angkasa, tetapi diarahkan pada puri para bangsawan agung di distrik Tsukiji. Meskipun mata mengintai para bangsawan dengan teleskop, pikiran Daiki justru melayang ke tempat lain.
Merenungkan sejarah pemerintahan di tanah ini, Daiki menyimpulkan bahwa Shogun saat ini, Iemochi, mungkin adalah keturunan Tokugawa terakhir yang mampu memegang kehormatan tertinggi. Daiki bertanya-tanya, siapa yang akan menjadi shogun selanjutnya? Sebagai komandan polisi rahasia shogun, Daiki bertugas untuk melindungi rezim Tokugawa. Tugas Daiki adalah melindungi negara, sebagai abdi setia Kaisar.
Kesetiaan adalah prinsip paling dasar seorang samurai. Bagi Daiki, yang telah melihat makna kesetiaan dari berbagai aspek apalagi menyelidiki kesetiaan seorang samurai juga merupakan tugasnya semakin lama semakin jelas bahwa masa-masa kesetiaan terhadap seorang tuan akan berakhir. Pada masa mendatang, kesetiaan harus ditujukan pada sebuah sebab, prinsip, gagasan, bukan pada seseoran atau klan tertentu.
Daiki mengubah fokus teleskop dari puri-puri mewah ke arah dermaga yang terdapat banyak kapal asing. Enam dari tujuh kapal yang membuang jangkar adalah kapal perang. Orang-orang asing. Mereka yang telah mengubah segalanya. Dimulai dengan yang pertama adala kedatangan armada dari Amerika yang dikomandoi oleh si hidung bekok sombong. Kemudian diikuti oleh perjanjian dengan bangsa-bangsa asing yang mempermalukan Jepang, karena perjanjian itu memberikan hak kepada orang asing untuk masuk ke Jepang tanpa harus tunduk kepada hukum yang berlaku. Keparat.
Sama saja seperti disiksa dan diperkosa dengan cara yang paling mengerikan, tidak hanya sekali namun berkali-kali. Sementara pribumi Jepang dituntut untuk tetap tersenyum, membungkuk, dan mengekspresikan terima kasih. Tangan Daiki mengepal seperti sedang menggenggam katana miliknya. Betapa melegakannya jika ia berhasil memisahkan kepala dari tubuh semua orang asing itu. Suatu hari nanti, Daiki yakin.
"Tuanku," terdengar suara asistennya, Sakurai Ryo, dari luar pintu.
Daiku menyahut, "Masuk." Dengan berlutut, Ryo menggeser pintu hingga terbuka, membungkuk, masuk dengan tetap berlutut, menutup pintu dan membungkuk lagi. Daiki jadi lelah sendiri melihatnya.
"Kapal yang baru datang adalah Bintang Bethlehem. Berlayar dari San Fransisco lima minggu lalu. Kapal ini tidak membawa bahan peledak ataupun senjata api, dan tidak satupun penumpangnya diketahui menjadi agen pemerintah asing, anggota militer, ataupun kriminal."
"Semua orang asing adalah kriminal," tukas Daiki. Katakanlah Daiki adalah orang yang paling anti dengan orang asing.
"Ya, Tuanku," Ryo menyetujui. "Yang saya maksud adalah tidak satu pun penumpang yang tercatat melakukan kejahatan sejauh yang kami ketahui."
"Itu tidak berarti apa pun, Ryo. Pemerintah Amerika terkenal tidak bisa mengatur dan melacak kegiatan warganya. Wajar, sebagian besar warga Amerika buta huruf. Bagaimana pemerintah mau mendata tindak kriminal mereka jika setengah dari pencatatnya sama sekali tak bisa membaca dan menulis?"
"Benar sekali." Ryo hanya bisa membenarkan perkataan Daiki.
"Siapa lagi penumpang kapal laknat itu?"
"Tiga misionaris Kristen, dengan ribuan Kitab Injil edisi Bahasa Inggris." Misionaris rupanya. Itu membuat Daiki khawatir. Orang-orang ini sangat galak dan kaku dalam hal yang mereka sebut 'kepercayaan'. Bertentangan dengan apa yang ada di tanah ini. Di Jepang, masyarakat di sebuah daerah mengikuti kepercayaan yang dianut oleh bangsawan agung mereka.
Jika sang bangsawan agung menganut ke salah satu sekte Buddha, rakyatnya juga berpedoman kepada sang Buddha. Jika sang bangsawan menganut Shinto, rakyatnya juga shinto. Dan apabila sang bangsawan menganut keduanya, seperti yang kebanyakan terjadi, mereka akan menganut keduanya. Selain itu, setiap orang juga boleh menganut agama pilihannya. Tak sedikit juga yang mempercayai apa yang terjadi di dunia lain. Shogun dan para bangsawan agung serta Daiki tak peduli dengan dunia lain itu hanya peduli dengan dunia yang satu ini.
"Siapa yang akan menerima para misionaris bangsat ini?" tanya Daiki. Rahangnya mengeras. Ryo mulai gemetaran.
"Ba-bangsawan Agung Akaoka. Maafkan hamba, Tuanku."
Daiki memejamkan matanya rapat-rapat, menarik napas lalu dibuang keras-keras, dan menahan dirinya. Bangsawan Agung Akaoka. Akhir-akhir ini dia terlalu sering mendengar nama itu lebih daripada yang dia inginkan. Lelah telinganya menangkap nama itu. Daerah kekuasaannya kecil, jauh, dan tidak penting. Bangsawan lain punya daerah kekuasaan yang lebih besar daripada Bangsawan Agung tersebut. Namun, seperti saat ini, sebagaimana selalu terjadi di masa-masa tak menentu, Bangsawan Agung Akaoka memainkan peran penting yang sangat tidak sesuai dengan posisinya yang sebenarnya.
Tidak penting apakah Bangsawan Agung Akaoka adalah seorang pejuang tua dan politisi yang penuh tipu muslihat seperti mendiang Lord Masaomi, atau seorang penggemar seni dan shogi tak berguna macam turunannya yang terlalu sering bersantai ria, Lord Seijuuro. Gosip yang beredar selama berabad-abad telah berhasil menaikkan status mereka dari derajat yang seharusnya. Gosip tentang kemampuan melihat masa depan yang mereka miliki.
"Kita seharusnya menangkap si cebol merah itu ketika terjadi peristiwa pembunuhan Wali Kaisar."
"Pembunuhan itu adalah perbuatan kaum radikal yang anti orang asing, bukan simpatisan seperti Bangsawan Agung Akaoka," kata Ryo. Daiki tak suka dengan kalimat Ryo barusan. "Lord Akashi sama sekali tak terlibat, Tuanku."
Daiki mengerutkan dahi. Perkataan Ryo barusan seolah-olah mengejeknya yang anti orang asing dan membela Bangsawan Agung Akaoka yang dia tidak suka perangainya. "Kata-katamu mulai terdengar seperti orang asing bagiku, Ryo."
Menyadari kesalahannya, Ryo membungkuk rendah. Memohon perampunan atas kesalahannya. "Ampun, Tuanku. Hamba salah bicara."
"Kau menyebut fakta dan bukti, seakan-akan keduanya lebih penting daripada yang ada di hati manusia."
"Mohon ampun sebesar-besarnya, Tuanku." Wajah Ryo masih menempel di lantai. Permukaan kayu licin itu mulai basah karena keringat Ryo yang menetes-netes.
"Jika seseorang, terutama bangsawan, tidak dianggap bertanggungjawab terhadap apa yang mereka pikirkan, bagaimana peradaban bisa bertahan terhadap gempuran para barbar?" Daiki menghela napasnya kemudian berkata, "Dan, berdirilah Ryo. Aku tidak kuat melihatmu terus membungkuk. Aku terlihat seperti orang yang gila hormat jika kau terus menempel seperti cicak di lantai."
"Ya, Tuanku." Ryo mengangkat kepalanya sedikit dan memandang Daiki takut-takut. Masih merasa sangat bersalah. "Apakah saya harus mengeluarkan perintah penangkapannya?"
Tawaran Ryo tida digubris. Daiki kembali memandang ke arah teleskop. Kini, dia memfokuskan pandangannya ke arah kapal yang Ryo sebut sebagai Bintang Bethlehem. Teleskop buatan Belanda itu memungkinkan Daiki bisa melihat seorang pria yang berdiri di dek. Untuk ukuran orang asing, pria itu sangat jelek. Wajahnya penuh dengan garis-garis penderitaan, mulutnya mengerut membentuk seringai, kulitnya yang lebih gelap dari milik Daiki sendiri. Seorang wanita berdiri di sisinya. Kulitnya cerah dan mulus, kontras dengan pria di sampingnya. Wanita itu pasti juga buruk dan liar seperti orang asing kebanyakan menurut Daiki. Mereka berdua mengatakan sesuatu sambil mendekap tangan di depan dada. Seperti sedang berdoa secara Kristen.
Merasa bersalah terhadap apa yang dia pikirkan, Daiki pikir dia terlalu keras terhadap orang asing. Tentu saja tidak perlu ada penahanan. Bangsawan agung yang akan berurusan dengan para misionaris itu terkenal dengan kesetiaan para samurai-nya yang fanatik. Usaha penahanan sama saja menyulutkan api diantara mereka. Bisa-bisa mengundang gelombang pembunuhan yang melibatkan bangsawan agung lainnya, dan menimbulkan perang saudara yang akhirnya menjadi kesempatan emas orang asing untuk menginvasi juga menginjak-injak harga diri Jepang.
Jika Bangsawan Agung Akaoka harus disingkirkan, harus menggunakan cara yang cerdas. Cara-cara yang sudah mulai direncanakan dan disiapkan oleh Daiki. "Belum perlu," kata Daiki. Baru merespon tawaran Ryo. "Biarkan Lord Akashi bertindak sesuai keinginannya saat ini, kita tunggu saja siapa yang dapat kita jaring."
.
.
Pistol ada di tangan kanan dan pisau di tangan kiri, bahkan sebelum matanya terbuka. Gold terbangun dengan kaget, teriakan berdengung di telinganya. Bias mentari samar-samar menyusup ke dalam kabinnya, menimbulkan bayangan yang bergerak-gerak. Dia sendirian di dalam kabin. Tidak ada yang salah dengan kabin. Kapal ini tidak tenggelam ataupun dibajak. Untuk beberapa saat, Gold berpikir telah mengalami mimpi buruk lagi.
"...Karena itu tunggulah Aku, sabda Tuhan, hingga hari Aku bangkit..."
Gold mengenali suara menggelegar itu. Itu suara Silver dari dek diatasnya. Dia menarik napas dan meletakkan semua senjatanya. Pendeta itu mulai lagi, meneriakkan ancaman neraka dengan suara yang mungkin saja dapat memutus pita suara.
Gold bangun dari ranjangnya. Dalam beberapa jam, dia akan berada di pantai, di daerah asing yang buka tanah kelahirannya. Gold menikmati sensasi aneh yang ditimbulkan oleh berat senjatanya di tangan. Colt Army kaliber 44 Model Revolver dengan laras sepanjang tiga puluh senti. Hanya dalam sedetik, Gold dapat menarik senjata seberat satu kilogram itu dan menembakkan peluru timah di dalamnya, tepat mengenai badan orang dalam jarak enam meter. Rasio keberhasilan tembakannya adalah tiga dari lima kali tembakan pertama, disusul dua kali tembakan kedua.
Dalam jarak tiga meter, dia bisa menembak daerah antara dua mata dan tepat dalam tembakan pertama. Jika orang itu lari, Gold dapat menembaknya tepat di tulang punggungnya, pas di bawah leher, dan menerbangkan kepala.
Gold punya senjata kedua, pistol saku kaliber 32 yang kecil dan praktis. Pistol itu cukup kecil untuk disembunyikan di dalam jaket dan cukup ringan. Dia belum tahu kehebatan pistol ini dalam mengeksekusi musuh. Karena pistol ini baru dibelinya dua minggu sebelum berangkat dari San Fransisco. Gold berharap pistol ini lebih baik daripada pistol kaliber 22 miliknya di masa lampau. Pelurunya tidak sanggup melumpuhkan musuh yang kuat.
Gold memakai jaketnya, mengambil sarung tangan dan memakainya. Tepat saat dia tiba di dek, Silver beserta Alexandra mengucapkan Amin sebagai penutup doa. "Selamat pagi, Nash," sapa Alexandra. Dia tersenyum pada Gold. "Apakah suara doa kami membangunkanmu?"
Gold menjawab, "Apa ada cara lain yang lebih baik untuk membangunkan orang selain suara yang menyerukan Kata-kata Tuhan yang suci?"
"Amin, Nash," kata Silver. "Bukankah ada ungkapan, aku tak akan tidur atau memejamkan mataku sebelum aku menemukan tempat untuk Tuhan."
"Amin," sahut Gold dan Alexandra bersamaan.
Silver menunjuk ke arah daratan. "Lihatlah disana. Jepang. Empat puluh juta jiwa yang sesat akan dikutuk dalam siksa abadi kecuali Tuhan mau mengampuni segala kesesatan mereka dan kita berusaha menolong tanpa pamrih."
Bangunan menutupi daratan sejauh mata Gold memandang. Deretan istana dan benteng putih beratap hitam yang berada lima belas kilometer dari pantai "Apakah anda siap, Nash?"
"Ya, Jason. Aku siap."
.
.
Junpei, duduk sendirian dalam hojo[3]. Dia duduk tak bergerak dalam posisi teratai, matanya hampir tertutup total, tidak melihat, tidak mendengar, dan juga tidak merasa. Di dapur, terdengar suara kuali saling berbenturan saat para rahib mempersiapkan makanan. Seharusnya mereka tidak seheboh itu. Junpei kembali sadar dan menarik napas panjang. Gagal. Gagal total meditasinya. Meskipun setidaknya dia berhasil bertahan selama semenit atau mungkin dua menit. Ya, ada sedikit peningkatan.
Kuali kembali berbenturan di dapur dan terdengar suara orang tertawa. Kedengarannya seperti Kouki, Koichi dan Hiroshi. Tiga serangkai yang bodoh dan tak punya aturan. Salah satu penyebab Junpei sering sakit kepala. Dengan tatapan mata dingin, Junpei berdiri dan melangkah keluar dari hojo. Dia tidak melangkah dengan langkah rahib Zen yang pelan, penuh pikiran dan tujuan seperti seharusnya. Junpei melangkah agresif tanpa keinginan berhenti atau mundur.
Langkah yang biasa dia gunakan sebelum mengucap 250 sumpah rahib, saat dia masih menjadi samurai dengan nama Hyuuga Junpei, salah satu komandan divisi pasukan kavaleri, bersumpah menjadi pengikut setia dalam hidup dan mati mengabdi pada Akashi Masaomi, mendiang Bangsawan Agung Akaoka yang sebelumnya.
"Dasar orang-orang idiot!" desisnya sembari melangkah menuju dapur. Seiring kedatangannya di dapur, tiga rahib yang ia sebut Trio Bodoh langsung berlutut di lantai dan membungkuk. "Kalian pikir dimana kalian? Apa yang kalian lakukan? Semoga kalian dan leluhur kalian dikutuk menjadi wanita dalam reinkarnasi selanjutnya!" Tak seorang pun dari ketiga rahib tersebut bersuara apalagi bergerak.
Junpei tahu, ketiganya tetap akan membungkuk di lantai, hingga dia mengizinkan untuk bangkit. Hati Junpei melunak. Lagipula, ketiganya adalah orang baik. Setia, pemberani, dan patuh. "Kouki." Yang disebut namanya bangkit mengangkat kepalanya. "Antarkan sarapan untuk Lord Teppei."
"Ya!" Kouki berseru. Sementara kedua temannya masih membungkuk di lantai.
"Dan hati-hatilah. Kau tahu 'kan ada yang berakhir di upacara pembakaran jenazah karena tak hati-hati saat mengantar sarapan?Aku tidak ingin kehilangan seorang lagi, meskipun orang itu tak berguna sepertimu. Kalian berdua berdirilah."
Kouki tersenyum dan membungkuk singkat. Junpei tak lagi marah. "Ya, saya akan melakukannya segera." Junpei pergi tanpa kata. Kouki dan dua rahib lainnya, Koichi dan Hiroshi kembali berdiri.
Koichi berkata, "Suasana hati Tuan Hyuuga sedang tak baik akhir-akhir ini."
"Rahib Junpei, untuk saat ini jangan panggil dia dengan julukannya yang dulu," ucap Kouki sembari menuangkan makanan ke mangkuk saji.
Hiroshi mendengus, "Tentu saja suasana hatinya tak bagus, tak peduli dengan nama yang yang ia gunakan. Berjam-jam meditasi dengan beberapa kali kegagalan setiap hari. Tidak ada latihan pedang, tombak, atau busur seperti dulu. Siapa tahan dengan latihan seperti itu tanpa naik darah?"
"Kita adalah samurai Klan Akashi," kata Kouki, tangannya memotong-motong acar lobak menjadi potongan kecil siap santap. "Kewajiban kita untuk mematuhi tuan kita apa pun perintahnya."
"Memang benar," balas Koichi. "tetapi bukankah tugas kita juga untuk melakukannya dengan gembira?" Hiroshi mendengus lagi, namun dia mengambil sapu dan mulai menyapu lantai dapur yang sedikit berdebu.
"'Ketika seorang pemanah tidak mengenai sasarannya,'" Kouki mengutip Konfusius. "'Dia melihat ke dalam dirinya sendiri untuk mengetahui apa yang salah.' Bukan tempat kita untuk mengkritisi atasan kita." Dia meletakkan sup dan acar di atas nampan bersama semangkuk kecil nasi. Ketika Kouki keluar dari dapur, Koichi mencuci kuali dengan sangat hati-hati. Takut menimbulkan bunyi yang bisa mengundang Junpei untuk kembali menyemburnya dengan sejuta ceramah.
Saat itu adalah musim dingin yang indah. Dingin yang merasuk melewati pakaiannya yang tipis justru menyegarkan Kouki. Betapa menyegarkannya berendam di sungai di sisi kuil dan berdiri di bawah guyuran air sedingin es di air terjun mini. Sayang, kesenangan-kesenangan seperti itu sekarang terlarang bagi Kouki.
Tetapi, dia yakin itu hanya sementara. Meski Bangsawan Agung Akaoka yang sekarang bukan pejuang seperti mendiang ayahnya, dia tetap seorang Akashi. Perang akan terjadi. Itu terlihat jelas bahkan bagi orang yang sederhana macam Kouki. Dan, setiap kali perang meletus, pedang samurai klan Akashi selalu menjadi yang pertama menoreh luka dan memerah darah musuh. Kouki beserta kedua temannya telah menunggu sekian lama. Ketika genderang perang mulai berbunyi, mereka tidak akan berada di dalam kuil ini lagi. Pergi menebas kepala orang.
Kouki melangkah ringan di kerikil yang menghiasi jalan setapak antara ruang utama dan bagian sayap untuk tempat tinggal. Ketika kerikil itu basah, jalanan akan menjadi sangat licin. Ketika kering, kerikil itu akan berbunyi setiap kali diinjak. Junpei menjanjikan keringanan setahun tidak melakukan tugas membersihkan kandang kuda bagi siapa pun yang berhasil melewati kerikil tanpa membuat bunyi sama sekali sepanjang sepuluh langkah. Sejauh ini, Kouki merupakan orang yang paling berhasil, tetapi saja langkahnya masih berbunyi kendati tak sekeras yang lain. Masih perlu banyak latihan.
Kouki meneruskan langkahnya melewati kebun sampai ke dinding yang membatasi halaman kuil. Di dekat dinding ada pondok kecil. Sebelum menyatakan kedatangannya, Kouki memusatkan konsentrasi. Dia tidak ingin bergabung bersama dengan rekannya dalam upacara pembakaran mayat karena tulang tengkoraknya retak.
"Tuanku," kata Kouki dari luar. "hamba Kouki. Hamba membawa sarapan untuk Tuan."
"Kita terbang membelah udara dengan kapal-kapal baja," terdengar suara dalam gubuk. "Saat jam macan[4], kami ada di sini. Waktu jam babi, kami ada di Hiroshima. Kami terbang membelah udara seperti para dewa, tetapi kami tidak puas. Kami sudah terlambat. Kami berharap datang lebih awal."
"Hamba masuk, Tuanku," Kouki membuka tangkai kayu yang mengunci pintu dari luar dan menggeser pintu hingga terbuka. Aroma kental keringat, kotoran manusia, dan air seni langsung menyerbu indra pencium Kouki dan membuat perutnya memberontak. Kouki rasa bahkan bulu hidungnya akan rontok sekarang juga. Kouki berdiri dan menjauh dari pintu secepat dia bisa tanpa menjatuhakan nampan beserta makanan yang ia bawa.
Dengan upaya keras, dia akhirnya mampu menahan desakan cairan pahit dari perutnya naik ke mulut. Kouki tahu seharusnya dia membersihkan pondok tersebut sebelum mengatarkan makanan. Itu juga berarti Kouki harus mengurusi sang penghuni gubuk. Sesuatu yang tak bisa dia lakukan sendiri.
"Di tangan kami ada terompet-terompet kecil. Kami saling berbisik melalui terompet itu." sang penghuni gubuk mulai meracau lagi. Kalimat puitis yang membuat Kouki harus putar otak jika ingin memahaminya.
"Tuanku, hamba akan segera kembali. Harap tenangkan diri anda." Pada kenyataannya, suara itu memang terdengar tenang meski jelas tanda ketidak warasan dari kata-kata yang terucap. Kouki mundur selangkah lagi.
"Kami saling mendengar dengan jelas, meski kami terpisah bermil-mil jauhnya."
Kouki dengan cepat kembai ke dapur. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. "Air,lap." Koichi dan Hiroshi menganga karena tak paham dengan maksud Kouki. Datang-datang langsung seperti itu. Kouki berkata singkat, "Buka pakaianmu, sisakan celana dalam saja. Tidak ada gunanya mengotori pakaian kita," sembari melepas kain yang menutupi tubuhnya, melipat rapi, dan menaruhnya di rak.
"Jangan bilang kalau dia mengotori ruangannya lagi," kata Hiroshi setelah kembali dengan membawa air dan lap sesuai permintaan Kouki.
Saat mereka bertiga telah melalui kebun dan bisa melihat gubuk itu, Kouki menjerit kaget. Dia menyadari bahwa tadi dia lupa menutup pintu gubuk. Dua temannya langsung berhenti mendadak ketika melihat pintu yang terbuka. "Apa kau tak mengunci pintu saat pergi tadi?" tanya Hiroshi. Kouki pun menggeleng. "Astaga, Kouki," ucap Hiroshi sambil menepuk jidatnya.
"Kita harus mencari bantuan tambahan," Koichi berkata dengan gugup. Dia berbalik. Sebenarnya dia tak tahan dengan aroma-aroma aneh dari ruangan. Koichi berniat kabur dari tempat itu.
"Tidak," cegah Kouki. Tangannya menarik Koichi agar tidak kabur. Koichi mendengus. "Tunggu disini."
Lalu, dengan penuh hati-hati, dia mendekati pintu gubuk. Kouki tidak hanya membiarkan pintu terbuka, tetapi karena bau yang sangat menyengat, dia juga lupa untuk melogok ke dalam sebelum mencari bantuan dua temannya. Namun, jika dipikir menggunakan logika, tidak mungkin orang yang mereka jaga bisa membuka semua ikatan yang membelenggu tubuh tingginya. Setelah kecelakaan dengan Satoshi kemarin, mereka tidak hanya mengikat tangan dan kaki Lord Teppei dengan erat, mereka juga memasungnya dengan empat tali yang diikatkan ke empat dinding pondok.
Teppei tidak mungkin bergerak lebih dari tiga puluh senti meter ke arah mana pun karena tali yang membatasi pergerakannya. Namun, tetap saja Kouki bertanggungjawab untuk memastikannya.
Wangi tak sedap masih menguar dari dalam gubuk, tetapi Kouki kini terlalu khawatir sehingga tidak memedulikannya. "Tuanku?"
Tak ada jawaban dari dalam. Kouki dengan cepat melongok ke dalam dengan hati-hati, berusaha untuk tidak memperlihatkan sikap hendak menyerang. Empat tali pasungan masih berada di dinding, tetapi Teppei telah lenyap. Mengendap-endap di dinding luar di sisi kiri pintu, Kouki mengintip ke bagian kanan dalam gubuk, lalu membalik posisinya untuk mengecek bagian kiri gubuk. Nihil, Gubuk itu benar-benar kosong.
Kouki kembali menemui kedua temannya. "Beritahu Rahib Junpei," kata Kouki kepada Koichi. Koichi langsung sumringah karena ingin sesegera mungkin pergi dari sini. "Tamu kita telah meninggalkan kamarnya."
Sementara Kochi pergi untuk melaporkan hilangnya Teppei, Kouki dan Hiroshi berdiri berdekatan dan memandang sekeliling dengan gugup. "Dia bisa saja keluar dari daerah kuil dan kembali ke Akaoka," kata Hiroshi. "Atau, dia bisa saja sembunyi di mana pun. Sebelum sakit, dia sangat ahli mengelabui orang. Dia bisa saja di lapangan bersama selusin kuda dan pasukan kavaleri, tetapi kita tidak melihatnya karena kurang waspada."
"Dia tidak membawa kuda atau pasukan kavaleri," kata Kouki.
"Maksudku," tukas Hiroshi. "Dia bisa saja kabur ke suatu tempat dan mengacau dengan semua ketidakwarasannya karena salahmu yang tidak menutup ruangannya. Apalagi kau malah pergi mencari aku dan Koichi, akan lebih mudah baginya untuk lolos karena tidak ada pengawasan."
Sayangnya, Kouki tidak bisa membalas Hiroshi yang menyalahakannya karena dua hal. Pertama, karena dia melihat pandangan Hiroshi yang terkejut dan penuh ketakutan, bukan ke arah Kouki, melainkan ke belakang Kouki. Kedua, tiba-tiba kepala Kouki terasa nyeri karena hantaman benda sebesar kepalan tangan di kepalanya. "Kou!" Kouki bisa mendengar Hiroshi meneriakkan penggalan namanya sebelum gelap membutakan pandangannya.
Ketika Kouki sadar dari pingsan, dia melihat Junpei sedang merawat luka Hiroshi, salah satu matanya membengkak hingga menutup. Ruam kebiruan muncul di sana. Dengan satu mata yang lain, Hiroshi memandang jengkel ke arah Kouki. Hiroshi berkata, "Kau salah. Lord Teppei masih ada di dalam gubuk. Dia yang memukul kepalamu. Gila, tangannya yang besar membuat kepalamu bocor. Pantas saja tengkorak Senior Satoshi sampai retak dan pulang hanya tinggal nama dan jasad."
"Bagaimana mungkin? Aku sudah melihat ke segala arah dan tak seorang pun ada di dalam."
"Kau tidak melihat ke atas," kata Junpei mengecek perban di kepala Kouki. Jemarinya menepuk pelan balutan tersebut. "Bersyukur kau dianugrahi kepala yang keras seperti batu. Kau tak akan mati dengan mudah." Kouki mengerang sebagai balasannya.
"Dia bergantung di dinding di atas pintu. Jangan tanya kenapa dia bisa melakukannya," kata Hiroshi. "Dia melompat keluar saat kau membelakangi gubuk untuk bicara padaku." Kouki mengerti sekarang kenapa Hiroshi ketakutan tadi.
"Benar-benar tak termaafkan, Tuanku," Kouki berkata sambil membungkukkan wajahnya ke tanah serendah mungkin. Junpei berlutut, memegang bahu Kouki, mencegah Kouki.
"Tenangkan dirimu," katanya ringan. "Anggap saja ini salah satu pengalaman berhargamu dan pelajaran agar tidak lengah. Bisa diterapkan saat perang nanti. Selama bertahun-tahun Teppei merupakan salah satu komandan divisi kavaleri, mantan rekanku. Bukan suatu hal yang memalukan jika kau kalah darinya. Tetapi, hal ini juga bukan alasan untuk mengakui kelalaian. Lain kali, pastikan dia terikat kencang sebelum meninggalkannya, dan jangan lupa mengunci pintu."
"Ya, Tuanku."
"Angkat kepalamu, Kouki. Pendarahanmu makin parah dengan menyembah seperti itu. Dan, panggil aku rahib, jangan tuan." Kouki mengangguk.
"Apakah Lord Teppei sudah ditemukan?" Kouki lalu bertanya. Junpei menggaruk pipinya yang tidak gatal.
"Ya," senyum Junpei begitu kaku. "Dia ada di ruang senjata. Insting samurai-nya ternyata masih ada meski urat kewarasannya sudah putus."
Koichi datang berlarian, masih mengenakan celana dalam, tetapi sekarang membawa tongkat bambu yang terpotong sepanjang tiga meter. "Dia tidak berusaha untuk keluar, Tuan. Kami telah menghalangi pintu dengan balok dan beberapa tong berisikan beras. Tetapi, kalau memang dia ingin keluar..."
Junpei mengangguk. Di dalam ruangan senjata ada tiga tong berisi bubuk mesiu. Teppei bisa meledakkan apa pun. Bahkan, kalau mau, dia bisa meledakkan seisi ruang senjata beserta dirinya sendiri. Junpei tidak mau itu terjadi. Junpei bangkit. "Tinggallah di sini," katanya kepada Koichi. "Rawat teman-temanmu. Kalau perlu bawalah Kouki ke kediaman Aida untuk Nona Riko obati. Kasihan pendarahannya."
Junpei berjalan cepat melewati kebun menuju ruang senjata. Di sana, para rahib berjejer sambil memegang bambu sepanjang tiga meter seperti milik Koichi tadi. Bukan senjata yang ideal untuk melawan seorang ahli pedang meskipun sekarang sedang tak waras terbaik di negara ini. Junpei lega melihat anak buahnya mengatur posisi dengan baik. Empat orang berjaga di belakang, dan tiga tim masing-masing dua orang berjaga-jaga di bagian depan.
Junpei berdiri di depan pintu ruang senjata yang dihalangi balok dan tong-tong beras yang seperti dilaporkan. Dari dalam terdengar desis baja membelah udara. Teppei sedang berlatih, mungkin dengan tombak atau dua pedang, satu di masing-masing tangan. Dia adalah satu dari ahli pedang modern yang cukup kuat dan ahli mengikuti gaya dua pedang Musashi yang legendaris sejak dua ratus tahun yang lalu. Junpei sedikit iri dengannya, karena Junpei hanya bisa menggunakan satu pedang.
Junpei membungkuk hormat di depan pintu dan berkata, "Teppei. Ini aku, Hyuuga Junpei, komandan divisi 3 pasukan kavaleri. Bolehkah aku berbicara denganmu?" Junpei berpikir penggunaan gelar lamanya mungkin mengurangi kebingungan Teppei. Dia juga berharap gelar itu bisa memancing respon Teppei. Dia dan Teppei telah menjadi teman seperjuangan sejak masih pakai popok.
"Kau lihat udara," terdengar suara Teppei. "Lapisan warna-warni cakrawala, hiasan bagi mentari yang terbenam. Sungguh indah tak terbayangkan."
Junpei tidak mengerti makna kata-kata itu. Junpei menghela napas. Saat masih waras atau pun saat sudah tidak waras, Teppei sama saja. Masih membuatnya kesal. Masih pribadi yang menjengkelkan. Junpei berkata, "Apakah aku bisa membantumu, teman?" Jawaban yang terdengar dari dalam hanyalah desingan pedang yang beradu.
Junpei dapat menyimpulkannya. Jawaban yang Teppei berikan adalah: 'Ayo bersenang-senang, Hyuuga.' Junpei mengartikan suara desingan itu dengan ajakan berduel.
"Baiklah, jika itu mau mu, Teppei."
Semua halangan di depan pintu disingkirkan. Srak, pintu digeser dengan kasar. "Akan aku ladeni tantanganmu itu, Teppei!"
.
.
Buritan sebuah kapal tongkang Jepang mendekat di samping kapal Bintang Bethlehem, siap menurunkan muatan dari kapal ke pantai. "Di sanalah tujuan kita," kata Silver. "istana di dekat pantai."
Nash Gold berkata, "Terlihat seperti benteng daripada istana."
Jepang. Sebuah negeri yang sangat berbeda dengan negeri asalnya sebagaimana negeri-negeri yang lain. Agama, bahasa, sejarah, seni Jepang dan Amerika sama sekali tidak punya kesamaan. Gold sama sekali tak merasa takut, hanya perlu bersiap-siap. Jepang. Dia telah memimpikan negeri ini sejak lama.
Dermaga kian mendekat. Gold bisa melihat dua lusin orang pribumi berdiri di dermaga, petugas pelabuhan, dan petugas pemerintah. Dalam beberapa menit, dia akan dapat melihat wajah mereka dan mereka melihatnya. Ketika mereka memandangnya, apa yang akan mereka lihat?
.
.
Akashi Seijuuro, Bangsawan Agung Akaoka, memandang bayangan dirinya di cermin. Dia melihat orang yang dibungkus berlapis-lapis pakaian antik.
"Tuanku," pelayan yang bertugas membawa pedang berlutut di sisi Seijuuro. Dia membungkuk sembari menaikkan pedang pendek, wakizashi, di atas kepalanya, dan mengulurkan pedang itu kepada tuannya. Ketika Seijuuro memasang pedang itu di ikat pinggangnya, si pembawa pedang melakukan prosedur yang sama saat memberikan pedang panjangnya, katana, senjata utama seorang samurai selama beribu-ribu tahun.
Sebenarnya, untuk kepergiannya yang singkat kali ini, tak diperlukan membawa senjata, apalagi dua. Tetapi, statusnya yang seorang bangsawan agung menuntut Seijuuro untuk mengikutsertakan kedua pedang itu.
Meskipun sangat rumit dan merepotkan, secara keseluruhan penampilan Seijuuro pada saat yang sama juga sangat konservatif, lebih cocok bagi orang yang lebih tua dibandingkan untuk pemuda berusia 24 tahun. Pakaian yang dia kenakan dulunya merupakan milik seorang pria tua, ayahnya, mendiang Lord Masaomi yang meninggal sebulan yang lalu. Kimono luar berwarna abu-abu dan hitam tanpa hiasan apa pun, memberikan nuansa kesiapan menghadapi perang. Di luarnya lagi, jaket hitam yang juga tanpa aksesori, bahkan tanpa lambang klannya, seekor burung gereja yang menghindari panah dari empat arah.
Tiadanya aksesori sungguh tidak menyenangkan Shintaro, pengurus rumah tangga yang berumur sama dengan Seijuuro. Pengurus rumah tangga yang baru saja menjalankan tugas dari dua minggu lalu, menggantikan pamannya yang sudah tua. "Tuanku, apakah ada alasan anda ingin berpergian secara sembunyi-sembunyi begini?"
"Sembunyi-sembunyi, Shintaro?" Pertanyaan itu membuat Seijuuro geli. "Aku akan pergi ke luar dalam sebuah profesi formal dikelilingi oleh belasan samurai, semuanya menggunakan lambang burung gereja. Lambang terhormat klan kita. Apa kau pikir ada seseorang yang tidak mengenaliku?"
"Tuanku, anda memberikan kesempatan kepada musuh untuk berpura-pura tidak mengenali anda. Sehingga mereka bisa menghina anda dan memancing kerusuhan."
"Aku menolak dihina," kata Seijuuro. "Dan kau pasti akan mencegah semua hal yang menjurus pada kerusuhan."
"Mereka tak akan memberikan kesempatan bagi anda untuk menolak," Shintaro menjeda. "Hamba juga mungkin tak bisa mencegah."
Seijuuro tersenyum. Dia bingung, siapa yang keras kepala diantara mereka berdua? Dirinya? Atau kah Shintaro yang terlalu kaku? "Kalau memang kejadiannya seperti itu, aku sangat yakin kau dan Kazunari akan membunuh mereka semua, Shintaro."
Kazunari, sang kepala keamanan, masuk ke dalam ruangan lalu membungkuk. "Tuanku, tamu anda akan pergi setelah keberangkatan anda. Apa tidak sebaiknya dia diikuti?"
"Untuk apa?" tanya Seijuuro. "Kita tahu dimana dia tinggal."
"Sekadar berjaga-jaga saja," kata Kazunari. "Saat anda tak bersamanya, mungkin dia menurunkan kewaspadaan. Dan kita bisa menggali informasi lebih banyak padanya." Seijuuro mengenal Tetsuna lebih dari sebulan, dia tahu bahwa Tetsuna tak pernah menurunkan kewaspadaannya. Justru orang-orang yang harus meningkatkan kewaspadaan terhadap Tetsuna.
"Kita harus mengikuti saran Kazunari," kata Shintaro. "Selama ini kita belum pernah melakukan penyelidikan tentangnya. Kita tidak tahu latar belakang dan masa lampau wanita itu." Seijuuro tahu, Shintaro menyinggungnya. Karena dia selalu melarang melakukan penyelidikan kepada Tetsuna. "Kita sebaiknya melakukan pengawasan terhadap dia."
"Jangan khawatir," Seijuuro mengibaskan tangan di depan wajah. "Aku sudah menyelidiki seluk beluk dan lekuk tubuh Tetsuna setiap malam saat aku mengunjunginya. Aku tidak menemukan sesuatu yang meragukan padanya. Semuanya memuaskan."
"Itu bukan jenis penyelidikan yang kita perlukan, Tuanku." Air muka Shintaro berubah masam. Menurutnya candaan tentang hal yang seperti itu tak penting dan tidak pantas dibahas dalam keadaan yang seperti ini. Selama beratus-ratus tahun kedamaian yang melenakan, banyak klan yang hancur karena pemimpinnya mudah menyerah di bawah kendali nafsu. "Kita sama sekali tidak tahu apa-apa tentang dia. Sama sekali tidak bagus, Tuanku."
"Kau dan aku tahu, dia adalah geisha yang terkenal di Edo," kata Seijuuro. "Apa lagi yang harus kita ketahui?" Mulut Shintaro terbuka, siap untuk menentang, namun tangan Seijuuro naik untuk mencegahnya. "Aku sendiri secara fisik telah menyelidikinya dari empat arah waktu dan ruang. Tenanglah, dia wanita yang baik dan sama sekali tidak mengecewakan. Selau membuatku puas."
"Tuanku," Shintaro terdiam sebentar. "Ini bukan masalah yang bisa dijadikan guyonan. Nyawa anda bisa saja dalam bahaya."
"Apa kau pikir aku melawak?" tatapan tajam Seijuuro membuat Shintaro bungkam. "Tentu kau sudah mendengar kabar itu. Aku hanya perlu seseorang dan aku tahu takdir mereka." Baik Shintaro atau Kazunari, tidak ada yang berani menentang lagi. Terutama Shintaro, dia sudah lelah adu argumen dengan Bangsawan Agung Akaoka tersebut. Seijuuro berbalik dan keluar.
Dua penasihatnya mengikuti, berjalan di lorong rumah hingga ke halaman luar. Dua puluh empat samurai menunggu kedatangannya, sebuah joli dan empat penandunya ada di tengah. Semua pelayan berbaris hingga ke gerbang, siap membungkuk untuk mengantar keberangkatan. Ketika dia kembali, pelayan-pelayan itu akan membungkuk lagi. Buang-buang energi serta waktu menurut Seijuuro.
Dia hanya pergi beberapa meter dari kediamannya dan kembali dalam beberapa menit. Namun, orang-orang yang kuno dan kaku menuntut bahwa setiap kepergian dan kedatangannya harus ditanggapi dengan upacara yang serius. Seijuuro berpaling kepada Shintaro. "Tidak heran Jepang tertinggal dari bangsa luar. Mereka punya ilmu dan industri. Mereka memproduksi mesin uap dan juga meriam. Kebalikannya, kita punya banyak sekali upacara kosong seperti sekarang. Kita hanya memproduksi bungkukan, berlutut, bersujud, dan lebih banyak lagi bungkuk-bungkuk."
Dua alis Shintaro saling bersentuhan, bingung. "Tuanku?"
Seijuuro tidak menanggapi Shintaro. Dia mendekat lima langkah ke joli, melepas kedua pedang yang baru semenit lalu ia masukkan di ikat pinggang, menempatkannya di dalam joli, melepaskan sandal. Saat ia melepaskan sandalnya, dia dihormati dengan bungkukan oleh pelayan pembawa sandal sebelum menempatkannya di tempat penyimpanan sandal di bawah pintu masuk joli. Seijuuro mendudukkan diri di dalam joli. "Kau sudah mengerti dengan apa yang aku maksud dengan upacara kosong?"
Shintaro tidak bisa menjawab. Ucapan Seijuuro memang mengena sekali. Benar, mereka hanya melakukan upacara-upacara bodoh.
Dari jendela joli, Seijuuro bisa melihat puluhan samurai dan juga Kazunari serta Shintaro di luar. Berbaris. Siap berkorban jiwa demi melindungi nyawanya. Pengabdian dramatis seperti itu mengiringi setiap tindakan seorang bangsawan agung. Tak peduli seberapa tidak pentingnya daerah kekuasaannya dan sepelenya tindakan sang bangsawan. Tak heran masa lalu Jepang penuh dengan kucuran darah dan masa depannya penuh bahaya.
Renungan Seijuuro berubah arah ketika ia melihat tatanan rambut yang rumit dan indah di antara kepala-kepala pelayan yang membungkuk. Tatanan itu terbentuk dari rambut indah yang semalam menghiasi bantalnya seperti goresan cat air yang sewarna langit musim panas. Kimono yang dia kenakan sangat asing, Seijuuro tidak pernah melihatnya sebelumnya.
Kimono itu bercorak lusinan mawar merah jambu di antara buih ombak di laut. Mantel luarnya bercorak sama, tanpa ada tambahan warna lain selain warna putih. Pola mawar di kimono Tetsuna berasal dari jenis yang terkadang disebut sebagai American Beauty. Jika ada seseorang yang berasal dari kelompok radikal anti orang asing melihatnya, sangat mungkin mereka akan membunuh Tetsuna hanya karena mengenakan kimono bercorak mawar itu.
Seijuuro meneriakkan perintah untuk berhenti. Dia turun dari atas joli. "Nona Kuroko Tetsuna," sapa Seijuuro menggunakan nama lengkap Tetsuna.
"Lord Seijuuro," jawab perempuan itu, membungkuk semakin rendah. Dia menyebut nama Seijuuro dengan suara selembut kidung pengantar tidur.
"Motif yang mencolok."
Tetsuna menegakkan tubuhnya, merentangkan tangannya, dan tersenyum. "Hamba tidak mengerti, Tuanku," katanya. "Warna-warni ini sangat umum di Jepang. Tentu hanya orang bodoh yang bisa terpancing olehnya."
"Orang-orang yang sangat bodoh itu justru membuatku khawatir. Tetapi, mungkin kau benar. Mungkin warna-warna tradisional akan menyamarkan motif bunga mawar asing itu."
"Asing, Tuanku?" Mata Tetsuna sedikit melebar dan kepalanya sedikit miring. Pandangan mata polos. Seolah tak tahu apa-apa. "Hamba mendengar bahwa mawar merah jambu, putih, dan merah mekar setiap musim semi di kebun dalam Kastel Awan Burung Gereja." Tetsuna lalu menambahkan dengan penuh tekanan, "Hamba mendengarnya dari seorang pemuda, meski belum pernah kesana untuk melihatnya sendiri."
"Aku yakin keinginanmu untuk melihat bunga itu akan terpenuhi tidak lama lagi. Jika kau mau menunggu, Nona."
Para pelayan masih membungkuk. Kepala mereka menempel di tanah. Semua itu dilakukan karena rasa takut ketimbang rasa hormat. Bisa-bisa kepala mereka putus jika tidak menunduk dan bersujud di tanah. Seorang samurai bisa dengan mudah membunuh orang biasa yang dianggap tidak memberikan penghormatan yang pantas kepada tuannya. Yang artinya harus menunduk sampai rombongan bangsawan serta samurai mereka percakapan Seijuuro dengan Tetsuna, semua aktivitas di sekitarnya berhenti. Kekurangtanggapannya terhadap situasi sekitar membuat Seijuuro malu. Dengan cepat, dia membungkuk sebagai tanda perpisahan dan memberikan isyarat rombongan untuk melanjutkan perjalanan.
Seijuuro bisa melihat Shintaro dan Kazunari bertukar pandangan yang menyiratkan sesuatu. Seijuuro tahu apa maksud dua orang itu. Mereka tidak mematuhi perintahnya untuk tidak menyelidiki Tetsuna. Ketika Tetsuna pergi, dia akan ditemani para pelayan dan diikuti secara diam-diam oleh Kazunari. Memang hawa Tetsuna itu sangat tipis, sehingga terkadang butuh penglihatan ekstra untuk mengikutinya. Tetapi, Kazunari juga ahli dalam pengintaian musuh. Tidak ada yang luput oleh pandangan rajawalinya.
Shintaro menyuruh Kazunari untuk mengikuti wanita itu. Shintaro tidak pernah menyetujui perintah Seijuuro, dia selalu memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan Seijuuro. Baik tentang Tetsuna ataupun bertemu dengan orang asing.
Shintaro terikat pada Seijuuro karena kehormatan, garis keturunan, dan juga tradisi. Shintaro tidak suka bahkan benci dengan orang asing. Disaat bangsawan agung lainnya sibuk adu kepala dengan bangsa asing, tuannya malah berusaha berteman dengan mereka. Tidak hanya sekedar orang asing, tetapi para misionaris, kelompok yang secara politik paling dimusuhi dari semua orang asing yang pernah menginjakkan kaki di Jepang.
Dikalangan para pengikutnya, tidak hanya Shintaro yang meragukan keputusan yang Seijuuro ambil. Dari beberapa orang penting yang membantunya mengurusi wilayah kekuasaannya Shintaro, Kazunari, Junpei, dan jika saja Teppei masih sehat tak seorang pun yang Seijuuro yakin kesetiaannya benar-benar utuh. Hal yang sekarang menjadi konflik. Kesetiaan. Ketika hal itu tidak bisa dikompromikan lagi, apakah orang-orang itu akan mengikuti Seijuuro atau justru akan melawannya?
Bahkan, dengan kemampuan melihat masa depan sebagai pegangan, jalan di depan tak juga dapat dipastikan oleh Seijuuro.
.
Some footnote:
[1] Jam anjing : Sekitar pukul 07.00-09.00
[2] Jam babi : antara pukul 09.00-11.00
[3] Hojo : Ruangan seluas 9 meter persegi untuk tempat meditasi di Zen.
[4] Jam macan: antara pukul 15.00-17.00
.
A/N:
Fanfic ini kita buat berdasarkan sebuah novel dengan judul yang sudah ditulis dalam disclaimer.
Akashi menjadi tokoh utama disini, dengan menggunakan versi Oreshi. Oreshi lebih cocok untuk meranin karakter yang terhormat daripada Bokushi. Lebih bijaksana. Soal AkaKuro, itu rahasia. Kita tidak peduli pada pair dalam fanfic ini (karena tidak fokus ke kisah romansa), jadi mungkin kalian bisa mencak-mencak ke kita karena gak terima jenis pair yang ada ehhe. Mohon maaf jika karakter paporitnya kita nistain disini. Terutama Teppei yang dibuat jadi gak waras :"3
Tolong tulis krisarnya di kolom review. Respon anda sangat kami perlukan untuk kedepannya nanti. Btw, kita update dua minggu sekali atau lebih.
Ketjup basyah,
Megan and Scizzi.
Selesai dibuat pertama kali : 08/02/2016
Selesai di edit: 09/02/2016
Published: 09/02/2016
