Disclaimer: Vocaloid bukan milik Rina.
Kenapa… Rina nulis ini ya… OTL hmm, ya sudahlah. Mungkin ini bakalan jadi multiple chapter yang gak sampe 10 chapter. Oh, dan sebelum ada deduksi aneh-aneh, ini bersetting kan dunia pada jaman pertengahan, jadi pakaian na ya ala Victorian begitu deh.
Di dalam sebuah wilayah pegunungan yang diselimuti pepohonan dan pegunungan yang lebat. Berdiri sebuah mansion yang sangat besar dan selalu tampak indah.
Mansion itu memiliki sebuah pekarangan yang sangat luas dan dipenuhi dengan berbagai macam bunga yang tidak bisa ditemukan di tempat lain, dengan berbagai warna… namun kali ini, bunga-bunga itu diwarnai dengan warna merah darah.
Seorang gadis kecil, tidak lebih dari seorang gadis berumur 7 tahun, berada di tengah lingkaran orang-orang yang kini memiliki warna merah darah. Di depannya berdiri seorang lelaki dengan penampilan seperti seorang lelaki dengan umur 20 tahun. Dia memiliki warna rambut blonde dan mata berwarna biru. Gadis itu memiliki penampilan fisik yang sama seperti lelaki itu. Tapi, mereka berbeda…
Lelaki itu memegang sebilah pedang yang kini diwarnai dengan warna merah darah. Pakaiannya yang merupakan sebuah tuxedo hitam yang seperti seorang butler juga memiliki berkas darah berwarna merah seperti pedangnya. Di wajahnya yang terlalu tampan juga terdapat sedikit bercak berwarna merah.
Gadis itu sendiri tampak bersih dengan dress dengan gaya Victorian berwarna kuning gading miliknya. Rambutnya ditata dengan sangat manis dengan dibelah pinggir, sementara poninya dirapikan dengan empat buah jepit berwarna putih. Dia terduduk di tengah lingkaran berdarah itu, tepat di belakang lelaki itu.
Di antara semua orang yang telah mati, terdapat seseorang yang berusaha merangkak lari. Tapi, gadis dan lelaki itu tahu, bahwa orang itu hanya akan bertahan beberapa detik saja. Di akhir nafasnya, orang tersebut berkata, "Vam…pir… mons…ter…" sebelum jatuh di tanah dan mati.
"Kumohon hentikan semua ini! Kumohon…" dia berteriak dengan menutup telinganya dengan kedua tangannya seraya menangis tersedu-sedu. Kesedihannya sudah tidak bisa dibendung lagi… semua ini sudah cukup! Dia tidak ingin melihat orang mati lagi di hadapannya.
Sepasang tangan yang lembut menyapu air mata gadis itu, tapi dia tetap saja menangis. Gadis itu hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri, karena dialah yang menyebabkan orang-orang itu harus meninggalkan dunia ini lebih cepat. Semua itu… adalah salahnya… itu adalah yang membuatnya menangis, dia merasa bersalah.
"Hime-sama, jangan menangis… wajah cantik princess akan rusak jika digunakan hanya untuk mengantar barang-barang tidak berguna itu," ujar lelaki itu dengan berusaha untuk menyembuhkan air mata gadis yang dia sebut sebagai princess.
Gadis itu hanya terus dan terus menangis. Lelaki itu hanya bisa tersenyum kecut, dia kemudian menggendong gadis itu dan memasuki mansion tempat tinggal mereka dan sesama mereka. Tempat dimana sesama mereka bisa kembali.
Lelaki itu membawa gadis itu ke kamarnya, lalu bertanya, "Apakah ada yang bisa saya bantu, princess Rilianne?" tanya lelaki itu dengan berlutut di hadapan gadis kecil itu.
Gadis kecil yang dipanggil Rilianne itu hanya menggeleng pelan sambil menjawab, "Kumohon… tinggalkan aku sendirian… Rinto…" ujarnya sambil menghapus air matanya yang terus menerus mengalir tanpa henti.
Lelaki yang dipanggil Rinto itu menundukkan kepalanya sambil berkata, "Sesuai perintahmu, princess Rilianne," ujar Rinto yang kemudian beranjak pergi meninggalkan Rilianne sendirian di kamarnya yang seperti kamar putri Raja.
Setelah Rilianne yakin bahwa Rinto sudah meninggalkannya, dia melihat keluar jendelanya. Langit memiliki banyak bintang yang berkilauan dengan terangnya dan bulan juga tampak indah seperti biasanya. Rilianne berusaha menghapus air matanya dan berusaha untuk tegar.
"Aku tidak boleh lemah… demi manusia yang sudah meninggalkan dunia untuk memperpanjang umurku. Selama mereka terus berjatuhan, berarti aku tidak boleh tidur dengan tenang terlebih dahulu, sebelum menemukan orang yang bisa membunuhku…" ujar Rilianne dengan menghapus air matanya.
Dia mencuci mukanya bersih-bersih namun justru itu membuatnya tidak mengantuk. Karena tidak tahu apa yang harus dia lakukan, dia melihat ke luar jendela lagi. Melihat bintang dan juga bulan yang tampak indah hari ini, Rilianne memutuskan untuk berjalan-jalan keluar.
Dengan perlahan-lahan, Rilianne membuka jendela kamarnya, lalu melompat dari ruangannya menuju ke tanah. Meski kamarnya terletak jauh di atas tanah, dia tahu, bahwa dirinya tidak akan mati hanya dengan itu.
Karena tidak memiliki tujuan yang pasti, Rilianne secara alami pergi ke tempat dia biasanya pergi untuk menyendiri.
Tempat itu merupakan sebuah danau yang sangat besar dan luas. Dikarenakan tempatnya yang dekat dengan dunia yang dia kelola, tempat itu memiliki aura yang seperti sihir. Di berbagai sisi danau terdapat banyak kristal dalam berbagai ukuran, dengan warna biru keunguan yang indah. Pada permukaan tanah tumbuh rumput dengan warna yang tidak terlalu alami, hijau kebiru-biruan. Selain rumput, terdapat bunga liar dengan warna silver yang tidak pernah gagal memikat Rilianne. Pada permukaan air, tampak cahaya-cahaya kecil yang naik dari dalam air menuju ke udara, dan tersebar hingga ke pinggir danau.
"Indahnya… seakan-akan tadi itu hanyalah mimpi…" gumam Rilianne sambil menyentuh cahaya kecil yang bisa dia tangkap. Cahaya itu memang seperti salju kecil, hanya saja cahaya itu tidak turun ke tanah, tapi naik ke atas langit.
Rilianne menyadari bahwa tempat ini jauh lebih indah dibandingkan biasanya. Secara spontan dia melihat ke atas dan melihat bahwa malam ini merupakan malam bulan purnama. Rilianne tersenyum simpul pada pemandangan itu, dia memang menyukai bulan purnama.
"Apa aku… memiliki kesempatan untuk memilih kematianku…" gumam Rilianne sambil melihat ke atas langit. Gumamannya seperti bisikan yang penuh dengan harapan yang tidak mungkin tercapai, sehingga terkesan sangat sedih.
Di pikiran Rilianne, terputar ingatan pembunuhan yang dilakukan oleh pelayannya, Rinto, demi melindunginya. Rilianne tahu, seharusnya Rinto tahu bahwa dia tidak bisa mati meski dia sendiri bahkan ingin mati. Dan selama dia masih hidup, maka dia akan tetap menjadi penyebab kematian banyak orang.
"Aku bahkan sudah mati… tapi aku tetap disebut dengan hidup…" gumam Rilianne lagi.
Karena terlarut pada keindahan Crystal Lake (dia yang menamainya) Rilianne tidak menyadari bahwa dia tidak sendirian. Dari balik pepohonan di dekat Rilianne, terdapat seorang anak laki-laki kecil yang terus memperhatikan Rilianne dari balik pepohonan.
Di balik pepohonan itu, terdapat sepasang mata seorang anak laki-laki yang memperhatikannya dengan seksama sejak tadi.
Anak laki-laki yang bersembunyi di balik pepohonan itu merasa heran, kenapa ada seorang anak perempuan yang berada sendirian di dekat danau saat malam seperti ini. Anak laki-laki itu memiliki rambut yang berwarna Honey Blond yang sedikit lebih gelap, dan juga mata berwarna biru sapphire yang bulat. Dia memakai kaos yang terbuat dari kain katun dengan warna krem dan celana pendek dengan bahan yang sama, berwarna coklat tua. Dia menggunakan alas kaki yang terbuat dari kulit yang mudah dicari dan murah.
Rambutnya tumbuh hingga mencapai pundaknya, dan agar tidak mengganggu aktifitasnya, dia mengikatnya menjadi ponytail kecil dengan menggunakan pita murahan.
Rasa penasaran anak laki-laki itu bertambah, karena ini juga merupakan pertama kalinya dia melihat seorang anak perempuan secantik itu di matanya. Belum lagi, di matanya, anak perempuan itu tampak sangat sedih, sehingga dia ingin menghiburnya sehingga dia bisa tersenyum.
Dia memberanikan diri untuk mendekat, setelah mengambil nafas banyak-banyak. Selangkah dia mendekat, masih tidak ada respon dari anak perempuan itu. Dia kemudian mengambil langkah demi langkah mendekat, hingga saat tepat dia dan anak perempuan itu berjarak 6 langkah, anak perempuan itu menoleh ke arahnya, seperti baru menyadari keberadaannya.
Anak laki-laki itu menjadi merona, saat dia menyadari bahwa anak perempuan itu memang tampak sangat cantik. Dia memiliki penampilan seperti seorang bangsawan dengan pakaian bangsawan yang tampak mahal dan lain sebagainya itu. Belum lagi, warna rambutnya yang tampak berkilauan di bawah cahaya bulan.
Anak laki-laki itu juga menyadari bahwa danau itu juga tidak biasa. Dengan cahaya yang naik dari permukaan air, lalu kristal-kristal yang tak pernah dia lihat sebelumnya tumbuh disana seperti rumput liar. Belum lagi warna bunga-bunga yang tampak sangat asing di matanya.
Tapi, meski danau itu tampak indah dan juga misterius, anak perempuan itu tetap tampak lebih bercahaya dibandingkan dengan sekelilingnya. Seperti seorang dewi.
Dengan tersipu malu, anak laki-laki itu berkata, "Ha-halo…"
Rilianne melihat anak laki-laki yang ada di depannya dengan tatapan kaget. Dia sudah tidak ingat, sudah berapa lama dia mendengar suara manusia yang tidak penuh dengan kebencian kepadanya. Tapi, melihat bahwa dia hanyalah anak-anak, Rilianne menganggap bahwa anak itu belum pernah mendengar sesuatu tentangnya. Atau mungkin dia merupakan pengelana yang baru saja datang.
Dan lebih penting lagi, bagaimana mungkin dia bisa tidak menyadari keberadaannya disitu sebelumnya? Dia itu kan Vampir yang memiliki kemampuan berkali-kali lipat lebih tinggi daripada manusia. Belum ditambah dengan kenyataan bahwa dia itu penting.
Setelah beberapa detik saling pandang memandang, anak laki-laki itu berkata, "Kenapa kau sendirian disini? Seharusnya sekarang sudah waktu tidur bagi… kita bukan?"
Rilianne yang masih sedikit terkejut tetap diam meski ditanyai seperti itu. Bukannya dia tidak bisa menjawab, tapi dia bingung harus berkata apa pada seorang manusia.
Anak laki-laki itu melihatnya dengan heran, lalu bertanya lagi, "Kau tidak bisa bicara?"
Mendengar pertanyaan itu, Rilianne menggeleng kuat-kuat. Dia kemudian membuka mulutnya sedikit, tapi merasa enggan untuk berbicara. Dia takut bahwa anak laki-laki itu juga akan membencinya, lalu Rinto harus membunuhnya juga. Tapi, bukankah jika dia ditanyai, jika dia bisa menjawab, maka seharusnya dia menjawab?
Anak laki-laki itu menghela nafas panjang sebelum berkata, "Aku Len, Kagamine Len. Keluargaku merupakan pedagang permata yang berkeliling melalui banyak negeri. Ka-kami baru saja sampai di wilayah ini beberapa hari yang lalu. La-lalu bagaimana denganmu?" ujarnya dengan sedikit tergagap.
Rilianne menaikkan sebelah alisnya. Dia merasa sedikit lega bahwa anak laki-laki di hadapannya ini bukanlah penduduk asli. Jika iya, itu bisa mengundang sesuatu yang tidak baik baginya.
Rilianne membungkukkan badan sambil mengangkat rok dari dress yang dia pakai, memberikan hormat dengan sopan. Anak laki-laki itu menjadi malu melihat hormat yang seperti itu karena dia hanyalah orang biasa dan bukanlah bangsawan seperti itu.
Rilianne kemudian berdiri lagi sambil berkata, "Senang bertemu denganmu, Kagamine-san. Aku tinggal di wilayah dekat danau ini. Namaku… Ril-" dia menghentikan perkataannya sendiri saat hendak mengatakan namanya.
Anak laki-laki itu, Len, tampak heran dengan perubahan sikap Rilianne yang berhenti saat hendak mengatakan namanya. Dia memiringkan kepala melihat Rilianne tampak gugup.
Rilianne tahu bahwa bisa gawat jika Len mengetahui nama aslinya. Dengan terburu-buru dia memikirkan nama yang bisa digunakan untuk mengelabui Len.
'Rilia… tidak, terlalu feminim… Anne… terlalu membosankan… Lia… terlalu umum… Ri-ri-ri…' Rilianne berpikir dengan keras untuk memikirkan nama lain yang bisa dia gunakan. Lalu, dia teringat akan nama Rinto, dan memutuskan untuk memberikan sentuhan yang sedikit lebih gadis dengan nama itu.
"A-ah, ahaha, etto… namaku… Rin… Ka-Kagamine Rin…" ujar Rilianne dengan berusaha untuk tersenyum kepada Len. Meski dia tahu bahwa dia tampak gugup karena itu, sehingga tanpa sengaja menggunakan marga yang sama dengan Len.
Untung bagi Rilianne/Rin, Len sepertinya tidak mencurigai keanehannya dan berkata, "Kagamine Rin ya… nama yang indah. Ah, dan secara kebetulan marga kita sama. Karena terlalu sulit menyebut dengan marga masing-masing, panggil saja langsung dengan nama depanku," ujar Len dengan tersenyum menampakkan gigi-giginya yang putih.
Sekarang giliran wajah Rilianne/Rin yang memerah. Dia tidak pernah sekalipun mengenal orang lain selain Rinto dan juga bawahannya semenjak entah kapan. Ini juga pertama kalinya dia mengenal seorang manusia dan manusia itu bersikap baik dan juga lembut kepadanya. Dengan semua kedudukan dan statusnya, Rilianne/Rin tidak mungkin bisa mengenal dunia luar. Dan dunia luar juga menolak keberadaannya.
Len tampak heran melihat Rilianne/Rin yang tiba-tiba menjadi diam dan melihatnya seakan keberadaannya merupakan sesuatu yang asing. Rilianne/Rin sadar bahwa Len menatapnya dan segera berusaha untuk mengalihkan topik.
"Ja-jadi aku memanggilmu… L-l-l-l-len… be-be-begitu?" tanya Rilianne/Rin dengan gugup, sehingga secara tidak sengaja perkataannya menjadi tergagap.
Len mengangguk dengan pasti. Lalu dia menyodorkan tangannya kepada Rilianne/Rin. Rilianne/Rin melihat tangan Len dengan tidak mengerti, hingga Len kemudian berkata, "Apa kau tidak tahu bersalaman?" tanya Len dengan heran.
Rilianne/Rin hanya mengangguk. Len kemudian menepuk dahinya sendiri. Dia lupa bahwa itu merupakan cara berkenalan di tempatnya. Mungkin saja di tempat ini, caranya sedikit berbeda. Tapi, meski tahu itu, Len kembali mengulurkan tangannya lagi.
Rilianne/Rin tampak heran dengan perubahan sikap Len yang cukup spontan itu. Tapi, Len kemudian berkata, "Kau bisa menggenggam tanganku. Ini adalah cara orang-orang tempatku menyampaikan salam kenal," ujar Len dengan semangat yang tinggi.
Rilianne/Rin hanya mengangguk-angguk dan melihat tangan Len lagi. Dia merasa takut bahwa akan ada sesuatu yang terjadi di antara mereka. Tapi, setidaknya dia tidak mau sendirian lagi, dia tidak mau menolak keberadaan orang lain disisinya. Orang lain yang benar-benar hidup.
Karena itulah, meski perlahan-lahan, Rilianne/Rin mendekatkan tangannya ke tangan yang terulur kepadanya. Len yang mengetahui bahwa tangan Rilianne/Rin mulai terulur kepadanya, segera menangkapnya dan berkata, "Senang bertemu denganmu Rin," ujar Len.
Tepat saat tangan mereka bersentuhan, Rilianne/Rin merasakan sesuatu. Dia merasakan sesuatu yang sangat penting dan itu mengalir bersama dengan darah yang ada di dalam diri Len. Rilianne/Rin melihat pada Len dan berusaha untuk menahan air mata kebahagiaannya saat Len berkata itu.
Len yang kaget karena Rin tiba-tiba menangis segera bertanya, "Ke-kenapa kau menangis Rin? Apa aku tanpa sadar sudah melukaimu?" tanya Len dengan khawatir.
Rilianne/Rin hanya menggeleng pelan, lalu dengan berusaha untuk menghapus air matanya yang masih saja mengalir dia berkata, "Aku senang… akhirnya kita bertemu… ini adalah pertama kalinya, aku merasa sesenang ini… Len…" ujar Rilianne/Rin dengan menahan tangisnya yang masih saja mengalir.
Len tersenyum mendengar perkataan Rin sekaligus merasa lega. Dia melihat ke arah danau yang tampak berkilauan dan misterius pula. Saat ini, ia tidak tahu apa yang telah dia rajut pada malam ini.
Rilianne/Rin mengikuti arah pandangan Len dan dengan berusaha untuk tersenyum dia mengucapkan terimakasihnya. Dalam hati dia berkata, 'Akhirnya… aku bisa beristirahat…'
Oke, pagi2 kok ya sudah misteri~ kalo masih pingin lihat lanjutan na, jangan lupa buat RnR ya~ Review akan mempercepat update dan mengurangi Hiatus~
