Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto-sensei
This Fanfic by Tania Hikarisawa
[You Change Me, Chapter 1: My Name is Dei]
—Warning: AU, OOC, Gender Bender, 7k+ words, typo(s) etc—
Special for Kyori SasoDei and SasoDei Fans
.
.
.
"Dasar! Deidara! Awas kau kalau sampai kutangkap!" suara teriakan dari seorang laki-laki itu terdengar menggema di rumah sederhana yang terletak di pinggir sungai tersebut.
Sedangkan anak yang bernama Deidara itu hanya dapat tertawa, "Tangkap saja kalau kau bisa, Onoki-jii, hm," balasnya sambil tertawa kemudian berlari keluar rumahnya. Rambut pirangnya yang panjang bergoyang-goyang karena ia berlari sangat cepat.
Setelah melihat bahwa sang kakek sudah tidak mengejarnya lagi, akhirnya anak kecil bernama Deidara itu pun berhenti berlari. Senyum jahil masih setia berada di wajahnya. Dia masih jelas mengingat bagaimana wajah terkejut kakeknya itu tatkala ia kejutkan dengan sebuah petasan. "Dasar kakek tua," gumamnya sambil terkikik geli.
Tanpa terasa, anak kecil berumur tujuh tahun itu sudah berjalan sampai ke sebuah jembatan yang ada di sekitar sana. Dengan langkah kecilnya, ia menyusuri jembatan tersebut. Setelah tepat berada di tengah-tengah jembatan itu, tangan kecilnya mengeluarkan korek api beserta beberapa batang kembang api dari saku bajunya.
Dengan perlahan, dia mulai menyalakan kembang api tersebut satu per satu. Matanya tak lepas menatap bunga api yang keluar dari kembang api tersebut. Setelah kembang api itu habis, tiba-tiba saja Deidara mendengar langkah kaki seseorang yang sepertinya mendekat ke arahnya. Deidara menolehkan kepalanya ke samping. Di sana berdiri seorang anak berambut merah pendek. Rambutnya berantakan bahkan sampai menutupi matanya.
"Hei, kau mau apa, hm?" tanya Deidara tatkala melihat anak itu ingin menaiki pembatas jembatan. "Kau jangan naik ke sana, nanti kau bisa jatuh ke sungai," lanjut Deidara.
Tapi sepertinya anak berambut merah itu tidak menghiraukan ucapan Deidara. Karena kesal, akhirnya Deidara menarik baju anak tersebut dan membuatnya jatuh terduduk di atas jembatan. "Aku bilang, jangan lakukan itu, nanti kau jatuh ke sungai. Kata kakekku, arus di sini deras. Jika kau jatuh, maka kau akan mati, hm," terang Deidara panjang lebar.
"Aku tahu," balas anak itu setelah ia berdiri. "Karena itu aku ingin terjun ke sungai," lanjutnya sambil menoleh ke arah Deidara dengan sedikit berteriak.
"Hee? Kau ini bodoh atau apa? Sudah kubilang, nanti kau bisa mati, hm," balas Deidara dengan suara yang tak kalah tingginya.
Anak berambut merah itu menundukkan wajahnya, tangannya meremas besi pembatas. "Aku ingin mati," ucapnya pelan.
"Apa? Apa aku tidak salah dengar? Kau ingin mati, hm?" tanya Deidara sambil mendekatkan tubuhnya pada anak tersebut. Saat itulah, Deidara sadar kalau anak itu sedang menangis. Mungkin karena rambutnya yang menutupi matanya, Deidara jadi tidak menyadarinya tadi. "Hei, kenapa kau menangis?"
Anak itu mengusap air matanya dengan punggung tangannya dengan cukup kasar, "Tou-san dan kaa-san, mereka berdua selalu bertengar. Mereka tidak memperhatikanku, karena itu aku ingin mati saja."
Deidara tertegun mendengar penuturan anak itu, masalah keluarga seperti ini terdengar sangat asing di telinga Deidara. Ayah dan ibu, dua kata itu adalah kata-kata yang tidak pernah diucapkan Deidara sekali pun. Sejak ia kecil, orang tuanya sudah meninggal. Dan sekarang, ia hanya diasuh oleh seorang kakek baik hati yang mau menampung dirinya yang sebatang kara.
Deidara menolehkan kepalanya ke depan, mimik wajahnya berubah sendu. "Setidaknya kau bersyukur karena kau memiliki orang tua, hm. Tidak sepertiku, aku tidak memiliki orang tua sejak aku kecil," ucap Deidara pelan.
Kali ini, giliran anak itu yang tertegun mendengar ucapan Deidara. "Maaf ya," gumam anak itu.
Deidara hanya terkekeh mendengarnya, "Kenapa kau meminta maaf, hm?" balas Deidara. "Oh iya, aku punya kembang api, kau mau main bersamaku?" tawar Deidara.
Anak berambut merah itu terlihat menimbang-nimbang tawaran Deidara sampai akhirnya ia menganggukan kepalanya juga. Dia tersenyum saat Deidara memberinya satu batang kembang api. Setelah disulut dengan api, akhirnya kembang api itu pun menyalah. "Indah," ucap anak itu.
"Benar, sangat indah, hm?" balas Deidara. Setelah kembang api itu sisa setengahnya, Deidara pun berkata kembali, "Jadi, apa kau masih ingin melompat ke sungai, hm?" tanya Deidara sambil memperhatikan anak berambut merah itu dengan saksama.
Anak itu menoleh ke arah Deidara, "Tidak. Aku rasa airnya dingin," sahut anak itu.
Deidara hanya bisa menghembuskan napasnya lega saat mendengar jawaban anak di sebelahnya itu. Selang beberapa detik, akhirnya kembang api mereka berdua habis. "Wah, habis. Seharusnya tadi aku membawa lebih banyak lagi, hm," desah Deidara kecewa.
"Untuk kembang apinya, terima kasih," anak berambut merah itu tersenyum sambil menatap Deidara.
Deidara balas menatapnya dengan senyum yang memperlihat sederetan giginya, "Sama-sama," balasnya.
"Kalau begitu, aku pergi dulu. Semoga lain kali kita bisa bertemu lagi," anak itu segera berlari dari arah ia datang tadi. Dari ujung jembatan, anak itu melambaikan tangannya ke arah Deidara. "Hei, aku rasa aku menyukaimu," teriak anak tersebut dan selanjutnya ia segera berlari.
Deidara yang mendengar teriakan itu hanya dapat mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali. Beberapa detik kemudian, rona kemerahan mulai menjalar di sekitar wajahnya. "Kenapa dia bisa menyukaiku, hm?"
.
.
.
"Deidara-nii, kenapa kau mengemas barang-barangmu?"
"Aku ingin pergi ke Konoha, Kurotsuchi," sahut Deidara yang telah selesai memasukkan semua barangnya ke dalam tas. Ia kemudian mendekati anak perempuan berumur dua belas tahun yang berdiri tak jauh dari dirinya. "Ada sesuatu yang ingin aku lakukan di sana, hm," lanjutnya.
Anak perempuan berambut hitam pendek itu menatap laki-laki yang sudah dianggapnya sebagai kakaknya sendiri itu dengan tatapan sedih, "Lalu bagaimana dengan jii-chan? Apa yang harus aku katakan padanya besok?"
Deidara memegang kedua pundak Kurotsuchi, "Kau katakan saja kalau aku kabur dari rumah. Mudah kan, hm?"
Setelah itu Deidara segera mengambil tasnya dan berjalan menuju pintu keluar. Dari belakang, Kurotsuchi dengan setia mengikutinya, "Apa ini karena anak laki-laki yang waktu itu kau ceritakan?" tanya Kurotsuchi saat mereka sudah sampai di halaman depan rumah mereka.
Deidara berbalik, "Iya, karena dia," sahut Deidara tersenyum. "Aku ingin mencarinya karena aku mencintai anak itu."
Kurotsuchi seakan tidak percaya mendengar ucapan itu keluar dari mulut Deidara. "Tapi anak itu kan laki-laki, bagaimana mungkin kau mencintainya?" air mata Kurotsuchi akhirnya turun.
Dengan pelan Deidara memeluk Kurotsuchi yang sudah dianggapnya sebagai adiknya sendiri itu, "Karena itu aku pergi ke Konoha, aku ingin mengubah diriku. Agar aku bisa bersanding dengannya, hm," sahut Deidara kemudian melepas pelukannya.
"Maksudmu apa?" pertanyaan Kurotsuchi itu hanya tertiup angin karena Deidara hanya tersenyum kemudian pergi dari hadapannya.
.
"Dei-chan! Buka pintunya!"
Detik itu juga, seorang gadis bersurai emas segera membuka matanya. Karena mendengar suara dari luar apartemennya, akhirnya dengan terpaksa ia bangun dari tempat tidurnya. "Jam sembilan," gumamnya. Sepertinya ia terlambat bangun lagi.
"Dei-chan! Buka pintunya!" suara itu terdengar lagi.
"Iya, iya," balas anak gadis itu yang sepertinya bernama Dei.
Setelah membuka pintu, hal pertama yang dilihatnya adalah seorang gadis berambut merah muda pendek. "Sakura, kenapa kau pagi-pagi ke apartemenku, hm?"
Gadis bernama Sakura itu masuk begitu saja ke dalam, "Aku ingin mengajakmu berangkat bersama ke kampus," sahutnya. Mata Sakura sedikit menyipit saat melihat penampilan temannya, "Kau pasti baru bangun ya, Dei-chan? Sana, mandi dulu sana," Sakura segera mendorong temannya itu masuk ke dalam kamar mandi.
"Aku bisa sendiri," balas gadis berambut pirang panjang itu kemudian segera masuk ke dalam kamar mandinya dan mengunci pintunya. Sakura tersenyum ketika melihat temannya itu sudah masuk ke dalam kamar mandi.
"Tch! Dasar!" ucap gadis itu pelan kemudian segera membuka seluruh pakaian yang membungkus tubuhnya. Setelahnya ia segera membasai tubuhnya dengan shower di kamar mandinya. Pikirannya tiba-tiba melayang kepada mimpi yang baru saja ia alami tadi.
Tidak! Itu bukanlah mimpi, itu adalah kenyataan. Itu adalah serpihan peristiwa di masa lalunya. Saat ia meninggalkan rumahnya yang ada di Iwa, ia ingat saat itu ia masih berumur lima belas tahun. Dia masih sangat muda. Dia pergi dari rumah itu sebagai seorang remaja laki-laki bernama Deidara.
Tapi sekarang tidak lagi.
Ia mematikan shower di kamar mandinya dan kali ini matanya dapat menangkap pantulan dirinya yang ada di cermin kamar mandirnya. Di sana berdiri seorang gadis berumur 23 tahun bernama Dei.
Tidak ada lagi Deidara. Yang ada sekarang hanyalah Dei, mahasiswi jurusan seni di Universitas Konoha. Setelah sampai di Konoha beberapa tahun yang lalu ia telah terlahir kembali sebagai Dei dan membuang identitasnya yang dulu. Sudah tidak ada lagi orang yang bernama Deidara di dunia ini.
Dia tersenyum sinis memperhatikan lekuk indah tubuhnya, "Peralatan dokter sudah semakin canggih saja, hm." Dei menyentuh wajahnya kali ini. "Bahkan tubuh manusia pun dapat mereka gunakan sebagai sebuah seni."
Sebuah program transgender telah berhasil mengubah Deidara menjadi Dei. Dan dia bangga akan hal ini, dengan hal ini dia yakin dia bisa mencintai anak itu dengan lebih leluasa. Saat dia berumur tujuh belas tahun, dia melakukan program tersebut dan telah sempurna ketika ia sudah mencapai umur dua puluh tahun.
Semenjak saat itu, Dei terus berusaha mencari anak yang ia temui dulu ketika dia masih berumur tujuh tahun. Tapi sampai sekarang ia masih belum menemukannya. Bahkan tempat di mana anak itu tinggal pun, dia tidak tahu. Terkadang, Dei menyesali dirinya yang tidak menanyakan nama anak itu saat mereka bertemu enam belas tahun yang lalu.
Dia hanya tahu kalau keluarga anak itu bukanlah berasal dari Iwa, mungkin saat mereka bertemu dulu, keluarga anak tersebut sedang berlibur ke Iwa.
"Kau masih lama, tidak?" teriakan Sakura itu berhasil membuat Dei tersadar dari lamunannya.
"Sepertinya, hm," balas Dei.
Di luar, Sakura hanya mendesah. Sejak mengenal Dei tiga tahun yang lalu, Sakura tahu salah satu kebiasaannya, Dei lama sekali menghabiskan waktu hanya untuk mandi. "Kalau begitu, aku keluar sebentar membeli makanan ya," ucap Sakura.
"Hm," sahut Dei. Dei kemudian melanjutkan kegiatan mandinya. Saat ini hanya satu permohonan yang ia miliki, ia harap anak berambut merah itu mengenali dirinya sebagai anak perempuan ketika mereka bertemu dulu. Mengingat saat itu, rambutnya panjang seperti anak perempuan pada umumnya.
.
.
.
Gadis berambut pirang itu keluar dari kamar mandi hanya dengan mengenakan handuk yang melilit tubuhnya ditambah dengan handuk kecil yang sedang ia gunakan untuk mengeringkan rambutnya. Matanya menjelajahi apartemennya, dia mengernyitkan dahinya saat tidak melihat sosok kawannya yang barusan datang.
"Dia pergi ke mana? Padahal hanya membeli makanan, kenapa lama sekali, hm?" gadis bernama Dei itu segera membuka lemarinya dan memilah-milah baju yang akan ia gunakan. Tiba-tiba saja ponselnya berbunyi, sepertinya ada pesan masuk.
Dengan berat hati, akhirnya Dei melangkah ke tempat tidur dan segera mengambil ponselnya. "Oh, dari Sakura, hm."
Dei-chan, gomen ne :') tiba-tiba agencyku menelpon, katanya ada jadwal pemotretan mendadak. Jadi... kau berangkat sendiri ya, oh ya, soal kelas di kampus, aku bolos ya :P
Dei yang membaca pesan itu hanya dapat mendesah. Setelah menutup ponselnya, ia melemparnya dengan sembarang ke atas tempat tidur. Sakura, temannya yang sudah ia kenal selama tiga tahun itu memang cukup terkenal sebagai model di sebuah majalah ternama di Konoha. Dulu, Sakura sempat menawarinya untuk menjadi model di sana tapi tentu saja Dei menolaknya. Karena jika dia menjadi model, suatu saat nanti rahasianya pasti akan terbongkar. Lagipula, dia tidak ingin siapa pun di dunia ini mengetahui bahwa ia dulu adalah seorang laki-laki.
Tak lebih dari dua puluh menit, gadis itu telah selesai berpakaian. Setelah mengambil tas dan beberapa peralatan yang lain, ia pun siap berangkat ke Universitas Konoha. Dengan langkah ringan, ia menyusuri jalanan kota yang sangat rindang, mengingat sekarang masih musim semi. Setelah menaiki bis yang biasa ia naiki, sekarang ia telah sampai di depan kampusnya.
Jam sepuluh tepat, masih ada tiga puluh menit sebelum kelasnya dimulai. Mengingat sekarang ia adalah mahasiswi di tahun akhir, hal ini terkadang membuatnya sedikit kerepotan. Terlalu banyak tugas dan terkadang ia tidak memiliki waktu istirahat dalam sehari. Rambutnya yang diikat ekor kuda itu bergoyang-goyang saat angin berhembus pelan dengan poni yang menutupi salah satu matanya.
"Permisi, aku boleh bertanya sesuatu?"
Merasa ada seseorang yang mengajaknya berbicara, mau tak mau Dei memutar tubuhnya guna menatap pemuda berambut merah yang menyapanya barusan. Pemuda itu tinggi, dengan gaya rambut yang sepertinya ia kenal. "Iya, ada apa, hm?"
Pemuda itu tersenyum dan senyuman itu membuat Dei tertegun sesaat. Dia benar-benar merasa pernah melihat senyuman ini entah di mana. Tiba-tiba ada rasa rindu yang berdesir di dadanya saat ia melihat senyuman pemuda itu lagi. "Ah, tidak," pemuda itu diam sebentar.
"Ano—"
"Kau—"
Tanpa sadar mereka berdua berbicara bersamaan. "Kau duluan," ucap pemuda berambut merah itu.
Dei yang sejak tadi sudah salah tingkah itu hanya bisa tersenyum canggung. "Kau saja yang duluan, hm," balasnya sambil terkekeh geli.
Pemuda itu kemudian mengangkat kedua bahunya, "Baiklah, terserahmu saja. Hanya saja... hanya... —ya, hanya perasaanku saja. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" pemuda itu menatap Dei was-was.
"Mungkin, aku juga merasa aku pernah bertemu denganmu di suatu tempat, hm," ucap Dei menggantung. Detik-detik berikutnya hanya mereka habiskan dengan saling menatap, berusaha menyelami pikiran masing-masing. Sampai akhirnya tiba-tiba saja mereka seakan-akan ingat akan sesuatu hal.
"Kembang api—"
"Bunuh diri—"
Dan lagi-lagi keduanya berbicara secara bersamaan. Setelah mendengar ucapan masing-masing, mereka mulai menyadari kalau mereka tak salah orang. Detik berikutnya, mereka berdua pun tertawa-tawa kecil, mengingat betapa lamanya mereka mengenali satu sama lain. "Jadi, kau anak perempuan kembang api itu?" pemuda berambut merah itu mulai menghentikan tawanya.
Dei tersenyum, "Ternyata kau masih hidup, aku sempat berpikir kalau kau sudah mati. Mengingat waktu itu saja kau berusaha bunuh diri, hm?"
"Itu semua berkatmu. Kalau bukan karenamu, mungkin sekarang aku sudah mati," tanggap pemuda tersebut. "Oh ya, ngomong-ngomong kau kuliah di sini?"
"Hm," sahut Dei. "Kau sendiri? Ini pertama kalinya aku melihatmu di sini," sebenarnya jauh di dalam lubuk hati Dei, dia merasa sangat lega. Akhirnya sekarang ia berhasil bertemu dengan laki-laki yang membuatnya jatuh cinta dan laki-laki yang telah membuat dirinya berubah seperti ini. Ternyata mereka dapat bertemu di sini, sepertinya ini yang dinamakan dengan takdir.
"Ini hari pertamaku bekerja di sini sebagai dosen seni. Yah, walaupun aku ini masih dosen muda," sahut pemuda tersebut.
Dei yang mendengar itu hanya dapat terkejut. Ini benar-benar takdir, pikirnya. "Benarkah? Aku mahasiswi seni di sini, hm," balas Dei antusias. Kalau begini caranya, dia yakin kalau dia akan sering bertemu dengan pemuda yang dicintainya ini.
Pemuda itu juga terlihat senang, "Benar juga, kita belum berkenalan kan? Aku Sasori, kau?" ucap pemuda itu sambil mengulurkan tangan kanannya.
Dei menyambut tangan pemuda tersebut, "Aku Dei, salam kenal," balas Dei.
"Jadi... Dei, apa kau masih punya waktu sekarang?" tanya Sasori tiba-tiba. Entah ini hanya imajinasi Dei atau tidak, sepertinya tadi ia sempat melihat wajah Sasori yang sedikit memerah. "Bagaimana kalau kita cari kopi atau teh di sekitar sini?"
Dei hanya tersenyum geli melihat sikap pemuda di hadapannya ini, sepertinya dia salah tingkat. "Boleh, aku masih punya sekitar tiga puluh menit lagi sebelum masuk kelas, hm," sahut Dei. Jauh dalam hati, Dei merasa sangat lega. Ternyata anak itu melihat dirinya sebagai seorang perempuan saat mereka bertemu dulu.
.
.
.
"Jadi, kau benar-benar berhasil bertemu dengan laki-laki yang kau cari itu?" Sakura terlihat antusias sekali saat mendengar cerita dari temannya itu.
Dei meletakkan salah satu jarinya di depan mulut, "Kau jangan keras-keras, Sakura. Bagaimana kalau tiba-tiba saja dia datang ke sini, hm?" ucapnya dengan suara kecil.
Sakura melihat sekeliling kantin kampusnya, sepi. "Tenang saja, di sini tidak ada orang," ucap Sakura dengan wajah meminta maaf. "Jadi, sudah sejauh mana hubungan kalian? Kalian sudah jadian?"
Ucapan Sakura itu kontan membuat wajah Dei memerah, "A-apa? Kami baru bertemu satu minggu yang lalu. Mana... mana mungkin kami jadian, hm," ucap Dei malu-malu.
Sakura menatap Dei dengan senyum jahil, "Tapi kau menginginkannya, kan? Terlihat dari sikapmu," goda Sakura yang hanya dibalas dengan gelengan kepala oleh Dei. "Lalu, dia itu orangnya seperti apa? Tampan?" tanya Sakura.
"Ya, dapat dibilang tampan, dia lebih tua dua tahun dari kita, hm," sahut Dei. "Dan juga, dia itu dosen seni di sini, jadi kami sering bertemu," lanjut Dei antusias sedangkan Sakura hanya dapat tertawa kecil ketika melihat sikap temannya yang terlalu gembira itu. "Aku dengar selama ini dia tinggal dengan bibinya di Suna sejak orang tuanya meninggal, hm," ucap Dei mengingat bagaimana wajah Sasori ketika menceritakan hal tersebut. Sangat menyedihkan, begitulah yang dipikirkan oleh Dei.
"Ohh..." tanggap Sakura, entah mengapa dia mulai merasa sedikit tidak nyaman ketika mendengar kata meninggal. "Lalu, apa kau tidak berkeinginan untuk mengatakan perasaanmu lebih dulu? Emansipasi wanita," lanjut Sakura.
"Eeh? Jangan macam-macam, hm," tanggap Dei dengan wajah memerah. "Aku punya harga diri," lanjutnya. Sakura hanya tertawa ketika mendengarnya, sesekali ia mengunyah kentang goreng yang tadi ia pesan.
"Lalu namanya siapa?" akhirnya keluar juga pertanyaan ini dari mulut Sakura. Sakura yakin pasti ketika mengatakan namanya, wajah Dei akan memerah. Tapi lama Sakura menunggu, si Dei ini malah tidak menjawab pertanyaannya. "Hei, hei, Dei-chan," panggilnya tapi sayangnya gadis berambut pirang itu seperti tidak mendengarnya.
"Gawat," hanya itu yang keluar dari mulut Dei. Dengan cepat, dia mengambil buku menu yang ada di atas meja dan menggunakannya untuk menutupi wajahnya.
Sakura hanya bisa mengangkat sebelah alisnya. Ada apa dengan Dei? "Hei, kau kenapa?" dengan paksa, Sakura menurunkan buku menu itu dari wajah Dei. "Apa ada sesuatu yang terjadi?"
"Di-dia ada di sini dan sepertinya tadi dia melihatku, hm," ucap Dei kemudian.
"Siapa? Laki-laki itu? Yang mana?" tanya Sakura sambil membalik badannya ke arah belakang. Matanya menatap beberapa orang yang sedang mengantri untuk memesan makanan. "Dia yang mana, Dei-chan?" tanyanya lagi.
"Dua dari kanan, yang rambutnya merah, hm," sahut Dei.
Sakura mulai meneliti satu per satu orang di sana. Aha, dia menemukannya. Saat pemuda itu membalik badannya, mata Sakura dan mata pemuda itu bertemu dan hal ini membuat mata Sakura melebar. "Sasori," gumamnya pelan. Sakura menggigit bibir bawahnya saat melihat Sasori mendekat ke mejanya.
"Sakura, aku tak menyangka bisa bertemu denganmu di sini," ucap Sasori saat sampai di meja yang ditempati oleh Sakura dan Dei. Dia menarik salah satu kursi di sana dan mendudukinya. "Dan... apa kabar, Dei?" tanyanya sambil menoleh ke arah Dei.
Dei hanya menatap Sasori dan Sakura bergantian, "Kalian saling kenal, hm?" tanyanya tak percaya.
"Kami ini hanya kenalan biasa," sahut Sakura sambil memandang sinis ke arah Sasori. "Aku tak tahu, ternyata kau berani muncul di hadapanku," lanjutnya.
Kali ini, Sasori menoleh ke arah Sakura. "Aku tak berkeinginan untuk muncul di hadapanmu. Ini hanya kebetulan," balasnya dengan tersenyum kecil.
Sedangkan Sakura masih memandangnya dengan tatapan tidak suka, Sakura mendorong kursinya dengan sedikit kasar kemudian berdiri. "Hanya satu hal, Sasori," ucap Sakura menggantung. Dia berdiri tepat di samping Sasori. "Kau jangan mengganggu hidupku, itu saja sudah cukup," lanjutnya kemudian segera pergi dari sana.
Dei yang melihat kejadian itu hanya mematung. Kenapa sikap Sakura seperti itu? Dan tiba-tiba saja muncul suatu hipotesis di kepala Dei. Jangan-jangan mereka dulu sepasang kekasih yang kemudian putus secara tidak baik-baik dan membuat hubungan mereka menjadi seperti ini. Tapi saat memikirkan kalau kemungkinan itu benar, tiba-tiba perasaan Dei menjadi kecut. Ada rasa sesak di dadanya, apa ia cemburu?
"Dei, kau sudah memesan makanan?" tanya Sasori tiba-tiba.
"I-iya, sudah, hm," sahut Dei sedikit tersentak. "Hm, Sasori. Boleh aku bertanya, sebenarnya bagaimana hubunganmu dengan Sakura? Sepertinya terlihat buruk?" Dei menatap takut-takut saat menanyakan hal ini. Dia takut akan menyinggung perasaan Sasori.
Tapi di luar dugaan, Sasori itu hanya tersenyum. "Bukan hubungan khusus. Kami hanya kenalan biasa dan seperti yang kau lihat, dia itu tidak terlalu menyukaiku," sahut Sasori. "Jadi, kau tidak perlu cemburu padanya," lanjutnya kemudian mengusap-ngusap kepala Dei lembut.
Dei yang mendengar ucapan Sasori itu segera memalingkan wajahnya yang memerah, "Si-siapa yang cemburu, hm?" balasnya dengan sedikit meninggikan volume suaranya. Sasori hanya tertawa kecil ketika mendengarnya.
.
.
.
"Jadi, kau tinggal di sini?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Sasori. Ya, sebuah pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Setelah memakirkan mobilnya dan mempersilahkan gadis yang menumpang untuk turun. Mereka berdua segera naik ke lantai dua gedung tersebut.
Mata Sasori tak henti-hentinya menjelajahi setiap inci dari arsitektur gedung dan juga lingkungan di sekitar. Cukup asri, pikirnya. Tidak terlalu buruk jika ditempati seorang gadis yang tinggal sendiri. Sepertinya tidak akan ada tindak kejahatan di sini, mengingat begitu dekatnya tempat ini dengan kantor polisi yang ada di ujung jalan.
"Hmm... apa kau ingin masuk, hm?" tanya Dei pada pemuda yang masih terlihat asyik mengamati sekelilingnya. Bagi Dei, ini pertama kalinya ia mengajak seorang pemuda mampir ke apartemennya setelah ia berubah menjadi Dei.
Pemuda bernama Sasori itu tersenyum, "Kalau tidak merepotkan," sahutnya kemudian mengikuti Dei masuk ke sebuah ruangan yang cukup luas itu. Memang tidak sebesar tempat tinggal dirinya, tapi ini sudah cukup jika ditempati sendiri.
"Tunggu sebentar, aku akan ambilkan minum, hm," ucap Dei dan segera pergi ke arah dapur.
Sasori hanya mengangguk saja, ia lebih memilih duduk di sofa yang ada di sana. Lagi-lagi, matanya menjelajahi sekeliling. "Kau betah tinggal di sini?" tanya Sasori saat Dei sudah kembali dengan dua cangkir teh beserta beberapa kue kering.
"Ya, di sini nyaman. Lagipula, orang-orang di sini juga baik-baik padaku, hm," sahut Dei tersenyum ke arah Sasori. "Oh iya, silahkan diminum."
Sasori memperhatikan gadis di sebelahnya dengan saksama, seperti ingin menanyakan sesuatu tapi ditahannya kembali. "Lalu, uang sewanya bagaimana? Dulu, kau sempat bilang tidak memiliki orang tua, kan?"
Dei tertawa, "Jadi itu yang kau risaukan sejak tadi, hm?" Sasori menaikkan alisnya. Dei terlihat meneguk tehnya kemudian melanjutkan ucapannya, "Kau tahu, aku mendapatkan beasiswa penuh dari Universitas Konoha. Mereka juga memberikanku tempat tinggal beserta uang saku setiap bulannya tapi tentu saja aku harus bisa mempertahankan nilai-nilaiku di setiap semesternya, hm," ucap Dei panjang lebar.
Sasori hanya tertegun sekilas mendengar ucapan gadis di hadapannya. Dia benar-benar hebat, pikirnya. Tidak sepertinya dirinya yang selalu bergantung pada orang lain dulu. "Ngomong-ngomong, boleh aku bertanya sesuatu yang bersifat sedikit pribadi?"
Hampir saja Dei tersedak dengan tehnya, cepat-cepat ia meletakkan tehnya di atas meja. "Me-mengenai apa, hm?"
Sasori menyadari kalau sikap Dei sedikit gugup, dalam hati dia tertawa kecil. "Bukan apa-apa," sepertinya dia mengurungkan niatnya untuk bertanya. "Oh ya, kau masih suka dengan kembang api?" topik baru diangkat lagi. Seakan-akan ia tidak ingin pembicaraannya dengan gadis di sebelahnya terputus begitu saja.
"Tentu saja," sahut Dei semangat. "Tahun lalu, aku sempat membeli yang besar, cukup untuk mengejutkan semua orang yang ada di gedung ini, hm," lanjutnya tertawa geli.
Sasori juga ikut-ikutan tertawa. Gadis liar, pikirnya. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita bermain kembang api seperti dulu?" tanyanya tiba-tiba.
Tanpa pikir panjang Dei segera menganggukan kepalanya. "Kebetulan, aku masih punya sisa tahun baru kemarin," Dei pergi dari tempat duduknya dan berjalan ke arah rak yang ada di situ. Setelah mengaduk-ngaduk isinya sebentar, akhirnya ia menemukan sebungkus kembang api. "Main di belakang, bagaimana?" tawarnya.
Sasori mengernyitkan dahinya, cukup bingung dengan ucapan belakang yang dimaksud Dei. Baru setelahnya ia ingat, di belakang gedung ini ada alun-alun yang lumayan luas. Jadilah, akhirnya mereka berdua pergi ke sana.
Sore hari seperti ini, ternyata tempat itu cukup ramai dipenuhi anak-anak yang sedang bermain layang-layang ataupun bermain pasir di pojok. Tapi detik berikutnya, Sasori dapat melihat ibu-ibu yang datang untuk menjemput anak mereka masing-masing. Sasori tersenyum saat mendengar anak-anak yang sedang mengeluh kecewa itu, tapi setelah mendengar masakan makan malam yang dibuat ibunya, mereka dengan semangat pulang dan melupakan kekesalan mereka barusan.
"Di sini nyaman sekali," ucap Sasori tanpa sadar. Mereka berdua berjalan dan berhenti tepat di sekitar sungai yang ada di sana.
"Bagaimana kalau di sini, hm," Dei mengulurkan satu batang kembang api pada Sasori.
Sasori menerimanya dengan senang hati, "Tidak asik kalau hanya bermain kembang api saja. Bagaimana kalau kita taruhan?" ucap Sasori menyeringai.
Dei sedikit tertarik dengan ucapan Sasori, "Mau taruhan apa, hm?" tantangnya. Dalam hati, Dei sangat senang dapat menghabiskan waktu berdua dengan lelaki yang sedang ia cintai ini. Jadi apapun akan ia lakukan asal ia bisa berlama-lama bersama dengan Sasori.
"Begini," Sasori mengambil kotak kembang api itu dari tangan Dei. Ia mengeluarkan satu batang untuk diberikannya kepada Dei. "Jadi," ucapnya menggantung. "Kau ambil satu, aku juga satu. Lalu kita nyalakan bersama-sama. Siapa yang kembang apinya lebih dulu habis harus melakukan satu hal untuk lawannya. Bagaimana?"
Dei tersenyum, "Oke, aku yakin akan menang terus, hm," balasnya. "Kita mulai," ucap Dei dan mereka menyalakan kembang api mereka secara bersamaan.
Kedua kembang api itu menyala dan mulai mengeluarkan bunga-bunga api yang sangat indah. Dilatar belakangi mentari sore, entah mengapa tiba-tiba saja kembang api yang harganya murah ini terlihat sangat indah. Mereka seperti bernostalgia ke masa lampau saat mereka pertama kali bertemu.
Di sela-sela permainannya, Dei diam-diam memperhatikan Sasori. Dia menatap sendu ke arah Sasori. Apakah perasaannya akan terbalaskan? Sudah sebulan sejak mereka bertemu tapi hubungan mereka masih jalan di tempat. Dei sendiri masih merasa nyaman jika hubungan mereka seperti ini. Asalkan masih bisa bersama Sasori, dia senang. Walau sebenarnya, dia sangat ingin mengutarakan perasaannya pada pemuda ini tapi tetap saja ia takut. Bagaimana pun juga sekarang dirinya adalah seorang perempuan.
"Wah, punyamu habis," suara itu berhasil mengalihkan perhatian Dei. Ia perhatikan kembang apinya yang sudah mati sedangkan milik Sasori masih menyala walaupun akhirnya beberapa saat kemudian mati juga. Jadi, dengan ini, untuk ronde pertama, ia harus mengakui kekalahannya.
Dei mendesah kecewa, "Lalu apa yang harus aku lakukan, hm?" tanyanya memandang Sasori kesal. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. "Jangan yang aneh-aneh," lanjutnya masih dengan nada ketus.
Sasori tersenyum lalu mengelus lembut wajah Dei yang membuat wajah Dei sedikit memerah. "Kau hanya perlu menutup matamu," perintahnya.
Dei memandang Sasori takut-takut, "Baiklah, hm," sahutnya dan perlahan-lahan menutup matanya.
"Jangan mengintip," ucap Sasori tiba-tiba seiring dengan Dei yang tidak merasakan lagi tangan Sasori di wajahnya.
Dalam hati, Dei jadi berpikiran macam-macam. Jangan-jangan lelaki itu akan menyentil dahinya atau akan meletakkan ulat di atas kepalanya. Atau yang lebih buruk, ia akan menempelkan lumpur sungai di wajahnya. Ah, dia tidak sanggup memikirkan apa-apa. Detik-detik berikutnya terasa sangat lambat bagi Dei. Sampai akhirnya ia merasakan ada sesuatu yang hangat menggelitik wajahnya tapi dia tidak tahu apa itu.
Dan akhirnya Dei merasakan sesuatu yang cukup kasar menempel pada bibirnya. Refleks, ia membuka matanya. Matanya membulat saat menyaksikan kenyataan di depannya. Sasori menciumnya, mata mereka berdua saling menatap satu sama lain. Bahkan Dei dapat merasakan deru napas Sasori yang sedikit menggelitik wajahnya.
Dei mundur beberapa langkah dengan cepat. Ia menempelkan punggung tangannya pada bibirnya. Wajahnya yang memerah ia tolehkan ke samping, "A-apa yang kau lakukan, hm?" tanyanya sambil sesekali melirik ke arah Sasori.
Dengan tenang, Sasori melangkah mendekati Dei. Ia meraih tangan Dei yang tadi menutupi mulutnya. "Lihat aku, Dei," ucapnya. Gadis di depannya itu tetap saja tidak mau melihat ke arahnya. "Baiklah," Sasori menghembuskan napasnya perlahan. "Mungkin kau pikir aku hanya bercanda atau apa, tapi aku sungguh-sungguh ingin mengatakan ini," ada jeda sebentar di sana. "Aku mencintaimu Dei. Sangat, bahkan sejak aku pertama kali bertemu denganmu dulu," lanjut Sasori tulus.
Detak jantung Dei semakin cepat saat mendengar untaian kata yang keluar dari mulut Sasori barusan. Apakah dia baru saja bermimpi? Tanyanya dalam hati. Pelan-pelan, akhirnya ia menoleh juga ke arah Sasori, "Kau tidak sedang bercanda, hm?" tanyanya dengan wajah yang memerah.
Sasori tersenyum, kali ini ia menggenggam kedua tangan Dei. "Aku bersungguh-sungguh, aku mencintaimu, Dei."
Detik itu juga, Dei melepas genggaman tangan Sasori dan segera memeluk pemuda itu. "Aku pikir... aku pikir selama ini hanya aku yang memiliki perasaan itu padamu. Ternyata... ternyata...," Dei tidak dapat menyelesaikan kalimatnya. Ia membiarkan dirinya terus berada di dalam pelukan pemuda yang ia cintai.
"Aku senang kau merasakan hal yang sama denganku, Dei," ucap Sasori yang perlahan melepas pelukan mereka hingga mereka dapat menatap wajah satu sama lain. "Mulai sekarang, kita ini sepasang kekasih, Dei," lanjutnya.
Dalam terpaan mentari senja, kedua anak manusia itu saling membagi kasih dan sayang. Dengan perlahan, Sasori kembali mendekatkan dirinya ke Dei dan menempelkan bibir mereka pelan. Kali ini, Dei juga membalas ciuman Sasori itu. Tidak ada kata-kata yang bahkan bisa melukiskan bagaimana perasaan Dei saat ini. Dia benar-benar bahagia, akhirnya perjuangannya selama ini tidak sia-sia.
"Kau jangan pernah meninggalkanku, Dei," ucap Sasori yang dibalas dengan anggukan kepala Dei.
"Aku janji. Aku mencintaimu, Sasori," lagi, mereka saling berpelukan. Cukup lama hingga mereka tidak sadar bahwa mentari di sebelah barat sudah turun ke belahan bumi yang lain.
.
.
.
Gadis berumur 24 tahun itu tersenyum riang saat melihat laki-laki yang sudah menunggu di depan galeri seni tempat ia bekerja sekarang. Dengan sedikit berlari, ia menghampiri lelaki berambut merah tersebut. "Maaf, membuat menunggu, Sasori."
"Tidak apa-apa, Sayang," balas Sasori sambil mengecup pelan dahi Dei.
Dan berikutnya mereka berdua pun segera pergi bersama-sama ke suatu tempat dengan mengendarai mobil Sasori. Hari ini adalah hari perayaan satu tahun hubungan mereka berdua. Sasori sepertinya sudah menyiapkan kejutan untuk kekasihnya tersayang.
"Ayo, silahkan turun," ucap Sasori sambil membukakan pintu untuk Dei. Dei hanya tersenyum melihat betapa romantisnya kekasihnya itu. Setelah turun dari mobil, dengan mesra Sasori menggandeng Dei masuk ke sebuah restoran mewah yang ada di depannya.
Pelayan yang ada di depan pintu menyambut mereka dengan sopan, "Kami sudah memesan atas nama Sasori," ucap Sasori kepada pelayan tersebut.
Pelayan dengan kumisnya yang cukup panjang itu membungkuk hormat, "Silahkan lewat sini, Tuan dan Nyonya," ucapnya lalu mendahului masuk ke dalam restoran tersebut.
Mata Dei memandang takjub dekorasi restoran tersebut. Sebagai seseorang yang mengerti akan arti estetika seni, Dei tahu kalau interior ruangan ini dibuat oleh orang yang benar-benar ahli dalam bidang seni.
Hingga akhirnya pelayan itu membawa mereka berdua masuk ke dalam ruangan yang sepertinya khusus ada di sana. "Silahkan," ucap pelayan itu sambil membungkuk hormat.
"Ini indah sekali, Sasori, hm," ucap Dei dengan mata berbinar-binar. Dekorasi di sini sedikit berbeda dengan yang tadi. Lebih romantis, pikir Dei. Hanya ada satu meja di sana. Ruangan di sini pun gelap dan hanya mengandalkan penerangan lilin di pojok ruangan beserta lilin yang ada di atas meja di sana. "Ayo, Dei," ajak Sasori kemudian menarik salah satu kursi dan mempersilahkan Dei duduk. Barulah berikutnya ia duduk di kursi yang ada di hadapan Dei. "Kau suka?" tanyanya.
"Aku sangat menyukainya. Terima kasih, hm," balas Dei tulus.
Sasori sedikit tertawa, "Gaya bicaramu itu benar-benar khas, Dei."
Dei menatap Sasori dengan sedikit cemberut, "Biarkan saja. Terserahku, hm," balas Dei berpura-pura kesal.
"Tapi aku menyukainya," dan ucapan Sasori itu mau tak mau telah membuat wajah Dei memerah. Ia menatap Sasori sambil mengerucutkan bibirnya. Sasori hanya bisa terseyum menatap Dei.
Beberapa detik berikutnya, ada satu pelayan yang masuk ke ruangan tersebut. ia meletakkan dua sup berukuran sedang di atas meja. Kemudian menuangkan wine di gelas Sasori dan Dei. Setelah selesai dengan tugasnya, pelayan wanita itu pun segera menghilang dari ruangan tersebut.
"Ayo dimakan Dei," ucap Sasori lalu mengambil gelasnya dan mengangkatnya ke atas.
Dei yang mengerti hal tersebut pun segera mengangkat gelasnya ke atas dan membuat gelas mereka bertemu satu sama lain, "Cheers," ucap mereka bersamaan.
Lalu, satu per satu pelayan datang. Ada yang membawa hidangan utama kemudian datang lagi yang membawa hidangan penutup yang terlihat sangat nikmat. Malam itu adalah malam yang tidak akan pernah mereka lupakan. Semuanya begitu indah dan menyenangkan. Dunia ini serasa hanya milik mereka berdua.
Terkadang jika bersama Sasori, Dei dapat melupakan sejenak semua kehidupannya yang susah. Tapi terkadang juga ia merasa bersalah pada Sasori, bagaimanapun juga selama ini ia telah membohongi pria yang dicintainya itu. Sebuah kenyataan yang ia rahasiakan dari seluruh dunia. Rahasia tentang dirinya yang sebenarnya. Dia tahu, sikapnya ini egois. Tapi ini semua ia lakukan agar ia bisa terus bersama dengan pria yang dicintainya, tidak peduli dengan semua dosa yang telah ia lakukan selama ini.
Sasori sedikit mengernyitkan dahinya saat melihat Dei yang berhenti memotong steak kesukaannya itu. "Ada apa, Dei? Apa rasanya kurang enak?"
Dei segera mengalihkan perhatiannya ke arah Sasori, "Tidak, rasanya enak," sahut Dei. "Aku hanya sedang memikirkan masalah pekerjaanku tadi, hm," lanjut Dei berusaha tersenyum.
Sasori memandang Dei dengan penuh sayang, diambilnya salah satu tangan Dei. "Untuk saat ini, lupakan masalah pekerjaanmu, Sayang. Sekarang yang perlu kau pikirkan adalah kita berdua," lanjut Sasori tersenyum.
Dei balas tersenyum, "Aku tahu, hm."
"Oh iya, bagaimana menurutmu kalau kita menikah?" tanya Sasori tiba-tiba dan hal itu membuat Dei tersedak. Dengan cepat, Sasori mengambilkan gelas berisi air putih untuk Dei. "Kau tidak apa-apa?"
Dei segera meminum air yang diberikan oleh Sasori. Setelah merasa dirinya sudah cukup tenang, ia kemudian menatap kekasihnya itu. Menikah. Itu adalah satu kata yang tidak pernah dipikirkan oleh Dei selama ini. Menikah itu bukanlah hal yang mudah khususnya bagi Dei. Apalagi selama ini ia telah membohongi kekasihnya itu. Bagaimana jika suatu saat nanti Sasori mengetahui kenyataan tentang dirinya, apa laki-laki itu masih mau bersamanya?
Sasori menatap Dei dengan tatapan sendu. "Maaf menanyakan hal yang aneh," ada jeda di suara Sasori. "Lupakan hal yang aku katakan barusan. Sepertinya aku terlalu terburu-buru."
Dei sedikit menundukkan wajahnya, "Maaf," satu kata itu meluncur halus dari mulut Dei. Kali ini, ia benar-benar merasa bersalah. Ia sudah mengacaukan suasana menyenangkan tadi. Jauh di dalam hati, ia merutuki dirinya sendiri.
"Silahkan Tuan dan Nyonya," ada satu pelayan yang tiba-tiba masuk. Ia menuangkan wine lagi ke gelas Sasori dan Dei. Gadis pelayan yang berambut hitam pendek itu sedikit tersentak saat melihat kedua tamunya itu. Tapi dia segera menggelengkan kepalanya pelan dan keluar dari ruangan tersebut.
"Ayo, Dei. Dimakan lagi," tawar Sasori berusaha mencairkan suasana yang sempat berubah menegangkan itu. "Maaf soal yang tadi. Jangan dipikirkan, Sayang," lanjut Sasori lembut.
Dei menganggukan kepalanya, ia kemudian melanjutkan untuk memakan steak yang tinggal setengah itu. Diam-diam ia terus memperhatikan Sasori. Semoga saja lelaki itu tidak marah padanya.
Dan entah bagaimana sekarang mereka sudah berada di luar restoran. Acara yang seharusnya sangat menyenangkan barusan sedikit terusik dengan ucapan Sasori dan Dei masih merasa bersalah pada Sasori. Sasori yang memperhatikan wajah gadisnya yang sedikit murung itu segera memeluknya lembut. "Maaf soal yang tadi, kau marah?"
Dei menggeleng, "Aku yang seharusnya meminta maaf. Aku yakin kau pasti marah karena sikapku, hm?" tanya Dei.
Sasori melepas pelukannya kemudian menatap mata Dei, "Aku tidak marah," sahutnya kemudian mengecup pelan bibir Dei dan itu membuat wajah Dei sedikit memerah. "Sudah merasa lebih baik?" Dei mengangguk malu-malu.
Sasori kemudian membukakan pintu untuk Dei tapi tiba-tiba saja Dei menoleh ke arah restoran itu. Sasori mengernyitkan dahinya, "Ada apa?"
Dei menatap Sasori kemudian menggeleng, "Bukan apa-apa, hm," sahut Dei kemudian segera masuk ke dalam mobil Sasori. Tadi sepertinya ia merasakan kalau ada seseorang yang sedang memperhatikannya. Detik berikutnya ia segera menggelengkan kepalanya, mungkin itu hanya khayalannya saja.
.
.
.
Saat ini Dei sedang sibuk dengan segala pekerjaannya yang berurusan dengan seni. Minggu ini, terlalu banyak lukisan yang datang dan ini memperberat pekerjaannya. Baru saja ia akan melihat-lihat lukisan yang lain, tiba-tiba saja salah satu asistennya datang ke arahnya dengan sedikit terburu-buru.
"Dei-san, ada seseorang yang meninggalkan pesan untuk Anda," ujar gadis berperawakan pendek tersebut. Dei menerima kertas yang diulurkan ke arahnya sambil menaikkan alisnya.
Akimichi Cafe, jam 6 petang. Jangan terlambat.
Hanya seperti itu tulisan yang terdapat di sana. "Siapa ini, hm?"
"Maaf, dia tadi tidak mengatakan namanya kepada saya. Dia hanya memberikan kertas itu kepada saya," sahut asistennya tersebut.
"Baiklah. Sudah, kau kembali bekerja saja," suruh Dei kemudian. Dia masing menimbang-nimbang apakah ia akan pergi atau tidak. Dia punya banyak pekerjaan di galeri saat ini bahkan tadi dia sempat berpikir untuk lembur saja hari ini. Tapi setelah memikirkan pesan tersebut berkali-kali, akhirnya dia memutuskan pergi juga.
Dan tepat jam enam kurang sepuluh menit, Dei sudah berada di dalam kafe yang dijanjikan. Segelas jus jeruk baru saja ia pesan. Masih sepuluh menit lagi, pikirnya. Sesekali, Dei juga memperhatikan dekorasi kafe ini. Dekorasinya terkesan sangat tempo dulu mengingat begitu banyak kafe yang sudah bergaya barat di Konoha. Diam di sini membuatnya bernostalgia pada masa-masa zaman kekaisaran semasa pemerintahan Senju Hashirama.
Gemericing suara lonceng menarik perhatian Dei, bahkan lonceng angin masih diletakkan di dekat pintu kafe ini. Benar-benar jadul, sempat terlintas pemikiran seperti itu dalam kepala Dei. Baru saja ia akan memanggil pelayan untuk memesan makanan, tiba-tiba saja ada seseorang yang duduk di hadapannya yang mau tak mau membuat perhatian Dei teralih padanya.
Orang itu sepertinya perempuan melihat busana yang ia kenakan. Dei masih belum mengenali gadis ini karena ia mengenakan topi yang menghalangi pandangan Dei untuk melihat wajahnya. Tapi detik berikutnya, Dei hanya bisa membatu di tempat saat gadis itu melepas topinya. "Kurotsuchi," gumam Dei lemah.
Gadis berambut hitam pendek itu menatap Dei dengan tatapan sendu. "Jadi, ini benar kau?" ucapnya tertahan. "Kau benar-benar Deidara-nii?" lanjutnya setengah berbisik. Gadis itu menggigit bibir bawahnya dengan sedikit gemetar, dia masih sulit percaya dengan kenyataan yang sedang ia terima saat ini.
Selama beberapa saat Dei hanya bisa menatap Kurotsuchi dengan tatapan kosong. Tiba-tiba saja pikirannya kosong. Tangan Dei saling mengepal di atas meja. "Bagai-bagaimana kau bisa menemukanku, hm?"
Kurotsuchi meletakkan tangannya di atas tangan Dei. "Dua minggu yang lalu aku sempat melihat wanita yang sangat mirip dengan Deidara-nii. Aku pikir itu hanya kebetulan saja," sahut gadis itu. "Tapi... tapi setelah aku mencoba menyelidinya, aku semakin yakin bahwa wanita itu adalah Deidara-nii," lanjutnya dengan air mata yang menggenang di kelopak matanya.
"Dan wanita itu adalah aku, hm?"
Kurotsuchi mengangguk. Ada rona bahagia di wajahnya saat ia berhasil menemui seseorang yang ia cari selama ini. "Selama tiga tahun ini, aku terus mencarimu."
Setelah sekian menit, akhirnya sekarang Dei berani menatap Kurotsuchi. Dia merasa malu sekali saat bertemu dengan orang yang sudah dianggapnya sebagai adiknya sendiri tersebut. "Lalu setelah menemukanku, apa sekarang kau kesal, hm?"
Kurotsuchi menggeleng perlahan, "Tidak, aku hanya bersyukur ternyata kau masih hidup. Sekarang akhirnya aku bisa senang karena di dunia ini aku masih memiliki dirimu," air mata Kurotsuchi akhirnya turun juga.
Dei sedikit mengernyitkan alisnya. "Apa maksudmu, hm? Bukankah kau masih memiliki Onoki-jii?"
Kurotsuchi memandang Dei dengan senyuman kecil, "Beliau sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Karena itu aku memutuskan untuk mencarimu ke Konoha dan sekarang aku berhasil menemukanmu. Aku... aku senang sekali," tatapan Kurotsuchi ke arahnya itu membuat Dei merasa bersalah.
Mendengar berita bahwa orang tua itu sudah meninggal, Dei merasa sedih. Sejak ia kecil, kakek baik hati itu selalu merawatnya seperti ia merawat cucunya sendiri. Tapi sekarang dia sudah meninggal bahkan dirinya belum sempat membalas semua kebaikannya. Yang selama ini ia lakukan hanyalah membuat kakek itu marah saja. Belum lagi, setelah ia meninggalkan Iwa dan memilih jalan hidupnya sendiri, ia tidak pernah sekalipun pergi ke Iwa. Tentu saja, ia tidak ingin membuat Onoki-jii dan juga Kurotsuchi kecewa dengan dirinya sekarang.
Melihat Dei murung seperti itu, Kurotsuchi berusaha menghiburnya. "Namamu sekarang Dei, kan? Jadi apa aku boleh memanggilmu, Dei-nee?" ini adalah senyuman yang pertama kali Kurotsuchi perlihatkan semenjak mereka bertemu tadi.
Dei memperhatikan senyuman tulus itu terpatri indah di wajah Kurotsuchi. Air mata Dei turun, dia bersyukur ternyata Kurotsuchi mau menerima dirinya yang seperti ini. "Terima kasih, Kurotsuchi, hm."
Gadis itu menggeser tempat duduknya ke arah Dei. Dengan lembut dipeluknya orang yang telah ia anggap sebagai kakaknya itu. "Aku senang bisa bertemu denganmu. Apa kau bahagia sekarang, Dei-nee?" Dalam pelukan Kurotsuchi, Dei mengangguk. "Syukurlah, aku senang jika kau bahagia."
Setelah pertemuan yang menurut Dei sedikit mengharukan itu, sekarang di sinilah kedua gadis itu berada. Di sebuah apartemen kecil dekat perkampungan di Konoha. Apartemen itu bahkan jauh lebih kecil dari apartemen Dei saat dia masih kuliah.
"Maaf ya tempatku pasti membuatmu tidak nyaman," Kurotsuchi meletakkan dua gelas air dingin di atas meja yang ada di sana. Kemudian ia segera duduk di sebelah Dei.
Dei memalingkan wajahnya ke arah Kurotsuchi, "Apa kau nyaman tinggal di sini? Bagaimana kalau kau tinggal denganku saja? Tempat tidurku pasti cukup untuk kita berdua, hm?" tawar Dei.
Gadis berambut hitam itu hanya terkekeh kecil, "Tidak perlu. Bagaimana dengan pacar Dei-nee? Dia pasti terganggu jika aku tinggal denganmu," sahut Kurotsuchi.
"Kenapa dia harus merasa terganggu?" pertanyaan Dei itu tidak ditanggapi lagi dengan Kurotsuchi. "Apa kau waktu ini juga melihat dia, hm?" yang dimaksud Dei tentulah pemuda yang sekarang telah menjadi kekasihnya.
Kurotsuchi mengangguk, "Sebenarnya restoran yang kau datangi dulu itu tempatku bekerja. Jadi aku melihat kalian tanpa sengaja. Apa dia laki-laki yang dulu ingin kau cari itu?"
Wajah Dei sedikit memerah, "Iya, dialah laki-laki yang aku cari dulu, hm."
"Kau terlihat bahagia sekali. Soal dirimu... apa dia tahu?" tanya Kurotsuchi tiba-tiba.
Kali ini wajah Dei berubah sedikit murung, "Tidak. Aku tidak berani memberitahukannya. Aku takut kalau dia akan meninggalkanku jika aku memberitahu kebenaran tentang diriku, hm."
Kurotsuchi mengerutkan dahinya kemudian menggenggam tangan Dei, "Tapi Dei-nee, apa kau akan terus-terusan menyembunyikan hal ini kepadanya? Bagaimana kalau suatu saat nanti dia mengetahuinya dari orang lain?"
Pertanyaan Kurotsuchi itu membuat Dei menatapnya, "Kau? Kau tidak bermaksud memberitahukannya, kan?"
Kurotsuchi segera menggeleng, "Tentu saja tidak. Bagaimana mungkin aku melakukan hal seperti itu. Maksudku orang lain seperti dokter yang menanganimu dulu atau siapa pun," ucap Kurotsuchi sedikit khawatir.
Perkataan Kurotsuchi itu ada benarnya juga. Selama ini, Dei berpikir bahwa rahasia ini hanya dirinya seoranglah yang mengetahuinya. Padahal bisa saja ada beberapa orang yang mengetahuinya. Dan bagaimana bila suatu saat nanti Sasori mengetahuinya? Dan bagaimana jika dia mengetahuinya dari orang lain? Dei bahkan tidak bisa membayangkan jika hal itu terjadi pada dirinya.
"Jadi, apa menurutmu aku harus mengatakannya?"
"Aku rasa iya. Cepat atau lambat, kau juga harus mengatakannya, kan? Jika dia benar-benar mencintaimu, aku yakin dia pasti bisa menerimamu apa adanya, Dei-nee," sahut Kurotsuchi berusaha menyemangati Dei.
Dei menatap mata Kurotsuchi, "Aku akan memikirkannya."
"Maaf, sepertinya aku terlalu mengurusi urusan pribadimu. Aku... aku hanya tidak ingin kau tidak bahagia."
.
.
.
Sekarang di sinilah Dei berada. Tepat di depan salah satu gedung mewah yang ada di Konoha. Di sana, di salah satu lantai itu ada apartemen milik Sasori—kekasihnya. Selama satu minggu ini, dia terus memikirkan perkataan Kurotsuchi kepadanya, sepertinya dia memang harus mengatakan hal yang sebenarnya kepada Sasori. Di titik inilah, Dei sudah merasa jenuh karena membohongi Sasori terus menerus selama ini.
Akhirnya dengan langkah tegap, dia memasuki gedung tersebut. Setelah masuk ke dalam lift, dia menekan salah satu tombol yang ada di sana. Lift ini memiliki dinding yang transparan, bahkan Dei dapat melihat mentari yang sudah mulai menghilang di sebelah barat bumi. Haruskah pemandangan seperti ini yang akan mengakhiri kisah cintanya? Sekarang yang bisa ia lakukan hanyalah berdoa, semoga Tuhan memberikan jalan yang terbaik untuk dirinya.
Setelah lift itu memberhentikannya di lantai yang diinginkannya, Dei pun segera keluar dari sana dan mulai menyusuri lorong yang sepi itu. Baru saja ia berbelok, Dei dikejutkan dengan sosok Sakura yang tiba-tiba ada di hadapannya. Refleks, Dei segera bersembunyi di balik dinding. Pelan-pelan, dia mulai mengintip kegiatan yang dilakukan temannya itu.
Mata Dei membulat saat melihat ternyata Sakura mengunjungi Sasori, padahal yang ia tahu Sakura sangat membenci Sasori. Dan Sasori menerimanya masuk begitu saja. Ada apa ini? Dei seakan-akan sulit bernapas, dadanya terasa begitu sesak. Tanpa dikomando, sebulir air turun dari matanya. Perlahan, tubuhnya merosot sambil bersandar pada dinding di belakangnya.
Inikah jawaban darimu, Tuhan? Pikir Dei. Dia tak habis pikir ternyata ini yang mereka lakukan di belakang dirinya. Dei akhirnya memutuskan untuk pergi dari tempat itu. Dengan terburu-buru, dia segera keluar dari gedung itu dan menghentikan sebuah taksi yang tanpa sengaja lewat di depannya. Setelah mengatakan tujuannya. Yang Dei bisa lakukan setelahnya hanyalah meratapi nasibnya. Kisah cinta yang selama ini ia impikan itu haruskah berakhir seperti ini?
Tak kurang dari tiga puluh menit, Dei telah sampai di tempat yang ia inginkan. Kawasan perkampungan yang ia datangi satu minggu yang lalu. Sebelum mengetuk salah satu pintu rumah yang ada di sana. Dei mengambil ponselnya, paling tidak sekarang ia harus mengatakan semua ini kepada Sasori. Dia segera menelepon lelaki yang selama ini telah mengisi hatinya tersebut.
"Ada apa, Sayang?" ujar lelaki itu manis.
Dei menggigit bibirnya saat mendengar nada suara Sasori. "Aku... aku ingin kita putus, hm."
Terdengar suara berisik di seberang, "A-apa? Kenapa tiba-tiba kau mengatakan ini, Dei? Apa aku sudah berbuat salah padamu?" sangat kentara nada Sasori yang merasa khawatir tersebut.
"Ti-tidak. Hanya saja aku yang telah berbuat salah padamu, hm," ada jeda sebentar pada kata-kata Dei. "Selama ini aku telah membohongimu. Sebenarnya... sebenarnya aku ini adalah laki-laki. Laki-laki yang telah melakukan operasi transgender," lanjut Dei tegas dan kemudian ia segera mematikan panggilan tersebut. Dia tidak ingin mendengar ucapan balasan dari Sasori.
Air mata Dei turun semakin banyak, hatinya sangat sakit saat mengatakan hal tersebut. Sekarang ia menulis sebuah pesan di ponselnya lalu mengirimkannya pada seseorang. Setelah pesan itu terkirim, ia segera mematikan ponselnya. Kali ini, hatinya benar-benar sakit. Dia perlu seseorang untuk bisa menahan semua ini.
Tangan gemetar Dei mengetuk pelan pintu yang ada di depannya. Beberapa saat kemudian, pintu itu dibuka oleh seorang gadis berparas manis. Ekspresi gadis itu terlihat sangat kaget saat melihat keadaan Dei. "Dei-nee? Apa yang terjadi padamu?" gadis itu segera memeluk Dei.
"Aku telah mengatakan semuanya pada Sasori, hm," ucap Dei di sela tangisnya.
"Lalu apa yang ia katakan padamu?"
Dalam pelukan Kurotsuchi, Dei menggeleng lemah. "Aku tidak tahu... aku bahkan tidak berani mendengar balasannya. Aku segera menutup ponselku tanpa mendengar jawabannya," terang Dei. Kurotsuchi ikut bersedih melihat kondisi Dei. Ia memeluk Dei semakin erat, perlahan-lahan diusapnya punggung Dei agar ia merasa lebih tenang. "Aku... aku ingin pergi dari sini," ucap Dei tiba-tiba.
Kurotsuchi mengangguk, "Baiklah, aku akan pesankan tiket kereta api ke Iwa malam ini juga," balas Kurotsuchi.
.
.
.
Kedai minum yang terletak di pinggir jalan itu terasa sedikit sepi, hanya ada beberapa pengunjung di sana. Salah satu pengunjung yang mencolok di sana adalah seorang gadis berambut merah muda pendek. Gadis itu terlihat duduk sendiri di bangku pojok.
Melihat ponselnya bergetar, ia segera mengalihkan perhatiannya pada benda persegi panjang berwarna hitam tersebut. Sepertinya ada pesan masuk, ia pun segera membuka pesan tersebut.
Sakura, maaf selama ini aku telah membohongimu. Sebenarnya aku ini adalah laki-laki yang melakukan transgender. Aku tahu setelah melihat pesan ini, kau pasti merasa jijik padaku. Aku tidak berharap kau akan memaafkanku, Sakura. Hanya saja, aku mohon tolong jaga Sasori untukku. Selamat tinggal, temanku.
Gadis bermarga Haruno itu membaca pesan tersebut dengan sedikit sulit karena pandangannya sedikit mengabur karena pengaruh minuman beralkohol. Setelah berhasil membaca semua isi pesan tersebut, gadis itu tersenyum sinis. "Dasar!" ucapnya diiringi cegukan. "Mereka itu bodoh sekali!" lanjutnya lagi. Ia kemudian meletakkan ponselnya dan segera memanggil pelayan yang ada di sana. "Aku minta satu sake lagi," ucapnya sedikit membentak.
Seorang pelayan meletakkan satu botol sake di meja tersebut. Gadis itu segera menuangkan sake ke dalam cawan yang ada di sana. Diangkatnya cawan sake tersebut lalu sedikit menggoyang-goyangkan isinya. "Dan aku juga bodoh," ucap gadis itu lagi dan segera meminum sake di cawan tersebut.
.
.
.
.
.
.
~To Be Continued~
Yuhuu~ akhirnya chapter satu fic ini selesai juga. Oke, fic ini khusus buat Kyori SasoDei yang udah ngancem saya buat ngebuat fic SasoDei. Sebenarnya awalnya sih gak pengen buat soalnya saya gak bisa buat fic shounen-ai. Eh, trus dia bilang "pake aja gender bender" dan tralalala~ muncullah ide fic seperti ini wkwkwk... semoga suka ya :D
Oh ya, trus menurut kalian gimana tanggepan Sasori setelah ini? Coba deh, bayangin diri kalian berada di pihak Sasori, apa yang akan kalian lakukan pertama kali? Hmmm... kalo saya, saya sih bakal ninggalin si Dei *digeplak* tapi itu sih kalo saya ya, gak tau deh si Sasori bakal ngapain hohoho... sekedar mau ngasi tau nih, si Sakura dalam fic ini megang peranan penting buat pasangan kita ini lho~ hehe...
Oke deh, segitu aja cuap-cuapnya, nanti takutnya malah jadi ngasi spoiler buat chap depan. Oh, satu lagi, ini bukan MC yang panjang kok :) Cuma twoshoot doang, jadi sudah dipastikan di chap depan akan tamat, bisa happy ending atau bisa juga sad ending atau gantung (?) ending
Dan di sini, saya benar-benar akhiri cuap-cuap saya. Terima kasih buat yang udah nyempetin baca ya :D dan kalau ada yang mau berkenan untuk me-review, ayo silahkan tumpahkan unek2 kalian di sana. Saya akan terima dengan senang hati hehe... oh iya, paling lambat saya update dua minggu depan ya ;D updatenya bisa dipercepat kalo banyak yang minta hehe... And See ya~
~There's an ETERNAL love in a FLEETING life~
