Desclaimer: Masashi Kishimoto.
Pairing: Sakura-Sasuke.
Genre: Drama – Hurt/Comfort.
Rated: T semi M
Warning:Alur Flash, Typo's, Nyinetron (?), Pasaran, dll
Enjoy..
.
.
.
-I Hate You/I Love You-
.
(Sakura's POV)
.
Semenjak kami masuk pertama kali ke Konoha High School aku sudah menyukainya.
Wajah tampannya, tatapan matanya yang tajam dan kecerdasannya yang diatas rata-rata.
Walau sikapnya tertutup dan sangat angkuh, itu tak membuat para penggemar wanitanya –termasuk aku– berkurang, malahan itu menjadi salah satu alasan pula mengapa ia begitu di idolakan di sekolah ini.
Sampai pada saat kami –aku dan Sasuke, nama laki-laki yang aku sukai– akhirnya duduk dibangku kelas 3, kelas yang kami tempati lagi-lagi sama.
Entah Dewi Fortuna mungkin sedang berpihak padaku, dari kelas 1 sampai kelas 3 ini kami selalu menempati kelas yang sama. Tapi itu tak lantas membuatku bisa juga akrab dengannya.
Sesekali aku memang pernah sekedar menyapanya, atau yang lebih jauh berdiskusi bersama waktu kelas 2 saat kami di tugaskan satu kelompok bersama Ino dan Naruto pada mata pelajaran Fisika.
Lebih lagi dari itu? Tidak ada.
Aku tetap dengan diriku sendiri yang hanya bisa melihatnya dari jauh dan ia tetap dengan dirinya yang cool dan tak memperdulikan sekitarnya.
.
–I hate You/I Love You–
.
"Jadilah Kekasihku."
BRUK..
Aku menjatuhkan buku Fisika dan Sejarah Duniaku yang ku pegang seketika.
Demi apa, Uchiha Sasuke yang ku kenal sangat dingin dengan para fans nya kini ada di hadapanku, terlebih lagi ia barusan mengatakan kalimat sakral –menurutku– dengan tatapan seriusnya yang ditujukan padaku.
Aku menoleh sekeliling, memastikan bahwa memang aku yang di ajak bicara olehnya.
"Aku bicara padamu." ia kembali bersuara, tatapan tajamnya masih di tujukan padaku.
Aku tersentak, aku memang bodoh, ini jam pulang sekolah, anak-anak yang lain pasti sudah pulang semua mengingat bel pulang sudah berbunyi setengah jam yang lalu karena kebiasaanku adalah pulang jauh belakangan.
"Aku tak akan mengulanginya lagi." lagi-lagi ia bersuara, suara yang merdu menurutku.
Jantungku berdebar sangat kencang, Onyx nya benar-benar sedang mengebor Emerald ku.
"A–aku…" sial, kenapa aku jadi gagap begini.
Ia mengangkat alisnya.
"Emm…" tak mampu mengeluarkan kata-kata aku hanya mampu mengangguk haru.
Tatapan tajamnya merileks seketika.
"Ku antar kau pulang."
GREB..
Tangan besarnya yang hangat langsung menggenggam tangan mungilku, mati matian aku menahan airmata bahagia, walau ada sebagian diriku yang merasa aneh mengapa ia tiba-tiba menembakku, padahal kami tidak pernah saling bicara yang sungguh-sungguh.
Mungkin saja dia memendam perasaannya padaku seperti aku selama ini? bukan maksudku untuk percaya diri, tapi siapa tahu saja kan?
Yah, apapun itu yang jelas aku bahagia.
Sungguh bahagia.
.
.
.
Hari-hari berikutnya ku jalani dengan penuh senyuman bahagia dan wajah yang jauh lebih cerah dari biasanya.
Gosip tentang aku dan Sasuke menjadi sepasang kekasih pun langsung menyebar luas bak virus penyakit, tak sedikit yang memperlihatkan rasa kecewa mereka terang-terangan kepada kami, bahkan banyak juga yang hampir mencoba melabrak ku jika saja Sasuke tidak menjagaku dan terus berada disampingku.
Para sahabat dekatku pun tak kalah kaget dengan yang lainnya, namun mereka mendukung apapun yang bisa membuatku bahagia, karena mereka sangat tahu bahwa aku sudah sejak lama menyukai Sasuke
Tak terasa hubungan kami sudah berjalan tepat satu bulan, selama satu bulan aku benar-benar merasa bahagia bisa bersama dengan Sasuke.
.
Ku langkahkan kaki ku riang di sepanjang koridor sekolah, selain tas sekolah sebuah kotak besar dengan pita merah jambu menghiasi kotak tersebut ku bawa-bawa.
Hari ini aku membuat Rainbow Cake untuk merayakan hari jadi kami yang sudah satu bulan. Terlalu dini memang kalau dirayakan, namun aku benar-benar tak bisa menahan diriku untuk memberikan kejutan kecil untuk nya.
Semoga ia suka kue buatanku.
"Kerja bagus Sasuke."
Saat hendak menggeser pintu kelas aku mendengar seseorang berbicara sambil menyebut nama Sasuke.
"Hn." Trademark yang sudah ku hafal diluar kepala, aku yakin itu pasti Sasuke.
"Sekarang cepat kembalikan kunci mobilku, Suigetsu!"
Aku mengintip di celah pintu kelas, ku lihat Suigetsu anak kelas sebelah sedang berbicara pada Sasuke, aku tak tahu mereka sedang membicarakan apa yang jelas aku mendengar Sasuke meminta kunci mobilnya pada Suigetsu. memang ada apa dengan mobil Sasuke? kenapa bisa ada ditangan Suigetu?
"Baik..baik." Suigetsu melempar kunci mobil pada Sasuke yang langsung ditangkapnya.
"Oke karena kau berhasil memacari Sakura dan terus berada disampingnya selama sebulan ini kau boleh mendapatkan apa yang kau mau dariku."
Deg!
Mataku membelalak.
Apa maksud perkataan Suigetsu tadi? memacariku? berada di sampingku sebulan penuh? jadi, selama ini aku hanya di jadikan bahan taruhan.
"Hn."
"Aku tak akan mau lagi mengikuti permainan konyolmu, apa lagi sampai menyita mobilku." Sasuke bersuara.
Deg!
Lagi-lagi aku membelalakkan mataku, berarti selama ini aku hanya di jadikan permainan mereka.
"Hahaha.. iya..iya, habis kalau aku tidak menyita Porsche mu pasti kau tak akan mau mengikuti permainanku dan Juugo." Suigetsu terbahak sambil menepuk pundak Sasuke.
Aku berusaha menahan agar airmata ku tidak keluar.
Hatiku teramat sangat sakit, bagai di tusuk ribuan Samurai tak kasat mata.
"Lalu bagaimana sekarang? Ini sudah tepat sebulan, dan aku melihat kau terus berada di sampingnya seperti benar-benar alami, bukan akting. apa kau benar-benar sudah jatuh cinta padanya?" Suigetsu menyeringai pada Sasuke.
Aku memperhatikan wajah dingin Sasuke, berharap bukan jawaban menyakitkan yang ia keluarkan.
"Aku tidak menyukai gadis norak dan menyebalkan seperti dia."
TAAK..
Seketika kotak kue yang ku pegang jatuh menghantam lantai, membuat Sasuke dan Suigetsu menoleh ke arah pintu kelas dimana aku berdiri.
Suigetsu menyeringai begitu melihat aku yang ada disana, sedangkan Sasuke? tak menampakkan raut apapun, ia sama sekali tidak menampakkan raut terkejut ketika melihatku, sorot matanya tak terbaca.
Sedetik setelah ku perlihatkan raut terluka ku pada mereka –terutama pada Sasuke– aku langsung berlari keluar sekolah dan menaiki bus menuju pantai Konoha.
Di tebing pinggir pantai aku menangis meraung-raung sejadi-jadinya.
Ia sudah menghancurkan hatiku hingga berkeping-keping, harga diriku di injak-injak, dan dengan lantang aku pun berteriak hingga suaraku nyaris hilang.
"PERSETAN KAU SASUKEEEEE!"
"DISISA HIDUPKU, AKU BENCI PADAMUUUUU BRENGSEEEEEK!"
Dan seketika itu juga aku menetapkan dalam hati bahwa mulai saat ini aku akan membekukan hatiku.
.
–I Hate You/I Love You–
.
Hari-hari selanjutnya aku berubah menjadi pribadi yang pendiam. Seantero sekolah pun sudah tahu bahwa aku sudah putus dengan pria brengsek itu walau mereka tak tahu apa alasan yang sebenarnya.
Ino, Tenten, dan Hinata setia berada di sampingku untuk menghiburku begitu pula dengan Naruto, Shikamaru, dan sahabatku yang lainnya.
Namun beberapa kali pria brengsek itu mencoba untuk mendekati ku dan beberapa kali juga aku dengan sukses menghindarinya, tak jarang juga ia memperlihatkan raut penyesalannya padaku, dan aku?
Tak pernah sekalipun peduli lagi padanya.
Aku benar-benar membencinya, sangat membencinya.
Rasa benciku sekarang sama besarnya dengan rasa cintaku dulu padanya.
.
–I Hate You/I Love You–
.
4 bulan kemudian hari kelulusan kami tiba.
Aku sudah mendaftarkan diri di sebuah Universitas kenamaan di Suna, University of Suna.
Aku akan berkuliah kedokteran di sana.
Sejujurnya berat meninggalkan Konoha kota kelahiranku ini, terlalu banyak kenangan manis disini, juga kenangan pahit yang salah satunya tak akan bisa kulupakan selama sisa hidupku.
Tapi ini ku lakukan semata-mata karena aku ingin menggapai kesuksesan, maka dari itu aku rela meninggalkan semua yang di sini dengan membawa tekad untuk sukses dan–
"Sakura." lamunanku buyar. aku tersentak melihat Sasuke kini ada di hadapanku, tak ada lagi semu merah yang menghiasi pipi ku atau tersipu saat bertemu dengannya, tatapan penuh kebencian ku lontarkan padanya.
"Aku ingin–"
PLAAK!
Perkataannya terhenti ketika tiba-tiba aku menamparnya dengan sangat keras, aku tahu pasti rasanya sangat sakit, tapi tak akan pernah sebanding dengan sakitnya hatiku.
Ia tak kaget sama sekali dengan perlakuanku, barang kali ia sudah bisa menebak apa yang akan ku lakukan.
Ku dongakkan daguku tinggi-tinggi dengan tatapan tajam sambil menunjuk wajahnya.
" Jangan pernah menggangguku lagi! .padamu!" desisku sadis dengan penekanan di akhir katanya dan aku langsung pergi dari hadapannya, menabrakan bahuku pada lengannya karena tinggiku memang hanya sebatas bahunya.
Ya, aku pergi menempuh pendidikan di University of Suna dengan membawa tekad dan rasa kebencian yang mendalam hanya untuk satu orang.
Uchiha Sasuke.
.
.
.
.
.
–I Hate You/I Love You–
.
–6 tahun kemudian–
.
Saat ini umurku sudah 24 tahun, aku sukses lulus dari University of Suna dengan nilai gemilang dan gelar dokter yang ku sandang.
Kini aku kembali ke Konoha dan sudah sebulan bekerja sebagai dokter specialis anak di International Konoha Hospital.
"Terima kasih dok, kalau begitu saya permisi." ujar seorang ibu muda padaku, saat ini aku sedang praktek dan baru saja selesai memeriksa seorang batita cantik berumur 3 tahun yang terserang demam.
"Sama-sama." senyumku tulus sambil mengelus gemas pipi gembil si batita lucu tersebut.
Itu adalah pasien terakhirku di jam makan siang ini. setelah pintu ruanganku terdengar menutup yang menandakan pasienku sudah keluar aku langsung merenggangkan otot-otot ku yang tegang dan sedikit memijit pelipis ku.
Lelah, namun ini adalah pekerjaan yang sangat ku cintai dan kudambakan sejak dulu.
Tok..tok..
Suara pintu ruanganku di ketuk, tak perlu ku persilahkan masuk pintu ruanganku sudah terbuka aku sudah tahu siapa itu karena memang kebiasaannya setiap jam makan siang tiba, Ino menampakkan wajahnya, nyengir.
Ya, Ino teman seangkatan ku di Konoha High School sekaligus sahabat dan orang yang sudah kuanggap sebagai kakak ku sendiri sekarang berprofesi sama denganku, bedanya ia adalah dokter umum dan sudah 3 bulan bekerja di Rumah Sakit ini.
"Makan siang." ujarnya riang, akupun tersenyum dan langsung bangkit setelah membereskan berkas-berkas terlebih dahulu.
"Hari ini banyak pasien Pig?" tanyaku ketika kami berdua berjalan di koridor Rumah Sakit menuju kantin.
"Hah, tak perlu ku jawab kau sudah tahu Forehead." jawabnya lesu, aku terkikik, dia memang sedikit lebih sibuk dari ku saat ini.
Sedang asyiknya berbincang kami di kejutkan dengan beberapa perawat yang berlarian sambil mendorong Brankar kosong dari arah berlawanan.
"Dokter Yamanaka, ada pasien kecelakaan parah!" ujar salah satu perawat menghampiri kami.
Dengan sigap Ino langsung pamit padaku. "sory Forehead!".
"Tak apa." jawabku tersenyum tulus sambil mendorong bahunya pelan dan ia segera menyusul para perawat tersebut.
Aku membalikkan badan dan menatap Ino yang berlari ke arah Lobby yang tak jauh dari tempat ku berdiri saat ini.
Disana ku lihat seorang laki-laki berlumuran dari di letakkan di ata Brankar.
Tiga orang –dua laki-laki dan satu wanita– yang ku pastikan keluarganya mengikuti dari belakang dengan raut wajah khawatir juga tangisan histeris dari wanita cantik tersebut.
Aku tersentak kaget setelah melihat Brankar tersebut melewatiku.
Aku melihat sekujur tubuh itu penuh luka dan ceceran darah terutama di bagian wajahnya, namun bukan itu yang membuatku tersentak, melainkan siapa yang ada di Brankar tersebut.
Wajahnya yang dipenuhi darah tak menghalangiku untuk segera mengenalinya.
Ia masih tampak sama seperti dulu, hanya garis wajahnya terlihat lebih dewasa sekarang.
Ia–
.
.
–Uchiha Sasuke.
.
–I Hate You/I Love You–
.
Aku sekarang sedang berada di kantin Rumah Sakit.
Nasi goreng dan Strawberry Juice pesananku belum sama sekali tersentuh. aku sibuk memikirkan apa yang ku lihat tadi.
Di satu sisi jantungku berdetak kencang entah kenapa, tapi di sisi lain aku benar-benar tak perduli padanya karena kejadian 6 tahun yang lalu masih jelas terekam di ingatanku.
"Forehead," panggilan Ino menyadarkan ku dari lamunan.
Ia menggeser bangku di depanku dan duduk , ia melirik makanan yang belum ku sentuh sama sekali kemudian menghela nafas, "kau melihatnya ya?" tanya Ino hati-hati.
Aku mengangguk pelan.
"Lalu?" tanyanya lagi dengan suara sedikit ragu.
"Lalu?" aku mengulang pertanyaan Ino sambil meliriknya heran, ia kembali menghela nafas.
"Kau tak ingin menem–"
"Tidak!" jawabku cepat memotong perkataannya, aku sudah tahu apa yang ingin ia katakan.
"Setidaknya melihat keadaan dirinya." Ino mencoba membujukku entah untuk apa.
"Tidak!" jawabku keras kepala.
Ino memperlihatkan raut prihatinnya padaku, "dia kecelakaan pada saat berangkat ke kantornya." ujarnya kemudian, aku diam saja tak menanggapinya walau kedua telinga ku pasang baik-baik.
"Mobilnya hancur tertimpa Dump Truck dari samping, ia mengalami pendarahan pada kepalanya dan patah pada lengan kanannya, ia–
–koma." lanjut Ino panjang lebar, aku tersentak kaget namun tak ku perlihatkan pada Ino.
"Tak ada urusannya sama sekali denganku. aku tak perduli!" ucapku dingin.
"Astaga Forehead kau keterlaluan sekali!" pekik Ino frustasi, "Kalau kau bersikap seperti ini hanya karena kau mengingat kejadian dulu, demi Tuhan lupakan, itu sudah 6 tahun yang lalu!" lanjutnya.
"Berbicara memang hal yang mudah Ino." aku menggeser bangku ku ke belakang kemudian menatapnya dengan pandangan dingin.
Kepalaku tiba-tiba berdenyut hebat, tak ingin berdebat dengan Ino lebih jauh aku memutuskan untuk berdiri dan pergi dari sana.
"Ku tekankan sekali lagi, ia koma Sakura." Ino menahan tanganku, aku menatapnya sekilas lalu menyentakkan tangannya dan pergi berlalu.
.
.
.
2 minggu telah berlalu semenjak aku melihatnya.
Menuruti rasa benciku aku tak pernah sekalipun menemuinya.
Namun biar begitu aku cukup –sangat– tahu perkembangannya, siapa lagi kalau bukan dari Dokter yang menanganinya, Ino.
Ino sangat rajin memberitahu ku tentang keadaan laki-laki itu setiap kali ada waktu.
"Bagus kalau ia sudah sadar." responku sekenanya tiga hari yang lalu waktu Ino memberitahu ku Sasuke –laki-laki itu– sudah sadar dari komanya.
"Ia akan pulang hari ini." beritahu Ino pada ku ketika kami sedang berjalan menuju ruanganku setelah makan siang.
Aku hanya bergumam menanggapinya, kami masuk ke ruanganku dan aku langsung duduk di kursi ku begitu pula dengan Ino yang langsung duduk di kursi seberangku.
"Forehead–"
"Sudah Ino, berhenti merecokiku dengan menceritakan semua tentang diri dan keadaannya padaku." Potongku frustasi.
"Tapi–"
"Ino!" bentak ku, membuat Ino berjengit kaget.
"Maaf Ino, aku tak bermaksud membentakmu." sesalku sambil menatap Ino.
"A–aku hanya tak ingin lagi teringat padanya Ino, lagi pula ia pasti tak akan ingat padaku, gadis norak dan menyebalkan." lanjutku di akhiri dengan tawa hambar.
"Dia ingat padamu." gumam Ino pelan.
"Hah?" responku cepat sambil menatap Ino heran.
"Sebenarnya sejak dia siuman dan tahu aku yang menanganinya ia selalu bertanya pada ku tentang dirimu, Forehead." Ino menatapku.
Aku diam tak menanggapinya, otak ku sibuk mencerna kata-kata Ino.
"Dia benar-benar merasa bersalah pada kejadian 6 tahun yang lalu." lanjut Ino.
"Cih!" aku mendengus ketus.
"Forehead." ia memanggilku, aku menoleh.
"Aku memberitahu bahwa kau bekerja disini."
"APA?" aku kaget dan langsung berdiri.
"Sory Forehead, aku memberitahunya karena aku tak tega melihat raut wajah bersalahnya setiap kali ia bilang ia menyesal telah mempermainkanmu, sejujurnya ia tak pernah punya keinginan mempermainkanmu." jelas Ino panjang lebar.
"Ino, kau tahu aku tak pernah mau lagi berurusan atau berhubungan dengannya!" jawabku dengan suara tinggi.
"Aku membencinya Ino, aku membencinya."
Tanpa menoleh lagi aku langsung pergi dari ruangan setelah sebelumnya aku mengambil tasku terlebih dulu.
Di sepanjang jalan menuju rumah aku menangis, aku tak tahu kenapa aku bisa menangis dan aku tak mau tahu kenapa.
Yang aku inginkan sekarang pulang ke rumah dan istirahat.
Sesampainya di rumah aku langsung membanting pintu mobil dan masuk ke kamar tanpa mengindahkan pertanyaan ibu ku kenapa aku pulang lebih cepat dari biasanya.
Aku membanting diriku ke kasur dan kembali menangis, kali ini aku menangis karena mengingat kejadian dulu, saat aku masih begitu menyukai Sasuke, mencintai Sasuke.
Dan perasaan tulusku di balas dengan kejamnya, ia tega menjadikan ku permainannya.
Menghancurkan hatiku berkeping-keping dan menjatuhkan ku ke lubang sakit hati yang amat sangat perih.
Mulai saat itu aku pun membencinya, aku membekukan hati ku hingga sekarang, maka jangan heran jika sampai sekarang aku belum memiliki seorang kekasih di karenakan rasa trauma ku yang mendalam, aku takut di permainkan lagi, aku takut di hancurkan lagi dan aku takut di jatuhkan lagi.
Malam harinya Ino meneleponku dan meminta maaf padaku atas kejadian tadi siang di Rumah Sakit, aku pun juga meminta maaf padanya karena tak sepantasnya aku marah-marah.
Ke esokan harinya aku sudah bekerja seperti biasa.
.
.
–2 hari kemudian–
.
Aku sedang asyik mengobrol dengan Yuna –Receptionist Rumah Sakit– ketika seseorang yang sangat familiar tertangkap mataku.
Uchiha Sasuke, berdiri di sampingku di temani seorang wanita dewasa yang aku yakini adalah ibu nya.
Tangan kanannya masih terlihat di Gips.
Melihatnya menyadari keberadaanku serta merta aku langsung pergi meninggalkan meja Receptionist.
Aku bisa mendengarnya pamit pada wanita tersebut.
"Jangan lama-lama Sasuke-kun, 20 menit lagi ibu tunggu di ruangan Dokter Yamanaka." Terdengar seruan lembut yang berasal dari ibu nya.
Aku mempercepat langkah kaki ku seiring dengan cepatnya langkah kaki di belakangku.
"Sakura." serunya memanggilku.
Aku tak mengindahkan panggilannya, melihatnya membuat luka ku yang dulu kembali terasa perih.
"Sakura, tunggu!" jeritnya frustasi.
GREB!
Pergelangan tangan kiriku tertangkap olehnya, ia membalikkan diriku dan tatapan kami langsung bersirobok.
Yang ku tangkap, sudah tak ada lagi raut angkuh di wajahnya, walau dingin tapi kini sorot matanya terlihat lebih teduh di banding dulu, aku tak tahu apa ia memang sudah berubah atau hanya di depan ku saja.
"Kenapa menghindariku?" suaranya terdengar makin matang.
"…" aku diam tak membalas pertanyaannya, aku juga berusaha menghindari tatapannya dengan menatap ke arah lain.
"Maafkan aku." Ia menunduk, genggamannya pada pergelangan tanganku turun, ia menggenggan tangan mungilku erat dan entah kenapa aku tak bisa menolak genggamannya.
"Aku…aku–"
"Pergi dari hadapanku." Desisku sambil menunduk, berusaha sekuat tenaga agar tak terisak.
"Sakura–"
"Aku bilang..PERGI!" ujarku lantang sambil menatap tajam matanya, segera saja ku lepas genggamannya dan berlari menuju ruanganku.
Lagi-lagi aku menangis.
Laki-laki sialan, dia benar-benar mampu membuat perasaanku terombang-ambing.
.
Semenjak saat itu ku pikir ia sudah tak akan menampakkan dirinya lagi di hadapanku, tapi ternyata dugaanku salah.
Setiap hari ia selalu datang ke Rumah Sakit, mendatangi ruangan kerja ku juga mendatangi rumah ku hanya untuk meminta maaf, dia bahkan hafal jadwal libur kerja ku dan jadwal ku berbelanja mingguan.
Risih? Sangat.
Berkali-kali aku mencoba mengusirnya dan membentaknya, namun itu tak juga membuatnya jera, bahkan ia malah makin sering mendatangi ku.
"Temuilah dia Sakura-chan, sebentar saja." saat ini ibu ku tengah membujuk ku untuk menemui Sasuke yang sedang berada di ruang keluarga bersama Ayah ku.
Seringnya intensitas laki-laki tersebut kerumah mau tak mau membuat Ayah dan Ibu mengenal dirinya, dan itu membuat ku benci, aku benci karena Ayah dan Ibu menerima kedatangannya dengan tangan terbuka.
Aku tetap diam tak mengindahkan perintah Ibu sama sekali.
"Walau Ayah dan Ibu tak tahu ada masalah apa di antara kalian tapi Ibu harap kalian bisa menyelesaikan masalah ini baik-baik, nak." ujar Ibu ku lembut sambil mengusap pipi ku.
"Aku tak akan pernah mau menemuinya,bu." jawabku keras kepala.
Ibu menghela nafas pasrah, "baiklah, Ibu akan bilang padanya." Beliau mengusap lembut rambutku lalu keluar dari kamar.
.
Drrt.. Drrt..
.
Drrt.. Drrt..
.
Aku menggeliat pelan mendengar ponsel ku bergetar.
Drrt.. Drrt..
Ku gapai ponsel ku malas-malasan.
Terlihat nomor telepon Rumah Sakit tertera di layar ponsel.
"Moshi..aa.." kuap ku.
"Dok, maaf mengganggu malamnya, pasien di kamar nomor 342 mengalami kejang-kejang Dok, saya harap Dokter bisa ke sini secepatnya." di seberang sana yang ku yakin Luca –perawat Rumah Sakit kepercayaanku– yang berbicara.
Aku terperanjat dan langsung terduduk di ranjang.
"Ke mana Nana?" tanya ku gusar sambil beranjak membuka lemari pakaian, Nana adalah Asisten Dokter kepercayaan ku, biasanya dia yang menggantikan ku jika aku libur seperti saat ini.
"Nana-senpai, ada urusan mendadak katanya ia pergi sepuluh menit yang lalu." Jawabnya.
"Baik, tunggu aku, lakukan apapun yang bisa kalian lakukan!" buru-buru aku menutup telepon, dan bergegas mengganti baju, pukul menunjukkan waktu 11 malam tepat.
Tak biasanya Nana pergi tanpa pamit seperti itu, untung saja jarak dari rumah ku ke Rumah Sakit hanya 10 menit menggunakan mobil.
Ku yakin Ayah dan Ibu sudah pergi tidur, jadi aku pergi tanpa harus pamit pada mereka, kebetulan aku memang punya kunci cadangan.
Sesampainya di Rumah sakit aku langsung ke ruang rawat pasien ku, seorang anak berumur 7 tahun yang mengidap kelainan ginjal, untunglah aku cepat datang jadi ia bisa segera tertangani, ini juga berkat para perawat yang sigap menanganinya, soal Nana –Asistenku– aku bisa menanyakannya nanti saat bertemu dengannya.
Setelah berbincang dengan orang tua pasienku, aku langsung pamit untuk pulang, rasa lelah benar-benar menyerangku tanpa ampun.
Di sepanjang perjalanan ku setel lagu agak keras agar kantuk ku bisa sedikit berkurang.
Ke asyikkan aku lebih memilih jalan memutar supaya bisa menikmati lagu lebih lama, kantuk ku benar-benar sudah hilang sekarang.
Tapi memilih jalan memutar ternyata adalah malapetaka bagi ku.
.
"Sial." umpatku keras sambil menendang mobilku.
Bisa-bisanya bensin mobilku habis di tempat sepi seperti ini, sedangkan tempat pengisian bahan bakar terdekat tidak buka 24 jam, mengumpat kesal aku memilih untuk menelepon Ayah ku untuk menjemputku ke sini, kebiasaan jelek diriku yang suka mengisi bensin kalau benar-benar sudah hampir habis.
Baru aku akan menelepon Ayah ku terlihat sebuah Lamborghini Aventador berkecepatan tinggi melaju ke arah ku.
"KYAAAAA!" teriak ku sambil menutup mata.
CKIIIT.. BRAAK!
Hening.
Tak ada suara apapun.
Aku membuka mataku.
Aku tak terluka sama sekali, sekujur tubuhku baik-baik saja tanpa lecet sedikitpun.
Aku mengangkat kepalaku dan mendapati mobil super mewah tersebut menabrak trotoar, dengan segera aku langsung berlari menghampiri mobil tersebut, memastikan yang membawa dalam keadaan baik-baik saja.
Ku gedor-gedor pintu mobil namun orang tersebut tak mau membuka pintu mobilnya, mencoba mengintip tapi kaca mobilnya sangat gelap, demi keselamatan si pengendara aku mencoba untuk mencari suatu benda untuk memecahkan kaca, tak perduli bahwa mobil tersebut sangat mahal dan aku tahu pasti tak mudah memecahkan kaca mobilnya, tapi aku tak akan tahu kan sebelum mencoba?
Baru aku ingin memukul kaca mobil tersebut menggunakan potongan besi yang ku temukan dekat sana ketika tiba-tiba pintu mobil terbuka, ada perasaan lega luar biasa karena ternyata si pengendara masih bernafas dan aku tak perlu memikirkan bagaimana mengganti rugi kerusakan mobil tersebut.
Deg!
Mataku melotot ketika melihat siapa yang keluar dari mobil.
.
.
.
Uchiha Sasuke, dengan tampang sangat berantakan dan wajah yang memerah.
Ia memandangku dari atas ke bawah sebelum akhirnya dia keluar dari mobil dengan gontai.
Bruuk!
Ia menabrak tubuhku, bau alcohol menguar dari mulutnya, ia mabuk.
"Sakura." gumamnya lembut, bagaimana ia tahu aku adalah Sakura, apakah ia masih cukup menyadari bahwa aku lah yang ada di hadapannya?
"Sakura..hik..aku..ingin minta..hik..maaf.." racaunya.
Aku diam.
"Kau.." ia sekarang mencoba berdiri dan menatapku.
"Kenapa..hik.." gumamnya sambil menunjuk hidungku.
"KENAPA KAU TAK MAU MEMAAFKAN KU BRENGSEK!" dan selanjutnya tanpa ku duga ia mencuri ciuman pertama ku.
Aku mencoba memberontak tapi tenaganya yang jauh lebih besar tak bisa membuatnya menyingkir dariku.
Ia terus menciumku dan mendorongku masuk ke dalam mobilnya.
Aku memberontak namun ia menamparku keras sambil mengumpat.
Tak jelas apa umpatannya, tapi yang bisa ku tangkap dari omongannya ia sedang frustasi akan sikapku yang tak bisa memaafkannya.
Ia terus melumat bibirku dan merobek bajuku.
Aku kaget bukan kepalang, aku makin memberontak, ku tendang ia sekuat tenaga namun ia tak beranjak sedikitpun dari atasku.
Terlalu banyak menangis membuat kesadaranku melemah.
Aku benci, aku menyesal, andaikan aku tak memilih mengambil jalan memutar apa lagi jalan ini memang terkenal sangat sepi kalau sudah di atas jam 10, aku mungkin tak akan mengalami ini semua, terlebih yang melakukan ini adalah orang yang paling aku benci, Uchiha Sasuke.
.
.
Waktu menunjukkan pukul 4 pagi ketika aku tersadar dari pingsanku.
Ku lihat Sasuke sedang duduk di sampingku sambil mencengkram rambutnya frustasi.
Aku melihat tubuhku sekeliling.
Deg!
Ya Tuhan, aku benar-benar berantakan!
Pakaianku sobek sana sini dan ku rasakan sesuatu yang amat perih di bagian bawah ku.
Ia menatapku dengan pandangan menyesal, aku yakin ia sudah sadar dari mabuknya.
"A–apa yang kau lakukan padaku?" isak ku sambil menatap horor dirinya.
"Sa–sakura, a–aku tidak sadar, a–aku tak tahu itu kau–"
"HAAAAAAAAAA!" perkataannya terputus ketika tiba-tiba aku berteriak histeris.
Harga diriku sudah di hancurkan oleh orang yang sama, orang yang amat aku benci dari dulu.
Aku–
–di perkosa olehnya.
Aku merebut jas nya yang ia sampirkan di jok mobil untuk menutupi bajuku yang sobek, mengabaikan rasa sakit pada sekujur tubuhku terutama bagian bawah aku keluar dari mobilnya setelah aku menendangnya terlebih dahulu.
Aku berlari, berlari sekuat tenaga, tak ku perdulikan mobilku yang mogok tak jauh dari sana, tak ku perdulikan rasa sakit pada tubuhku aku terus berlari.
Memerlukan waktu satu jam untuk bisa sampai kerumah dengan jalan kaki.
Pagi harinya Ibu dan Ayah kaget menemukanku terbaring pingsan di teras rumah.
Selama seminggu aku tak pernah keluar dari kamar, Ayah dan Ibu berkali-kali membujukku untuk mengatakan apa yang terjadi namun aku tak pernah mau menjawab, semenjak saat itu pun si brengsek tak pernah menampakkan batang hidungnya sama sekali.
Sampai tiba pada minggu kedua aku terpaksa keluar dari kamar setelah merasakan pusing yang amat sangat disertai mual.
"Sakura, kau kenapa?" Ibu memijit leherku, aku tak menjawab karena perut ku benar-benar mual.
Sebelum aku bisa menjawab aku sudah jatuh pingsan di sertai pekikan Ibu.
.
.
.
"Hamil?" Ibu membekap mulutnya sambil menangis, aku yang sudah sadar dari pingsan ku juga tak kalah kagetnya mendengar hasil pemeriksaan Dokter.
Sedetik kemudian aku menjerit histeris.
.
Malam harinya Ibu menceritakan keadaanku kepada Ayah saat ia pulang.
Respon Ayah? hampir ia terkena serangan jantung ketika tahu anak satu-satunya yang ia banggakan telah di nodai, Ayah memaksaku bercerita tentang siapa Ayah dari bayi yang ku kandung.
Di desak sedemikian rupa akhirnya aku menceritakan pemerkosaanku pada Ayah dan Ibu sambil menangis.
Ibu terisak hebat sambil memelukku, sedangkan Ayah ku lihat mengepalkan tangannya geram, rahangnya mengeras.
Tak lama terdengar suara bel rumah kami berbunyi, Ayah berdiri untuk melihat siapa yang bertamu. Ibu masih memelukku ketika ku dengar suara gebrakan pintu yang sangat keras, seketika aku dan Ibu langsung berlari menuju ruang depan.
Mataku membelalak, ku lihat Ayah ku mengepalkan tangannya dan laki-laki yang menghancurkan hidupku terjatuh menabrak pintu dengan sudut bibir berdarah, di belakang mereka terlihat tiga orang berdiri tanpa berniat untuk membantu Sasuke bangun.
Saat Ayah hendak menyerang lagi Ibu menariknya dan membawa mereka semua masuk.
Ternyata kedatangan mereka adalah untuk meminta maaf pada ku dan keluarga ku, Sasuke sudah menceritakan semua pada keluarganya, selama 2 minggu ia tak pernah muncul di hadapanku karena ia benar-benar terpukul atas apa yang ia lakukan padaku.
Ibu pun memberitahu mereka tentang kehamilanku.
Mereka pun sepakat untuk menikahkan ku dengan Sasuke, dan Sasuke sangat bersedia karena dari awal ia memang berniat untuk mempersuntingku.
Sedangkan aku? mau tak mau aku harus menerimanya karena aku tak mau anak yang ada di rahim ku tak memiliki Ayah dan aku tak mau membuat keluargaku menanggung malu.
.
Sahabat-sahabat terdekat ku yang tahu kondisiku kaget dan tak menyangka dengan apa yang aku alami, kami menangis bersama-sama. Mereka mendoakan apapun yang terbaik untukku.
Dan di sinilah sekarang aku berdiri–
–terjebak dengan gaun putih di dalam sebuah Gereja Tua dengan para tamu undangan yang tak bisa di bilang sedikit mengingat keluarga Uchiha adalah keluarga yang terpandang.
Di sampingku berdiri Sasuke yang terlihat sangat tampan dengan Tuxedo putihnya, tak ada raut wajah keterpaksaan, sorot matanya tak terbaca.
Pendeta yang menikahkan kami mulai membuka suaranya dan pengambilan sumpah sehidup semati kami pun di lakukan.
Dan resmilah aku sekarang, menjadi seorang isteri dari orang yang sangat aku benci, kalau bukan karena anak yang ada di rahimku, ku pastikan aku akan menolak niat baiknya untuk menikahiku.
Yah, karena sampai sekarang aku tetap membencinya.
Aku membencimu, Uchiha Sasuke.
.
.
.
TBC or FIN?
.
Lagi-lagi aku nekat ngeluarin fic setelah bangkit dari Hiatus –tanpa pamit– (?)
Semoga pada suka ya?
Kalau memang fic ini pantas untuk dilanjutkan maka chapter depan aku akan membuat Sasuke POV nya karena mungkin di sini banyak hal yang ganjel kalau Cuma dilihat lewat kacamata (?) Sakura aja.
Akhir kata aku ucapkan makasih sebanyak-banyaknya.
Aku hanya manusia biasa yang tak sempurna, jadi fic ku juga jauh dari kata sempurna.
Terakhir, jangan lupa..
R
E
V
I
E
W
–12-8-2012–
