.
.
.
.
.
Pengorbanan
Story by Angelzvr
Disclaimer: Masashi Kishimoto
Summary:
Semuanya kulakukan demi cintanya, aku tidak mau kehilangan dirinya, dialah mentariku! Tetapi kuharap dia mengerti setiap pengorbananku untuknya, bahkan aku rela mati demi cintanya seumur hidup kepadaku.
Character: Naruto U. Hinata H. Sasuke U
Genre: Romance, Hurt/comfort, Supranatural, Tragedy.
Don't like don't read!
AUTHOR REALLY THANK'S IF YOU LEAVE A REVIEW AFTER READING
.
.
.
.
.
Hinata pov
Bagiku aku sangat beruntung bisa memilikinya, dia adalah kapten basket disekolahku, setiap perempuan pasti memujanya, tetapi hanya 1 orang yang beruntung bisa menjadi pacarnya, yaitu aku.
Setiap hari aku menyemangatinya setiap berlatih dan bertanding, aku pernah bertanya, baginya apa itu basket? Dan jawabannya, basket adalah hidupku. Jadi aku sangat menghargai kecintaannya pada permainan bola besar tersebut, dan kuharap besar cintanya juga sama dengan cintanya kepadaku. Tidak ada yang mencemooh hubungan kami, bahkan menurut para penggemarnya kami adalah pasangan serasi, jadi aku sangat lega bisa mengumbar kemesraan dihadapan umum.
Setiap temanku berpesan untuk hati-hati menjaganya, ya aku juga mengerti kenapa demikian, tetapi aku juga tidak mau mengekang hidupnya yang hanya boleh bersamaku, lagipula aku percaya padanya, waktu itu ia menyatakan cintanya kepadaku dengan sangat bersungguh-sungguh seolah-olah ia sangat membutuhkanku dihidupnya.
End Hinata pov
Hinata menatap kagum sosok yang tengah asik mengoper bola ditengah lapangan itu. Dengan gerakkannya yang lincah, tubuh atletisnya yang sedang dibanjiri keringat, apalagi saat itu ia hanya memakai baju basket tanpa lengan, semua wanita bersorak kepadanya. Rasanya ia ingin membentak siapapun yang berani menyemangati kekasihnya, tetapi segera ia tahan, sebab kebanyakan wanita itu adalah kakak kelasnya.
Akhirnya babak kedua selesai, KHS kembali menang sebagai juara, ini semua berkat kegigihan Naruto dan bentuk kekompakan timnya. Naruto segera menghampiri gadis yang selalu mencuri perhatiaannya dipinggir lapangan. Sangat mudah mengenalinya memang, dengan rambut indigo nya yang panjang dan jarang dimiliki orang-orang tentunya. Naruto memeluk tubuh gadis itu, tidak peduli keringat yang membasahi tubuhnya menempel diseragam si gadis. Yang ia inginkan saat ini mempersembahkan kemenangan ini bagi Hinata.
Hinata merasa nyaman dalam pelukan lengan kekar Naruto, ia tidak peduli dengan bau keringat nya yang terus mengucur, serta tatapan aneh dari para penggemarnya, ia bangga bisa memiliknya bahkan sangat bangga! Tak lama akhirnya pelukan itu terlepas dan hanya senyuman dikeduanya yang terus mengembang.
"Aishiteru Naruto-kun". Hanya kalimat itu yang ingin ia terus ungkapkan, rasanya ini seperti mimpi rasa cintanya terbalaskan.
"Aishiteru yo Hinata-chan". Senyum Hinata bertambah lebar mendengarnya, rona merah kembali muncul dipipinya.
"Engh, nanti Naruto-kun mau mengantarkanku pulang tidak?". Hinata memainkan jari telunjuknya didepan dada, dan sukses membuat Naruto gemas melihatnya.
"Tentu saja, kita kan sudah berpacaran". Wajah Hinata semakin memerah mendengarnya.
"Ohiya Hinata-chan, aku ingin mengenalkanmu pada temanku". Naruto segera menarik pergelangan tangan Hinata, membawanya kedalam salah satu ruangan tempat istirahat para anggota basket. Nafas Hinata tidak beraturan ketika harus mengikuti langkah panjang Naruto. Ditempat itu dapat Hinata lihat ada seorang pemuda berambut raven dengan tampang datar menatapnya, tetapi dapat Hinata rasakan aura hitam yang menguar dari diri pria itu. Entah apa yang membuat Hinata takut, hingga memilih untuk bersembunyi dibalik punggung kokoh Naruto.
"Hehehe kau kenapa? Namanya Sasuke Uchiha, dia temanku, mungkin kau tidak mengenalinya, ia tertinggal satu tahun, karena ia sempat pindah keluar negeri". Hinata tetap terdiam, sambil mengintip sosok itu yang masih memandangnya dengan tatapan datar.
"Setelah mengobrol dengannya, dia itu orang yang baik". Bisik Naruto pada Hinata, akhirnya Hinata berani keluar dari tempat persembunyiannya dan balik menatap laki-laki itu.
"Hi-Hinata Hyuuga, sa-salam kenal". Hinata membungkukan badannya dengan kaku, memang seperti itulah dirinya jika berhadapan dengan orang yang tidak ia kenal.
"Hn". Hanya gumaman yang keluar dari bibirnya. Hinata sedikit mengadah agar bisa melihat ekspresi pria itu, dan tetap saja hanya tatapan datarnya seolah tidak ada apapun dihadapannya, tidak ada sapaan, ataupun balas memperkenalkan diri. Suasana canggung meliputi keduanya. Naruto yang menyadarinya segera tertawa garing untuk mencairkan suasana.
"Sstt, Teme, perkenalkan dirimu!". Naruto sedikit berbisik pada Sasuke, tetapi suaranya masih bisa cukup terdengar di telinga Hinata
"Hn, Sasuke Uchiha". Singkat, padat dan jelas, seolah tidak ada kalimat pelengkap didalam kamus kehidupannya. Naruto sedikit melotot dengan sifat Sasuke yang dingin, dan hanya dibalaskan tatapan 'tidak peduli' darinya. Akhirnya Naruto hanya bisa menghela nafasnya, sepertinya tidak ada percakapan lagi yang bisa mereka lakukan.
"Hehehe, sudah yah Teme! Aku mau mengantarkan Hinata-chan pulang dulu, jaa~". Segera ia tarik dengan lembut tangan Hinata agar ikut keluar dari ruangan itu.
"Huh, Teme memang seperti itu, terlalu irit bicara, tetapi sebenarnya dia itu baik kok". Naruto masih menggenggam tangan gadis itu, membawanya untuk segera keluar dari area sekolah.
"Semua orang yang tersangkut dengan Naruto-kun pasti jadi baik". Entah apa yang ia ucapkan, tetapi hanya dibalas tatapan bingung dari Naruto.
"Hah? Kenapa?". Hinata menatap sapphire yang terus menbuatnya terhipnotis, mencoba menggambarkan seperti apa diri Naruto.
"Naruto-kun seperti matahari, yang selalu menyinari dunia". Hinata kembali menunduk, menahan rona merah yang menjalar diwajahnya, menurutnya, kata-katanya seperti sebuah gombalan.
"Ya jika itu menurutmu, tetapi menurutku, aku percaya semua yang ada didunia ini tidak ada yang jahat". Hati Naruto memang benar-benar baik.
"Mudah-mudahan pertandingan besok akan berjalan dengan baik". Kata Hinata, kini mereka mulai memasuk daerah proyek, jalan pintas terdekat menuju rumah Hinata.
"Ya setidaknya tidak ada lagi latihan intesif!".
"Aku pasti akan datang mendukung!". Kata Hinata dengan bersemangat.
"Apa..? Kalau begitu aku harus menang dong!". Ya orangnya memang ceria, seceria matahari, hanya berdekatan dengannya sudah membuat perasaan Hinata hangat. Percakapan mereka berlanjut dengan banyak canda dan tawa hingga membuat mereka lupa bahaya yang akan menghadang mereka jika tidak berhati-hati.
'Kami-sama semoga kebahagiaan ini akan berlangsung selamanya... Kau pasti akan mengabulkannya kan?'.
.
.
.
Bruuuukkk!
"..."
"..."
Mustahil, ini semua bohongankan?!Mata Hinata terpaku, tidak percaya apa yang sedang ia lihat sekarang. Ia berharap apa yang dilihatnya hanyalah sebuah mimpi, segera ia cubit lenganya. Sakit. Itulah yang ia rasakan berarti ini bukanlah mimpi. Naruto Uzumaki, pria yang selalu ia cintai dan rasa cintanya terbalaskan kemarin, baru saja tertiban batu besar. Darah keluar dari tubuh yang tidak berdaya itu, Hinata menutup mulutnya, rasanya ia ingin marah kepada Kami-sama yang tidak mengabulkan doanya. Nafasnya tercekat, baru saja ia bahagia bisa memiliknya dan sekarang...
'Tolong Kami-sama aku rela melakukan apapun demi dirinya! Tolong hidupkan kembali Naruto Namikaze!' . Air mata deras mengucur dari matanya, disaat-saat seperti ini justru dia tidak bisa menolong kekasih yang sangat ia cintai.
"Siapapun tolong! Tolong bantu aku, aku rela melakukan apapun demi nyawanya!". Teriak Hinata dengan frustasi, mataharinya telah hilang, apa yang bisa ia lakukan tanpa mataharinya?!
"Kau rela melakukan apapun demi nyawanya?". Terdengar sebuah suara, Hinata berusaha mencari wujud suara itu, tetapi tetap saja hanya ia tidak menemukan sosok apapun disekitar situ, tempat ini memang selalu sepi, jarang orang berlalu larang, karena disini adalah tempat sebuah proyek bangunan yang tidak kunjung selesai.
"...". Tidak ada jawaban dari bibirnya ia terlalu terkejut untuk membalasnya.
"Bahkan nyawamu sekalipun?".
'Ya, aku rela melakukannya, tolong hidupkan ia kembali siapapun kau ini' Batin Hinata bergejolak, rasanya ia ingin mengatakan hal itu, tetapi rasanya lidahnya terlalu kelu untuk mengucapkannya.
"...".
"Baiklah akan kukabulkan".
'Maksudnya? Aku akan menukar nyawaku dengannya?!'.
"...". Tubuh Hinata melemas, pandangannya mengabur.
Bruk!
Dan akhirnya tubuh mungilnya ikut terjatuh.
.
.
.
.
END
.
.
.
.
Bercanda *pisss yakali author tega bikin endingnya kaya gitu:v*plak
Yaudah lanjut~
.
Tubuh Hinata tersadar, kali ini ia terbangun disebuah ruang tunggu rumah sakit. Apa?! Ruang tunggu rumah sakit?! Bukankah tadi ia berada di area proyek?! Nafas Hinata kembali tercekat mengingatnya, ya kali ini ia ingat. Naruto Uzumaki, bukankah ia sudah me-meninggal?! Segera ia edarkan pandangannya, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi. Dan yang bisa temukan hanya kedua orangtua kekasihnya sedang berbicara dengan seorang dokter. Kepala Hinata pusing, entah dia tidak bisa mengingat apa yang terjadi sampai ia bisa tersadar ditempat ini.
Hinata menajamkan pendengarannya agar bisa mendengar percakapan ketiga orang itu.
"Dokter, jadi Naruto-chan masih hidup?!". Tanya Kushina dengan khawatir, beberapa saat yang lalu ia dikabari putra tunggalnya tertimpa batu dari gedung proyek setengah jadi. Lalu dengan paksa ia suruh Minato untuk mengehentikkan pekerjaannya sejenak untuk segera datang kerumah sakit yang telah merawat anaknya.
"Ya, keadannnya baik-baik saja, hanya kaki kirinya yang patah, dan menurutku kakinya tidak akan bisa sembuh seumur hidupnya". Kata dokter itu dengan tenangnya. Hinata yang mendengarnya sedikit tersentak.
'Pa-patah? Padahal jelas-jelas tadi kulihat kepala serta badan Naruto hancur tertimpa batu dan sama sekali tidak mengenai kakinya... apa ini karena suara waktu itu...?'. Hati Hinata terus tidak tenang, segera ia tatap tubuhnya. Masih sempurna, berarti ia tidak kehilangan apapun termasuk nyawanyakan? Lalu apa maksud dari suara itu tentang mengorbankan nyawanya?!
"Bagaimana dengan kepalanya? Ia tidak terkena gegar otakkan...?". Tanya Minato dengan khawatir, biar bagaimanapun kecintaan anak tunggalnya kepada dunia basket, tetap saja ia calon penerus perusahaannya nanti.
"Tidak, memang ini seperti keajaiban, padahal kalau dilihat kondisinya saat itu, sangat kecil kemungkinan ia bisa hidup kembali". Dokter itu menatap arloji yang melekat dipergelangan tangannya.
"Maaf, tuan Namikaze, sepertinya saya harus memeriksa pasien saya yang lain, jadi saya mohon undur diri". Dokter itu segera memberikan tanda hormatnya dan berlalu untuk menjalankan tugasnya kembali.
Hinata masih terdiam diri, kejadiannya ini masih membuat syok, serta tanda tanya yang terus bermunculan dikepalanya. Ia berniat untuk menghampiri kedua orangtua Naruto, tetapi ia masih mencoba menenangkan dirinya dulu, tunggu sampai kedua orangtua Naruto yang menghampirinya duluan.
"Hinata-chan sedaritadi disini?". Tanya Kushina pada pacar anaknya itu, dapat Kushina lihat wajah Hinata masih terkejut dengan kejadian yang dialaminya.
"Ya, apa benar Naruto-kun masih hidup?". Kata Hinata dengan lirih, ia menatap Kushina dengan tatapan kosong.
"Naruto-chan masih hidup, jadi kau tidak perlu khawatir". Kushina mendudukan dirinya disamping gadis itu.
"Naruto-kun...". Kata Hinata dengan lirih.
"Hinata-chan mau menemuinya? Dia sudah sadar sedari tadi kok". Kushina tersenyum hangat, ia mengerti dengan keadaan Hinata saat ini. Hinata mengangguk dan segera beranjak dari duduknya, lalu menggerakkan kakinya kedepan pintu besar berwarna putih itu. Hinata meneguk salivanya, berharap saat ia membuka pintu dirinya bisa melihat tawa riang Naruto.
Pintu kokoh itu terbuka perlahan, lalu dapat Hinata lihat tubuh Naruto sedang terbaring lemah diatas empuknya tempat tidur rumah sakit. Kaki kiri Naruto digantungkan diatas tempat tidur itu. Rasanya Hinata ingin menangis bahagia, setidaknya ia bisa melihat Naruto sedang tertidur tenang dan bisa terbangun lagi. Ia dekatkan dirinya perlahan, mengelus dengan lembut rambut jabrik pirang itu.
Perlahan, lautan sapphire itu terbuka dengan sempurna, pertama kali ia lihat adalah wajah Hinata yang sayu ada dihadapannya. Wajah Hinata memerah ketika menyadari Naruto sudah terbangun, segera ia jauhkan kembali tubuhnya. Baru beberapa jam, Hinata sudah rindu dengan sapphire itu, ia takut tidak bisa melihatnya lagi.
"Ternyata sang tuan puteri yang membangunkanku". Naruto tersenyum lebar melihat wajah Hinata yang memerah.
"Syukurlah...". Gumam Hinata, tak terasa butiran bening itu terjatuh dari pelupuk matanya, ia bahagia bahkan sangat bahagia melihat sambutan kekasihnya yang terbangun kembali.
"Kenapa menangis? Apa aku menyakitimu?". Hinata menggeleng, dan menghapuskan jejak-jejak airmata yang mengalir dipipi mulusnya.
"Aku bahagia, kau masih hidup Naruto-kun".
"Maksudmu apa? Memang kau pikir aku akan mati? Jangan bicara sembarangan deh". Hinata menepis segala pikiran negatif dari otaknya, segera ia berpikir optimis bahwa kami-sama yang telah menolongnya.
"...".
"Aku jadi tidak bisa ikut bertanding". Kata Naruto dengan lesu, senyum yang tadinya terkembang diwajahnya berubah menjadi wajah yang muram penuh dengan beban.
"Nanti kalau sudah sembuh, Naruto-kun kan bisa ikut lagi kan?". Ia sedikit berbohong, padahal ia sudah tahu kaki Naruto tidak akan pernah bisa sembuh kembali.
"Aku rasa timku tidak akan hebat jika tanpa diriku..".
"Ah kalau soal itu pasti tidak masalah, Naruto-kun dalam sekejap pasti bisa beraksi lagi sebagai pemain utama!".
"Tak semudah itu tahu!". Naruto membentak Hinata, entah apa yang membuatnya memilih bertindak seperti itu, mungkin keoptimisan Hinatalah yang membuatnya semakin terbebani.
"Kau tak tahu apa-apa jangan bicara seenaknya! Kau pikir bagaimana perasaanku selama ini saat bermain basket?! Latihan apa saja yang kujalani selama ini?!". Hinata meneguk salivanya, tak menyangka Naruto akan seperti ini. Ia tahu bagaimana kecintaan Naruto dalam dunia basket, serta perjuangan latihannya hingga bisa menjadi sehebat ini, pasti berat meninggalkan basket untuk seumur hidupnya.
"Go-gomen...". Hanya sepatah kata itu yang mampu ia ucapkan, ia tidak mau Naruto marah dan tiba-tiba meminta putus darinya, ia tidak akan terima, lebih baik ia segera meminta maaf saja.
"Pulang!". Naruto menunduk, sambil mengepalkan tangannya. Lebih baik Hinata menurut dan segera mengambil tas sekolahnya.
"Gomen". Kembali Hinata ucapkan ketika hendak berniat meninggalkan ruangan itu.
"Padahal aku tak berniat menyinggungmu". Hinata menatap pria yang masih menundukkan kepalanya diatas tempat tidur itu, lalu ia tutup kembali pintu ruangan itu.
.
.
▼▲▼Pengorbanan▲▼▲
.
.
Keesokan harinya...
Sepanjang hari wajah Hinata terus murung dan pucat, memikirkan mimpi sang kekasih yang harus hilang gara-gara insiden itu. Hinata menatap tidak bersemangat pada penjelasan guru yang ada dihadapannya, semua materinya tidak ada yang masuk secuil pun keotaknya. Yang ia pikirkan hanya Naruto, Naruto dan Naruto!
"Hyuuga-san jika kau tidak enak badan silahkan ke ruang kesehatan". Kata Guru dengan rokok yang menyangkut dibibirnya walaupun sedang mengajar sekalipun. Hinata mengangguk dan segera berjalan lemah keluar kelas. Akhirnya ia sampai pada ruang kesehatan yang hanya berjarak beberapa langkah dari kelasnya.
Hinata mendudukan tubuh lemahnya diatas kasur empuk itu. Wajahnya terus saja memancarkan tatapan kosong. Dirinya tidak bergerak sama sekali, dia hanya melamun memikirkan keadaan Naruto dirumah sakit saat ini. Baginya ia tidak berguna, tidak bisa membantu apa-apa saat kekasihnya sedang kesulitan saat ini, ia hanya bisa datang kesekolah.
"Bukankah kau sudah cukup membantu 'dia' kan?". Kata suara itu, seakan bisa membaca pikiran Hinata.
Hinata tersentak ia ingat betul suara ini, suara yang muncul waktu itu!
"Apa dengan menolong nyawanya masih kurang,hn?".
"eh..?". Akhirnya wujud suara itu muncul, ya ia ingat wajah itu, wajah yang selalu memandangnya dengan tatapan datar!
"Padahal... Memindahkan cedera yang ada dikepala ke kaki saja suatu pekerjaan yang berat".
"K-kau...". Hinata menatap onxy kelam itu, seakan bisa membuatnya terhipnotis, terhanyut dalam ucapannya.
"Aku... Yang memenuhi keinganmu waktu itu...".
"...". Dia bercanda kan? Padahal waktu itu Hinata lihat sendiri tidak ada orang lain selain dirinya ditempat kecelakan itu, jadi tidak mungkin suara itu adalah dirinya?! Atau mungkin benar juga?
"Kalau nyawanya ditolong... Kau bilang akan melakukan apa sajakan?". Tubuh pria itu mendekat, semakin merapatkan tubuhnya, Hinata segera memundurkan badannya, tetapi semakin Hinata mundur, pria itu akan ikut mendekat. Akhirnya tubuh Hinata sudah terpojokkan ditembok, tangan Sasuke segera memegang dagunya.
"Kau...".
.
.
.
.
.
TBC~
A/N:
Disini gak ada lemon kok^^
Okey tanpa banyak bacot dan ungkapan isi hati(?) langsung saja isi kotak review yang ada dibawah ini⇩
.
.
.Salam hangat,
(=^.^=)
