"Saya suka kamu."

Jemari Dell berhenti mengetuk-ngetuk layar ponsel. Dia mengangkat kepala nyaris seketika, tampak terkejut dan tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Momo membaca ekspresi Dell yang merupakan perpaduan antara heran dan tak habis pikir, dan mungkin jika Momo tidak sekadar mengkhayal, ada setitik rasa lega, yang semula tidak ada di sana, kini menyala pelan-pelan.

"Apa?" tanya Dell setelah beberapa detik berlalu.

Momo merapatkan bibir hingga nyaris berupa satu garis lurus. Tidak ada pertanda baik dari nada bicara Dell. Momo tidak mengharapkan Dell membalas perasaannya, tidak, bukan sama sekali, karena sudah sejak lama dia menyadari jarak yang terbentang jauh di antara mereka. "Saya suka kamu," ulangnya, kali ini lebih pelan. "Mungkin lebih dari yang seharusnya saya rasakan."

Jika Dell ingin berkata sesuatu, dia tidak melakukannya. Momo menggulung cepat-cepat segala harapan yang bergumul di sudut otak. Tentu saja Dell tidak akan menanggapi apa-apa; memangnya siapa dia, tidak ada angin tidak ada hujan, serta-merta menyatakan perasaan? Mana mungkin Dell menduga hal seperti ini akan terjadi. Seharusnya Momo tahu.

Mimik muka Dell masih kosong, seolah apapun yang baru saja diucapkan Momo tidak lebih dari sekadar iklan perumahan baru di koran-koran: tidak penting, tidak penting, dapat dengan mudah diabaikan. Maka Momo merapikan isi hatinya segegas yang dia bisa, menarik segaris senyum paling tidak tulus, dan menambahkan dengan hati tercabik-cabik, "Kamu tidak harus menjawab saya. Saya sudah tahu. Maaf sudah mengganggumu."

Momo berbalik. Memunggungi Dell. Entah bagaimana ekspresi Dell sekarang. Mungkin Dell akan menganggapnya aneh. Bukan tidak mungkin pula Dell akan menjaga jarak darinya mulai sekarang.

Momo melangkah pergi.

Hatinya patah.

Tidak masalah.

Dia sudah terbiasa.