Bagaimana jika sebuah pengharapan bisa mengubah takdir seseorang?

Tidak semua manusia mempunyai kehidupan yang beruntung.

Jadi, Tuhan telah memberikan porsi sesuai kemampuan.

Jangan pernah iri dengan hidup seseorang.

Namun, kita tidak bisa munafik untuk hal itu.

Jika kita berada di atas, boleh sesekali melihat ke atas.

Tapi jangan sampai terantuk batu karena kita tidak pernah melihat ke bawah.

.

.

.

.

.

Dimana musik berdentum, di situ semua rasa tertekan, stress dan depresi bisa musnah hanya dengan segelas tequilla. Atau mungkin tambahan bumbu seks jika memungkinkan.

"Hei, lihat wanita yang di sana? Sepertinya ia kesepian."

"Yang mana?"

"Itu, yang duduk di bangku ketiga di depan -ya sepertinya kamu bulan lalu mengatakan jika butuh sedikit uang untuk melunasi tagihan kartu kreditmu. Mungkin ini giliranmu."

Lelaki beriris biru itu membuat pose berpikir. Sedetik kemudian ia sadar bahwa wanita itu tidak sendirian.

"LIhat! Sedang apa yang anak sekolah itu lakukan di tempat ini?"

.

.

.

.

.

Kisah ini bukanlah secarik pengalaman romansa picisan yang biasa kalian baca di novel. Yakin masih mau melanjutkannya? Aku katakan lagi, bahwa ini merupakan gambaran hidup dimana keadaan saling bertolak belakang dan kontradiksi. Namun, bukan sebuah fiksi namanya jika tanpa mengandung bumbu-bumbu tambahan di dalamnya. Kontradiksi yang saling membutuhkan dan menjadi harmonis.

Aku bukan seorang pendongeng yang handal, jadi mungkin ini akan terdengar sedikit nyata dan apa adanya. Tepatnya ketika aku baru pindah ke Seoul.

Ini dimulai ketika...

Aku biasa bangun pagi hari. Tepat pukul setengah enam pagi, bunyi alarm ponsel yang menenggelamkan pulau mimpiku. Mungkin bagi sebagian orang bertanya kenapa bukan seseorang saja yang membangunkanku di pagi hari. Apakah aku sendirian? Jawabannya adalah, benar seratus persen tepat sekali. Tinggal selama satu bulan sendirian di apartemen ini cukup membuatku beradaptasi lagi dengan negara Korea. Namun aku belum terbiasa dengan cita rasa daerah di sini yang masih terlalu kuat. Bayangkan saja betapa memalukannya aku saat menyantap sedikit kimchi lobak pedas di kedai seberang gedung, aku langsung mencret malam harinya. Untung negara ini tidak menerapkan peraturan aneh untuk tidak menyiram toilet di malam hari seperti di Finlandia.

Beberapa notifikasi dari Whatsapp, Instagram, Line, Kakaotalk dan media sosial tidak penting lainnya berebut masuk ketika aku menghidupkan layar ponsel.

"Selamat pagi, Changkyun sayang. Bagaimana pagimu? Jangan telat ke sekolah. Ingat ini hari pertamamu."

Kedengarannya seperti Ibu. Ya, hanya suaranya yang menyapa dari catatan suara dari grup Whatsapp keluarga. Secara harfiah, grup itu hanya terdiri dari tiga orang. Dan, ya kalian pasti bisa menebaknya. Setengah sadar, aku membalas suara ibu. Agak crack voice sedikit tapi ku pikir, siapa peduli?

"Selamat pagi, Ayah, Ibu. Ini aku akan berangkat. Oatmeal pagi ini mulai menipis dan aku harap kalian jangan mencoba menambah limit kartu kreditku bulan ini."

Baiklah, hari pertama sekolah di Seoul tidak akan menunggu jika aku terus mengeluh di pagi hari. Sebaiknya aku segera bergegas karena aku tahu bel pertama akan berdentang pukul setengah delapan pagi.

Sebenarnya aku pernah menjejak kaki di tanah Gingseng ini. Lama sekali ketika aku baru memasuki usia sekolah dasar. Dimana usia ketika bahkan aku tidak bisa mengingat apa-apa, tapi cukup untuk ku mengingat kejadian memalukan saat pesta halloween. Jadi, aku cukup familiar dengan ketentuan sekolah pukul delapan pagi. Tidak buruk memang, tapi agaknya terlalu beban untuk ku bangun di pagi hari seorang diri dan jalan ke sekolah setelah sekian lama berkutat dengan fasilitas home schooling di Israel. Terlebih, ayah dan ibu tidak pernah mengijinkanku mengemudi atau punya kendaraan pribadi. Kalian pikir mereka bercanda? Bahkan mereka mempunyai rencana untuk menyekolahkanku di akademi kesehatan. Dimana akademi pasti dengan sistem asrama di dalamnya. Untungnya ibu masih mau mendengarkan jeritan pilu hatiku dan membiarkanku tinggal sendirian walau secara harfiah, sekolah baru ku hanya berjarak satu blok dari apartemen ini. Hanya perlu menumpang bis sekali dan turun empat halte setelahnya. Aku sangat yakin bahwa terlambat sekolah tidak akan pernah ada di kamus seorang Lim Changkyun. Hei, lupakan tentang akademi kesehatan karena aku tidak akan pernah sanggup menimba ilmu di sana.

Tidak cukup buruk juga aku memilih sekolah kejuruan seni di sini. Ya, walau harus ku akui seragamnya sedikit lebih mencolok dengan banyak warna kuning melekat. Lebih ngejreng dari yang ku bayangkan, dan banyak orang yang berseragam sama seolah menyambut begitu aku masuk ke dalam lapangan basket. Oh, ternyata upacara penyambutan murid baru sedang digelar.

Aku baru tahu bahwa di Korea juga masih ada tradisi mengantar anak di hari pertama sekolah bahkan jika anakmu mempunyai tinggi lebih dari 180 senti meter. Maksudku, ayo lah, kalian sudah dewasa. Ibu kalian tidak perlu ikut menunggu di bangku penonton dan merekam semua gerak-gerikmu dengan teriakan falseto. Apa kalian pikir aku iri? Tidak sama sekali. Aku bisa meramal jauh ke benua lain jika ibu ku sedang berkutat dengan tugas penelitiannya di tanah gersang itu.

Di saat semua orang antusias, aku bahkan hampir tertidur saat ketua yayasan botak itu terus mengoceh. Aku bahkan tidak sadar hampir membuat seragamku kusut karena posisi tidur-duduk jika bukan karena ada anak laki laki sipit berambut merah menepuk pipiku.

"Hei. Apakah kamu mengantuk? Namaku Lee Jooheon dan aku dari kelas vokal."

Katanya. Begitu aku melihat anak itu tersenyum, hatiku menghangat ketika melihat lesung pipinya. Oh, jadi begini rasanya bersosialisasi dengan orang baru? Aku harap dia tipikal orang yang banyak bicara karena aku adalah tipikal orang yang tidak mempunyai banyak stok bahan pembicaraan.

"Aku baik baik saja, Jooheon...n-nim. Aku Changkyun Lim dan aku dari kelas... apa ya sepertinya aku lupa." aku menjabat tangan Jooheon dan tersenyum — berusaha— tulus. Itu membuat Jooheon tersenyum lagi dan kelopak matanya otomatis menghilang.

"Ah, tidak perlu formal seperti itu. Apakah kamu dari luar Korea? Sepertinya kamu agak bingung dengan honorifiks."

"A-aaaah. Aku lama tinggal di Israel dan itu membuatku agak canggung ketika harus kembali ke Korea."

"Oh, seperti itu. Setelah ini, mau aku antar ke ruang guru untuk mencari kelas? Kamu bilang lupa dengan kelasmu sendiri."

"Jika Jooheon-nim tidak keberatan dengan itu aku akan sangat berterima kasih."

Jooheon menepuk bahuku dan dia kembali tersenyum. Sepertinya dia murah senyum.

"Tidak perlu sungkan. Berapa umurmu?"

"Aku 16 tahun."

"Wah, kamu cepat masuk sekolah juga ya, pasti kamu pintar. Aku pikir kita seumuran."

"Memang umur Jooheon-nim berapa?"

"17. Hanya beda satu tahun dan aku rasa bukan hanya kamu yang berumur 16 tahun di sini. Karena kita murid baru pasti kita akan berada di tingkat yang sama."

"Ah, begitu rupanya."

"Kamu boleh memanggilku dengan honorifiks hyung di belakangnya. Kamu tidak lupa dengan hal itu, kan?"

"A-Aaahhh tentu Jooheon Hyung!" seratus persen itu bohong karena aku tidak pernah ingat untuk berbicara dengan orang lain menggunakan honorifiks ketika di Israel kecuali dengan ayah dan ibu ku.

Hingga akhir pidato, kami berdua hanya diam membisu. Sesekali Jooheon hyung mencuri-curi pandang ke arah bangku penonton karena ada Ibunya. Sedangkan aku? Hanya menyampah di story Instagram tentang betapa bahagianya aku bisa masuk di hari pertama sekolah dengan tenang. Sesekali juga aku mengajak Jooheon hyung mengambil selca dan ternyata banyak temanku yang bertanya tentang laki-laki sipit itu, terutama saat kami mengambil selca dengan filter kelinci dari aplikasi Snow. Sungguh kekinian.

"Woah, mereka banyak bertanya tentangmu, Jooheon Hyung!"

"Siapa?"

"Teman ku di dunia maya. Mereka kebanyakan orang Jepang dan Thailand."

"Oh. Changkyun sepertinya terkenal di Instagram ya. Hahahahahaha."

"Ah, tidak begitu. Mereka bertanya tentangmu karena kamu imut dengan lesung pipi seperti itu."

"Terima kasih atas pujiannya tapi aku tidak mau berteman atas dasar pujian."

Ah, benar juga apa kata Jooheon hyung. Apakah aku harus mencari teman seperti dirinya? Selama ini aku tidak pernah benar-benar mempunyai teman di kehidupan nyata karena negara Israel bukan lah tempat yang cocok untuk mencari teman di tengah ladang konflik. Terlebih yang aku tidak pernah pergi ke sekolah secara harfiah. Aku punya beberapa pengguna akun media sosial yang menjadi mutuals dan mereka selalu memuji penampilan ketika aku mengunggah sesuatu ke akun pribadiku. Dan yang lebih hebatnya lagi, aku pikir mereka semua temanku. Aku bahkan belum pernah bertemu dengan satu pun dari mereka, namun harus ku akui bahwa mereka cukup menghibur ketika aku sendirian ditinggal ayah dan ibu pergi bekerja.

"Jooheon hyung, mari kita berteman!"

.

.

.

.

.

Aku tidak pernah berekspektasi tentang seberapa luasnya sekolah ini. Namun itu benar-benar di luar ekspektasi ketika aku dan Jooheon hyung berkali-kali nyasar untuk mencari ruang guru. Akhirnya pada pencarian ketiga, kami menemukannya. Ada di lantai tiga gedung C di sebelah ruang gymnastium. Aku tidak mengerti apa esensinya membangun ruang guru tepat di sebelah ruang gymnastium dan aku tidak akan pernah mau memikirkannya.

"Halo, Selamat pagi." kami menyapa sambil membungkuk. Tidak lama, ada salah satu perempuan berambut pendek dan mengenakan kacamata bulat mendekati kami. Jooheon hyung terlebih dahulu memberi salam dengan sopan.

"Apa yang bisa saya bantu?" perempuan itu bertanya. Iris matanya memindai kami berdua dari atas ke bawah.

"Kami di sini untuk mencari kelas. Terlebih untuk dia." Jooheon hyung menunjuk diriku.

"Oh, itu saja? Ikut saya."

Kami berdua mengukuti langkah perempuan itu hingga ke depan ruangan dengan papan bertuliskan 'Administrasi Kesiswaan'.

"Saya boleh tau nomer kepesertaan kamu?"

Oh, aku tidak ingat aku mempunyainya. Apa yang harus ku lakukan?

"Itu nomer yang ada di kartu kesiswaan milikmu. Apa kamu membawanya?" Ah, seolah Jooheon hyung tau kegelisahan ku. Aku pikir itu nomer yang ada di formulir pendaftaran, jelas aku panik karena aku tidak membawanya. Jika itu ada di kartu kesiswaan maka aku membawanya di dalam dompet.

"609029845678001."

"Tunggu sebentar." setelah perempuan itu mengetik apa yang aku katakan, dia bergumam sebentar.

"Lim Changkyun, tahun pertama di kelas Vokal dan kamu belum mengisi tentang minatmu di tahun kedua. Apa itu sudah cukup?"

"Woah ternyata kita sekelas!" reflek kami berdua melakukan high five dan berpelukan. Sepanjang hidup, aku baru melakukan skinship dengan orang lain tepat hari ini. Pengecualian untuk kedua orang tua ku yang selalu menghadiahkan kecupan manis sebelum mereka berangkat kerja.

"Terima kasih, Songsae-nim!"

Aku sangat senang mendengar hal itu karena tentu aku akan berada di satu lingkungan yang sama dengan Jooheon hyung. Jadi, aku tidak perlu repot mencari teman lagi. Mungkin juga begitu dengan Jooheon hyung.

"Jooheon hyung, kamu punya teman lagi?"

"Ada, dia kakak kelas di tahun kedua dan di kelas modern dance hip-hop. Mau aku kenalkan dengannya?"

Langkah kaki kami terpaut sama beriringan.

"Boleh. Oh, jika kamu tidak keberatan aku ingin duduk satu bangku denganmu."

"Tentu dengan senang hati. Aku rasa Changkyun bukanlah orang yang banyak bicara seperti dugaan ku ya."

"Ya, aku agak susah bersosialisasi sebenarnya. Harusnya aku tidak mempunyai seorang teman hingga Jooheon hyung datang menyapa. Hehe"

"Mungkin kamu hanya belum terbiasa dengan lingkungan baru di sini. Jika aku ada waktu luang kapan-kapan akan aku ajak kamu berkeliling Seoul. Terdengar mustahil sih tapi patut dicoba."

"Memangnya Jooheon hyung sangat sibuk?"

"Tidak juga sih. Aku kadang mengajar kelas tari di sanggar dekat rumah hingga petang dan aku menjadi guru les privat di malam hari. Lumayan untuk mencari tambahan."

"Wah, kamu benar-benar berbakat, hyung! Kenapa kamu tidak memilih kelas tari sebagai minat pertamamu?" mengobrol dengannya sangat menyenangkan. Terlebih ketika dia dengan sopan menyapa guru guru yang lewat. Oh, bahkan jika bukan karena dirinya, aku tidak akan ingat adat untuk membungkuk sopan pada yang lebih tua. Asyik mengobrol hingga kelas tujuan kami bisa terlihat hanya berjarak beberapa meter dari tangga.

"Sebenarnya aku hanya penasaran dengan sesuatu yang baru. Aku ingin mencoba segala hal selama aku masih muda. Jadi, apa salahnya mencoba kelas vokal untuk yang pertama kali?"

Aku mengangguk setuju.

"Lagi pula, di tahun kedua ada minat Vokal hip-hop dan itu menjadi tujuan ku. Aku sangat mencintai hip-hop."

Lanjutnya. Seiring Jooheon hyung membuka pintu kelas, pikiran ku juga mulai terbuka untuk menerima hal hal baru. Semoga saja ini menjadi tahun yang menyenangkan bagi ku di sekolah baru.

.

.

.

.

.

Awal yang tidak terlalu buruk untuk memulai hari dengan mempelajari hal-hal dasar seperti caranya bernafas. Bahkan untuk bisa terbiasa dengan pernafasan diafragma, itu membutuhkan waktu yang agak lama. Jooheon hyung berkali-kali gagal karena bu guru Kim sangat khatam dengan suara kepala. Maksud ku, beliau sangat mengetahui keadaan dimana Jooheon hyung mengambil pernafasan bukan dari tempat yang seharusnya. Entah lah mungkin perbedaan letak antara diafragma dan dada menimbulkan suara yang khas di telinganya. Beliau mengatakan,

"Untuk bisa mengatur tempo dan nada dasar ketika bernyanyi harus dimulai dari pernafasan yang benar dan konsisten. Diafragma menjadi satu satunya metode pernafasan yang sesuai untuk mengambil tempo. Terutama jika kita ingin mengambil nada tinggi."

Lalu setelahnya beliau mengatakan;

"Bernafas lah melalui diafragma jika suaramu tidak mau terdengar terlalu datar. Beri nyawa pada suaramu."

Aku mempelajari banyak hal di hari pertama sekolah. Bukan hanya sekadar teori sistematis tentang bagaimana caranya bernyanyi. Namun termasuk bagaimana caranya Jooheon hyung bersosialisasi dan mendapatkan teman baru. Mungkin pilihan tepat jika aku menjadi temannya. Tepat di sore hari, kami mendapat jatah istirahat kedua. Sebenarnya, hari ini tidak terlalu diisi dengan pelajaran yang berat. Di awal hanya orientasi tentang sekolah. Ada beberapa kakak kelas yang datang bergilir untuk menjelaskan sejarah terbentuknya sekolah, struktur kepemimpinan sekolah, hingga para pemegang saham yang turut andil dalam pembangunan sekolah. Aku rasa tanggung jawab sebagai kakak kelas terpilih bukan hanya sekadar mencari eksistensi dan popularitas di kalangan murid baru, tapi juga menguasai seluk beluk sekolah hingga masuk ke dalam akarnya. Oh, aku juga baru tahu jika ada beberapa jajaran murid yang mempunyai tingkatan atas strata sosial di sekolah ini. Kebanyakan dari mereka adalah anak dari para pemegang saham di sekolah ini dan aku sangat terkejut bahwa Jooheon hyung adalah salah satunya. (Tolong jangan katakan ini pada siapa pun. Aku mendengar hal ini dari kakak kelas yang tengah berpapasan dengan ku di toilet.) Lee Jooheon anak dari presdir Lee Kepala bidang tata usaha Jeguk Construction.

Aku bahkan tidak menyangka bahwa Jooheon hyung yang terkenal ramah ini mau berteman dengan anak biasa seperti ku. Bisa saja dia berteman dengan kalangan atas lainnya seperti jajaran elit di sekolah ini. Agak canggung sepertinya ketika aku hanya berdua menyantap makan siang di kantin dengan salah satu konglomerat sekolah. Oh, pantas saja Jooheon hyung berani menyemir rambutnya dengan warna terang seperti itu.

"Hyung..." aku membuka percakapan. Dia mengalihkan pandangan dari hot plate ramen miliknya.

"Ada apa, Changkyun? Kenapa kamu belum menyentuh makananmu."

Sumpah, sebenarnya aku sangat canggung untuk menanyakan hal ini.

"A-aku sebenarnya tidak terlalu lapar. A-anu, itu... Jam berapa biasanya kita akan pulang sekolah di Seoul?"

Dan, akhirnya aku urung bertanya.

"Ya, well. Sebenarnya ada dua tipikal murid. Yang pulang sekolah langsung menuju rumah pukul enam sore dan yang tidak langsung pulang. Entah itu kita pergi ke suatu tempat atau mengerjakan tugas tambahan demi ujian akhir menuju universitas."

Sekarang pukul empat lebih lima puluh sore dan bel terakhir akan berdering sepuluh menit lagi. Itu artinya sebentar lagi waktunya pulang.

"Kamu akan termasuk yang mana, Changkyun?"

"Sepertinya aku akan segera pulang karena aku tinggal sendirian. Aku harus membersihkan apartemen setelah ini."

"Ah, mungkin kamu hanya pemalu. Kapan-kapan datang saja ke sanggar tari di belakang gedung sekolah ini dan kita bersenang senang bersama."

Ya, aku bukan lah tipikal orang yang bisa diajak keluar hanya dengan sehari mengobrol. Aku hanya agak takut memulai percakapan jika aku bergabung. Ujung-ujungnya pasti banyak hal hal yang membosankan terjadi jika aku tidak terlalu banyak bicara. Bagaimana aku harus memulainya?

Hei, aku bahkan memikirkan itu hingga pulang ke apartemen.

Rasanya senyap, tapi menenangkan. Tapi tetap saja tidak ada orang selain diriku.

Untuk menghilangkan jenuh setelah seharian berkutat di sekolah, aku lebih memilih untuk berendam di bak mandi penuh busa dengan suara musik ekstra kencang dari ruang tivi. Tenang, apartemen ini kedap suara.

Ya, ini hidupku. Apakah aku merasa bosan? Tidak juga. Mungkin beberapa bulan ke depan jika memang aku masih menjalani kehidupan yang monoton seperti ini, mungkin aku bisa saja gantung diri di dalam apartemen ini karena tertekan. Astaga, itu tidak akan mungkin terjadi. Aku yakin pada diriku sendiri bahwa aku akan bisa mendapatkan banyak teman, bagaimana pun caranya.

.

.

.

.

.

Hari ke sebelas aku menjalani kehidupan baru di sekolah, aku mulai bertemu dengan banyak orang. Maksud ku, aku mulai memberanikan diri untuk berbicara dengan orang lain selain Jooheon hyung. Ya walau secara harfiah, rata-rata orang yang berbicara denganku adalah teman dekat Jooheon hyung yang baru dikenal. Lebih tepatnya, teman Jooheon hyung temanku juga.

Tempo hari Jooheon hyung mengatakan bahwa ia akan mengenalkan diriku pada temannya. Kakak kelas tahun kedua, ingat? Dan aku tidak menyangka jika Jooheon hyung memang terkenal di kalangan kakak kelas tahun kedua dan ketiga. Mereka punya suatu komunitas sendiri pecinta musik hip-hop hingga tari modern. Aku mulai dekat salah satunya dengan Choi Seungcheol , Kim Jinhwan, dan Lee Minhyuk karena mereka sangat humble. Aku suka pada mereka karena mereka bukan tipikal orang yang kaku untuk menerima orang baru.

Suatu siang, kami duduk bertiga, memesan porsi makanan kesukaan masing-masing di kafetaria sekolah. Aku dengan seporsi nasi goreng kimchi, Jooheon hyung dengan bibimbap porsi jumbo dan Minhyuk hyung dengan paket Dosirak bulgogi. Tidak banyak yang kami bicarakan sebelumnya hingga kami terperangkap dalam keheningan. Hingga dentingan sendok terakhir beradu, Minhyuk hyung baru membuka suara.

"Jadi, kamu benar-benar anak pindahan dari luar ya?"

Setelah menyelesaikan suapan terakhir, aku mengangguk. Minhyuk hyung membuat pose berpikir.

"Kamu bilang ayahmu juga bukan orang Korea. Kenapa sekolah ini bisa menerima murid dengan kewarganegaraan ganda? Setahu ku sekolah ini tidak pernah menerima hal seperti itu."

"Pengecualian untuk kak Junhui."

Minhyuk hyung agak tersentak lalu menjentikan jarinya. "Yap, itu karena Junhui 'spesial'. Jadi, apa yang membuat kamu bersekolah di sini?"

"Aku tidak tahu. Aku hanya disuruh pindah ke Seoul karena ayah dan ibu akan segera menyelesaikan tugasnya di daerah konflik. Aku disuruh pulang duluan dan mengikuti sekolah umum di Seoul. Tapi aku lebih memilih sekolah kejuruan seni yang disarankan oleh ibu." sumpah demi susu stroberi paling enak di dunia, baru kali ini aku bisa berbicara panjang lebar mengengai profil singkat hidupku yang tidak terlalu penting untuk diketahui.

"Hmmm, menarik. Apa kamu juga bagian dari kelompok 'spesial' seperti Junhui?

.

.

.

.

.

Jika kalian berpikir hidup seperti seorang Lim Changkyun itu indah, apa jadinya setelah mendengar cerita miris hidupku? Mungkin kalian berpikir aku sudah mati atau semacamnya namun aku tidak akan menjadi orang lemah seperti itu.

Kalian tahu kenapa aku masih bisa berdiri di sini? Itu karena aku punya prinsip.

Aku hidup karena aku belum mati.

Hanya itu satu prinsip teguh sekaligus tujuan hidup ku. Jalani hidup apa adanya dan tidak perlu berpura-pura menjadi orang lain. Aku sudi saja menceritakan kisah ini pada kalian, tapi aku ragu jika kalian mau membacanya. Masih bersikeras untuk membacanya?

Asal kalian tahu...

Seorang Lee Hoseok tidak pernah mendapatkan pengharapan seumur hidupnya. Lupakan omong kosong tentang harapan karena aku tidak akan kenyang jika menyantap hal itu. Aku bahkan enggan menggunakan nama itu. Walau tanpa proses resmi, namun orang orang lebih mengenalku dengan nama Shin Wonho. Entah marga siapa yang ku gunakan

Yang ku butuh hanya uang, uang, dan uang. Tidak peduli dengan kalian yang selalu menandang sebelah mata. Tidak peduli tentang apa pendapat orang lain. Tidak peduli tentang manusia yang hanya datang ketika membutuhkan. Asal kita sama-sama puas, ada harga yang harus dibayarkan.

Jangan tanya siapa aku. Aku hanya seonggok sampah masyarakat yang tidak terlalu penting untuk dibahas.

Mereka hanya datang padaku ketika butuh pemuas nafsu. Mereka hanya menginginkan tubuhku.

Dan aku senang ketika mereka datang maka aku bisa merampas semua miliknya. Ada harga yang harus dibayar, ingat?

Sekarang pukul tiga pagi, dan aku masih melayani wanita kesepian ini di atas ranjang. Bahkan sudah jutaan won ia habiskan hanya untuk menghilangkan jenuh bersamaku. Lumayan untuk membeli stok ramyun sebulan ke depan. Sisanya aku gunakan untuk berfoya-foya.

Kalian pikir aku sama kesepiannya dengan wanita ini? Jawabannya adalah seratus persen tepat sekali. Ya, walau ada beberapa teman sepergaulan yang bisa diajak curhat, tapi aku tidak yakin mereka akan seratus persen dalam kondisi sadar ketika aku curhat di tempat ini.

Kalian tahu? Uang itu gampang dicari. Jika berkeinginan, maka ada jalan yang terbentang luas. Entah itu termasuk yang baik atau sebaliknya.

.

.

.

.

.

Aku dulu sering datang ke Gereja. Bukannya aku bersyukur, aku malah ingin memaki Tuhan.

Kalian yang hidup dengan enak tanpa beban tidak akan mengerti apa yang aku rasakan. Semua yang mereka katakan hanya hiburan fana. Mereka mengatakan padaku untuk kuat dan tegar menghadapinya. Hei, jika aku tidak kuat maka nama Lee Hoseok tidak akan ada lagi di dunia ini. Ugh, sial. Aku bahkan enggan memakai nama pembawa bencana itu.

Hidup memang tidak adil. Kalian yang terlahir dari kalangan sendok emas tidak akan pernah merasakan pahitnya dibuang dan ditelantarkan.

Asal kalian tahu, aku mengatakan ini karena aku dulu pernah merasakannya. Dulu aku merupakan keturunan tunggal dari keluarga Lee yang terkenal dengan usaha properti di daerah Gangnam. Aku pernah merasakan enaknya hidup bergelimang kekayaan hingga aku tidak pernah mau tahu rasanya hidup susah. Ayah ku seorang Kepala Dokter spesialis ortopedi yang juga menggeluti bisnis properti turunan keluarga. Di antara kakak-kakaknya, hanya dia yang bersikap paling ramah, supel dan gampang mempercayai orang lain. Sedangkan ibu ku adalah wanita prestis bermarga Kim yang bekerja di bidang travel. Hidupnya tidak akan senang jika hanya tinggal di rumah. Mereka berdua sering sekali meninggalkan ku sendirian di rumah. Tidak terlalu buruk juga karena aku sering mengundang mereka yang ku sebut sebagai teman untuk mengadakan pesta hingga larut malam. Berbagai jenis daging sapi panggang hingga minuman beralkohol tersedia. Entah apa faedahnya. Tapi aku merasa penting untuk melakukannya karena itu akan menunjukan pada mereka siapa Shin Wonho yang sebenarnya.

Semua berjalan lancar hingga di suatu musim gugur, ayah mengalami pengkhianatan besar dari bawahannya. Mungkin itu resiko menjadi orang terlalu baik.

Akibatnya, perusahaan ayah perlahan anjlok. Sudah tidak bisa ditangani karena ibarat kata, fondasi dasarnya sudah rusak. Seperti sebuah rumah yang digerogoti rayap. Semua bawahan ayah tidak bisa dipercaya dan akhirnya ayah bangkrut secara finansial.

Ibu tentu tidak tinggal diam karena dia bukan lah wanita yang mau diajak hidup miskin. Tanpa tahu diri, ibu pergi ke Jepang meninggalkan kami. Ia merupakan tipikal wanita prestis dengan simpanannya yang berdompet tebal. Dari situ ayah mulai depresi dan memutuskan untuk berhenti sebagai Dokter. Aku sangat menyesali itu. Terlebih karena dulu aku masih kecil dan tidak terpikir untuk ikut bersama ibu ke Jepang.

Dan aku berakhir hanya berdua bersama ayah yang sering mabuk dan melakukan kekerasan dengan diriku pelampiasan. Kami tinggal di salah satu pemukiman kumuh karena sisa uang pensiun ayah sudah tidak mencukupi untuk menyewa apartemen. Harta benda yang tersisa hanya beberapa potong baju, ponsel dan laptop di dalam koper.

Jika aku beruntung, maka aku sering iseng iseng menyalakan laptop lalu mencari tentang pekerjaan sampingan . Umur ku waktu itu baru 16 tahun dan aku tidak pernah berpikir untuk banting tulang sebelumnya.

Jika keberuntungan belum berpihak, aku sama sekali tidak mendapatkan pekerjaan yang tepat. Lalu ditambah dengan ayah yang murka dan memukul kepalaku ke tembok sambil mengatakan bahwa wajahku sangat mirip dengan ibu. Melihatku hanya membuatnya kesal dan naik darah.

Seumur hidup, aku menangis hanya karena itu. Bukan, bukan karena kekerasan yang diberikan oleh ayah. Aku menangis karena merasa tidak adil. Dunia milik ku seolah runtuh dalam sekejap. Kenapa Tuhan memberikan semua hal ini padaku? Apakah dia tidak berpikir bahwa aku belum siap menerimanya?

Tentu secara naluriah manusia akan mencari-cari Tuhan ketika ia terpuruk. Persis sepertiku. Tapi bedanya, aku pergi ke Gereja hanya untuk mengutuk Tuhan. Aku menangis dalam diam dan mengatakan semua keluh kesahku selama ini. Entah Dia mendengarnya atau tidak.

Aku depresi, kebingungan, lelah dan lapar. Tapi aku tidak berpikir untuk kembali ke rumah setelah pulang dari Gereja. Aku menyeret kaki ke arah taman kota, duduk di bangku taman dan menyendiri sepertinya pilihan terbaik. Taman kota, Tempat dimana prostitusi menjadi rahasia umum lagi legal. Hawa dingin mulai menusuk dan angin malam terus menampar pipiku yang sembab. Aku larut dalam lamunan hingga seseorang memberikan selembar tisu padaku.

"Bermasalah dengan keluarga atau dengan kekasih?" orang asing itu membuka suara. Dia laki-laki. Dan suaranya lumayan dalam. Aku menerima pemberiannya dan menghapus jejak air mata di pipi.

"Ah, terima kasih."

"Aku lihat kamu di gereja tadi. Berapa umurmu?"

"A-aku baru 16 tahun, paman."

"Umurmu sangat muda tapi postur tubuhmu seperti lelaki berumur 20 tahun."

"Mungkin karena aku sering melatih tubuhku di gym. Hehe." aku mulai gila karena berbicara terbuka dengan orang yang baru dikenal. Oh, bahkan aku tidak mengenal namanya.

"Aaahh, kamu kandidat yang bagus. Apa kamu lagi mencari pekerjaan sampingan?"

Ah, apakah paman sipit ini bisa membaca pikiranku?

"Ya, seperti itu. Memang, paman mau mengajak aku bekerja? Sebagai apa?"

"Kamu kandidat yang cocok untuk menjadi bartender dan cover boy. Kebetulan temanku membutuhkan orang untuk menjadi bartender di club nya dan dia juga mencari seseorang untuk menjadi model figuran di majalah OneStar."

Demi semua Tuhan yang disembah seluruh umat manusia! Bahkan dua pekerjaan sekaligus!

"Namaku Son Hyunwoo dan ini kartu namaku. Silahkan hubungi nomer yang tertera jika kamu berminat."

"Ah, terima kasih banyak paman Hyunwoo!"

.

.

.

.

.

Semakin umur ku bertambah, maka kehidupanku juga mulai berubah. Itu juga berkat naluri bertahan hidup yang ku miliki sejak mulai bekerja sebagai bartender. Aku mulai banyak mendapat panggilan selain menjadi bartender dan cover boy. Ya. Meskipun aku tidak menjelaskannya, kalian tahu apa yang terjadi di gemerlapnya dunia malam. Selain dibayar untuk meracik minuman, Sekarang aku juga mulai bisa memperbaiki hidup dari hasil sebagai lelaki penghibur. Oh, bahkan aku jatuh cinta dengan pekerjaan ini sejak pertama kali mencoba karena aku bisa mendapatkan jutaan won dalam semalam. Bagiku, tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah selama aku bisa mendapatkan kembali pundi-pundi uang yang dulu telah lenyap.

Setelah bertahun tahun hidup seperti ini, aku bahkan tidak ingat lagi tentang orang tua. Apakah mereka masih hidup atau sudah mati aku tidak peduli. Aku hidup hanya untuk diriku sendiri, dan aku menyukainya. Tidak sulit bagiku menjadi lelaki penghibur karena Hyunwoo hyung pernah mengatakan, aku merupakan kandidat terbaik dan akan selalu menjadi yang teratas di antara kontestan yang lain. Di dunia ini tampang adalah segalanya dan aku bisa mendapatkan bayaran hanya karena wajahku. Bukankah itu menyenangkan?

Lebih dari empat tahun menggeluti gemerlap dunia malam dan sekarang aku telah memasuki usia dimana aku mempunyai segalanya. Segalanya kecuali seseorang yang benar-benar mengisi kekosongan di dalam hati.

Aku pikir entah itu pria atau wanita semua sama saja. Aku pernah melayani keduanya dan aku belum pernah merasakan sesuatu yang beda ketika bekerja. Walau secara harfiah aku melakukan kontak fisik, tapi aku tidak benar-benar merasakan apa yang orang lain katakan sebagai cinta.

.

.

.

.

.

"Hei, Changkyun. Bagaimana kalau bertaruh. Jika kamu benar-benar bisa menaklukan hati Wonho ketika hari kasih sayang tiba, dia menang."

"Tunggu dulu, siapa itu Wonho?"

"Ah, kamu hanya perlu mengetahuinya setelah pergi ke tempat yang kami beri tahu nanti malam. Bagaimana?"

"Jika itu bisa mengembalikan mobilku dari tangan kalian, deal!"

.

.

.

.

.

Bunyi alarm memecah sunyi. Namun di luar sinar sang fajar belum berseri. Pukul enam pagi dan kelopak mata anak laki-laki bersurai sewarna madu itu merekah mendahului sang mentari.

Dia meregangkan sedikit tubuhnya yang kaku lalu mengecek kalender digital di ponselnya.

Tanggal 9 Februari. Itu artinya sudah satu tahun lebih ia tinggal di sini, sendirian. Tinggal menunggu beberapa bulan lagi hingga kedua orang tuanya bisa datang menemani.

Seperti biasa, ada catatan suara masuk ke dalam notifikasi ponselnya.

"Changkyun-ah, selamat pagi. Kami tahu kamu sangat menunggu, bersabar lah sedikit lagi karena ibu dan ayah telah membeli tiket pesawat ke Seoul. Jaga diri, dan jadilah anak baik. Kami mencintaimu."

Well, karena sapaan hangat dari ibunya pagi ini, Changkyun bahkan lupa tentang suatu hal.

Ah, daripada sibuk memikirkan hal itu, lebih baik Changkyun bersiap untuk menghadapi hari.

Asal kalian tahu, di jaman dengan mobilitas tinggi seperti ini, seorang teman yang tulus menerima apa adanya sangat sukar untuk ditemui—jika tidak mau dibilang punah—. Teman yang baik adalah teman yang tidak pernah memandang apa pun cacat dan kelebihan kita. Mereka akan selalu ada jika kita berada dalam situasi sulit maupun senang.

Mungkin, di jaman serba canggih seperti ini, uang akan menjadi segalanya. Termasuk dalam lingkaran pertemanan. Tidak terkecuali Changkyun yang terjebak bersama 'teman-temannya'

"Selamat pagi Changkyun! Tadi pagi aku baru memanaskan mesin Porsche kesayanganmu dan demi Tuhan aku tidak pernah mendengar dengkuran mesin sehalus itu."

Begitu menginjakan kaki di kelas, Changkyun langsung disambut oleh anak laki laki berambut anggur. Hancur sudah tatanan mood seorang Lim Changkyun pagi ini.

Jika ada skala dari satu hingga sepuluh, maka Changkyun akan memberikan nilai lima belas untuk sifat menyebalkan Minhyuk pagi ini.

Changkyun tidak merespon dan berlalu menuju kursinya. Minhyuk dan rambut anggurnya mengekor tanpa peduli tatapan tajam dari Changkyun.

"Kau bahkan tidak memberi tahu apa yang harus ku lakukan selama lima hari ke depan." akhirnya Changkyun buka suara. Intonasinya bermaksud menggertak, namun Minhyuk mendengarnya sebagai anak kecil yang merajuk.

"Gampang, kamu hanya perlu melakukan kencan, seperti makan bersama, pergi nonton film, atau yang lainnya. Buktikan itu dengan mengambil selca di setiap momennya. Dan di akhir hari, lakukan seks dengan Wonho dan kau bisa mendapatkan Porsche kesayangnmu kembali."

"Hyung, apa kau gila?! Bagaimana bisa aku melakukan seks dengan seorang pria?!"

"Oh. Ayo lah itu bukan suatu hal tabu lagi di negeri ini. Tinggal bujuk dia atau kau bisa mencekokinya dengan obat perangsang. Buat dia menjadi posisi pria atau wanita, itu sama saja."

Tolong, Changkyun sudah hampir setahun tinggal tapi belum bisa menelan mentah-mentah perbedaan akulturasi dan tren di negeri Gingseng ini.

Atau hanya dia yang bodoh?

"Tenang, aku tidak akan membuatmu menjadi aktor porno, aku hanya meminta foto dari salah satu potongan video seks yang kau lakukan bersama Wonho."

.

.

.

.

.

Seumur hidupnya, Changkyun belum pernah pergi ke bar, apalagi diskotik. Jangan kan menyambangi dua tempat itu, bahkan Changkyun harus menempuh ijin ketat dari sang ibu jika ingin ke luar rumah membeli bahan makanan. Untuk yang sekarang, changyun memberanikan diri untuk datang. Bangunan itu nampak biasa seperti pada bar pada umumnya. Pintu kacanya lebar dengan plang bertuliskan APOLLO terbuat dari neon berwarna ungu. Untuk mendapatkan ijin ilegal, Changkyun dan Minhyuk hanya perlu merogoh kocek sebesar tiga ratus ribu won untuk satu orang. Lumayan murah karena menurut pengetahuan Minhyuk, bar lain di kota Seoul menerapkan tarif ilegal untuk anak di bawah umur sekitar lima ratus ribu won. Awalnya Changkyun bingung, apakah itu jumlah yang biasa anak-anak kota Seoul keluarkan untuk bersenang-senang? Namun anak laki-laki berambut anggur di sampingnya terus meyakinkan bahwa harga itu tidak setimpal dengan Porsche kesayangannya yang akan lenyap jika Changkyun tidak menyelesaikan taruhan itu.

"Apakah kau akan menemaniku, hyung?"

"Kau lucu sekali. Tentu saja tidak. Kihyun akan menjemputku sebentar lagi dan kau bisa bebas bersenang senang dengan Wonho. Jika kamu bertemu laki-laki bertubuh besar, rambutnya disemir blonde dan kulitnya sepucat salju, aku pastikan itu Shin Wonho dan kau bertemu dengan orang yang tepat."

"Huh. Aku menyesal berteman denganmu, hyung." Changkyun agak merajuk. Tapi tetap pikirannya tumpah kemana-mana.

"Ya, aku juga mencintai adik ku ini. Selamat berjuang Changkyun-ie!"

Langkah Changkyun ragu bercampur takut. Tempat ini sama menakutkannya dengan rumah hantu. Cuma bedanya semua interior di dalam tempat ini terkesan minimalis tapi mewah. Dari balik tangga, Changkyun bisa melihat deretan bartender sedang bertugas meracik minuman. Di tengah ruangan ada sofa merah besar yang melingkar membentuk pola persegi. Bahkan Changkyun tidak tahu yang mana orang bernama Shin Wonho.

Mungkin jika Changkyun bisa, ia akan bertemu dengan Wonho setelah meneguk beberapa minuman. Oh, ia haus sekali dan bisa saja ia bertanya pada si bartender tentang Shin Wonho terlebih dahulu.

"Apa yang bisa aku bantu, tuan?" salah satu bartender berambut merah bertanya setelah bosan melihat Changkyun membuat pose berpikir selama lima belas menit. Itu membuatnya tersentak dengan tidak elit.

"Aku mau euummm apa itu Vodka Black? Nama minuman di sini sangat unik ya."

"Satu Vodka Black? Apa anda yakin?"

"Tidak salahnya mencoba." Changkyun mengangguk mantap. Seolah ia yakin pada jawaban di lembar ujian sekolahnya.

"Oke, apa anda mau minuman itu dibuat murni atau dicampur lemon soda?"

"Mungkin aku mau mencobanya tanpa campuran apa pun."

"A-aaah oke. Harap tunggu sebentar."

Di satu sisi yang lain...

Dimana musik berdentum, di situ semua rasa tertekan, stres dan depresi bisa musnah hanya dengan segelas Tequila. Atau mungkin tambahan bumbu seks jika memungkinkan.

"Hei, lihat wanita yang di sana? Sepertinya ia kesepian."

"Yang mana?"

"Itu, di bangku ke tiga di depan bar. Wonho-ya sepertinya kamu bulan lalu mengatakan jika butuh sedikit uang untuk melunasi tagihan kartu kreditmu. Mungkin ini giliranmu."

Lelaki beriris biru itu membuat pose berpikir. Sedetik kemudian ia sadar bahwa wanita itu tidak sendirian.

"LIhat! Sedang apa yang anak sekolah itu lakukan di tempat ini?"

"Paling dia hanya bocah ingusan yang tertekan karena ujian akhir masuk universitas."

"Begitu ya, hyung?" Wonho bergeming.

"Kalau kamu penasaran kenapa kamu tidak mendekatinya, Wonho-ya?"

Memang itu yang akan Wonho lakukan. Pria berbadan tegap itu segera bangkit dari duduknya. Tidak, bukan karena Wonho benar-benar mengincar anak sekolahan itu, namun ulu hatinya seperti tergelitik saat pertama kali melihat bocah itu menampakan diri.

"Ayo lah kamu ini sangat imut, pergi dengan bibi, mau?"

"Hah? Apa? Aku tidak mendengarnya, ibu. Di sini gelap."

Sayup-sayup Wonho bisa menguping pembicaraan anak itu. Dia sedang digoda jalang rupanya.

"Uhm, permisi. Dia dalam pengawasanku."

Wonho datang menginterupsi. Tepat ketika wanita itu mulai menggerayangi satu persatu kancing seragam Changkyun. Wanita itu berdecih sebentar dengan mimik menyebalkan lalu pergi. Wonho yang melihat itu tidak menyia-nyiakan kesempatan dan mengambil tempat duduk di depan Changkyun yang masih setengah sadar.

'Vodka Black? Anak ini boleh juga. Apakah itu sekolah pertunjukan seni Seoul?' Wonho bergumam dalam hati setelah melihat logo di jas sekolah Changkyun. Dengan cekatan, pria itu melepas jas sekolah Changkyun dan melipatnya. Wonho pikir, Ini bisa gawat ketika ada salah satu dari guru mereka yang melihat. Ah, tapi kenapa dia harus peduli?

"Hei, bocah."

"Hmmmm."

"Hei, bangun bocah bau kencur!"

"Aaahh ibu, lima menit lagi"

"Kau tidak benar-benar tidur, bocah."

"Aaah, ternyata kau bukan ibu. Hahahah. Omong-omong kau tampan. Siapa namamu?"

Keduanya terhenyak. Kecanggungan mulai menyelimuti.

"Aku, Shin Wonho. Dan kau harus memanggilku dengan honorifiks, bocah!"

"WONHO?!" Changkyun menggebrak meja. Membuat beberapa orang melirik sekilas, namun atensi mereka tidak teralihkan lebih dari lima detik. "Nama yang bagus. Itu terdengar seperti hik satu harapan. Hik. Kau tau? One Hope. Hik"

"Berapa banyak yang kau minum, bocah? Apa aku harus melaporkan ini pada kedua orang tuamu?" gertak Wonho. Padahal aslinya dia terlalu gemas pada bocah-pertama-kali-mabuk di depannya ini.

"Apa hik maksudmu? Aku hanya hik minum satu gelas ini hik. Lagipula orang tua ku jauuuuuuuuuuh di sana." Changkyun menunjuk asal. Kelopak matanya mulai turun.

"Biar aku bantu kau pulang. Katakan dimana rumah ah tidak, pertama aku harus mengetahui siapa nama mu, bocah aneh."

"Changkyun! Lim Changkyun. Senang mengenalmu, Wonho-ssi. Kau akan mengembalikan Porsche kesayanganku kan?"

Oke, Wonho tau dia ngelantur. Tapi biasanya orang mabuk lebih jujur dari siapa pun.

"Apa maksudmu, Changkyun?" tanya Wonho bingung. Di lihatnya Changkyun masih setengah sadar dengan posisi hampir telentang di atas meja bar. Sesekali bocah itu cegukan, suaranya persis anak anjing.

"Wonho-ssi penyelamatku. Selamatkan Porsche kesayanganku."

Porsche? Apa bocah ini bersungguh-sungguh? Apakah dia mengenal Wonho? Duh, terlalu banyak pertanyaan untuk sekarang.

"Zzzzzz..."

Wonho tersadar dari lamunannya karena Changkyun sudah benar-benar tidak sadarkan diri dan mendengkur di atas meja bar. Oh, ini tidak bagus. Peraturan nomer satu di bar Apollo adalah tidak boleh membiarkan seseorang tidak sadarkan diri tanpa pendamping. Dan otomatis itu akan menjadi tanggung jawab Wonho untuk membawa Changkyun pulang. Entah ke apartemen miliknya atau rumahnya Changkyun. Hei, bahkan Wonho baru bertemu dengan bocah ini beberapa menit yang lalu. Dan betapa beruntungnya Changkyun jika Wonho membawanya karena ada banyak wanita jalang di luar sana yang mau membayar mahal hanya untuk meniduri Wonho di kediamannya sendiri.

"Bagus sekali. Untung kau mendapatkanku ketika aku sedang tidak ada job."

Mungkin pilihan buruk untuk membawa Changkyun pulang. Ia akan dikenakan tuduhan penculikan jika Changkyun mengadu suatu saat.

"Eungghhh. Ibu, aku merindukanmu." Changkyun melenguh di sela tidurnya. Menggemaskan, pikir Wonho

Atau mungkin tidak terlalu buruk juga.

Wonho mengambil ponsel lalu menekan speed dial nomer satu. "Hyunwoo hyung, aku harus pulang lebih awal. Aku minta maaf karena hari ini mengecewakanmu."

"Oke, Changkyun. Kau berhutang cerita padaku."

.

.

.

.

.

Untung Changkyun tidak mimpi buruk semalam. Ya, walau mimpinya tidak seindah gumpalan awan permen kapas dan kuda poni, setidaknya ia bisa bangun tidur dengan kepala yang lebih ringan pagi ini. Ditambah wangi mint dan kayu manis aroma terapi, membuat kelopak matanya menjadi ringan merekah. Oh, sepertinya kamar Changkyun juga terasa lebih luas dari sebelumnya.

Tunggu dulu, sejak kapan ia rajin menyemprotkan aroma terapi? Sejak kapan pula kamarnya jadi lebih besar dari sebelumnya?

Oh tidak. Dimana aku? Pikir Changkyun. Changkyun segera memeriksa tubuhnya; Puji Tuhan masih lengkap. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Oh, bahkan ruangan ini lebih nyaman dari kamar Changkyun yang berantakan seperti kapal pecah.

Tidak mungkin penculik menyekapku di kamar mewah ini. Changkyun berusaha setengah mati untuk tetap tenang. Akal sehat merupakan yang terpenting dan ia mulai mengingat ulang kejadian semalam.

Good Job. Ia tidak ingat sama sekali potongan kejadian setelah ia menenggak minuman aneh di bar semalam. Jangan-jangan ia telah...

Tok tok tok...

"Siapa itu?" teriak Changkyun.

"Kau sudah bangun, bocah?" tiba-tiba suara seorang pria terdengar dari luar. Itu membuat Changkyun semakin panik.

"Siapa yang kau sebut bocah?!" Changkyun bersungut galak. Sumpah demi Tuhan ia mati-matian menahan suaranya agar tidak bergetar.

"Lain kali, pergi ke bar ganti baju dulu. Bocah sekolahan sepertimu masih untung bisa pulang dengan selamat."

Dari balik pintu putih, seorang pria berkulit sepucat vampir melongok. Membuat Changkyun menahan nafas karena... Dia tampan?!

"A-aaah. Siapa kau?! Dimana aku? Apakah kau menculik ku? Berapa tebusan yang kau minta pada orang tuaku?"

Tidak tahan dengan Changkyun yang membrondongnya dengan rentetan pertanyaan, pria vampir itu memutuskan untuk masuk ke kamar. Keadaan pria itu yang setengah basah dan hanya mengenakan handuk di pinggang membuat Changkyun semakin merah padam. Nafasnya tercekat karena kumpula roti sobek di perut pria itu mencekik Changkyun secara imajiner

"Hei, harusnya aku yang bertanya itu padamu. Apa aku mengenalmu? Kenapa kau bisa mengetahui namaku ketika di Apollo?" pria itu sekarang bertolak pinggang di hadapan Changkyun.

"A-aku tidak pernah melakukan apa pun. Sungguh! A-aku baru pertama kali pergi ke tempat itu. Hik"

Amazing, Changkyun kembali cegukan.

"Kau menyebut namaku di bar. Apa kau benar-benar tidak mengingatnya?"

"T-tidaaaak hik."

Itu lah sebabnya anak di bawah umur tidak boleh mengonsumsi alkohol terlalu cepat karena tidak baik bagi pertumbuhan otaknya. Terutama pada perkembangan anak remaja kekinian seperti Changkyun.

"Baik lah, aku tidak akan mengajakmu main tebak-tebakan sekarang. Tentu aku akan mengenalkan diriku sebagai pria sejati—."

"Silahkan, hik." potong Changkyun asal

"—Namaku, Shin Wonho."

Krik krik...

Tidak ada tanggapan, Changkyun melemparnya dengan tatapan kosong. Tapi sebelum Wonho selesai memutar bola matanya, Changkyun menjerit.

"OH! JADI KAU YANG NAMANYA WONHO?!"

Wonho terjungkang dibuatnya.

"Sial, jangan berteriak seperti itu. Ini masih pagi."

"Kini aku ingat semuanya. Tunggu dulu, kau tidak menggerayangiku ketika tidur kan?"

"YA MENURUTMU?!" Wonho mulai sensi. Mentang-mentang ia seorang lelaki penghibur apa lantas ia hobi menggerayangi orang yang baru ia temui? Sekadar informasi saja, meskipun Wonho tidak mempunyai keluarga lagi tapi dia sempat mengenyam apa yang namanya tata krama dan hak asasi manusia. Wonho sangat membenci prototip seperti itu. "Kau bisa melihat seragam dan sepatumu masih lengkap melekat bahkan ketika kau tidur!" lanjutnya.

"Ah, iya benar juga." Ah, Changkyun sudah berhenti dari cegukannya.

"Jadi, apa aku mengenalmu? Kenapa kau bisa tahu namaku?"

"Eum, sebelum aku menjawabnya, boleh tau ini hari apa?"

"Hari sabtu. Kenapa?"

Bagus lah, sekolah libur setiap akhir pekan. Changkyun membatin bahagia.

"Boleh aku mandi dan meminjam bajumu? Aku akan menjelaskannya nanti dan aku sangat lapar."

Benar-benar seperti anak anjing. Menggemaskan tapi juga merepotkan. Pikir Wonho.

"Oke, kamar mandi ada di lantai bawah di dekat tangga kedua. Di dalam kotak obat aku selalu menyiapkan baju dan handuk cadangan untuk tamu ada juga peralatan gigi—."

Belum selesai Wonho mengoceh, Changkyun segera lompat dari kasur dan terburu-buru pergi ke kamar mandi.

"Oke, terima kasih!"

Wonho geleng-geleng kepala melihatnya lalu kembali melanjutkan aktivitasnya.

.

.

.

.

.

Menurut Wonho, Terjebak hanya berdua dengan Changkyun sebenarnya tidak terlalu buruk juga. Apalagi pria berkulit pucat itu sangat senang mendapati Changkyun salah tingkah ketika ia menatapnya. Tapi, tidak untuk terjebak di dalam McDonald dengan seporsi Happy Meal. Asal kalian tahu, Changkyun terus merengek bertanya tentang dimana letak McDonald terdekat di pagi hari karena ia lapar. Apalagi dengan iming-iming bonus mainan Despicable Me 3 yang baru saja dirilis.

"Jadi, boleh aku memanggilmu paman Wonho? Temanku bilang harus lebih sopan pada yang lebih tua." Changkyun buka suara, tanpa berani menatap Wonho. Hari ini, Changkyun menyisir rambut madunya, rapi sekali, dengan mengenakan sweater warna hijau tosca yang kebesaran hingga menutupi telapak tangannya. Tentu itu punya Wonho

"Aku belum setua itu. Kau boleh memanggilku Wonho hyung. Apa kau tidak pernah belajar honorifiks saat taman kanak-kanak?"

"Eum, aku menetap di luar negeri sejak sekolah dasar jadi aku agak bingung ketika harus pulang ke sini sendirian."

"Sendirian? Dimana orang tuamu? Atau temanmu. Biasanya bocah seumuranmu punya geng seperti anak-anak kekinian yang aku kenal." tanya Wonho mulai penasaran. Sambil terus mengunyah chicken nuggetnya, Changkyun berpikir. Apa maksudnya geng?

"Orang tua ku ada di Israel dan akan pulang bulan April nanti. Dan aku rasa aku tidak punya geng."

"Kau serius?!" Wonho berseru takjub. "Kau sama sekali tidak mempunyai sekumpulan teman tidak berguna yang selalu mengikutimu kemana-mana? Kau ini kelakuannya seperti bocah, kelas berapa?"

"Ish, aku ini siswa tahun kedua Sekolah Pertunjukan Seni Seoul. Kalau yang seperti itu sepertinya aku punya. Ada Minhyuk hyung, Jooheon hyung, Hyungwon hyung dan lainnya."

"Oh. Suatu keajaiban jika bocah sepertimu tidak mempunyai geng." ujar Wonho acuh sambil mencomot kentang gorengnya. "Ngomong-ngomong kenapa kau bisa datang ke Apollo dan tahu namaku?"

Kerja bagus untuk membuat sarapan Changkyun tersangkut di tenggorokannya, Wonho.

"Tidak perlu berlebihan seperti itu."

Setelah menghabiskan satu botol air mineral untuk meredakan tenggorokannya, Changkyun menatap Wonho sebentar.

"Euuummm, anu, itu."

"Katakan saja, apa mereka menggunakanku sebagai bahan taruhan? Berapa yang mereka berikan?"

"BAGAIMANA KAU TAHU, HYUNG?! AKU BAHKAN—" kelopak mata Changkyun membola. Sadar akan apa yang ia katakan membuatnya malu setengah mati. "Ups, maaf."

"Setelah ini aku akan berpura-pura tidak mengenalmu. Cepat katakan sekarang."

"Kau mau aku mengatakan yang sejujurnya atau tidak?" Changkyun kini beralih pada mainan minion ungu sebagai pengalih kegelisahannya. Benda itu lebih enak ditatap ketimbang wajah Wonho yang membuatnya merah padam.

"Aku tidak peduli."

"Baiklah, aku akan mengatakannya."

Semua itu berawal ketika libur musim panas pertama ku di Seoul...

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

A/N: HAI! GUA BALIK LAGI NULIS DENGAN FANDOM BARU MONSTA X! HAHAHAH SALAM KENAL, GUA FANBOYNYA WONHO DAN JOOHEON SEKARANG, YEAY! TAPI SAYA TETAP LOYAL SAMA FANDOM LAMA SAYA (CARAT & ARMY) KOOOK. CUMAN LAGI SENENG AJA BELOK HALUAN. BERHUBUNG MASIH NEWBIE GUA MAU COBA OTP KESAYANGAN DULU WONHO X CHANGKYUN. BERKAT SENPAI GUA DI FANDOM MONSTA X, GUA LEBIH MENDALAMI BEBERAPA OTP DAN AKHIRNYA MEMBERANIKAN DIRI UNTUK PUBLISH CERITA SENDIRI. SEBELUMNYA SORRY BANGET HANYA BERUPA REMAKE DARI FANFICT LAMA :"( CERITANYA MASIH ABAL ABAL DAN BUTUH BANYAK KRITIK DAN SARAN. TERIMA KASIH BANYAK UNTUK DATGURLL YANG TELAH MENENGGELAMKAN GUA DI DUNIA MONBEBE, DITUNGGU PC WONHO DADDYNYA YA NIES! BY THE WAY, GUA BARU AJA KELAR NONTON MONSTA X RAY SEASON 2 DAN GUA HAMPIR KEABISAN NAPAS KARENA NGAKAK DITAMBAH BANYAK PREVIEW KONSER DIAMOND EDGE HARI PERTAMA DI SEOUL. SUMPAH YA TAPI ITU BENER BENER KEJUTAN. CERITA INI INPIRED BY SIAPA YA LUPA POKOKNYA ADA FF SEJENIS INI CUMAN BEDANYA CHANGKYUN YANG DIJADIIN BAHAN TARUHAN. ITU FF PERTAMA YANG GUA BACA DI FANDOM MONSTA X DAN ITU SANGAT BERKESAN. CERITA GUA SAMA SEKALI BEDA YA SAMA PUNYA DIA CUMAN PALING POSISINYA DITUKER KARENA DI SINI WONHO YANG JADI BAHAN TARUHANNYA. UDAH AH, INTINYA KALO CERITA INI MAU LANJUT, SILAHKAN REVIEW YA!

AND AS ALWAYS, THIS IS NON-BETA FICT :") DEEPLY SORRY FOR THOSE ALL TYPOS. SERIOUSLY 7.2 K IN 3 DAYS! HOW CAN I REVIEW QUICKLY?

AT LAST, MIND TO FAV, FOLLOW AND REVIEW?

SINCERELY

NAN GWISHIN KKUM KKOTTO :* /AEGYO/

ALHAM BASKORO