Kaichou wa Maid-sama! © Hiro Fujiwara

The Sweetest One © Yolandari Putri Edogawa

"Yukimura. Bawa kemari file dari klub basket!"

"N-Ne, Kaichou," Yukimura melangkah menuju Misaki. Keringat tampak bercucuran di keningnya, takut akan dimarahi Iblis Seika itu. Misaki tentu tak akan memakannya, tapi hawa menyeramkan yang keluar dari gadis itu membuat Yukimura tak bisa berdiri tegap.

Misaki mengambil map tersebut dan membacanya. "Apaa?!" ucapnya cukup keras, membuat Yukimura tambah ketakutan. "Bisa-bisanya mereka membuat anggaran latihan sebanyak ini! Memangnya mereka mau berpesta, eh? Yukimura, suruh ketua Klubnya kemari!"

"H-hai."

"Satu lagi. Beritahu Klub sepakbola untuk membersihkan ruangan mereka, atau mereka harus membersihkan seluruh sekolah." Senyuman khas iblis kini melekat di bibirnya.

Yukimura langsung berlari keluar rungan sesuai perintah Kaichounya. Beberapa anggota OSIS lain tampak takut melihat aura gelap di sekitar Misaki. Ruangan berubah senyap seketika. Yang terdengar hanya bunyi ketikan pada keyboard di komputer ruangan itu.

"Hei," seorang anggota yang berkacamata memberanikan diri berbisik pada anggota lainnya. "Kaichou akhir-akhir ini tampak lebih menyeramkan, ya?"

"Benar," balasnya berbisik. "Kurasa ini karena Usui sudah lama tidak main ke sini. Biasanya kan hanya dia yang bisa mengatasi Kaichou."

"iya. Kenapa Usui tidak datang lagi ya? Kuharap dia " Cowok berkacamata itu berhenti melanjutkan ucapannya saat merasa tatapan sang iblis terarah padanya. Bulu kuduknya berdiri seketika.

"Kalian, jangan berbicara saat bekerja!"

"Baik..."

"Aku mau ke ruang guru dulu. Jangan lupa selesaikan tugas kalian!"

Tanpa menunggu jawaban, Misaki segera keluar dan menutup pintu ruangan itu dengan keras. Kakinya melangkah menuju ruang guru yang terletak di lantai satu gedung sebelah. Ia menyusuri koridor yang cukup ramai itu.

Ia teringat ucapan anggota OSIS yang sempat di dengarnya tadi. Usui, batinnya. Benar. Sudah lama dia tak datang ke ruang OSIS. Dia juga sudah jarang mengunjungi Maid Latte. Ada apa ya? Apa aku membuatnya marah? Eh, tunggu. Kenapa aku memikirkannya? Untuk apa aku memikirkan alien sakit jiwa itu? Misaki menggeleng-gelengkan kepalanya. Fokus. Aku harus tetap fo-

"Aduh..."

Misaki POV

Tanpa sadar, tubuhku tiba-tiba menabrak seorang cowok berbadan besar, dan menghantam papan mading sebelum akhirnya terjatuh ke lantai yang agak kotor. Bunyi 'Brak' menggema di sepanjang koridor. Semua mata kini tertuju padaku.

"Hei, kalau jalan lihat-lihat dong!"

Bukannya membantuku berdiri, cowok itu malah berkacak pinggang. Benar-benar menyebalkan. Tapi aku segera bangkit dari posisiku sembari membersihkan rokku. "Maaf, saya yang salah."

"Eh, k-kaichou, ka?" Aku bisa melihat ekspresi cowok itu berubah. Tubuhnya sedikit bergetar dan keringat dingin sudah muncul di pelipisnya. "Maaf, aku tidak sengaja. Maafkan aku!" Ia berujar sambil membungkuk sembilan puluh derajat. "Maafkan aku."

Tanpa menunggu jawabanku, dia langsung berlari secepat kilat. Aku kan tidak seseram itu, batinku. Kualihkan pandanganku pada para siswa yang dari tadi menonton. Saat tatapanku dan mereka bertemu, mereka semua langsung terlihat ketakutan dan memalingkan jawah. Oke, kuralat. Mungkin aku memang terlihat sangat menyeramkan.

Tatapanku beralih pada tangan kananku. Sakit. Terdapat sebuah luka goresan yang cukup dalam di pangkal ibu jariku, membentuk luka vertikal sepanjang kurang lebih 2 cm.

"Kuso," ucapku.

Aku harus segera mengobatinya sebelum darahku menetes cukup banyak. Aku kembali berjalan, kali ini menuju Klinik sekolah yang berada di dekat tangga lantai satu.

Ruangan itu tampak sepi. Penjaga klinik yang biasa berjaga sepertinya sedang ada urusan. Kali ini terpaksa aku melakukannya sendiri. Aku segera mengambil beberapa perlengkapan untuk membalut lukaku.

"Perlu bantuan, Kaichou?"

Aku hampir saja menjatuhkan perban di tanganku ketika mendengar suara itu. Suara yang sangat familiar. Suara yang sudah lama tak kudengar. Aku menoleh ke sumber suara dan mendapati Usui sedang berdiri di belakangku. Sebuah smirk terpampang di wajah tampannya.

Wajahnya masih sama santainya seperti terakhir kali aku melihatnya. Kedua lengan kemeja putihnya ia lipat hingga mencapai siku. Keren dan simple seperti biasa.

"Usui. Dimana Kamia- sensei?"

"Kamia-sensei?" jawabnya dengan wajah bingung.

"iya. Dia kan dokter yang mengurus klinik sekolah kita."

"oh. Dia dipanggil kepala sekolah."

"Begitu," jawabku. Hening sesaat. "eh? Kenapa kau ada di sini?"

Ia bersandar pada meja dan memasukkan kedua tangannya ke kantong celananya. "Hanya numpang tidur. Tanganmu kenapa?" ia beralih menatap tangan kananku.

"Tergores sedikit," jawabku. "Hei. Kau sakit? Wajahmu pucat sekali."

Usui hanya diam dan berjalan mendekatiku. Ia mengangkat tanganku hingga sejajar dengan dada bidangnya. Aneh. Tangan Usui dingin sekali. Ada apa dengan nya hari ini?

"Apa kau sakit?" ujarku lagi.

Masih tak ada respon. Usui masih memandangi lukaku lekat, seolah itu merupakan hal yang sangat menarik. memangnya apa yang menarik dari sebuah luka? Ini bukan sebuah maha karya. "Ini harus segera diobati, Ayuzawa," ucapnya.

"Aku memang ingin mengoba "

Ucapanku terhenti saat Usui tiba-tiba mendekatkan tanganku ke mulutnya. Bisa kurasakan lidahnya menjilati darah yang keluar dari luka itu. Aku berusaha menarik tanganku tapi gagal karena tenaganya jauh lebih kuat.

"Usui," ujarku kaget. "Apa yang kau lakukan? Lepaskan!"

Seperti tak mendengarkan ucapanku, Usui masih tak mau melepaskan cengkramannya. Ia menjilati darah yang mengalir ke jempol tanganku. Blush. Pipiku tiba-tiba terasa panas dan jantungku berdetak kencang. Oh iya. Aku pernah dengar bahwa saliva bisa mengobati luka. Pasti dia hanya ingin mengobati lukaku. Ya, pasti begitu, batinku sambil berusaha menghilangkan pikiran aneh yang muncul.

Kuperhatikan wajah Usui lekat. Matanya tampak terpejam seolah saat menikmati darahku. Hal ini mengingatkanku pada sebuah cerita yang pernah dibacakan oleh ayahku, tentang seorang vampir. Mereka adalah makhluk perfect yang sangat menyukai darah manusia. Kulit mereka selalu terlihat pucat. Mereka akan menggigit mangsanya dengan dua buah tering yang tajam.

Aku tertawa dalam hati. Sempat terlintas di benakku bahwa Usui mirip dengan vampir. Sunggu lucu. Dia memang terlihat perfect dan kulitnya terlihat pucat. Tapi ia tak mempunyai taring. Tidak mungkin ia seorang vampir. Dan lagi mana mungkin makhluk sejenis vampir itu benar-benar ada. Itu hanya dongeng untuk menakuti anak-anak nakal yang berkeliaran di malam hari. Tak lebih dari sekedar fiksi.

Aku selalu berfikir seperti itu hingga akhirnya kenyataan muncul di depan mataku. Makluk yang menakutkan itu muncul dalam sosok pemuda tampan yang kini tengah menancapkan taring tajamnya ke telapak tanganku. Rasa nyeri langsung menjalar di sekujur tubuhku, membuatku nyaris meloloskan sebuah teriakan yang pastinya akan memancing perhatian banyak orang.

"Usui... kau..."

Hallo, Minna-san!

Terima kasih sudah mau baca FF saya yang ketiga ini. Fic ini khusus saya buat untuk yang sudah mendukung saya! Saya sangat menghargai apresiasimu, Anggun-san. Maaf kalau hasilnya nggak bagus. ^^, hehe.

Mungkin ide tentang Usui jadi vampire ini udah familiar banget. Tapi saya tetap pengen buat cerita sesuai dengan apa yang saya mau. Hehe. Maaf juga kalau alur ceritanya terasa ngebosenin. Semoga saya bisa tetap melanjutkan fic ini, soalnya akhir-akhir ini kegiatan makin banyak, padahal banyak hari libur ._.

Sekali lagi, Hontou ni Arigato, ne, minna!