Sesesak hidung dipepat, paru-paru bagai terisi asap. Ruang pengap nan lembab, kotor, macam kandang tikus dibuka. Celah itu membuat terang sebagian lantai dengan bayang-bayang.

Hinata melangkahkan kaki masuk. Jujur, ia benci kumuh. Namun kali ini ia harus mengalah pada ego. Oh, menyebalkan!

Terbatuk ia. Akhirnya Hinata memutuskan untuk keluar. Tas biola yang dibawa ia letakan di lantai. "Kenapa dengan wajahmu itu?" Hinata masih terbatuk keras, jemarinya mengacung ke kosan mirip gudang. Lelaki itu masuk, kemudian tak lama keluar. Gayanya bikin muak.

Hinata sampai melototkan mata saat si pria berkata, "Tinggal dibersihkan, beres kan?"

Dikira semudah itu apa? Hinata butuh banyak waktu untuk menyikat noda membandel di lantai. Mengelap tembok sampai berkilat dan ditempeli walpaper supaya tampak 'sedikit hidup'. Atau, Hinata butuh kira-kira setengah jam hanya untuk membongkar lemari di ujung itu. Satu-satunya lemari dengan bingkai potret di atasnya. Ditelungkupkan lagi.

"Jadi? Aku harus bebersih sendirian, sementara kau asik-asikkan nangkring di pohon, begitu? Bantuin kek!" meledak juga kekesalannya. Hinata sudah cukup lama memendamnya.

Kiba berjengit, eh buset, serem. Dengan tangan melambai kalem, meringis, Kiba menjawab, "Err.. Aku akan membantumu kok. Tenang... Tenang. Jika perlu akan kupanggilkan semua penghuni, bagaimana? Setuju?" Hinata mendengus.

Naruto belongs to Masashi Kishimoto

My Fantasy World belong to Yoshiro No Yukki

Fanfiksi ini didedikasikan untuk event #SHDL2016 dengan prompt #Nature

"Kau sangat sibuk, Ta. Aku sampai dianggurin."

"Maaf, aku sibuk. Hari ini jadwal resikku belum kelar. Kita sambung nanti yah. Jaa.."

Hinata mematikan sambungan. Tangan dibaluk plastik memicing jijik pada kecoa mati. Dilempar. Lemari ia buka. Beruntung tidak dikunci.

Namun Hinata terperangah, "Aneh, cuman lemari satu-satunya tempat terbersih."

Hinata memindahkan buku kusam tua ke kardus yang sudah di siapkan. Lemari dikosongkan. Potret Foto tak luput dilempar asal. Yah meskipun masuk kardus jua.

Hinata melirik jam digital. "Kurasa ini memakan waktu lama. Huh!"

"Wah, Hyuga Hinata, anak kuliahan bau asem terlambat untuk pertama kalinya. Selamat!" Tenten riang sekali.

Hinata tertohok di belakang kursi. Tenten menggiringnya duduk. Raut syok masih terpatri. Sampai duduk palah.

Jujur dia malas menghadiri jamuan aneh kedua sobatnya. Tetapi apalah daya, lisan mengucap tidak namun naluri mengiyakan. Sudah hal lumrah baginya.

Tenten cekikikan. Ino mengelus lengan Hinata, tampangnya usil. Dua sejoli.

Hinata membatin, 'kali ini apa yang Ino bakal lakukan ke dirinya.'

Hinata cuman menebak-nebak.

Dan,

Sett "Ino, stop!!" jeritan yang tidak digubris. Lengan Hinata tersiram jus karena spontanitas gerak.

Tenten dan Ino nyengir lebar, Hinata mengkerut drastis. "Ino, jangan pernah mancabut buluku kasar? Sakit tahu."

Hinata membisik manyun sambil mengusap lengan. "Hahaa, habisnya bulumu nggak ada sih. Terlalu mulus. Terus... Apa-apaan kulitmu itu, bersih banget. Bikin iri."

"Itu karena kamu jorok, Ino. Jadi jerawat bejibun hidup."

"Kau mengejekku, Ten?" mereka berdua adu mulut sesaat. Hinata tersenyum.

Kedua kalinya Hinata melirik arloji.

Tanda tanya muncul dari kedua temannya.

"Ada apa? Kau mau pulang, Ta?" senyum masam dipamerkan.

Baik Tenten dan Ino mendesah paksa.

"Maaf yah. Aku belum rampung. Masih banyak. Dan, aku belum bersih-bersih kamar." Keduanya memaklumi.

Setelah saling ucap 'sampai jumpa', punggung Hinata menghilang dibawah pohon dekat lampu. Gadis itu mengayuh sepeda dengan kecepatan maksimal.

Mungkin karena gelap bulu kuduk meremang. Mungkin karena sepi, tubuh Hinata bereaksi. Merasa diawasi dan diikuti.

Semakin cepat ia mengayuh, bebayang deretan pohon bagai sel-sel yang memenjara ia dan kosannya.

Hanya ada satu bangunan di kanan jalan, menjorok masuk. Dipepet pohon rindang. Lampu depan dikerubungi laron. Terlalu sepi. Hingga ia memarkir sepeda dan membuka kunci kosan, hawa dingin menjalar.

"Tenang Ta, tidak ada hantu." Hinata menyemangati diri sendiri.

Tangannya tremor saat telinga menangkap derap kaki. Cepat. Seperti binatang berlari.

Hinata bersandar di pintu. Matanya memindai cepat. Tetapi gelap menutup apa yang terjadi.

"Apa itu?" sekelabatan menarik atensi Hinata. Ia menengok kiri, tepat di bawah lampu redup di ujung jalan, bayangan binatang lewat. Seperti kuda. Namun mahluk itu berhenti, membalik tubuh dan menatap Hinata yang berdiri gemetar di tempatnya. Tak kuat, Hinata banting pintu. Lantas mahluk itu pergi.

Paginya, setelah pintu dikunci, Hinata mengayuh pelan si sepeda.

Alasan ia memilih tempat itu, yang jauh dan terpencil dari pemilik kos adalah karena ia seorang pemusik amatir.

Lihat, biola yang menggantung cantik di kamarnya.

Awalnya pajangan, baru kali ini Hinata berhasrat menyentuh. Dunianya seakan digebrak. Walau bukan musisi, Hinata cukup yakin pada kemampuannya yang pas-pasan.

Hinata ingat pertama kali latihan. Setelah pengenalan dasar, ia baru memegang dawai. Rosin yang mendebu di rambut penggesek menggesek dawai terlalu kuat.

Suara sumbang bikin telinga sakit.

Saat pengenalan kunci, jari Hinata tak cukup kuat untuk menekan. Hingga terpelentir dan kapalan. Belum lagi lengan pegal. Leher sakit dan telinga berdenging. Lalu saat pelatihan trill, tangan kanan dan kiri tidak sinkron bergerak. Hingga saat tangan kiri menekan dawai terkadang tangan kanan lupa menggerakan busur.

Teknik salah kaprah. Hingga dua tahun kemudian, Hinata baru bisa memainkan Twinkle-Twinkle Little Star bagian satu yang sudah digubah.

Di kosannya yang sepi itulah Hinata merumus hasil. Tempat terbaik.

Jadi, ketika nanti permainannya sumbang, ia tidak perlu malu ke tetangga sebelah rumahnya yang berambut hitam klimis.

Tenten melambai tangan di parkiran. Hinata memarkir sepeda dengan cepat.

"Ta, itu yang menyembul di tasmu apa?" tanya Tenten sambil menunjuk tas Hinata.

Hinata membuka tasnya, buku tebal coklat kusam yang ia masukan ke kardus. Mengkilat.

Anehnya, tinta hitam yang tergores berganti hijau cerah yang segar. Hingga tulisan berukir nampak hidup.

'Centaur'

Hinata bingung, "Ini buku yang kurapikan kemarin. Mungkin aku lupa membawanya. Ini hanya buku fiksi."

Tenten ber-oh- ria.

Mereka berjalan cepat ke kelas. Hari ini Ino absen. Hingga tidak ada yang mengusili Hinata sampai kelawat batas. Anehnya mereka berteman. Lengket pula.

Hinata merenungi keganjilan. Eksplanasi dosen ia abai. Celotehan Tenten tak ia dengar dengan baik. Bahkan saat pulang, Hinata hampir menabrak pejalan kaki karena ia masuk trotoar.

'Centaur'

Pendiam dan agresif. Susah ditemui. Bergerombol.

Setengah kuda setengah manusia. Kebanyakan tidak ada yang tampan.

"Kalau ada yang tampan langsung kuajak kenalan." cetusnya ngasal.

Hinata membalik buku, halaman demi halaman. Ia baca sekilas, kata kunci. Cara efektif untuk mengingat dengan mudah.

Hingga pada halaman 137, Hinata membaca semua tulisan. Sampai kelar.

Terfokus.

Mengingatkannya pada kejadian semalam. Sosok bayangan di bawah lampu. Dia melihatnya. Walau rupanya samar, Hinata yakin, mahluk fantasi itu memang melintas.

Hinata mengguling ke kanan, menghadap jendela. Keadaan di luar sana tenang. Kandela jatuh menimpa dedaunan, menerobos celah menimbulkan efek misterius.

Hingga matahari menukik, menenggelamkan sebagian bumi dalam raja gelap. Malam.

Senja terlewati. Hinata malas bangun. Ia hanya duduk pongah, berleha-leha. Bukannya membasuh diri sebelum temperatur air menurun lagi.

Gemuruh itu terdengar lagi. Suara kaki kuda menghentak tanah. Kali ini dibarengi sahutan. Seolah ada banyak orang berteriak nyaring.

Gendang Hinata menangkap, ia bangun seketika. Sebiji keringat meluncur cepat.

Beringsut, Hinata membuang selimut sembarang. Ia mengikat rambutnya. Baju tidur kedodoran Hinata gulung lengannya.

Hinata mengintip dibalik jendela. Beruntung kamarnya temaram.

Bulan purnama membuat bumi terang. Seperti Negeri Hamaroch saja.

Di luar sana, sekelompok centaur -menurut Hinata. Karena dibuku 'Centaur' sudah digambarkan wujudnya.- berlarian. Entah dikejar atau sedang mengejar musuh.

Hinata bagai berada di tengah peperangan. Dan dia hanya dilindungi tembok ditempeli kayu kedap suara.

Cukup jelas saat ada panah meluncur mengenai salah satu diantaranya.

Centaur itu bisa berlari flegmatis namun kemudian limbung. Beberapa yang peduli membalik arah, ingin menyelamatkan rekan. Bukannya keduanya selamat, mereka sama-sama terluka.

Mereka diburu. Hinata tidak tahu yang memburunya. Beberapa perempuan dengan telinga meruncing, membawa busur. Yang laki-laki melempar bola api.

Rupanya peperangan yah. Atau pengusiran penjajah? Hinata pusing mengidentifikasi masalah. Hinata jadi kalut sendiri.

Hanya saja dua centaur yang terluka menarik iba. Setelah mereka lenyap dan keadaan menjadi tenang kembali, Hinata memutuskan keluar.

Gadis itu memapah centaur berambut kuning yang terluka parah. Berat sekali.

Hinata sesekali tersandung dan hampir limbung.

Nb: Fanfiksi ini sudah pernah saya publish di wall grup Lovely Fanfic SasuHina pada tanggal 25 Oktober 2016 /pas dedlen/

saya tidak keberatan menerima kritik dan saran asal membangun, apabila ada flame saya anggurin. Apabila ada orang iseng yang nyiyirnya nggak enak saya abai.

Salam tempel,

Yoshiro no Yukki