Fic ini ditulis di tengah kebosananku meng-entry data skripsi yang busyet seabreg (karena menggunakan waktu amatan 5 tahun). Awalnya pengen fokus ke SanNa az dan kumasukkan di fic One Shot Collection, tapi karena belum lama ini di fandom English nemu fic ZoSan-NaRob friendship dipadu dengan ZorRo-SanNa romance in one yg bagus, aku jadi pengen bikin yg serupa.

Intinya, fic ini berisi lamaran SanNa versi Author hehehe... Karena udah setuju plus terlanjur suka ma 2 versi lamaran SanNa bikinan Cyntia dan aku merasa keduluan, otomatis aku harus bikin yang beda. Dan, fic ini sekaligus versi lain lamaran ZorRo andai Zoro ngelamar sesuai style-nya dan tidak sedang dikerjai seperti yang pernah kusinggung sedikit di fic yg berjudul "Together is Better than Alone." Pokoknya 2 lamaran dijadikan satu deh, Jadi, one shot-nya agak panjang (akhirnya kupecah jadi two shots).


Title: Love is On Its Way

Pairing: ZoSan, NaRob, ZorRo, SanNa

Genre: Hurt-Comfort/Friendship/Romance

Warning: Ada sedikit Shounen-ai. Dan, agak OOC juga, terutama Zoro.

Setting: Post-series, tapi tak terlalu ditonjolkan.

Note: Tulisan yang di-italic berarti menunjuk ke perasaan seseorang atau 1st POV.

Disclaimer: Kalau pengarang One Piece itu aku, ntar isinya kebanyakan romance.


"Maaf, Sanji-kun."

Sanji sudah tahu bahwa kalimat itu lebih besar kemungkinannya untuk diucapkan. Tapi, ia tetap ingin mengutarakannya pada Nami, apapun jawabannya.

"Aku senang kita menjadi nakama selama perlananan ini. Tapi kita tak bisa bersama."

Sanji sadar bahwa alasan yang paling logis atas penolakan ini adalah sikapnya yang memuakkan, tarian Mellorine lebay nan gaje, mata hatinya yang berlaku untuk seluruh wanita cantik yang ia lihat, dan kalimat-kalimat gombal sok romantis yang setiap hari ia lontarkan.

"Segala bentuk cintamu membuatku sakit."

Itu dia, pikir Sanji. Tapi ia lebih rela dipukul dan dimaki seperti biasa daripada mendengar kalimat barusan yang entah kenapa terasa begitu menyakitkan. Dan, ia tahu ia tak akan pernah bisa memaksa. Meski demikian, perasaannya tetap akan sama. Apapun yang terjadi tetap hanya kaulah yang paling kucinta, batin Sanji. Dunianya tak akan runtuh hanya karena hal itu. Ia bisa hidup sampai sekarang karena mencintai Nami dengan sungguh-sungguh meski yang bersangkutan tak akan membalasnya.

"Kumohon, jangan mencintaiku lagi. Masih banyak wanita lain yang bisa kau bagikan cinta dan ia bisa balas mencintaimu dengan lebih baik."

Zoro tak sengaja melintas ke arah dapur untuk meminta minuman setelah ia selesai latihan sebelum ia pergi tidur. Ia melihat Sanji tengah berlutut di hadapan Nami dan ia juga mendengar semuanya. Ia sudah menebak akan terjadi hal seperti ini mengingat sifat kedua rekannya selama ini. Ia tidak ingin mengasihani Sanji tapi, entah kenapa ia juga bisa merasa bahwa Nami sepertinya terlalu kejam untuk kali ini dari nada bicaranya yang ketus, seolah tak berperasaan sama sekali. Memang bukan itu pertama kalinya Nami tak berperasaan, atau dalam pandangan Zoro seenaknya bertindak centil mengatasnamakan wanita, yang jelas kali ini beda. Hanya dari sebuah intonasi nada, ada suatu kesengajaan seolah Nami sungguh berharap Sanji benar-benar yakin bahwa ia membencinya kali ini. Ya, benar-benar membencinya agar koki pirang itu serius menghentikan semua perasaan cintanya. Dan itu hanya bisa dilakukan dengan memutuskan semua tali ikatan, apapun bentuknya.

Begitulah, Nami pun melewati Zoro begitu saja sedangkan Sanji duduk di kursi makan, menaruh tangannya di atas meja, dan memegang dahinya.

Lalu, apa yang akan Zoro lakukan? Pura-pura tak mendengar? Cuek dan langsung saja mengambil minuman? Atau perlu menghibur? Yang benar saja! Sanji tak butuh penghiburan. Tapi semua itu mengusik pikiran Zoro bahwa ada sesuatu yang salah. Andai memang Nami sampai detik ini tak bisa mencintai Sanji sedikit pun, seharusnya kelakuannya tadi tidak mengisyaratkan bahwa ikatan nakama keduanya pun ikut putus. Itu yang Zoro tidak suka. Walaupun yang putus hanya ikatan mereka berdua tidak merembet ke kru lain, ia merasa tidak bisa diam melihat perpecahan dari apa yang sudah dibangun kuat oleh Luffy meski memang beberapa saat lagi hanya menunggu waktu untuk semua saling berpisah. Dan akar masalah semua ini adalah...

"Ero-Cook," sapa Zoro.

Sanji melihat tubuh Zoro yang masih basah kuyup oleh keringat. "Ah, ambil saja minumannya sendiri."

Zoro pun mengambil minuman di kulkas. Ia tahu lelaki pun butuh waktu untuk menata perasaannya dan tak ingin diganggu. Tapi... "Sudah kuduga, begini jadinya," katanya sambil minum.

Sanji heran Zoro yang tak pernah ingin mencampuri urusan orang bisa berbicara seperti itu. Oh, mungkin lain klo yang dicampurinya itu aku, si Alis Pelintir. Bukankah ia selalu begitu? "Kalau kau mau meledekku silakan saja, Marimo. Aku tahu kau sama muaknya dengan Nami-san selama ini."

"Oh ya?" kata Zoro tersenyum sinis. "Menurutmu hal apa itu?"

"Semacam hal-hal yang bisa menganggu tidur siangmu dan waktu bersantai Nami," jawab Sanji.

Zoro lalu memandang Sanji. "Salah satunya memang itu. Tapi aku hendak membicarakan keabnormalanmu yang lain."

"Hei, aku sudah jujur bahwa memang di saat-saat yang kusebutkan tadi itulah yang membuatku tampak bodoh. Apa ada lagi?"

Mendengar hal itu, Zoro meletakkan minumannya keras di atas meja. "Jadi, kau tidak menyadarinya?"

"Oh, aku lupa menyebutkan bahwa kebiasaan jelekku adalah aku pecinta wanita dan kegilaanku tidak hanya melanda pada Nami dan Robin saja," kata Sanji menepuk tangan.

"Bukan kelemahan yang itu," Zoro semakin gusar.

"Lantas, apa lagi? Jangan bicara berputar-putar, Marimo."

"Dasar! Kau ini masih belum mengerti juga ya? Itulah yg aku tidak suka darimu!" tukas Zoro.

"Jangan bilang kau juga suka pada Nami-san."

"Kenapa sih yang terlintas di kepalamu malah itu? Dengar ya, selain kamu, tidak ada di kapal ini yg bersedia dan berani mencintai cewek setan itu!"

"Betul juga ya hahaha," Sanji menatap Zoro. Entah kenapa kali ini ia tidak marah Nami tercintanya disebut setan oleh Zoro. Apa karena patah hati?

"Aku ingin memberitahu hal ini meski malas," lanjut Zoro menggeret salah satu kursi makan dan duduk di seberang Sanji, tidak suka dengan sikap bercanda rekannya padahal ia ingin serius. "Pernahkah Nami memintamu dengan manja untuk memperlakukannya dengan baik?"

"Maksudmu?"

"Kau tidak tahu seberapa sering Nami memintaku, Luffy, maupun Ussop untuk bersikap melindunginya, atau memprioritaskannya di tengah keadaan genting?"

"Itu karena ia tahu kalian tidak perhatian bukan?"

"Nami memang terkesan tak mau peduli jika aku, Luffy, maupun Ussop sampai rela terluka demi kepentingannya! Baginya nyawa sendiri itu nomor satu," tegas Zoro. Kecuali, saat kasus Vivi dan Robin, ia bisa melihat bahwa Nami bisa mati-matian bertempur. Empati sesama wanita mungkin? "Kau tidak tahu betapa aku sebal dengan tingkahnya yang menjadikan diriku sebagai tameng atau memaksaku menggendongnya padahal aku juga terluka parah. Tapi, pernahkah ia berkata seegois itu padamu?"

"Sama sekali tidak," jawab Sanji. "Untuk apa ia masih perlu mengatakan hal itu jika aku selalu ada untuknya tanpa diminta? Itu bukti cintaku."

"Benar kan?" kata Zoro sudah menduganya. "Kau tidak mengerti."

Jika yang dikatakan Zoro itu benar, mengapa saat bersamaku Nami selalu merasa ia kuat dan sanggup bertahan, pikir Sanji. Mengapa ia kadang menolak bantuanku? Mengapa ia tidak pernah sekalipun meminta perlindunganku? Apakah memang ia sebenci itu padaku?

Zoro melihat Sanji bingung. Ini yang tidak ia suka, cinta itu memusingkan. "Kau pasti belum pernah kehilangan seseorang yang penting bagimu," tebak Zoro.

Sanji tersentak. Zoro benar.

"Pernahkah terpikirkan olehmu bahwa pengorbanan diri demi menolong orang lain akan menyakitkan untuk orang yang ditolong, terlebih jika orang itu dinilai penting?" tanya Zoro lagi.

Sanji tidak menjawab. Ia hanya menghembuskan asap rokoknya. Masih memikirkan hal yang tadi dan dalam hati ia mengiyakan kalimat Zoro barusan. Ya, semua orang memiliki masa lalu yang pahit masing-masing dan ia tahu Nami memiliki trauma tersendiri dari apa yang ia dengar lewat mulut Nojiko.

"Jika jawabanmu itu memang tidak," lanjut Zoro. "Maka kau selamanya tak akan bisa memahami Nami." Sebenarnya ini bukan urusanku, pikir Zoro. Sadarlah, bodoh! Nami mencintaimu.

Sanji masih terdiam. Tak lama kemudian, ia tersenyum melihat kekesalan Zoro yang tergambar jelas di wajahnya. "Oke, aku paham kok."

"Lantas, kenapa kau masih egois?"

"Aku sendiri tak tahu." Sanji lalu berdiri. "Mungkin benar bahwa kami memang tak pantas bersama."

"Kau menyerah?" tanya Zoro tak percaya dengan kalimat Sanji.

"Kalau itu demi kebaikan Nami, aku rela menghilang dari hadapannya," kata Sanji kemudian berjalan meninggalkan Zoro.

"Oi, Sanji!" panggil Zoro. Cih! Cinta memang rumit.

.

.

...

.

.

Makan malam seperti biasa masih dihiasi dengan keributan Luffy, meski Zoro melihat perubahan ekspresi Sanji, ia tahu bahwa sang Koki tetap memaksakan tertawa dan marah dengan kelakuan kaptennya di meja makan. Sebaliknya Robin tidak melihat semangat Nami, mungkin karena Sanji sudah mengambil alih sebagian besar kemarahan atas Luffy atau entah apa. Yang jelas Nami tampak menghindari Sanji. Robin melihat ada perasaan tertekan di sana, ada atmosfer lain yang dihasilkan di balik keceriaan Luffy dan yang lainnya. Ia lalu memandang Zoro dan mata mereka bertemu. Robin seperti tahu bahwa Zoro pun ikut tahu sesuatu yang terjadi, Zoro melihat wanita itu tampak sedang membaca pikirannya, seolah ada komunikasi yang tak terlihat antara mereka.

Selesai makan, di kabin kamar cewek, Robin melihat punggung Nami yang sedang memeluk badannya sambil gemetar. Ia pun mendekati dan menyentuh pundaknya.

"Nami?" tanya Robin. "Kau menangis?"

Nami terkejut. Ia buru-buru mengusap matanya sebelum akhirnya berbalik menghadap Robin. "Ti-Tidak koq!"

"Kau tidak menyesal menolak lamaran Cook-san?" tanya Robin bermaksud meyakinkan dan duduk di ranjang di samping Nami.

Nami menatap Robin dalam, merasa mata Robin sedang berusaha menyelami pikirannya dan mencari kebohongannya. "Kenapa harus menyesal?"

Robin cukup kaget kenapa Nami tak menanyakan darimana ia tahu soal itu. Tapi mungkin saja bisa jadi karena semua hal sudah kelihatan dengan jelas. Selama ini Sanji memang terlihat lebih menyukai Nami, dan jika ingin melanjutkan hubungan ke tingkat yang lebih serius, ditambah lagi dengan momen yang tepat karena perjalanan ini sudah berakhir, apa lagi yang akan dilakukannya selain meminta Nami untuk melanjutkan hidup bersamanya?

Robin pun menjawab pertanyaan Nami. "Karena kau tak akan menemukan lelaki lain sebaik ia. Ia selalu memperhatikan asupan makananmu, menjagamu agar kau tak sakit, selalu sabar dengan sikapmu yang kadang menyakitinya, dan melindungimu di tengah pertarungan."

"Kalau kau suka, kenapa tak kau ambil saja?"

"Nami..," kata Robin lagi. "Cook-san memang baik terhadap semua wanita, aku menghormatinya dengan tak pernah menolak segala kebaikannya –hanya sebatas itu–. Tak pernah sekalipun terlintas dalam benakku aku mencintainya. Kalau kau memang tak suka padanya, kenapa kau selama ini seolah memberinya harapan?"

Nami tak menjawab.

"Apa ada yang kau tunggu dari dia untuk berubah terhadap sesuatu?" lanjut Robin.

"Aku benci sikap mesumnya dan melihatnya merayu sembarang wanita!" jawab Nami akhirnya.

"Sungguh karena alasan itu?"

Nami mengangguk.

"Kalau kuamati, kau telah terbiasa dengan hal itu dan terkesan tidak ambil pusing. Bukankah ia selalu bersikap merayu wanita lain karena belum bisa mendapatkan hatimu seutuhnya? Jika ia berhasil membuatmu cemburu, bahkan kau bisa berkata benci melihatnya merayu wanita lain, berarti kau memang suka dia dong," kata Robin bernada menggoda.

Sial, batin Nami. Jawaban yang salah untuk orang seperti Robin.

Robin memandang keraguan di wajah Nami yang tertunduk. "Kau mencintainya lebih dari siapa pun, Nami. Kau tahu ia lebih lemah dari Luffy dan Zoro, tapi kau hapal sifatnya yang suka membahayakan diri jika itu menyangkut dirimu, dan memprioritaskan dirimu di atas segalanya meski ia tengah terluka. Kau tak ingin ia terluka lebih jauh, kau hampir tak pernah meminta macam-macam padanya, itulah caramu melindunginya meski kau bermaksud membohongi perasaanmu sendiri."

Benar, ungkap Nami dalam hati. Jika terus bersamaku, ia akan terluka lagi. Sudah cukup kedua kakinya berdarah-darah, cukup tulang punggungnya yang pernah patah, cukup sengatan petir dua kali, cukup dada kirinya tertikam belati. Cukup, dan jangan lagi. Aku benci ia mencintaiku seperti itu. Aku benci jika harus membayangkan akan kehilangan seseorang yang dekat denganku lagi. Karena itu, sebelum perasaan ini terlalu jauh aku masih bisa berpisah dengannya sekarang...

"Bukankah yang seperti itu bagus?" lanjut Robin. "Aku tak bisa melakukannya meski ingin. Yang bisa kulakukan hanya tidak membebaninya, tidak membuatnya mengeluh, dan jangan sampai mengganggu jalan hidupnya. Kau benar-benar harus menahan semua perasaan ingin dicintai itu jika ingin terus bersamanya."

Nami pun mendongak dan menatap Robin. Tidak menyangka jika Robin membicarakan seseorang yang lain. Eh, masa sih Robin punya... "Siapa yang kau maksud barusan, Robin? Egois sekali dia. Aku tidak akan sanggup jika menghadapi orang seperti itu."

"Itulah cinta, Nami. Cinta bisa membuat seseorang kehilangan kerasionalannya. Tubuh dan hati ini bergerak sendiri," Robin tidak langsung menjawab siapa orangnya. "Tidakkah kita harus sama-sama menjadi kuat demi pasangan masing-masing? Mungkin hanya itu yang bisa kita lakukan."

"Laki-laki memang seperti itu," keluh Nami. Aku sudah berusaha untuk lebih kuat agar tidak menyusahkan siapa pun termasuk dirinya, tapi dia tetap saja... "Mereka sering tak mengerti perasaan kita. Mereka semaunya."

Robin tersenyum. "Karena itulah mereka membutuhkan kita, Nami. Untuk mengontrol hal yang kau katakan semau-maunya itu."

"Bisa kau ceritakan lelaki yang kau ungkit tadi seperti apa, Robin?"

"Kau bermaksud membandingkannya?"

"Tidak sih, tapi kukira orang sepertimu tidak akan mengalami problem cinta."

"Hmm, dia selalu melihat dirinya sendiri. Dia selalu terfokus pada tujuannya seorang. Dia selalu mencari dan melayani tantangan orang di depan. Dia orang yang sangat waspada dan memandang segala hal penuh kehati-hatian. Dia tidak cerdas tapi nalurinya sangat kuat. Dia tidak banyak bicara tapi bisa dipercaya untuk diandalkan. Dia tidak cukup tampan tapi postur tubuhnya sangat menunjukkan kejantanannya. Dia juga tidak romantis tapi pandangan matanya menunjukkan kesan tersendiri. Yang jelas, dia benar-benar pribadi yang sangat berbeda dengan Cook-san."

"Sama sekali bukan tipe-ku. Aku heran kau bisa menyukai orang seperti..." Nami menberi jeda. Karakteristik orang yang diperbincangkan itu jelas sekali. "...Zoro. Pantas kau mengalami problem cinta, Robin. Orang seperti dia mana tahu cinta?"

"Kau bisa saja menyebutkan satu per satu kejelekan Zoro dan berkata dia tidak layak dicintai. Aku bisa saja menyebutkan satu per satu kelebihan Cook-san namun aku tetap tidak tertarik padanya. Seperti yang kubilang tadi, kadang tidak ada penjelasan logis untuk jatuh cinta terhadap seseorang. Aku dan kau yang sangat cerdas ini sekalipun tak bisa menyangkalnya jika rasa itu datang."

"Sejujurnya aku tak ingin terikat oleh cinta, Robin. Menyusahkan." Tapi, perasaan ini tak bisa berhenti semudah itu.

"Fufufu..." tawa Robin.

"Kenapa tertawa?"

"Karena kau mirip Zoro."

"Apa? Jangan samakan aku dengan si bodoh buta arah itu!"

"Cinta itu memang hanya akan menyusahkan baginya, karena itu ia sengaja tak pernah mau memikirkannya dan merasa tak butuh. Sudah kubilang kan, yang ia lihat selama ini hanya jalan pedangnya."

"Lalu, sejak kapan kau mulai suka dia?"

Robin hanya tersenyum.

"Sejak bersama di hutan mencari Southbird?"

Robin tidak menjawab.

"Sejak ia menangkapmu yg jatuh terkena petir Enel?"

Robin masih bungkam.

"Sejak Davy Back Fight yg ia menghentikan gerakan si Cumi-cumi?"

Senyum Robin makin membuat Nami geregetan.

"Sejak ia menahan pedang es Aokiji?"

"Fufufufu... Entahlah, Nami," jawab Robin akhirnya. "Perasaan ini mengalir dengan sendirinya."

"Kau bisa tahan dengan sikapnya yang seperti itu, Robin? Aku salut padamu."

"Tak ada manusia yang sempurna, Nami. Cinta itu butuh kesabaran, mau menerima dia apa adanya, dan bersedia menuntunnya keluar dari kesalahan. Aku sih mengalah saja, toh dia jauh lebih muda dariku," jelas Robin. "Sanji..," kali ini ia beri penegasan dengan menyebut namanya. "...dia juga begitu kan terhadapmu?"

"Eh?" Kenapa aku baru sadar hal itu sekarang? Kalau ingat panggilan-panggilan kasar yang dialamatkan padanya yang sering emosional dan mata duitan, terlebih lagi dari Zoro, siapa orang yang paling bisa sabar dan tahan terhadapnya? Siapa yang justru paling menghormatinya dibanding yang lain? Oke, ini bukan masalah umur karena mereka hanya beda satu tahun, tapi siapa yang lebih banyak mengalah? "Ta-Tapi, Robin. Aku tidak bisa dibandingkan denganmu. Kau begitu jenius, anggun, feminim, mandiri, dewasa. Aku pemarah, pelit, penakut, manja, kekanakan. Pantas saja Zoro bisa..."

"Apa kau berpikir bahwa dirimu pun tak layak dicintai?" potong Robin.

Nami mengangguk.

"Harus berapa kali kubilang, Nami? Kenapa aku memilih Zoro yg kurang sempurna dibandingkan Sanji? Kenapa Sanji lebih memilihmu dibandingkan aku yg menurutmu ini lebih memilki kelebihan?"

Ya, kenapa?

"Begitulah manusia, ia mencari pelengkap di sisinya," lanjut Robin. Ia kemudian mengelus rambut Nami. "Jangan diperumit, Nami. Cinta pasti akan menemukan jalannya sendiri."

Nami memandang Robin. Robin begitu dewasa, pikirnya. Bagaikan pengganti Nojiko di sampingnya. Dan jika dinasihati seperti itu, rasanya Nami mengerti bahwa ia tak banyak berubah meski petualangan ini sudah berlalu sekitar 2 tahun lamanya, bahwa ia tak bisa apa-apa tanpa seorang kakak perempuan. Nami pun bisa merasakan kelembutan belaian tangan Robin.

"Thanks," ucap Nami bisa tersenyum tipis akhirnya.

.

.

BERSAMBUNG


Maafkan Author yg bisanya cuma nulis romance gaje, padahal masih banyak hal2 yg bisa dibikin fanfic (kemaren nemu fic keren dari Author baru). Mana di sini kesannya aku sok menggurui pula. Sekali lagi, aku tengah bosan dengan skripsiku. Please, crita2 yg kuikuti di sini pada di-update dong: Evil Hero, Get Crazy, Under The Rain, The Disease, dll. Bikin yang baru2 juga boleh^^ Aku butuh bacaan, soalnya klo nulis fic itu jelas lebih menyita waktu dan malah nelantarin skripsi. *curcol egois padahal yg laen juga sibuk sekolah dan kuliah*

Btw, aku habis baca One Piece chapter 593. Yayyyy! My Prince is back! Liat foto Nami masih bisa ngeces2 doyan, liat foto Zoro masih bisa marah2 sebal. Yg aneh sih pas diliatin foto Ussop, reaksinya biasa bgt, kyknya emang cuma ke Zoro-Nami ada suatu ikatan lebih yg asyik dieksplor ke fic. Anime sialan, bikin aku sempet shock az. Untung dia udah pake jas lagi dan menolak pink dress. Padahal aku sempet ngarepin sebelum Sanji balik normal, harusnya Zoro sempat liat, lalu ngeledekin sampai puas. Terus Sanji yg selera wanitanya berubah, malah ngejar2 Zoro. Ngaco ah! Ada yg mau bikin fanfic Sanji-Okama dgn Marimo-kun? Hmm, untuk chapter berikutnya nampaknya bakal ada hint SanRob karena mereka terkoneksi Revolutioner Army. Ada yg suka pairing inikah? Kalau gitu, aku pengen Nami ketemu Zoro az deh hehehe... Terus berita heboh di koran soal Luffy apa ya, kok Vivi komentar soal fashion/style? Jgn2 nikah ma Hancock nih. *ngarep*

Entahlah, yang pasti OP is always awesome!