Four Peoples Two Couples © Hayi Yuki
Bleach © Tite Kubo
Warning : OOC sangat, typo, etc
Summary : Hanyalah kisah (tidak) biasa mengenai si ceria, si tidak peka, si jenius, dan si pecinta kelinci.
Chapter One : Friend?
Berjalan pelan menuju gedung berlambangkan angka enam dalam tulisan Jepang, gadis bercepol itu membawa dokumen-dokumen yang dipegangnya dengan hati-hati. Gadis itu tidak ingin, dokumen yang dipegangnya sekarang jatuh ke sisa-sisa air hujan semalam.
"Kenapa harus aku yang mengantar dokumen-dokumen ini? Kenapa bukan Hirako-taichou saja, sih? Aku bahkan tidak tahu apa isi dokumen ini. Padahal wakil kapten sepertiku seharusnya mengetahui isinya" gumam gadis itu.
Namanya Momo Hinamori. Wakil kapten divisi lima, dibawah kepemimpinan kapten Shinji Hirako. Sifatnya ceria, mudah bergaul, kurang peka, tapi terkadang agak sedikit konyol, atau lebih tepatnya malu-maluin.
Saat ini gadis setinggi 153 cm itu ditugaskan oleh Hirako untuk mengantarkan dokumen-dokumen yang ia sendiri tidak tahu apa isinya ke kapten divisi enam, Byakuya Kuchiki.
Walaupun Momo mengeluhkan perintah kapten yang dihormatinya itu, tetap saja senyum manis terpasang di wajahnya. Apalagi begitu menyadari kalau yang dia tuju adalah divisi enam.
Bukan, Momo tidak seperti beberapa shinigami-shinigami perempuan di divisinya yang akan melompat-lompat senang ketika melihat Byakuya Kuchiki. Momo bukannya menyukai Byakuya yang menyeramkan itu, tapi yang ia sukai, ehm… wakilnya Byakuya, Renji Abarai.
"Hirako-taichou sungguh pengertian… Apa dia tahu soal itu?" lagi-lagi Momo berbicara sendiri. Untunglah koridor divisi enam sedang sepi-sepinya, sehingga tidak ada yang menganggapnya sebagai orang gila.
"Tahu soal apa?" suara yang sangat disukai Momo mengejutkan gadis itu dari belakang. Momo menolehkan kepala, dan melihat seorang wakil kapten lainnya di belakangnya. Tinggi, rambut merah seperti nanas, tattoo di wajah, pastilah itu Renji Abarai.
"Hiyaaa… Abarai-kun!" secara refleks Momo melangkah menjauhi Renji, membuat pria itu mengerutkan dahinya.
Renji mengambil langkah mendekat, "Ada apa, sih?".
Momo menggeleng dua kali. "Bukan apa-apa. Oh ya, apa Kuchiki-taichou ada? Aku ingin menyerahkan dokumen dari Hirako-taichou untuknya" Momo mencoba untuk bersikap sewajar mungkin. Yah, itu percuma saja, karena Renji tidak jauh beda darinya, sama-sama tidak peka.
"Oh, begitu. Kalau begitu, temuilah Kuchiki-taichou. Kebetulan aku juga ingin ke sana" kata Renji, namun tidak bergerak sedikit pun. Untuk kali ini Momo tahu, kalau si rambut nanas menunggunya untuk berjalan bersama.
"Y-Ya, ayo" sahut Momo.
Keduanya berjalan dalam diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Renji berpikir soal latihan bankainya, sedangkan Momo, tentu saja ia memikirkan pemuda di sebelahnya ini.
"Omong-omong, apa isi dokumen itu?" tanya Renji memecah keheningan.
"Ah, soal itu… Aku tidak tahu, pokoknya Hirako-taichou memerintahkanku untuk mengantarkan ini ke Kuchiki-taichou" jawab Momo.
Renji menoleh ke kirinya, tempat Momo. Dibungkukkannya tubuhnya untuk melihat lebih jelas dokumen yang dipegang Momo. Si gadis cepol sendiri salah paham, wajahnya sudah mulai memerah.
"Apa yang akan kau lakukan, Abarai-kun?" bisik Momo, mulai berpikir yang aneh-aneh.
Renji menatap wajah Momo sebentar, membuat yang ditatap merasa kalau wajahnya sudah seperti rambut Renji. Merah.
"Aku…"
"Ya?"
"Aku… Ingin mengintip dokumen itu"
Momo diam.
PLAK!
"Jangan kurang ajar! Bisa-bisa kita dimarahi Hirako-taichou dan Kuchiki-taichou! Dan kukira kau mau apa!" seru Momo, kesal karena niat bodoh Renji dan akhirnya menampar pemuda itu dengan dokumen yang dipegangnya.
"Lho? Memangnya kau pikir aku ingin apa?" tanya Renji.
"Sudahlah! Aku harus menemui Kuchiki-taichou!"
.
.
.
.
Divisi sepuluh sama sepinya seperti divisi enam, walaupun tidak ada kejadian 'tampar dokumen' di koridornya, seperti yang terjadi di divisi enam. Keributan mungkin hanya ada di ruangan kapten dan wakil kapten.
"Jangan tidur, Matsumoto!" si kapten berkoar-koar sejak tadi, sementara wakil kapten yang dipanggil Matsumoto itu masih menguap di depan kaptennya.
"MATSUMOTO!" seru si kapten, membuat Matsumoto Rangiku langsung memasang posisi siap.
"Ha'i, taichou!"
"Jangan bilang 'hai'i' kalau kau sendiri belum siap"
Sudah menjadi kebiasaan sehari-hari wakil kapten divisi sepuluh Rangiku Matsumoto untuk diteriaki oleh sang kapten yang notabene lebih muda dan lebih 'mini' darinya. Wanita berambut pirang itu memang terkenal pemalas. Bahkan rasanya semua shinigami di Seireitei tahu soal itu.
"Taichou, kau terlalu galak. Bisa-bisa tidak ada perempuan yang mau denganmu, sekalipun kau tampan. Aku yakin, Hinamori sekalipun akan merasa takut padamu" Rangiku mulai ngelantur, tanda ia belum sepenuhnya sadar.
"Apa katamu?!"
"Ti-Tidak!"
Si kapten menghela napas, pasrah dengan sifat wakilnya. Terkadang ia berpikir soal nasib divisinya jika si Rangiku ini ditinggal untuk keluar misi.
Bagi yang belum kenal, ialah kapten divisi sepuluh, Toushiro Hitsugaya. Kapten termuda di Gotei 13, namun kemampuannya setara dengan kapten lainnya. Tubuhnya yang hanya setinggi 133 cm itu membuatnya terlihat seperti anak-anak, tapi sifatnya sangat dewasa, agak berlawanan dengan Rangiku.
"Kerjakan apa yang perlu kau kerjakan, Matsumoto. Awas, kalau aku kembali dan kau belum menyelesaikan tumpukan kertas itu-" jari telunjuk Toushiro menunjuk tumpukan kertas bak kamus tiga bahasa yang ada diatas meja Rangiku.
"-kalau tidak selesai, semua sakemu dan uang untuk membeli sake milikmu akan kuberikan ke Hisagi dan Kira" ancam Toushiro.
Rangiku seketika membungkuk hormat sedalam-dalamnya. "Baik, Hitsugaya-taichou!" kalau diancam, ia langsung patuh.
"Eh, taichou memangnya mau kemana?" tanyanya ketika Toushiro sudah akan menutup pintu.
"Jalan-jalan di sekitar sini" jawab kaptennya.
Rangiku menghela napas begitu dirasanya Toushiro sudah menjauh. "Yang benar saja, harus mengerjakan semua ini dalam waktu yang sesingkat-singkatnya" keluhnya. Rangiku, kau terdengar seperti mencontek kata-kata pimpinan suatu negara di dunia manusia.
.
.
.
.
Setelah kejadian ditampar oleh Momo tadi, Renji tidak henti-hentinya mengelus pipinya yang masih merah dan sedikit perih.
Berjalan di sebelahnya, Momo terus mengucapkan kata maaf sambil tersenyum bersalah.
"Maafkan aku, Abarai-kun" ucapnya untuk yang kesekian kali. "Itu hanya refleksku saja, sungguh! Aku tidak bermaksud untuk menamparmu dengan dokumen itu. Sekali lagi aku minta maaf" sambung Momo.
Renji mengibaskan tangan. "Sudah, sudah. Aku tidak apa-apa. Wajar saja kalau kau menamparku, aku tadi memang agak kurang ajar, sih" Renji mencoba menenangkan Momo, tapi di telinga Momo, kata-kata Renji lebih mirip sebagai sindiran dibanding penenang.
"Abarai? Hinamori?" suara bariton yang Momo hapal dan cukup ia sukai (walau tidak sesuka suara Renji), datang menyapa mereka.
"Shiro-chan!" seru Momo dengan nada yang tidak bersemangat. Renji dan Toushiro sama-sama mengernyitkan dahi mendengar nada tidak semangat dari Momo.
"Kau tidak apa-apa, Hinamori?" tanya Toushiro, tidak biasanya gadis periang di depannya ini mengeluarkan suara tidak bersemangat seperti tadi.
Momo mengangguk tanda mengiyakan. "Sungguh, aku tidak apa-apa" kata Momo disertai senyum khasnya.
Sementara Toushiro bertanya pada Momo apa yang membuatnya tampak tidak seperti biasanya, Renji mengamati kekhawatiran yang dialami oleh Toushiro. Entah kenapa, Renji merasa ada sesuatu yang aneh pada dirinya begitu melihat keakraban Momo dan Toushiro. Ia sendiri juga tidak tahu kenapa ia bisa merasakan hal seperti itu.
"Oh ya, ada yang bisa kami bantu, Hitsugaya-taichou?" dan akhirnya Renji memilih untuk ikut campur dalam pembicaraan Toushiro dan Momo.
Momo sudah berpikir kalau Renji cemburu melihatnya dan Toushiro, tapi mengingat kejadian sebelum ini… Paling-paling Renji hanya merasa seperti patung jika hanya diam di tempat.
Toushiro berhenti mengobrol dengan Momo. "Tidak. Aku pergi dulu" kapten berambut putih itu langsung bershunpo setelah mengatakannya pada Renji dan Momo.
Tinggallah Renji dan Momo berdua di jalan antara divisi enam dan tujuh. "Kau masih ada pekerjaan setelah ini, Hinamori?" tanya Renji mendadak.
Si gadis bercepol menggeleng. "Untungnya sudah kuselesaikan semua kemarin. Kata Hirako-taichou aku sudah menyelesaikan pekerjaan untuk minggu ini, jadi aku bisa sedikit santai" jawab Momo.
Renji menatap iri Momo. "Nasibmu baik. Kalau aku, begitu selesai mengerjakan satu hal, Kuchiki-taichou akan segera memberiku setumpuk kertas untuk dikerjakan, dan begitu seterusnya. Jarang aku mendapat keringanan kerja, apalagi waktu untuk bersantai sepertimu. Makanya kalau ada misi, hatiku senang sekali" ujar Renji dengan tangisan menderita.
Momo tersenyum paksa saat beberapa shinigami yang lewat di jalan itu tertawa kecil melihat tingkah Renji. 'Memalukan' batin Momo, padahal ia juga suka seperti itu.
Tapi sebenarnya Momo juga prihatin dengan nasib orang yang ia suka ini. Tanpa Renji ceritakan pun, wakil kapten divisi lima ini sudah tahu beban berat menjadi wakil kapten dari Byakuya Kuchiki. Melihat tampang Byakuya saja tadi, sudah membuat Momo merasa agak segan.
"Kalau begitu aku beruntung karena aku ditempatkan di bawah Hirako-taichou. Ia memang tegas, tapi tidak separah Kuchiki-taichou. Hirako-taichou mau memberiku libur kalau aku benar-benar merasa lelah. Sungguh baik dia" mata Momo menjadi berbinar-binar.
Renji menatap iri gadis di sebelahnya. Saat itu juga ia merasa kalau seharusnya ia tidak berpindah divisi dulu, sehingga tidak berakhir menjadi bawahan Byakuya yang tegas itu.
"Kenapa tadi Abarai-kun menanyakan aku bebas atau tidak?" tanya Momo heran.
"Ah, bukan apa-apa. Sebenarnya aku hanya sedang kebingungan untuk makan dengan siapa, jadi aku menawarkan padamu untuk makan bersama" jawab Renji, dan saat itu juga binar di mata Momo bertambah banyak.
"Aku mau!" seru Momo mengiyakan. Kesempatan seperti ini tidak sering, bukan? Harus dimanfaatkan!
.
.
.
.
Bagi yang belum tahu, di Soul Society sekalipun terdapat padang rumput yang akan sangat enak untuk diduduki. Salah satunya berada di Seireitei, di posisi yang cukup terpencil, sehingga sedikit shinigami yang mengetahui keberadaan padang rumput ini.
Dan salah satu yang mengetahui keberadaan tempat ini ialah Toushiro. Cukup sering ia berkunjung kemari, sekedar untuk melepas rasa lelah atau untuk menyegarkan mata, yang hampir setiap hari melihat huruf-huruf kanji di kertas laporan.
Dengan posisi tiduran di punggung bukit padang rumput, Toushiro merasa sedikit bebannya seperti hilang begitu saja. Sambil memejamkan mata hijaunya, dipikirkannya ucapan Rangiku tadi.
"Kau terlalu galak. Bisa-bisa tidak ada perempuan yang mau denganmu, sekalipun kau tampan. Aku yakin, Hinamori sekalipun akan merasa takut padamu"
"Memangnya aku segalak itu, ya? Matsumoto saja yang terlalu melebih-lebihkan ucapannya. Dan kenapa pula membawa nama Hinamori? Bilang saja dia sendiri yang takut padaku" gumam Toushiro.
Toushiro akan benar-benar tertidur apabila telinga tajamnya tidak mendengar suara mencurigakan.
TAP!
Seperti suara lompatan. Toushiro sudah akan berdiri untuk melihat di balik bukit yang ia tempati itu untuk melihat si pemilik suara jika saja seekor kelinci putih tidak tiba-tiba melompat ke pangkuannya.
Toushiro terkesiap, tapi tidak mengusir si kelinci yang tampaknya malah menggeliat nyaman di pangkuannya. Mengurungkan niat untuk berdiri, Toushiro membelai lembut kepala si kelinci.
"Melihat kelinci membuatku mengingat tentang dia" ujar Toushiro, mengingat seseorang yang dia ketahui sangat menyukai kelinci.
TAP!
Suara lompatan lainnya! Toushiro mengutuk diri sendiri, kenapa ia sampai tidak berpikir kalau seekor kelinci tidak mungkin menghasilkan suara lompatan sekeras itu. Dan suara tadi kembali muncul, padahal –yang dia kira– pelakunya masih berada di pangkuan.
"Dapat kau kelinci!" teriakan seorang perempuan serta merta membuat Toushiro mengangkat kepala, hanya untuk melihat orang yang dia pikirkan tadi melompat dengan indahnya diatasnya, untuk menangkap si kelinci yang tidak bergerak sesenti pun.
"Eh? Hitsugaya-taichou?!"
"Ku-Kuchiki?! Apa yang-"
BRUKK!
Si gadis Kuchiki mendarat dengan tidak elitnya diatas seorang Hitsugaya Toushiro. Walau begitu, sebelah tangannya masih memegang kelinci putih yang dia buru, dan anehnya kelinci itu malah diam saja. Beberapa detik berlalu dalam keheningan sampai gadis berambut hitam pendek itu langsung duduk bersimpuh di sebelah Toushiro..
"Ma-Maaf, Hitsugaya-taichou!" serunya.
Rukia, nama gadis itu, buru-buru merapikan shihakusounya yang berantakan setelah 'kecelakaan' tadi. Setelah itu Rukia berniat untuk menolong pemuda yang barusan dia timpa andai saja mata ungunya tidak melihat wajah merah Toushiro.
"Ada apa?" tanya Rukia heran.
"Ku-Kuchiki, kau… Tidak serata papan, ya" bisik Toushiro.
Seketika wajah Rukia menyusul wajah Toushiro, merah. "Hi-Hitsugaya-taichou!"
Tangan Rukia bergerak untuk menempeleng wajah kapten muda yang baru saja bangkit dari posisi tidurnya, tapi Toushiro lebih lihai. Tangan Rukia ditahannya.
"Kenapa kau hendak menempelengku, Kuchiki?" tanya Toushiro dengan intonasi datar dan dinginnya. Mata hijaunya menatap dalam mata ungu Rukia.
"Ka-Karena Hitsugaya-taichou sudah melakukan hal kurang ajar padaku!" seru Rukia.
"Aku tidak melakukan apapun padamu. Kau sendiri yang melompat ke atasku demi seekor kelinci, dan akhirnya berakhir dengan wajahku… er, wajahku menghadap ke da-" mulut Toushiro segera dibekap oleh Rukia.
"Jangan dikatakan, Hitsugaya-taichou!" bisik Rukia. Toushiro mengangguk dan melepas tangan Rukia dari mulutnya.
Rukia menghela napas. "Hitsugaya-taichou memang mesum, ya" ujar gadis ini.
"Maksudmu?!"
.
.
.
.
Sudah lama Momo mengenal Renji, tapi tetap saja dia masih tidak terbiasa untuk melihat cara makan si babon satu ini. Keduanya saat ini berada di satu kedai ramen di Junrinan. Sengaja Renji mengajak Momo ke sini, agar ia bisa mencari referensi makanan.
"Hinamori? Kau tidak makan ramenmu?" tanya Renji yang sedang melahap mangkuk ketiganya.
Momo tersenyum. "Tentu saja kumakan, hanya saja tidak secepat dan serakus dirimu, Abarai-kun" memang benar, Momo makan dengan waktu yang wajar. Lima belas menit untuk semangkuk ramen porsi besar itu wajar, tapi disaat Momo masih sibuk dengan mangkuk pertama, Renji sudah mulai dengan mangkuk ketiga.
Gadis berambut coklat kehitaman itu tersenyum melihat nafsu makan Renji. Sudah lama sejak ia tidak makan bersama sahabat semasa di Shin'o Academy ini. Dan sekalipun makan bersama, Renji selalu menjaga adab makannya, hanya karena ada Byakuya di sekitarnya.
"Kenapa, Hinamori?" rupanya Renji sadar kalau dirinya diperhatikan oleh Momo.
Momo kelabakan. "Tidak! Aku hanya merasa malu dengan cara makanmu itu, Abarai-kun. Lihat, satu rumah makan memperhatikanmu" bisik Momo mencari alibi. Bukan hanya alibi sebenarnya, karena memang seisi rumah makan itu sedari tadi memperhatikan Renji, yang tampak begitu biadab dalam memakan ramennya.
Dan detik berikutnya Renji sibuk meminta maaf pada pengunjung lain yang sweatdropped melihat cara makan pemuda berambut merah itu.
Dalam hati Momo tertawa keras melihat Renji membungkukkan badan ke segala arah demi meminta maaf. 'Dasar bodoh, kenapa aku bisa menyukaimu?'
Yak, kali ini Hayi kembali dengan fic multichap yang agak gaje dan sepertinya banyak mempermalukan berbagai nama terutama Renji. Padahal belum selesai multichap lainnya, tapi udah ngebet pengen publish satu lagi.
By the way, maaf kalau judulnya rada aneh. Hayi nggak kreatif dalam nentuin judul *minta maaf*
Fic ini jadi setelah Hayi dapat ide dari kisah Hayi sendiri (?), jangan bertanya apa maksudnya-.-
Tolong maafkan kelemahanku yang paling nggak bisa nulis summary, jadi jangan salahkan Hayi kalo rada nggak nyambung *reader : enak aja!*
Dan satu lagi, fic ini terkadang porsi pair dalam satu chap itu beda. RenHina tetep yg utama, tapi kadang HitsuRuki lebih banyak dari yang seharusnya *ditampol*
Last, mind to review? ;)
