Hola, minna XD
Fai-chii di sini ^o^)/
Ini Fic Fai-chii untuk fandom Naruto yang pertama, dengan pairing SasuSaku yang pertama juga.. Jadi mohon bimbingannya yaa, minna-san X3
Kalau ada yang kurang mohon maklum, namanya juga masih newbie hehee *senyum"*
Oke deh, ga banyak cincong, silahkan dinikmati fic Fai-chii yang jauh dari kata sempurna ini ya, minna..
.
.
Enjoy Reading :)
Cepat.
.
Cepat.
.
Cepat.
.
Kulangkahkan kakiku dengan cepat, menyusuri jalanan sempit nan gelap itu.
Namun, ia tetap mengejarku. Mengejarku dengan kecepatan yang luar biasa. Berlari di belakangku dengan tenang.
Aku harus cepat lari darinya. Menjauhi sosoknya yang gelap.
Namun apa dayaku, aku tertangkap olehnya. Ia memerangkap tubuhku dengan lengannya yang kuat. Membalikkan tubuhku untuk menghadap ke arahnya. Aku meronta dari dekapannya. Namun sia-sia. Ia terlalu kuat.
Mata kami bertemu. Matanya memancarkan kelaparan yang mendalam. Mata semerah darah itu menatapku tajam. Aku hanya terpaku menatapnya. Hingga ia menunjukkan taringnya dari mulutnya. Dan aku pun berteriak.
.
Reverse Moon
SasuSaku Fic
Disclaimer : Naruto © by Masashi Kishimoto
Genre : Romance, Supernatural, Hurt/Comfort
Warning : AU, Typo -.- (always), GaJe, ide pasaran, OOC (maybe)
.
Don't like, don't read
.
.
Enjoy Reading :D
Chapter 1 : Permulaan
Sakura POV
"TIDAK !" teriakku. Aku terlonjak dari kasurku. Keringat bercucuran di sekililing kening. Ternyata hanya sebuah mimpi, batinku. Itu bukanlah suatu hal yang nyata. Aku tersenyum dengan kenyataan itu.
Aku berusaha untuk mengatur kembali nafasku yang memburu.
"Fiuh. Fiuh. Tenanglah, Sakura. Itu bukan hal nyata, itu hanya sebuah mimpi buruk," kataku pada diriku sendiri, berusaha menenangkan diri.
Aku menengok ke arah dinding dan kulihat jam menunjukkan pukul 3 dini hari. Masih pagi sekali ini, batinku. Aku menghembuskan napas dengan keras. "Huff-" Karena ini masih terlalu dini untuk bangun, akhirnya aku memutuskan untuk kembali tidur.
Kunyenyakkan kembali kepalaku di atas bantal, berusaha untuk memejamkan mata lagi. Mimpi buruk. Ingat itu mimpi buruk, Sakura. Berkali-kali aku mengatakan hal itu di dalam hati, hingga aku pun terjatuh dalam dunia mimpi lagi.
Normal POV
Sinar mentari pagi telah menampakkan pesonanya. Menerobos masuk ke dalam sebuah ruang tidur bergaya Jepang yang berisi seorang gadis berambut pink yang sedang tertidur lelap. Walau sinar mentari menyinari wajahnya, gadis itu tetap tak terusik. Kegiatan tidurnya masih berjalan dengan tenang dan damai. Wajahnya menyiratkan kedamaian, bukan ketakutan seperti yang ia alami tadi malam.
Dari luar ruangan tersebut, terdengar derap langkah kaki berjalan mengarah ke arah pintu. Terdapat siluet seorang wanita yang duduk bersimpuh di hadapan pintu geser tersebut.
"Sakura-sama.." panggil wanita tersebut dari luar kamar. "Sudah pagi, anda harus bangun, Sakura-sama."
Gadis yang sedang terlelap itu pun perlahan membuka matanya, tersadar dari alam mimpinya. Gadis itu mengangkat kepalanya dari bantal dan duduk di atas futonnya.
"Sakura-sama," suara wanita itu memanggil kembali.
"Ya, Taneru. Aku sudah bangun," sahut Sakura. "Aku akan segera bersiap-siap." Gadis itu menoleh ke arah siluet wanita yang berada di balik pintu geser tipis itu.
"Baik, Sakura-sama. Saya akan menyiapkan sarapan dan hal lainnya. Saya mohon diri." Wanita itu pun membungkuk dalam sebelum akhirnya meninggalkan ruangan Sakura.
Sakura masih bergeming dalam posisi awalnya. Ia sedang berusaha mengingat kembali mimpinya semalam. Mimpi itu terasa begitu nyata baginya. Ia yang jarang mendapatkan sebuah mimpi seperti itu pasti akan terkejut dan berusaha mencari makna dibalik munculnya mimpi tersebut.
"Semoga bukan pertanda buruk," rutuknya.
Seakan tersadar kembali ke dunia nyata, ia pun bangkit dari posisi duduknya dan bergerak menuju pintu geser yang berada di sebelahnya. Ia membuka pintu tersebut dan mengambil beberapa lembar pakaian yang akan ia kenakan. "Kurasa pakaian ini cukup cocok untuk acara ini," ucapnya seraya melihat kimono berwarna merah muda lembut yang ia bawa. Kemudian ia pun mengganti pakaian tidurnya dengan kimono tersebut.
Setelah ia berganti pakaian, ia menata rambutnya. Ia hanya menyanggul rambutnya sesederhana mungkin, hanya menggunakan tongkat bambu pendek yang berhiaskan bulu.
"Yak, cukup." Gadis itu pun berdiri dan berjalan menuju shōji (a/n: pintu geser), membuka pintu tersebut dan berjalan menyusuri lorong menuju ruang makan di kediaman utama.
Sakura melangkahkan kakinya perlahan sepanjang perjalanan ke ruang makan. Memang itu adalah tata cara yang telah diajarkan oleh kedua orang tuanya sejak ia kecil. Seorang gadis dilarang berjalan dengan tergesa-gesa ketika berada di kediaman utama.
Sesampainya ia di ruang makan, ia melihat kedua orang tua dan kakaknya telah menunggunya, duduk di depan nampan sarapan mereka.
"Ohayou gozaimasu, Tou-sama, Kaa-sama, Gaara nii-sama," ucapnya seraya membungkuk dalam.
Sang ayah yang merasa namanya terpanggil mengangkat kepalanya dan tersenyum. "Ohayou, putriku. Duduklah, sarapanlah bersama kami," ucapnya pada Sakura.
Sakura mengangguk dan berjalan menuju bantal duduk yang masih kosong di samping kakaknya.
"Rupanya, adik kecilku ini masih belum bisa bangun pagi dengan mandiri ya?" goda Gaara pada Sakura.
"Siapa yang bilang ?" protes Sakura, saat ia melipat kakinya ke belakang dan duduk di atas bantal duduk. "Aku bisa bangun pagi sendiri, nii-sama." Ia memandang ke arah Gaara dengan tatapan sinis.
"Kalau begitu, kenapa kau terlambat hari ini ? Kurasa kalau tadi Taneru tidak membangunkanmu, kau mungkin masih berada di alam mimpi," balas Gaara dengan menahan tawanya.
Sakura yang mendengar kata-kata kakak laki-lakinya hanya mampu mengerucutkan bibirnya ke depan. "Tidak. Nii-sama hanya mengkhayal saja." Ia pun mengambil sumpit dan mangkok dari nampan makanan yang telah tersedia di hadapannya. "Kalau saja semalam aku tidak bermimpi buruk, aku pasti bisa bangun pagi sendiri," ucap Sakura seraya memasukkan nasi ke dalam mulutnya.
Orang tuanya yang mendengarkan perkataan Sakura, secara tiba-tiba menghentikan aktivitas sarapannya. Tangan mereka tidak bergerak sama sekali. Sakura yang mendeteksi hal tersebut, memandang ke arah kedua orang tuanya.
"Ada apa, Tou-sama, Kaa-sama?" tanyanya. Gaara yang merasakan hal itu pun memandang ke arah kedua orang tuanya.
Wanita berambut pirang, yang dipanggil "Kaa-sama" oleh Sakura, perlahan membuka mulutnya. "Mimpi apa yang kau lihat, Sakura?" tanyanya pada Sakura.
"E-eh.." Sakura menelan ludahnya. "Mimpi buruk. Cukup buruk untuk ukuran mimpi yang selama ini Sakura alami."
"Mimpi seperti apa ?" desak Tsunade, sang Ibu.
Sakura menelan ludah sekali lagi. Ia berusaha mengingat mimpi itu, walaupun ia sebenarnya enggan mengingat hal itu lagi. "Sakura merasa sedang berada di jalanan sepi dan gelap, dan Sakura sedang berlari menghindari kejaran seseorang. Orang tersebut mengejar Sakura dari belakang, dengan tenang. Sakura berusaha menghindari orang tersebut. Namun, Sakura gagal. Orang itu akhirnya berhasil menangkap Sakura." Ia menelan ludah kembali. "Ia menahan tubuh Sakura, kemudian membalik tubuh Sakura. Setelahnya orang itu menatap Sakura, dan menunjukkan—" Sakura menghentikan perkataannya. Ia tidak mau mengingat hal menakutkan itu kembali.
"Menunjukkan apa ?" tanya Gaara dengan memiringkan kepala ke arah adiknya. Rasa penasaran menggelitiknya untuk mengetahui mimpi Sakura.
"Sudah. Sudah cukup, Gaara. Sepertinya Sakura tidak mau mengatakannya. Biarkan saja," potong Orochimaru, sang ayah. "Sekarang lanjutkan sarapan kalian."
Gaara dan Sakura pun melanjutkan sarapan mereka. Sedangkan Tsunade dan Orochimaru hanya mampu memandang satu sama lain. Memikirkan perkataan Sakura mengenai mimpinya.
Sesudah mereka berempat menyelesaikan sarapan, Gaara dan Sakura bergegas meninggalkan ruang makan.
"Kami permisi dahulu, Tou-sama, Kaa-sama," ucap Gaara dan Sakura, kemudian mereka membungkuk sebelum berjalan meninggalkan ruangan tersebut.
Orochimaru dan Tsunade yang masih tertinggal di dalam ruangan tersebut hanya duduk diam, bergeming dari tempat mereka. Masih berada di alam pikiran masing-masing. Memikirkan mimpi Sakura.
"Kurasa ini adalah saatnya." Suara Tsunade memecahkan keheningan di antara mereka berdua. Tsunade memandang suaminya. "Kurasa kita harus segera bertindak. Segera."
Orochimaru hanya memandang istrinya dalam diam. Apa yang dikatakan Tsunade memang benar, mereka harus bergegas mengambil tindakan, sebelum semuanya terlambat.
"Baiklah. Kurasa sekarang adalah waktunya, Tsunade," ucapnya. Tsunade menyunggingkan senyum tipisnya.
"Kalau begitu, kita siapkan segalanya. Sekarang." Orochimaru dengan segera berdiri dari tempat ia duduk diikuti oleh Tsunade, meninggalkan ruangan tersebut. Bersiap-siap untuk menghadapi hal terburuk yang akan terjadi nantinya.
Di sisi lain, pada waktu yang sama..
"Kurasa kau sudah mendengar kabar yang beredar belakangan ini, bukan?" ucap seorang pemuda berambut kuning kepada seorang pemuda lain yang memiliki rambut berwarna biru gelap.
"Hn." Pemuda itu hanya membalas perkataan lawan bicaranya seadanya. Ia tak mau memusingkan hal yang baru saja lawan bicaranya katakan.
"Kurasa saat ini adalah saat yang tepat buatmu untuk menunjukkan posisimu, Teme. Kalau kau berhasil, semua yang kau inginkan akan terpenuhi, bukan ?" kata pemuda berambut kuning tersebut.
Pemuda yang dipanggil Teme itu hanya memandang lurus ke arah bulan yang sedang bersinar terang di langit gelap tersebut. Ia tak menghiraukan perkataan pemuda berambut kuning tersebut. Pikirannya sedang berkelana, memikirkan sederetan masalah yang ia hadapi saat ini.
Pemuda berambut kuning yang merasa dirinya diacuhkan oleh lawan bicaranya itu, akhirnya menelengkan kepalanya ke hadapan lawan bicaranya. "Hoi, Sasuke-Teme! Kau dengar apa yang aku bicarakan bukan?"
Yang empunya bernama Sasuke pun mengarahkan kepalanya ke arah pemuda berambut kuning tersebut. "Aku mendengarmu, Baka-Naruto-Dobe. Dan kau tidak perlu mengulangi apa yang baru saja kau katakan tadi."
Pemuda bersurai kuning—yang ternyata bernama Naruto— hanya tersenyum lebar mendengar perkataan sahabatnya, Sasuke. "Nah, itu baru Sasuke-Teme yang aku kenal." Ia kemudian meyilangkan kedua tangannya ke arah belakang kepalanya. "Lalu apa rencanamu?" tanya Naruto pada Sasuke.
Sasuke hanya memandang kosong bulan yang sedang bertengger di langit. "Entahlah," ucapnya. "Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang ini."
Naruto yang mendengar perkataan sahabatnya hanya mampu memandang Sasuke dengan pandangan simpati. Ya, dengan kondisi Sasuke saat ini, memang akan sulit memikirkan apa saja hal yang akan dilakukan.
"Kalau begitu, lebih baik kau mencari tahu saja tentang kebenaran kabar tersebut," ucap Naruto. Sasuke mengarahkan pandangannya ke arah sahabatnya. "Karena hanya cara ini yang paling efektif untuk dilakukan, melihat kondisimu saat ini," lanjutnya seraya berjalan berputar-putar di hadapan Sasuke.
Ya, apa yang dikatakan Naruto memang benar. Hanya dengan cara membuktikan kebenaran kabar itu sajalah yang mampu menolong Sasuke dalam kondisinya saat ini.
Seakan mendapatkan pencerahan, pemuda onyx itu pun berdiri dari kursi yang ia duduki. Ia berjalan menyusuri lorong gelap tersebut, meninggalkan Naruto.
"Hei, Teme. Mau ke mana kau?" teriak Naruto.
Sasuke membalikkan badannya. "Aku akan mencari tahu tentang kebenaran kabar itu, Dobe. Jangan ikuti aku!" balasnya.
Naruto hanya tersenyum lebar, menunjukkan gigi-gigi putihnya. "Tentu. Selamat bekerja ya, Teme." Ia melambaikan tangan pada Sasuke yang telah berjalan memunggunginya.
Sasuke hanya membalas lambaian tangan Naruto dengan melambaikan tangan kirinya ke atas. Berjalan memasuki menara gelap tanpa mengatakan salam apapun pada Naruto.
"Semoga kau beruntung, Teme," ucap Naruto. Mendoakan keberuntungan bagi sahabatnya itu.
.
TBC..
.
.
Yosh! Akhirnya bersambung juga :D di bagian paling ga enak -.- *curcol*
nah, bagaimana tanggapan readers ? apakah gaje, abal, dkk?
Mohon reviewnya yaa :D
Karena Fai-chii masih newbie, dimohon diberi review nee :D
supaya Fai-chii tau apakah fic ini akan dilanjutkan atau tidak..
Akhir kata, mind to RnR ? :)
