First Chapter
-春-

Spring

写真


Bagiku, kau merupakan Montase.

Kau adalah susunan dari banyak rupa dan perasaan yang kini membentuk perasaan di hatiku

Seperti montase yang merupakan percampuran dari beberapa sumber

Kau membuatku utuh.


~Sophitia Nephilim Eremiah~


Aku berjalan dengan pelan, menerobos kerumunan orang-orang yang tengah berjalan memadati jalanan siang itu. Tali poliester Bolex yang aus membelit tubuhku sementara D16 bergelantung setinggi dada dan berayun-ayun mengiringi gerak yang kulakukan. Gerakan kakiku pelan dan santai karena aku memang sedang tidak terburu-buru.

Segera setelah lampu merah berubah menjadi hijau, aku menyeberangi jalan raya yang lebar. Kelopak bunga Sakura berterbangan, menandakan musim semi masih di sini. Aku tersenyum lalu mendirikan tripod-ku di pelataran aspal, memasang kamera, lalu mengintip pemandangan kota yang dihiasi dengan kelopak bunga Sakura yang berterbangan.

Aku menyalakan kamera dan mengatur fokus lensa lalu memasang filter cahaya. Refleksi buram yang tertangkap pun berubah jernih dan jariku meraih tombol rekam dan merekam sumber inspirasiku itu.

Kalau mau jujur, bagi banyak orang, tidak ada yang spesial sama sekali dari pemandangan kota ini. Pohon Sakura yang ada di bagian kota sini juga hanya dua saja – jelas, karena ini di kota dan kau tak akan banyak melihat pohon-pohon rindang – tapi menurutku pemandangan saat kelopak-kelopak bunganya berterbangan dan menghiasi pemandangan kota dengan warna merah muda pucatnya tampak sangat indah. Toh, pada akhirnya seni itu tergantung dari masalah perspektif kan?

Walaupun menyukai fotografi dan film dokumenter, pengetahuanku tentang dua hal itu sebenarnya tidak terlalu banyak. Aku tidak pernah bersekolah di sekolah yang khusus mengajarkan hal itu dan pengetahuan yang kudapat hanya berpatokan pada buku-buku peninggalan kakekku saja – Teo bilang sebagai manusia, kakekku itu fotografer tapi aku tidak tahu juga karena aku tak pernah bertemu dengannya – dan sejak itu aku mulai menyukai fotografi.

Aku sedang asyik merekam pemandangan di hadapanku saat tiba-tiba benda dalam saku rokku bergetar.

Demi Apollo dan kumpulan haiku-nya, mengapa gangguan selalu hadir di saat yang tidak pas?

Aku mendesah dan dengan berat hati aku pun menghentikan acara rekam-merekamku itu. Kukeluarkan teleris-ku – semacam alat komunikasi berbentuk seperti ponsel yang tidak akan membahayakan Demigod yang menggunakannya – dan memencet tombol hijau dengan simbol alpha dan menempelkannya di telingaku.

"Gia'sou?" Jawabku.

Suara Kana-chan yang lirih dan terdengar seperti suara bisikan mahkluk astral terdengar samar dari sisi seberang sana. "Sophie-san, kau ada di mana? Teo-san mencarimu, katanya kamu tidak ada di rumah."

Aku menepuk dahiku. Oh sial. Aku betul-betul lupa bahwa Teo bilang dia akan datang hari ini. Aku melirik jamku dan mengumpat saat melihat ini sudah jam dua belas siang.

Kana-chan masih melanjutkan pembicaraannya "Suasan di sekitarmu terdengar ramai... Apa Sophie-san sedang mengambil gambar?"

Aku merasa kagum bercampur malu. Kagum karena Kana-chan bisa menebak dengan tepat apa yang sedang aku lakukan dan malu karena jika Kana-chan tahu itu berarti aku kepergok membolos sekolah lagi hari ini. Walaupun ini hari Minggu tapi sekolah Demigod tak mengenal kata weekend. Aku mendengar suara tawa lirih dari seberang sana.

"Aku tidak akan melapor pada Atla-san."

Sejuta rasa terima kasih muncul di hatiku. Aku bersyukur yang menelepon adalah Kana-chan kalau yang meneleponku itu salah satu anggota Tujuh Sage maka tamatlah riwayatku.

"Efharisto' Kana-chan" Kataku.

"Parakalo' Sophie-san. Jangan diulangi lagi." Dan pembicaraan kami pun berakhir.


"Kau selalu lupa waktu saat sedang mengambil gambar."

Aku tertawa dan mencoba menutupi rasa maluku sambil mencuci setumpuk piring di wastafel. Teo membilas piring-piring itu. Aku meliriknya, Teo sama sekali tidak berubah selama 6 tahun ini. Rambut panjang berwarna arang yang terlihat lembut seperti benang sutra itu, kulit yang tidak terlalu pucat tapi juga tidak terlalu gelap, dan mata berwarna biru kelabu itu memang menjadi idaman tiap wanita yang dijumpainya, bahkan ibuku juga pernah jatuh cinta padanya.

"Maafkan aku." Jawabku, tidak bisa menyusun kalimat lain untuk membalas komentarnya itu.

"Tidak perlu minta maaf, aku tidak memarahimu." Jawabnya sambil membilas piring yang terakhir. "Aku hanya memberi komentar. Kau sama persis dengan Hajime-dono."

Hajime Yukimura. Kakekku dan pemimpin klan Yukimura sebelum ibuku. Aku tidak mendengar banyak cerita tentangnya karena aku lebih suka menutup diri setiap kali pertemuan bulanan di desa Emiko, desa tempat klan Yukimura bermukim, namun tentu saja tempat tersebut bukan di dunia ini.

"Begitu?"

Teo mengangguk dan kami kembali tenggelam dalam kesunyian. Tidak seperti kebanyakan orang, Teo sangat mengerti dengan kesukaanku terhadap hobiku. Biasanya orang tua normal tidak akan membelikan anaknya kamera mahal atau kamera video seperti Bolex D16 kesayanganku apalagi melihat harganya yang kelewat mahal itu. Pria di sampingku ini tidak pernah mengomentariku kalau aku pulang dari toko kamera dengan membawa segelintir filter yang ia tidak tahu fungsi dan namanya, ia hanya tersenyum penuh arti dan kembali membaca koran di sofa.

Pernah sekali aku tanya kenapa ia tidak pernah berkomentar. Bagaimanapun, ia adalah wali asuhku sejak ibuku meninggal dan ia punya hak untuk melarangku menghambur-hamburkan uangku untuk barang-barang yang – menurut kebanyakan orang – tidak penting seperti ini. Alasan yang ia berikan adalah:

Pertama, aku membelinya dari hasil jerih payahku sendiri.

Kedua, ia mempercayai kemampuanku mengelola uang.

Kedua alasan di atas memang tidak salah. Aku memang membeli kamera dan kamera video ku dengan uangku sendiri dan ya, aku sudah bekerja. Di sekolah Demigod, tiap kali kau melakukan misi kau akan mendapatkan bayaran atas semua darah yang telah kau tumpahkan di medan permisian dan Drachma yang kau dapat bisa kau tukarkan dengan mata uang dunia manusia. Dan soal alasan kedua, di rumah ini memang akulah yang mengelola keuangan keluarga. Teo bilang uang kami cukup untuk membiayai hidup sampai kami tua, tapi semua uang itu tetap harus dikelola oleh orang yang tepat dan Teo menunjukku menjadi bendahara keluarga Eremiah-Yukimura.

"Omong-omong, tadi Andromeda datang mencarimu."

Aku menghentikan langkahku saat hendak melangkahkan kaki keluar dapur. Shun mencariku?

"Dia bilang dia ingin bicara denganmu. Kubilang kau sedang tidak ada di rumah, mungkin sebaiknya kau meneleponnya."

Aku mengangguk lalu melangkah masuk ke kamarku. Kamarku sebenarnya tidak besar-besar amat. Hanya sebuah kamar berbentuk persegi dengan luas 4m x 4,5m, ruang yang tidak terlalu kecil dan juga tidak terlalu besar.

Sebuah Queen size bed bertengger di bagian ujung kamar, di sebelah jendela, diselimuti dengan selimut putih berpola polka dot biru dan sebuah selimut biru. Duah buah bantal dengan pola sama tersusun rapi di atas tempat tidur itu bersamaan dengan dua bantal biru yang berukuran lebih kecil. Sebuah rak yang penuh dengan filter kamera peralatan fotografi terpajang dua-tiga jengkal di dinding di atas tempat tidur. Rak yang berada di atasnya lagi dihiasi dengan kamera DSLR Canon 550D milikku juga Bolex D16 kesayanganku dan sebuah kamera polaroid berwarna biru. Di sebelah kiri dan kanannya terdapat rak buku berwarna putih – tempat tidurku tidak menempel pada jendela jila kalian perlu tahu – yang diisi dengan buku-buku berbahasa Yunani, Jerman dan sedikit buku berbahasa Jepang dan Inggris, sisanya adalah buku-buku pelajaranku di Mitsuishi Gakuen. Di hadapan tempat tidurku terdapat sebuah meja belajar kecil yang biasa kupakai belajar, membaca buku atau membersihkan peralatan kamera tersayangku.

Aku merebahkan diriku dan menatap langit-langit kamarku sebelum meraih teleris-ku dan menelpon Shun.

"Sophie?"

Aku berusaha keras menahan rona merah yang mulai muncul di pipiku. Kadang-kadang aku mengatai diriku konyol dan norak karena selalu bersemu setiap kali melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pria bersurai hijau yang sedang kutelepon ini.

"Halo Shun." Balasku. "Teo bilang tadi kau datang mencariku. Ada apa?"

"Ah itu," Shun terdiam sesaat. Aku menunggunya mengutarakan maksud kedatangannya mencariku tadi. "Apa... Sabtu nanti kamu ada acara?"

Aku mengerutkan kening. "Tidak, memangnya kenapa?" Oke, apakah aku harus terdengar secuek itu?

"Aku ingin mengajakmu pergi Hanami." Jelasnya.

Oh.

"Berdua saja."

Aku mengedipkan mata. Tunggu, apa!? Oke, sebenarnya ajakan Hanami ini memang tidak aneh karena ini musim semi. Lagipula, Shun dulu pernah mengajakku pergi Hanami juga tapi beserta dengan Seiya-kun dan yang lainnya karena itulah aku cukup terkejut saat dia bilang dia ingin pergi berdua saja.

"Sophie? Tolong katakan sesuatu. Aku merasa aku baru saja mengatakan sesuatu yang salah." Katanya, aku dapat mendengar nada bicaranya mendadak jadi gugup.

"O-Oh yah... Aku... Tentu saja." Kataku lembut. "Apa aku harus memasak bekal?" Bukannya bagaimana tapi kemampuan masakku tidak terlalu bagus.

"Terserah lebih baik kau memasak bekal biar aku juga memasak bekal jadi nanti we can share." Katanya, dan entah kenapa aku merasa dia sedang tersenyum saat mengucapkan kalimat tadi.

"Baiklah." Aku terdiam sesaat. "Apa... aku boleh membawa kameraku?"

Pertanyaan yang bodoh aku tahu. Tapi begini, aku bertanya karena aku ingin memastikan Shun memberiku ijin untuk membawa benda yang –kemungkinan – bisa menarik perhatianku darinya. Dan aku ingin membawa kamera untuk memotret momen-momen yang menurutku tak boleh terlewatkan.

"Tentu saja." Jawabnya. Aku menghaturkan sejuta terima kasih pada Dewa-Dewi Olympus. Aku tahu Shun sangat baik namun aku juga tak bisa menahan kekhawatiranku kalau-kalau ia mengatakan tidak.

"Baiklah, sampai bertemu Sabtu depan."

"Sampai bertemu Sabtu depan Sophie, dan kuharap kamu akan menikmatnya."


"Sayang sekali yah?"

Aku merengut memandangi hujan yang turun dari langit berwarna abu-abu gelap itu. Aku cukup yakin ini ulah ayah karena dia tidak mau melihat putrinya berkencan dengan seorang pria – apalagi seorang Saint – di musim semi yang indah ini.

"Yah... Sepertinya butuh waktu hingga reda kembali." Aku memandangi diriku yang basah kuyup. Karena hujan datang tiba-tiba saja, aku dan Shun yang sedang berjalan menuju pusat Hanami kehujanan. Sebenarnya sebagai Putri Poseidon, aku bisa mengatur agar kami tidak basah, namun hujan datang terlalu tiba-tiba sehingga aku basah kuyup.

Aku benci kau, ayah.


~Andromeda Shun~


Aku tertawa kecil melihat gadis di sampingku merengut memandagi hujan yang turun. Aku merasa ekspresi itu agak aneh untuk ditunjukkan sekarang, mengingat gadis ini adalah putri Dewa Laut berarti sudah pasti ia menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan air. Dalam hati, aku mearasa senang karena alasan ia memasang ekspresi itu menunjukkan kekesalannya karena batalnya acara Hanami kami.

Aku memandang gadis itu lagi. Sebenarnya, aku punya alasan kenapa aku mengajaknya pergi Hanami.

Sudah lama waktu berlalu sejak pertempuran kami dengan Hades, sang Raja Dunia Bawah. Setelah pertarungan itu aku menjalin hubungan dengan gadis bersurai biru di sampingku ini. Gadis dengan surai biru yang mengingatkanku pada lautan. Dulu rambutnya bergelombang dan agak acak-acakan seperti ombak di lautan, namun sekarang rambutnya lurus dan tertata rapi, beberapa bagian rambut sebelah kanannya dia kepang sehingga memperlihatkan telinganya. Mata belang biru-ungunya memandangi hujan dengan tatapan resah dan kulit putih pucatnya basah karena air hujan. Aku menatapnya, tak pernah bosan menatapi sosok yang sudah kulihat berulang-ulang ini, mungkin karena dia memang sangat cantik sehingga aku terpikat padanya.

"Ada apa?"

Aku tersentak kaget saat gadis itu berbalik dan menatapku. Aku cepat-cepat memalingkan wajah, malu karena ia mendapatiku sedang menatapnya.

"Ah tidak, aku... Tidak ada apa-apa." Jawabku. Mana mungkin aku terang-terangan mengatakan 'Kau sangat cantik, karena itulah aku menatapmu.' , itu akan membuat diriku tampak konyol.

Gadis itu hanya mengangguk dan kembali menatap hujan yang turun.

Kembali ke alasanku mengajaknya Hanami. Aku merasa gadis ini mulai berubah sejak aku mengeluarkan kalimat Aku mencintaimu hari itu. Maksudku, gadis itu masih sama, ya, tapi aku merasakan ada yang berubah dari sifatnya. Ia tidak terlalu sering tersenyum cerah seperti biasanya. Senyuman yang ia berikan tampak seperti seulas senyuman kecil, senyuman malu-malu yang tak berarti namun menghanyutkan. Lalu, biasanya gadis itu selalu menyuarakan pendapatnya setiap kali aku dan para Bronze Saint lainnya membicarakan sesuatu, namun sekarang ia hanya mengungkapkan satu dua kalimat saja dan kembali memasuki cangkangnya. Bukan hanya aku, bahkan teman-teman Saint-ku yang lain, Henna-chan dan Mitsuki-chan menyadari hal ini. Jadi aku berencana untuk menanyakannya pada Sophie secara langsung sekalian kencan, tapi sepertinya niatan itu dibatalkan oleh Poseidon yang tampaknya tidak senang aku berkencan dengan putrinya.

"Permisi."

Mendengar sebuah suara dari belakang, kami spontan berbalik dan mendapati seorang wanita paruh baya berdiri di hadapan kami. Wanita itu berkulit sawo matang dengan mata berwarna cokelat. Rambut hitam panjangnya ia sanggul dan wajahnya ramah, mengingatkanmu pada wajah penjual kue ramah yang akan menawarimu senampan kue cokelat yang baru dikeluarkan dari oven. Ia menyunggingkan sebuah senyuman ramah.

"Kalian kedinginan bukan? Masuklah." Tawarnya.

Ah. Benar juga. Suhu udara sedang dingin-dinginnya karena hujan. Walau aku tahu Sophie tidak gampang sakit tapi aku seharusnya lebih memperhatikan kondisinya. Bagaimanapun juga ia mempunyai penyakit jantung dan aku takut hal sekecil apapun akan memicu serangan pada jantungnya. Aku melirik Sophie. Sesuai dugaanku, gadis itu tampak ragu. Aku tahu gadis itu tidak mau merepotkan orang lain, apalagi orang yang tidak dikenalnya. Akupun demikian, aku tidak ingin merepotkan wanita ini, tapi tidak mungkin juga kami berdiri konyol di sini dan mencari penyakit dengan keadaan basah kuyup dan angin dingin yang terus berhembus. Aku menyunggingkan seulas senyum sopan pada wanita itu.

"Terima kasih atas tawarannya. Maaf merepotkan." Aku langsung menggandeng tangan Sophie sebelum ia bisa protes dengan keputusanku dan mengajaknya masuk ke dalam rumah itu.

Rupanya sedari tadi kami berteduh di depan sebuah toko cindera mata kecil. Bagian dalam toko itu dipenuhi barang-barang khas Jepang yang jarang kau temui di toko-toko lain pada umumnya. Vas berwarna emas dengan corak abstrak yang tidak kumengerti. Gulungan kuno dengan goresan-goresan dan tulisan-tulisan Jepang jaman dulu. Kimono-kimono khas yang biasanya dikenakan oleh putri pada era Tokugawa dan sebagainya. Berbeda dengan toko-toko cindera mata yang biasanya suram dan gelap karena kebanyakan barang, toko satu ini terlihat jauh lebih luas karena barang-barangnya tertata rapih dan rak-raknya di sandarkan pada dinding agar tidak menghalangi jalan pengunjung yang masuk. Namun, harus kuakui barang-barang toko ini terlalu sedikit untuk sebuat toko cindera mata.

"Kalian duduk saja dulu, akan bibi ambilkan handuk untuk mengeringkan kalian."

Aku dan Sophie mengucapkan terima kasih dan kami duduk di hadapan meja kecil setelah di tuntun ke ruang tamu yang berada di bagian dalam toko.

Sophie menyisir-nyisir rambutnya yang basah. Aku kembali menatapnya. Rambutnya yang basah dengan butiran-butiran air yang jatuh dari ujung rambutnya. Wajahnya yang agak basah oleh air hujan. Senyuman kecilnya saat ia menatap butiran air yang jatuh dari rambutnya.

Momen yang pas.

Perlahan, kukeluarkan kamera polaroid yang kupinjam dari Saori-san pagi ini. Aku tidak tahu bagaimana Saori-san mendapatkan kamera ini. Aku tak sengaja menemukannya kemarin dan saat kutanya apa aku boleh mengambilnya, tanpa argumen, sang titisan Athena membiarkanku menyimpannya.

Perlahan, kuarahkan kamera itu pada sosok gadis yang memikatku itu, dan saat aku ingin menekan tombol untuk mengambil gambarnya—

"Ah! Shun! Jangan, tampangku sedang berantakan!"

...Yah, sepertinya aku memang tidak akan pernah bisa sepeka Sophie.

Aku tertawa kecil dan menurunkan kamera itu dan melihatnya seraya ia menyisir rambutnya dan merapikannya kembali. Ia menghadapku dan tersenyum.

"Sekarang, baru kau bisa memotretku." Katanya.

Aku tergoda untuk memotretnya, namun kusadari momen yang kulihat tadi itu sudah lenyap, seakan momen itu adalah daun yang sudah tertiup angin dan tidak akan kembali. Kini aku mengerti perasaan Sophie saat ia kehilangan momennya saat memotret. Saat momen itu hilang, keinginanmu untuk memotret objek pun hilang. Kuputuskan untuk menyimpan kembali kamera itu ke dalam tasku.

"Tidak, soalnya kalau kupotret kau sekarang kesannya tidak alami." Kataku sambil terkekeh.

Sophie memasang wajah cemberut, aku hanya tertawa geli melihatnya. Kami kembali dalam kesunyian. Mungkin sudah saatnya kutanyakan pertanyaan yang ingin kutanyakan tadi.

"Hei, Sophie..."

"Hmm?"

Aku menarik napas. "Apa... Ada yang terjadi belakangan ini?"

Gadis itu mengedipkan mata dengan polosnya, tidak mengerti apa maksud pertanyaanku.

"Maksudku," Lanjutku, "Kamu akhir-akhir ini... lebih pendiam dari biasanya."

Sebenarnya masih ada lanjutan dari kalimat tadi, tapi rupanya Sophie sudah bisa menebak arah pembicaraanku karena detik berikutnya mulutnya membentuk huruf 'O' dan memberikan tatapan seolah mengatakan 'itu toh maksudnya?' dan ia menggaruk pelan kepalanya yang tidak gatal.

"Ah ya... Itu... Sejujurnya aku tidak begitu sadar dengan perubahan sikapku sendiri." Jawabnya. "Baiklah, kurasa kamu ingin tahu kenapa sifatku tiba-tiba... berbeda yah?" Tanyanya.

Aku mengangguk.

"Sebelumnya, apa tujuan Hanami juga untuk menanyakan ini?"

Aku berpikir sejenak. "Sebagian tujuannya, ya. Tapi tujuan utamanya karena aku ingin menghabiskan waktu denganmu." Kataku tulus.

Gadis itu tersipu. "Oh... Erm baiklah... Aku akan jujur, sebenarnya aku bukan gadis periang dan... murah senyum yang kalian kenal selama ini." Jawabnya – tunggu, apa ia baru saja terdengar takut mengakuinya?

"Oke...? Lalu?"

Gadis itu menarik napas panjang. "Sikapku selama ini hanya sebuah topeng yang kupasang. Semaacam topeng untuk meyakinkan—tidak, mungkin lebih tepatnya sebuah topeng untuk menipu diriku sendiri. Topeng yang mengelabuiku dengan meyakinkan bahwa aku harus jadi kuat dan aku harus memasang sikap yang kuat dan periang agar tidak ada yang bisa meruntuhkan tembok yang sudah kubangun susah payah untuk menutupi hatiku, agar tidak ada yang bisa masuk dan seenaknya saja merusaknya di kemudian hari."

Aku terdiam. Terdiam karena penjelasan gadis itu masuk akal. Dan pernyataan itu bagaikan tamparan di wajahku karena secara tersirat, gadis itu membicarakan diriku. Pria yang sudah masuk ke hatinya dan kemudian menghancurkan hatinya dengan melupakan secercah kenangan yang kupunya bersamanya 6 tahun yang lalu.

"Kalau begitu," Aku mendekatkan diri padanya, mengangkat dagunya dan menatap matanya dalam-dalam. "Perlihatkan padaku dirimu yang sesungguhnya."

Gadis itu menatapku lama-lama dan menutup matanya. Aku mendekat dan menangkup bibir gadis itu. Semula, aku ingin memberinya ciuman yang lembut dan perlahan, tetapi bibir gadis ini terasa jauh lebih manis dari kali terakhir aku menciumnya, namun aku mencoba menahan diri. Tangan gadis itu terangkat, jarinya menyentuh pipiku dan sentuhannya yang dingin dan lembut itu seakan menggelitik pipiku, lalu aku melihatnya.

Dalam benakku aku dapat melihat sosok seorang gadis. Gadis berambut biru sebahu, duduk sendirian di bangku taman, tampak menekuni buku yang tengah di bacanya.

Tak seorang pun menemaninya, anak-anak yang ada hanya berlalu-lalang tanpa peduli pada sosok yang kesepian itu. Sosok itu pun tampak peduli setan pada orang-orang di sekitarnya. Mata belang itu lalu menjauhkan dirinya dari buku itu dan menatap orang-orang di sekitarnya, seolah menganalisis. Tak lama kemudian kulihat sesosok gadis berambut hitam dengan mata hijau kebiruan menghampiri sosok itu. Sosok kesepian itu lalu menyunggingkan senyuman manis, seolah gadis berambut hitam itu telah menghapus pergi kesedihannya.

Ah ya.

Aku mendapat gambarannya sekarang.

Desahan yang tertahan dari gadis dalam kuasaku itulah yang menyadarkanku dari secercah ingatan itu. Sesaat, kupikir ia akan menghindar tapi ternyata tidak. Saat aku merasakan mulut gadis itu terbuka, dengan perlahan aku menyelinap masuk untuk merasai setiap sudut relung mulut gadis itu. Lebih manis dari biasanya, pikirku.

Kalau saja tidak kehabisan napas, aku pasti tidak akan melepaskannya. Aku memaksa diriku berhenti. Aku menatap Sophie. Wajah gadis itu merah padam dan lantai tampak begitu menarik baginya sehingga mata biru-lavender nya seakan terekat pada tatami tempat kami duduk.

"Apa yang tadi itu berlebihan?" Tanyaku pelan.

Gadis itu menggeleng.

Aku tersenyum dan mencium keningnya.

"Jadi... Apa penjelasan-ku barusan cukup jelas?" Tanyanya.

Aku tersenyum.

"Ya, Sophie. Sangat jelas." Jawabku, lalu aku kembali memperpendek jarak di antara kami dan menempelkan keningku pada keningnya.

"Ingatlah, kau mungkin tak sempurna di mata orang-orang, tapi kau selalu sempurna bagiku."

Gadis itu tersenyum dan mendekatkan wajahnya. Hidungnya menyentuh hidungku.

"Ya. Dan ingatlah selama aku masih bernafas, aku akan selalu mencintaimu. Sepenuh hatiku. Selamanya."

Aku tersenyum dan kembali menangkup bibir mungil itu, sedetik, namun terasa seperti satu jam sebelum perlahan kulepaskan tubuh mungil itu dan memperluas jarak di antara kami.

"Maaf saya lama, tadi ada pelanggan." Kami berbalik saat suara wanita pemilik toko terdengar. Ia memasuki ruangan dengan membawa dua buah handuk. Wajahku memanas saat menyadari kami baru saja berciuman di dalam rumah orang.

"Ini handuknya, kalian tidak kedinginan bukan? Tidak flu kan?"

Aku hanya bisa mengangguk. Jujur, sekarang wajahku memanas dan sepertinya suhu tubuhku juga hingga aku tak heran jika badanku yang basah sudah mengering. Entah karena ciuman tadi atau karena fakta kami baru saja berciuman di dalam rumah orang.

"Tidak kok bu, terima kasih banyak." Jawab Sophie. Ibu itu tersenyum dan meninggalkan kami lagi untuk mengambilkan kami makanan karena hujan belum juga reda. Aku baru mau bilang itu tidak perlu karena kami membawa bekal, namun sang empunya rumah sudah melesat ke dapur.

Aku menghela napas untuk yang kesekian kalinya. Rencana kencan hari ini memang agak kacau tapi aku senang. Senang karena akhirnya kencan ini tidak buruk-buruk amat dan karena aku dapat mengetahui Sophie yang sesungguhnya.

Gadis periang dengan sifat cekatan dan pemberani itu ternyata hanyalah seorang gadis yang pendiam, pemalu dan penyendiri yang hanya benar-benar terbuka dengan orang-orang yang dekat dengannya. Sifat asli yang ia tutupi itu hanya akan keluar di hadapan orang-orang yang ia percayai, dan aku senang aku termasuk dalam list orang-orang itu.

Aku menatap gadis itu lagi dan mendapatkan diriku terperangkap dalam momen yang hilang beberapa jam yang lalu. Saat kulihat gadis itu tengah mengeringkan rambutnya, mungkin ini terdengar aneh tapi rasanya dia terlihat cantik sekali. Kali ini, dengan sangat perlahan kukeluarkan kameraku sekali lagi. Dengan gerakan pelan, aku memotretnya – dan bersyukur kamera itu tak mengeluarkan suara – dan saat kamera instan itu mencetak fotonya aku cepat-cepat menyembunyikannya di dalam tasku dan kembali mengeringkan rambutku.

Menyadari sikap anehku tadi, Sophie menatapku. Tatapannya seolah berkata 'ada apa?'.

Aku tersenyum. "Tidak ada apa-apa."

Gadis itu hanya mengangguk tanpa menyadari harta karun yang baru saja kudapatkan.

Aku tersenyum dan dalam hati berharap agar aku bisa terus mencintai gadis ini dan dia pun bisa terus mencintaiku. Selamanya.


A Small Epilogue


"Sophie, kapan kau memotretku?"

"Eh?"

"Aku menemukan fotoku dalam salah satu buku pelajaranmu."

"Ah! Hei! Kembalikan itu!"

"Kau belum menjawab pertanyaanku."

"...Aku mengambilnya saat kita berteduh di depan toko cindera mata itu."

"Sebelum kita masuk?"

"...Iya."

"Seperti biasa kau selalu lihai saat berhubungan dengan memotret yah?"

"...Diamlah... Omong-omong boleh kutanyakan hal yang sama?"

"Eh?"

"Kapan kau memotretku? Aku menemukan fotoku dalam buku sejarahmu."

"...Ah, ternyata ketahuan juga."

"Jadi?"

"Aku memotretmu saat kau mengeringkan rambutmu. Kau tentu tahu dari fotonya bukan?"

"Memang, tapi aku hanya heran kenapa aku tidak menyadarinya."

"Yah, aku belajar itu darimu."

"...Itu tidak salah sih."


Bagiku, kau seperti Hortensia

Berubah setiap kali aku melihatmu seiring waktu berjalan

Dan saat mekar warnamu berubah menjadi warna yang bahkan aku sendiri tak bisa menebaknya

Namun, itulah yang membuatmu berbeda

Dan alasan kenapa aku mencintaimu


ALL OC: OI! Fic laen belum abis jangan buat fic baru lagi!
Gianti: *nutup telinga* Bawel ah! Ini kan salah satu cara mencari inspirasi! Lagian, aku authornya, dalam artian aku ini DEWA kalian! Yang berarti kalau kalian protes aku bisa dengan bebas memberikan akhir tragis bagi kalian semua! #jahat
ALL OC: *bungkem*
Gianti: *sigh* akhirnya tenang juga. Eh ya... Ini juga hanya fic selingan doang dan akan di update dalam waktu yang tak menentu. Fic ini berisikan adegan-adegan romansa yang tidak akan muncul di
mainstory, dan juga salah satu usaha Author agar lebih baik dalam adegan romansa :v
Saga: Kau tahu, biasanya orang yang tidak punya pacar tidak bisa membuat adegan romansa dengan baik
Kanon: Author satu ini mah, bukannya nggak punya pacar lagi. Dia belum pernah pacaran! *ngakak*
Gianti: Kalau kalian tidak mau diam aku lapor Atla
SagaKanon: *diem*
Gianti: Baiklah, semoga readers suka dan maaf atas segala typo dan fic yang gaje ini ^^


*Gia'sou : Halo
*Efharisto' : Terima kasih
*Parakalo, : Sama-sama