break·a·ble

/ˈbrākəb(ə)l/

adjective: capable of breaking or being broken easily.

e.g. "breakable ornaments"

synonyms: fragile, delicate, flimsy, destructible, brittle, easily broken, easily damaged; (formal) frangible

e.g. "pack the breakable items in bubble wrap"

antonyms: shatterproof

.

noun: breakable; plural noun: breakables: things that are fragile and easily broken.

.

.

.

Prolog

.

"Batalkan semua jadwalku hari ini." Yoongi memasuki ruang kerjanya setelah melempar kunci mobilnya dengan asal ke arah supir pribadinya. Dia duduk di kursinya dan memijat pelan kepalanya. Pertemuan keluarga. Cih. Mendengarnya saja Yoongi sudah muak. Selalu seperti ini. Setiap pertemuan keluarga akan berakhir dengan ceramah-ceramah tentang 'sudah saatnya mencari istri, Yoongi-ah'. Pertemuan keluarga selalu melelahkan. Kali ini jauh lebih melelahkan karena sepupunya, baru saja mengumumkan tanggal pernikahannya di pertemuan keluarga siang ini dan, ya, bisa ditebak, ceramah-ceramah yang datang kepadanya semakin banyak dan membuat Yoongi pusing. Yoongi tidak suka diatur. Dia akan menikah kalau dia mau walaupun, Yoongi sebenarnya tidak punya pemikiran apa pun tentang pernikahan.

Yoongi benci pernikahan.

Membayangkan dia akan terjerat dalam satu ikatan seumur hidupnya dengan sebuah dokumen tertulis yang mengaturnya membuat Yoongi merinding. Tidak. Tentu saja Min Yoongi tidak akan menikah. Yoongi bahkan tidak mengerti kenapa orang-orang memilih untuk terjebak di dalam satu hubungan kalau mereka bisa bebas?

Mana mungkin Yoongi bisa menikah.

Semua wanita yang mendekatinya hanya mau uangnya. Bahkan Yoongi hampir tidak punya teman, mereka semua juga mengincar uangnya. Bukannya Yoongi mencari sedang seseorang yang tepat atau apa, Yoongi tidak tolol. Tidak ada orang yang benar-benar baik di dunia ini. Jadi, Yoongi memutuskan untuk hidup sendiri. Well, dengan bantuan orang-orang yang bekerja untuknya, tentunya.

Yoongi menghela napas panjang dan mulai mengamati ponselnya. Dia harus menelepon seseorang.

"Hm, jam sepuluh malam ini." Yoongi berkata dengan cepat. Dia butuh pelampiasan.

.

Jimin tidak suka hari Jumat. Setiap hari Jumat pasti pekerja lain akan mencari cara terbaik untuk membebankan semua tugas membersihkan toilet kepadanya. Mungkin karena besok adalah hari Sabtu, perusahaan tutup setiap Sabtu dan Minggu. Pasti banyak orang yang ingin memanfaatkannya untuk berpergian atau sekedar duduk diam di rumah bersama keluarga mereka. Tentu saja, sebagai satu-satunya pekerja yang belum berkeluarga dan masih muda, Jimin tidak bisa menolak. Sebenarnya, tidak juga. Bukan itu alasannya. Jimin selalu tidak bisa menolak permintaan orang lain. Dia selalu merasa tidak enak hati jika dia tidak membantu mereka. Jimin memang bodoh. Jimin tahu dia sedang diperdaya, tapi, sekali lagi, Jimin tidak bisa menolak.

Seperti saat ini, sudah pukul sembilan malam, tapi Jimin masih sibuk membersihkan toilet wanita di lantai delapan tempat dia bekerja. Sebagian lampu sudah dimatikan, tapi Jimin masih sibuk mengumpulkan sampah dari setiap bilik-bilik toilet. Sebenarnya Jimin takut. Jimin benci sekali suasana yang terlalu sepi, apalagi dengan pencahayaan yang kurang.

"Ah, yang terakhir." Jimin tersenyum kecil saat dia menutup pintu bilik toilet terakhir. Jimin mulai mengangkat sebuah plastik hitam besar tempat sampah yang baru saja dia kumpulkan. Ah, rasanya senang kalau sudah saatnya pulang.

.

Jimin memutuskan untuk mampir ke sebuah toko roti untuk membeli sebuah roti sebelum pulang. Masih pukul sepuluh. Toko roti di seberang gedung tempat dia bekerja masih buka sampai pukul dua belas. Bicara soal roti, Jimin suka sekali roti. Memakan satu buah roti akan membuat Jimin semangat, terutama roti cokelat. Sebenarnya Jimin suka apa pun yang manis. Tapi, karena roti membuatnya kenyang dan rasanya enak, Jimin suka sekali roti. Tadi pagi, Mr Kim dari ruangan nomor dua memintanya membelikan segelas kopi panas dari sebuah kedai kopi di sekitar perusahaan. Sebenarnya pegawai di sana bisa saja dengan mudah membuatkan Mr Kim segelas kopi panas, tapi Mr Kim memang selalu suka membeli kopi di luar. Mungkin rasanya berbeda, Jimin tidak tahu. Jimin tidak suka kopi.

Tadi Mr Kim membolehkan Jimin menyimpan uang kembaliannya, yang cukup banyak, jadi Jimin akan mencari kebahagian di hari Jumat yang melelahkan dengan membeli sebuah roti. Dia sudah cukup menabung bulan ini, jadi tidak masalah kalau dia boros sedikit.

Jimin tersenyum senang saat dia memasuki toko roti itu. Aroma sedap roti mmebuat Jimin semakin lapar.

"Uh, chocolate bread satu?" Jimin berkata pelan saat dia sampai di depan kasir.

"Kau beruntung, ini chocolate bread terakhir kami hari ini." Seorang perempuan remaja menjawab Jimin dengan senyuman manis. Jimin tersenyum lebar. Pasti hari Jumat ini adalah hari keberuntungannya.

"2000 won." Perepmpuan itu berkata lagi setelah dia selesai membungkus rapi roti pesanan Jimin.

"Ah, ya." Jimin menyerahkan uangnya dan membungkuk kecil.

"Terima kasih, silahkan datang kembali." Perempuan itu berkata lagi saat Jimin keluar. Jimin hanya membalasnya dengan senyuman kecil. Jimin tidak tahu kapan dia bisa beli roti coklat lagi. Semoga saja Mr Kim ingin membeli segelas kopi panas lagi dalam waktu dekat ini.

.

Sebenarnya Yoongi lebih suka tempat yang sepi dari pada tempat yang ramai. Dia lebih suka bersantai sambil tidur atau melakukan hal lain yang tidak membutuhkan banyak energi. Entah kenapa Yoongi memutuskan untuk ke sini hari ini. Sebuah klub malam. Yoongi sudah minum beberapa gelas vodka sedari tadi, matanya mengincar seseorang yang pantas untuk dijadikan teman tidurnya malam ini. Yoongi butuh pelampiasan.

"Kau tidak ke sini untuk duduk sambil minum saja kan?" Namjoon menyikut bahunya pelan.

"Tidak." Yoongi menyeringai kecil. Tentu saja tidak.

"Sudah menemukan seseorang?" Namjoon balik menyeringai.

"Belum." Yoongi menaikan bahunya sambil meneguk gelasnya. Membosankan. Tidak ada yang menarik. Mungkin karena hari ini hari Jumat, tidak banyak yang datang ke klub malam. Kebanyakan orang yang Yoongi temui adalah orang yang kurang lebih mencari pelampiasaan seperti Yoongi. Seperti beberapa pria tua yang sedang sibuk menawar harga seorang wanita penghibur di depannya. Perempuan gila. Apa dia bisa memuaskan tiga pria tua dalam semalam? Yoongi mendengus.

"Berapa dia bilang?" Namjoon mengernyrit.

"Satu juta?" Yoongi menebak. Mereka sibuk menatap tiga pria tua di depan mereka sambil tertawa.

"Good deal." Namjoon menggeleng tapi bibirnya tidak berhenti tersenyum.

"Tiga orang? Mungkin." Yoongi mengangkat bahunya tak peduli.

Tiga pria tua di depan mereka bergegas pergi sambil menggandeng perempuan yang sudah mereka tawar dan sekali lagi Yoongi diam sambil memerhatikan orang-orang di sekelilingnya.

"Dude, kau cari yang seperti apa?" Namjoon bertanya lagi setelah beberapa saat.

"Yang kecil dan manis?" Yoongi tersenyum geli. Kriteria. Yoongi bahkan tidak punya kriteria.

"Kink?" Namjoon hampir tersedak vodka-nya.

"Mungkin?" Yoongi menggelengkan kepalanya. Kink? Yoongi? Yang benar saja.

"No way." Namjoon tertawa keras. "Dom dan sub?"

"Tidak." Yoongi berkata yakin. Tentu tidak.

Namjoon tertawa cukup keras dan Yoongi hanya diam memutar matanya. Kim Namjoon. Yoongi sudah kenal Namjoon sejak delapan tahun yang lalu sebelum dia lulus SMP. Kalau dipiki-pikir, hanya Namjoon yang Yoongi bisa anggap sebagai seorang teman. Namjoon tidak mengincar uangnya, tentu saja tidak. Namjoon punya uangnya sendiri untuk dihambur-hamburkan. Namjoon tidak mengaturnya, Namjoon adalah orang yang tepat untuk diajak bertukar pikiran. Namjoon juga memberikan saran dengan baik tanpa memaksakan sarannya. Intinya, Yoongi menganggap Namjoon sebagai seorang teman.

.

Jimin menggenggam sebuah ponsel berwarna merah muda dengan erat. Sudah hampir dua puluh menit Jimin berdiri di depan sebuah bangunan yang sangat ramai. Jimin ketakutan. Tadi Jimin menemukan ponsel ini di sebuah bangku kecil di depan pintu masuk subway. Ponsel itu berdering lebih dari lima kali dan Jimin merasa dia harus menolong orang itu. Pasti ponselnya ketinggalan, pikir Jimin.

Tadi saat Jimin memutuskan untuk menjawab panggilan di ponsel itu, dia mendengar suara seorang wanita yang terdengar kebingungan. Sepertinya ponsel ini sangat penting. Jadi, Jimin mengiyakan permohonan wanita itu untuk mengantarkan ponsel tersebut. Seharusnya Jimin bilang tidak. Tapi, sekali lagi, Jimin terlalu baik jadi, Jimin bilang iya.

Sekarang Jimin berdiri ketakutan di depan sebuah klub malam. Jimin tidak pernah ke klub malam, ini bahkan pertama kalinya Jimin bisa berdiri sedekat ini dengan sebuah klub malam. Wanita pemilik ponsel ini bilang, hanya dengan menunjukan sebuah keychain kecil berbentuk mawar yang tergantung di ponsel itu, Jimin akan diperbolehkan masuk. Terlihat sangat mudah. Jimin hanya perlu masuk ke dalam, mencari wanita pemilik ponsel, dan pulang ke rumah untuk tidur. Sangat mudah. Tapi, semuanya jadi sangat rumit karena Jimin benci klub malam. Tempat itu membuat Jimin takut.

Jimin memeluk dirinya sendiri saat akhirnya dia memutuskan untuk masuk ke dalam. Benar saja. Hanya dengan menunjukan keychain itu, Jimin diperbolehkan masuk ke dalam. Setelah di dalam Jimin kembali bingung dan ketakutan. Suasana di dalam benar-benar membuat Jimin tidak nyaman. Jimin memang tidak suka tempat sepi, tapi tempat ini membuat Jimin resah. Terlalu banyak orang di sini.

"Uh…" Jimin kembali memeluk dirinya saat beberapa orang tanpa sengaja menabraknya.

Keputusan yang salah. Jimin seharusnya tidak ke sini. Jimin menatap ponsel di tangannya bimbang. Bagaimana cara dia menemukan si pemilik ponsel kalau begini ramainya.

Jimin berniat untuk pulang dan memberikan ponsel itu besok saat tiba-tiba ponsel itu berdering lagi.

"Uh, halo?" Jimin berkata ragu-ragu.

"Hey, kau dimana?" Suara perempuan itu terdengar lebih rendah sekarang. Mungkin kebingungan mencari ponselnya.

"Eh, aku, uh, di dalam, maaf sedikit berisik. Ak-aku tidak bisa dengar." Jimin berkata sambil terus mengamati sekelilingnya. Mata Jimin mencari sosok wanita yang memegang telepon tapi, Jimin tidak menemukan satu pun orang yang memegang telepon.

"Tolong naik ke atas ya. Ke kamar nomor 75." Perempuan itu berkata lagi.

"Halo—bisakah Anda yang turun ke—" Jimin belum sempat menyelesaikan kalimatnya saat dengan tiba-tiba perempuan itu menutup teleponnya.

"Ah." Jimin bergumam kecil. Dimana tangganya? Dimana lantai atasnya? Jimin harus kemana? Jimin menatap ke sekeliling sekali lagi dan bergedik ngeri. Untuk bergerak saja Jimin takut, bagaimana caranya Jimin menemukan wanita itu?

.

Yoongi sudah tersenyum lebar selama hampir lima belas menit sejak dia melihat sesosok mungil yang terlihat kebingungan di dekat pintu masuk. Awalnya Yoongi pikir sosok itu sedang tersesat, namun semua orang di ruangan itu tahu betul apa arti keychain kecil yang tergantung di ponsel sosok itu. Terlebih Yoongi, dia tahu betul apa artinya. Sosok itu terlihat sangat muda, kecil dan rapuh. Yoongi hampir berlari dan memeluknya saat beberapa kali dia tertabrak orang yang berlalu-lalang. Dia sedang menunggu seseorang. Yoongi bisa lihat itu.

"Yang mana?" Namjoon berbisik di sebelah Yoongi. Yoongi tersenyum senang kepada Namjoon. Setelah membuang waktunya selama hampir dua jam, Yoongi menemukan orang yang tepat.

"Yang kecil di depan pintu masuk." Yoongi menunjuk sosok mungil itu dengan dagunya sambil sekali lagi meneguk segelas vodka.

"Manis." Namjoon berkomentar dan Yoongi hanya mengangguk kecil.

Yoongi tersenyum lagi saat melihat sosok itu kembali menatap ponselnya. Dia terlihat gelisah. Tunggu apa lagi? Suara hati Yoongi menantangnya.

Ya, tunggu apalagi?

Yoongi baru saja akan berdiri dan menghampiri sosok mungil itu saat tiba-tiba sosok mungil itu berjalan ke arah kerumunan orang di lantai dansa. Tiba-tiba Yoongi merasa panik. Yoongi tidak mau kehilangan sosok itu.

Mata Yoongi terus memerhatikan gerak-gerik sosok itu. Yoongi mengikutinya sampai dia berhenti di dekat toilet. Sosok itu terlihat bingung. Aneh. Dengan keychain itu, dia tidak seharusnya bingung.

.

"Sendirian?" Jimin terkejut saat tiba-tiba seorang pria memeluk pinggangnya. Paria itu berdiri begitu dekat dengannya sampai Jimin bisa mencium wangi tubuh pria itu; sangat maskulin dan menyegarkan.

"Uh, maaf. Sa-saya sedang mencari… kamar nomor 75." Jimin berkata sopan sambil berusaha sesopan mungkin mengyingkirkan legan pria itu dari pingangnya. Jimin tersesat. Tentu saja dia tersesat. Jimin hanya mengikuti instingnya, yang ternyata salah, untuk berjalan ke arah kiri. Tapi, sekarang dia malah terjebak dengan seorang pria yang tidak sopan.

"Sudah ada teman?" Prria itu bertanya lagi. Saat itu Jimin secara tidak sengaja menatap mata pria di sampingnya. Matanya gelap, membuat Jimin merinding.

"Ah, itu—ini-" Jimin tergagap sambil menunjukan pria itu ponsel di tangannya. Mungkin saja pria itu tahu siapa pemilik ponsel itu. Jimin tersenyum kecut saat pria itu menatap Jimin bingung.

"Sebutkan hargamu." Pria itu melangkah lebih dekat ke arah Jimin sambil berbisik di telinga Jimin. Sekali lagi Jimin merinding. Dia belum pernah berada sedekat ini dengan siapa pun. Ha-harga katanya?

"Ak-" Jimin sempat menggeleng sebentar sebelum akhirnya dia terkejut dan menjatuhkan ponsel yang sedari tadi dia genggam saat tiba-tiba pria itu menciumnya. Oh Tuhan. Tidak.

.

a/n; Hello. Adakah yang minat ff ini? Hehehe. Saya lagi pengen coba bikin ff yoonmin. Buat openingnya 1,5K word kayaknya cukup ya? Anggep aja ini prolog. Ini baru percobaan jadi sengaja gendernya Jimin masih ambigu gitu. Buat yang minat, kira-kira mau ff ini jadi gs atau yaoi? Nanti kalo udah tau mau dijadiin gs/yaoi aku edit chap ini. Hehehe

Terus, ratenya M yak. Soalnya kalo gak M gak seru. Hahaha.

Btw, kalo yaoi Jiminnya uke yaaaaaaaaaa.

Pasti ada typo, jadi maaf yaaaa. Kasih tau aja kalo ada typo nanti diedit u,U

Terus, ada yang bisa bantuin kasih aku judul? Makasih~~~~

.

Edited (14 April 2016)

Hore sudah nemu judul! Terima kasih semuanya yang udah vote. Cerita ini bakal jadi yaoi ya. Thank you ^^