Yuhu... Yufa datang lagi, lagi-lagi datang lagi... Nekad public fic Sasunaru... *Saya seorang fujoshi dan saya bangga-cuih*
Langsung adj deh... Monggo dipunwaos...
Disclaimer: Masashi Kishimoto
GONE
... Karena sejak kau pergi, hidupku terhenti...
Seorang pemuda berambut raven meringkuk di sudut kamarnya yang luas. Ia melipat kakinya di depan dada dan memeluknya erat dengan kedua tangan pucatnya. Bibirnya menggumamkan kalimat-kalimat tak jelas seperti tengah merapal mantra pengusir rasa takut.
DRRRTTT
Pintu kamar itu terbuka, memunculkan seorang pemuda bertubuh atletis yang kemudian berjalan mendekati pemuda yang sejak tadi meringkuk di sudut kamar. Tangannya terjulur untuk menyingkap gorden yang menutupi jendela kaca. Kamar yang sejak tadi dilingkupi keremangan itu akhirnya menerima pancaran matahari, menampakkan sosok di atas sofa yang masih saja meracau tak tentu.
"Sasuke..." panggil Itachi lembut.
Sasuke mendongakkan kepalanya demi melihat kakaknya yang kini tengah memandanginya iba. Mulutnya seketika berhenti mendengungkan kata-kata.
"Langit sore begitu cerah, sayang untuk dilewatkan. Aku ingin mengajakmu jalan-jalan."
Hanya tatapan kosong Sasuke yang menjawab ajakan Itachi.
Itachi berjongkok di depan pemuda itu dan menatap ke dalam onyxnya. Onyx yang dulu berkilat menunjukkan jati diri Sasuke kini mati. Mata yang dahulu selalu berbicara itu kini bisu. Hanya terpasang sebagai indera penglihatan yang berfungsi merefleksikan cahaya menjadi bayangan. Tak ada lagi citraan makna hati yang tepercik di dalam sana.
"Kau butuh udara segar, Sasuke. Jangan terus menerus mengurung diri di kamar..." Itachi menarik tangan dingin Sasuke untuk berdiri.
Bagai robot yang sudah terprogam, Sasuke menurut. Ia membiarkan langkah-langkah kecilnya mengikuti jejak Itachi menuruni tangga dan segera menuju ke luar rumah.
"Kita ke taman kota. Kita bisa melihat langit sore yang masih biru dengan jelas di sana," Itachi menggandeng erat tangan Sasuke dan membawanya berjalan menuju taman.
Sasuke berjalan dengan kepala tertunduk. Ia tak dapat menyaksikan mata-mata yang memandangnya dengan cara aneh. Ia terus berjalan mengikuti Itachi.
"Ah, indahnya," Itachi membaringkan dirinya di atas rerumputan sementara Sasuke duduk di sampingnya dengan kepala masih tertunduk menyapu bumi.
"Lihatlah langit yang begitu cerah, Sasuke. Indah sekali..."
Perlahan Sasuke mengangkat kepalanya. Mengarahkan pandangannya pada sesuatu yang tengah di kagumi Itachi. Sebuah layar luas berwarna biru dengan sisian gumpalan awan putih.
'Teme, ayo cepat buka matamu!'
Sebuah suara menggema di kepalanya.
'Tak mau.'
'Ayolah, Teme! Lihat lah langit senja yang masih biru itu! Indah sekali...'
Suara-suara itu terdengar begitu jelas. Seolah datang dari dalam dirinya sendiri.
'Tak perlu, Dobe!'
'Kenapa?'
'Karena biru matamu jauh lebih indah daripada warna langit...'
Sasuke menutup telinganya. Ia menutup matanya erat dan menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengusir suara-suara yang terus berseru dari dalam dirinya.
"Sasuke, kau kenapa?" Itachi mengguncang-guncang bahu Sasuke dan menatapnya cemas.
Sasuke mengerang tertahan. Ia tetap saja menutup telinganya.
"Sasuke..."
"TIDAAKKK!" pekik Sasuke. Tergesa-gesa ia bangkit dan berlari meninggalkan taman.
Ia berlari. Tak memedulikan teriakan protes orang-orang yang ditabraknya. Yang ada di otaknya kini adalah kembali ke rumah. Ia terus saja berlari... Berlari dari suara-suara yang meresahkannya... Berlari dari masa lalunya... Berlari dari cintanya.
oOo
Dentingan suara sendok beradu dengan piring menjadi lagu di arena meja makan pagi itu. Sasuke terus saja memutar-mutar sendok itu di atas piring. Memukul-mukul lembut alas makan itu dengan sendok dan garpu yang ia pegang sementara makanan di atas piring itu luput dari jangkauannya. Matanya memandang hampa pada menu sarapan paginya hari itu.
"Sasuke, kenapa tak dimakan?" tanya Itachi, satu-satunya teman makan Sasuke di meja itu.
Sasuke menggelengkan kepalanya tanpa menghentikan alunan musik sendok dan garpunya.
Itachi yang sedari tadi menikmati nasi goreng di piringnya berhenti dari aktivitasnya. Ia meneguk air putih dari gelas tingginya dan segera mengelap daerah sekitar bibirnya dengan tisu.
"Kau butuh psikiater," desisnya kemudian.
Sasuke memandang Itachi dengan tatapan kosongnya. "Aku tidak sakit," suara seraknya menjawab dengan tegas.
"Jiwamu sakit."
Sasuke tersenyum hambar. "Kau hanya tak tahu, Itachi..." Sasuke mengalihkan pandanganya pada gelas berisi air putih yang menampakkan bayangan dirinya. Terlihat begitu payah. "Kau tak tahu apa yang disebut dengan sakit..." Ia bangkit dan berjalan dengan gontai menaiki tangga menuju kamarnya.
Itachi memijit-mijit kepalanya dengan frustasi. Sudah lebih dari setengah tahun adiknya seperti ini. Sejak kematian Naruto, ia menghindar dari keramaian. Mengurung diri di kamar dan enggan berinteraksi dengan dunia luar.
Sasuke selalu menolak mendatangi psikiater. Ia selalu bersikukuh bahwa ia sehat, baik jiwa maupun raga. Tapi keadaan dirinya tervisualisasi dengan jelas bahwa jiwanya terluka dan terpancar dalam kelemahan raganya.
Itachi menyusul Sasuke ke kamar. Dibukanya pintu kamar Sasuke perlahan. Dari balik pintu, ia bisa melihat dengan jelas sosok Sasuke yang meringkuk dengan posisi fetus di atas ranjang. Kedua tangannya memeluk sebuah bingkai berukuran besar yang menampilkan potret dirinya dengan seorang pemuda yang tengah tersenyum lebar dengan tiga guratan tipis di setiap sisi wajahnya.
"Sasuke," Itachi duduk di samping ranjang dan mengusap lengan Sasuke lembut. Sasuke mengeratkan genggamannya pada bingkai foto itu, seolah takut Itachi akan mengambilnya.
"Para karyawan di kantor rindu padamu. Ganti kaosmu... Kita akan ke kantor pagi ini."
Itachi menarik tubuh Sasuke hingga pemuda itu terduduk di atas ranjang. Sasuke tetap memeluk bingkai itu dengan erat.
"Hanya sebentar saja kok," Itachi berusaha mengambil bingkai itu, namun Sasuke makin mengeratkan pelukannya. "Aku tidak akan merebutnya darimu," bujuk Itachi.
Perlahan Sasuke meloloskan bingkai itu dari pelukannya. Membiarkan Itachi meletakkannya di meja kecil di samping ranjang.
"Ayo, Sasuke!" Itachi mengulurkan tangannya.
Sasuke memandangi tangan Itachi dengan ragu.
"Mereka merindukanmu, Sasuke..." ujar Itachi meyakinkan.
Akhirnya Sasuke menerima uluran tangan Itachi dan menurut tanpa perlawanan ketika Itachi membantunya berganti pakaian.
'Kau butuh hiburan, Sasuke. Aku tak ingin melihatmu seperti ini terus...'
oOo
Pintu mobil Itachi terbuka. Sasuke menjejakkan langkahnya di perusahaan yang dahulu dikelolanya bersama Itachi.
Itachi menarik pelan tangan Sasuke dan membawanya memasuki gedung Uchiha Corp. Sasuke mengedarkan pandangannya. Tempat ini terasa begitu asing baginya.
"Selamat pagi, Tuan Muda Sasuke..." sapa seorang karyawan yang ia temui di lobi.
Sasuke tak menjawab. Ia terus memandangi gedung tempatnya berada dengan linglung.
Itachi tersenyum kepada karyawan itu. Semua karyawan sudah tahu keadaan Sasuke. Itachi memerintah mereka untuk bersikap sewajarnya saat Sasuke datang. Ia tak ingin adiknya merasa tak nyaman dengan tatapan-tatapan memelas dari para karyawan. Sasuke tak butuh untuk dikasihani.
"Tuan Sasuke!" pekik para karyawan ketika Sasuke memasuki ruang kerja mereka.
Mereka berebut menyalami Sasuke dan menyatakan perasaan senang mereka dapat kembali melihat pemilik perusahaan tempat mereka bekerja itu.
Sasuke mengernyitkan dahinya, Kepalanya terasa berdenyut kencang. Ditatapnya wajah-wajah gembira yang mengelilinginya.
"Kami senang sekali Tuan Sasuke kembali datang ke perusahaan ini."
"Wah, Tuan Sasuke semakin tampan saja."
"Perusahaan kita mengalami kemajuan pesat dalam beberapa bulan terakhir."
Kepala Sasuke berdenyut hebat mendengarkan celotehan itu.
'Kau ini cerewet sekali, Dobe!'
Satu suara berseru lantang menenggelamkan seluruh suara yang terlontar dari para karyawan.
'Ya sudah, aku diam...'
Sasuke menatap ke sekelilingnya. Manusia-manusia yang berkerumun di dekatnya masih membuka mulut mereka untuk berbicara. Tapi Sasuke tak mendengar apapun. Sepi...
'Bicaralah, Dobe!'
Ia mendengar suaranya sendiri dengan begitu jelas di telinganya.
'Bukankah tadi kau menyuruhku diam?'
'Jangan! Jangan terdiam seperti itu. Hidupku akan terasa begitu sepi jika aku tak lagi mendengar suara jelekmu itu!'
'Huh! Baiklah... Aku akan mengatakan sesuatu.'
'Hn.'
'Kau menyebalkan, Sasuke!'
Hilang... Suara itu hilang digulung udara yang berdesau dalam ruangan yang dibanjiri manusia itu. Para karyawan itu tentu tengah menggumamkan sesuatu dari mulut mereka. Tapi Sasuke tak dapat menangkap satupun kata yang terucap. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang menerobos hatinya. Ada rasa sepi yang menyeruak mengisi kekosongan jiwanya. Di tengah keramaian ia merasa sendiri. Sepi... Sasuke menelan ludahnya. Ia memegangi dadanya yang kini terganjal perasaan tak menyenangkan.
Ia berusaha menyingkir dari ruangan itu. Mengacuhkan teriakan Itachi dan para karyawan yang kini sudah kembali tertangkap telinganya. Ia terus berlari. Berlari dari hiruk pikuk kehidupan yang menyesakkan. Berlari dari seluruh kehampaan yang ia rasakan di tengah-tengah deru nafas manusia. Berlari dari sepi...
oOo
Sasuke terus saja menolak ajakan Itachi yang akhir-akhir ini gencar mengajaknya ke psikiater. Ia tak merasa perlu datang pada ahli jiwa. Ia merasa baik-baik saja.
"Aku tidak ingin melihatmu seperti ini terus, Sasuke!"
Sasuke tetap duduk menekuk lutut dengan bersandar di dinding kamarnya. Ia sama sekali tak menggubris omongan Itachi.
"Cintailah hidupmu sendiri... Atau setidaknya cintailah dirimu sendiri!" teriak Itachi kesal.
Onyx Sasuke melebar mendengar kalimat Itachi. "Cinta?" kata itu meluncur dari bibir pucatnya yang bergetar.
"Iya, Sasuke..." Itachi duduk di depan adiknya. "Jalani hidupmu kembali dengan cinta."
Sasuke mengarahkan dua bola onyxnya pada dua onyx Itachi. Mata itu redup dan tetap saja mati. Namun mulutnya terbuka seakan ingin menjerit tapi tak mampu. Sekelebat rasa tak suka masuk dalam hatinya. Ia tak suka dengan perkataan Itachi.
Sasuke membenamkan wajahnya di antara kedua lututnya. "Pergi!" perintahnya parau.
"Sasuke," Itachi menjulurkan tangannya untuk membelai rambut Sasuke, tapi Sasuke menepisnya dengan kasar.
"Pergi!" ujarnya lagi penuh ketakutan. Tubuhnya menggigil dan giginya bergemeletuk tak keruan.
Mata Itachi panas dan hampir saja mengeluarkan cairan bening dari sudut matanya. Ia tak punya hati untuk menyaksikan pemandangan di depannya. Perlahan ia bangkit dan pergi dari kamar itu. Ia menoleh pada Sasuke yang masih saja menyembunyikan wajahnya di kedua lututnya yang bergetar, sebelum ia menutup pintu kamar dengan nafas tertahan.
Sasuke merasakan sesuatu yang begitu dahsyat menggoncang seluruh jiwanya. Dengan ragu ia mengangkat wajahnya. Seluruh tubuhnya gemetar. Ada suatu energi asing yang menyerang seluruh tubuhnya dan meletupkan rasa sakit di dadanya. Ia memandang seluruh sudut kamarnya dengan rasa takut yang entah bagaimana bisa menguasai dirinya.
Tiba-tiba onyxnya tertuju pada sebuah bingkai di meja samping ranjangnya. Getaran rasa sakit dalam dadanya menguat saat onyxnya menangkap safir seorang pemuda di foto itu. Mata itu seperti tengah menatapnya. Berbicara tentang kata yang tak dimengerti Sasuke. Ia memegangi dadanya. Memukulnya frustasi untuk menghilangkan seluruh perasaan sakit dan takut yang semakin memenuhi seluruh alveolusnya.
'Teme, aku ingin menanyakan sesuatu...'
Suara dari dalam dirinya kembali berseru.
'Hn. Tanyakan saja...'
Tubuh Sasuke semakin bergetar hebat mendengar suara-suara itu.
'Kenapa kau mencintaiku, Teme?'
'Mmm... Karena kau manis, Dobe.'
'Bukankah kau tidak menyukai segala sesuatu yang manis, Sasuke?'
'Aku memang tidak suka segala sesuatu yang manis... Tapi kau terlalu manis untuk ku tolak.'
Sasuke memegangi kepalanya yang berputar. "Cinta..." desisnya serak.
Dengan tubuh yang masih gemetaran, Sasuke bangkit dan berjalan limbung menggapai pintu. Diputarnya kenop pintu dengan tangannya yang bergetar.
Ia berlari menuruni tangga. Dan segera menuju pintu utama. Itachi dan para pelayannya tak terlihat di manapun. Ia segera pergi dari rumah itu begitu pintu terbuka.
Langkah Sasuke terhenti sesaat kala dilihatnya bangunan kecil bertulis pos penjaga. Ia berjalan dengan hati-hati menuju pos itu. Mengintai aktifitas di dalam ruangan tersebut. Seorang security tengah duduk terkantuk-kantuk. Anak kunci pintu gerbang dengan cerobonya ia letakkan di atas meja. Sasuke mengendap-endap masuk ke dalam pos dan segera mengambil anak kunci tersebut.
Dibukanya gerbang rumahnya dengan tangan gemetar dan tubuh yang semakin meggigil karena tusukan jarum es yang ditikamkan dari langit Konoha.
Ia berlari meninggalkan rumahnya begitu ia berhasil membuka pintu gerbang dan berhenti berlari saat sudah jauh dari wilayah rumahnya. Nafasnya tersengal-sengal. Tubuhnya basah kuyup disiram hujan. Sasuke celingukan memandang ke sekeliling. Ia tahu pasti ke mana ia harus pergi. Iya! Dia memutuskan untuk mendatangi suatu tempat.
Ia kembali berjalan dengan langkah limbung. Sesekali ia terjatuh karena kehabisan tenaga. Tubuhnya lemah karena lambungnya tak terisi sebutir nasipun sejak tadi pagi. Dengan tertatih ia berjalan menuju tempat itu. Ia tak menghiraukan derasnya hujan yang menusuk seluruh tulangnya. Dia ingin datang ke tempat itu. Tak ada satupun hal yang bisa menghalanginya saat ini.
Langkahnya semakin payah, tapi ia tetap memaksakan dirinya untuk berjalan.
Akhirnya ia sampai di tempat tujuannya. Suatu tempat yang begitu sepi dengan nisan-nisan yang menjulang. Ia membawa kakinya menyusuri pemakaman. Mencari sebuah makam.
Ia berhenti pada sebuah nisan. Sebuah nisan berukirkan susunan huruf yang membentuk sebuah nama.
"Naruto..."
T B C
Hoho... Aneh ya? Sama kayak fic-fic saya yang lain *jedotin kepala ke tembok besi*
Saya hanyalah seorang anak manusia yang tanpa bakat menulis fic bagus dengan hasrat tinggi untuk mempublikasikannya *halah*
Big thanks to my sweet imouto ^_^
Kepada para readers, dimohon review... Ya ya ya? *bagi-bagi permen*
R
E
V
I
E
W
