Ini dia.

Fic kolaborasi pertama kami yang berakun VeroZa.

Coba tebak, saya siapa hayo XDDD *dibunuh

Well, anyway anyhow

Enjoy the story

And

Have a nice day XDDDD

INSECURE

KH is not ours. They are SE's.

RATE: M

PAIR: SORA X ROXAS

DON'T LIKE, DON'T READ

Mungkin, hari ini akan berjalan seperti hari-hari biasanya. Aku harus bangun pagi, lebih pagi dari biasanya, membuat sarapan, membangunkan saudaraku yang susah bangun, lalu berangkat ke sekolah. Di sekolah pun, dia pasti akan melakukan hal-hal aneh padaku. Aku ingat, kemarin di kantin sekolah, dia mendorongku yang sedang membawa segelas es coklat. Akibatnya, aku terhuyung dan minuman itu tumpah ke bajuku. Sementara aku kewalahan membersihkan noda di seragamku, dia malah asyik tertawa. Teman-teman dan seisi kantin menertawaiku dan itu membuatku merasa sangat malu dan bodoh.

Entah kenapa, setelah ayah dan ibu kami pergi ke London, kakak kembarku, Sora menjadi agak liar. Dia yang tadinya baik hati, lembut, dan selalu membelaku, sekarang menjadi semacam bully bagiku. Tidak hanya fisik, dia bahkan sering melukai mentalku. Contohnya, dia mengolok-olokku di depan teman-temannya, menyebarkan gosip tidak sedap tentangku; bahwa aku gay, serta menyebutku suka tidur dengan pria-pria tua.

Aku sangat marah. Terkoyak hatiku setelah mendengar semua fitnahnya. Namun, aku tidak pernah melawannya. Aku hanya diam, menelan semua fitnah dan gerakan tangannya yang ringan.

Aku tahu, jika aku tidak meresponnya, dia akan bosan dan memutuskan untuk berhenti.

Semoga aku benar.

Pagi ini, aku bangun pukul setengah lima pagi. Aku sudah biasa bangun sepagi ini sejak orang tua kami pergi ke London. Aku segera bangkit dari tempat tidur, merapikan seprai dan kulihat, kakakku sedang tidur dengan posisi terlentang di kasurnya. Dia terlihat sangat nyaman dengan posisi tidurnya, bahkan mulutnya dibiarkan terbuka.

"..." aku tidak mau mencari masalah dengannya. Jika dia tahu aku memperhatikannya saat tidur, dia akan memakiku dan mengunciku di kamar selama sehari seperti yang dia lakukan empat hari lalu. Waktu itu aku baru pulang dari mengunjungi pesta ulang tahun sahabatku, Axel. Entah kenapa kakak marah dan mengunciku di kamar.

Aku menghela nafas lemah kemudian melangkah keluar dari kamar kami.

Setiap hari aku melakukan pekerjaan ini. Pekerjaan yang biasa dikerjakan ibu; memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah, bahkan aku mendapat tugas tambahan yaitu mengerjakan pr kakakku. Aku sebenarnya tidak masalah untuk mengerjakan tugas-tugas ibu tapi mengerjakan pr kakak...aku agak keberatan. Itu kan pr-nya, tapi dia tidak mau mengerjakannya sendiri. Dan jika aku menolak, dia mengancam akan memasukan kepalaku ke toilet. Jelas, aku tidak mau. Terpaksa, aku mengerjakan pr-nya juga.

"Huh.. Sepertinya, hari ini akan cerah," kataku menatap keluar jendela. Aku sedang berada di dapur, membuat pancake untuk kami sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Setelah selesai memasak, aku harus membangunkan Sora, kakakku. Dia sulit dibangunkan sehingga perlu perjuangan ekstra.

Aku selesai membuat selapis pancake terakhir dan memindahnya dari teflon ke piring. Aku hendak berbalik untuk pergi ke kamar dan membangunkan Sora namun...sepasang tangan kurus dan dingin melingkar di pinggangku. Jelas saja aku terkejut.

"Waahh!" seruku. Aku menoleh ke belakang sedikit. "S-Sora?"

"Roxy, hari ini sarapan apa?" katanya tanpa dosa. Aku merasa agak canggung. Sora memang sering memelukku dari belakang. Bukan hanya memeluk, bahkan tangannya pernah merayap ke dadaku atau tubuh bagian bawahku. Aku tidak pernah protes karena itu percuma saja. Sora malah akan menjepitku di dinding dan menumpahkan susu di rambut dan wajahku kemudian menjilatnya kasar. Ini pernah terjadi sekali yang menyebabkan aku harus keramas dan terlambat ke sekolah.

"Sarapannya apa, Roxas sayang?" kata Sora lagi dengan nada dipaksakan. Aku tersentak kemudian berusaha menjawab dengan suara bergetar,

"P-pancake..dengan saus stroberi," jawabku canggung.

Dia bernafas di leherku, "Hmm, aku suka stroberi." kemudian melepas pelukannya. Aku merasa lega setelah itu. Sora duduk di kursinya, menungguku memberikan sepiring pancake bagiannya. "Cepat, siput! Aku lapar!"

Dia sering memanggilku siput. Aku cepat-cepat menuang sirup stroberi pada pancake Sora dan tak lupa sebuah stroberi segar di atasnya.

"I-ini.." aku meletakan piring penuh pancake di depannya. Sora hanya menyeringai kemudian melahap pancake-nya.

"Ah, tidak enak. Coba tidak ada sirup stroberinya, pasti rasanya sangat buruk."

"Maaf..." aku selalu merasa sangat bersalah. Atau lebih tepatnya, aku takut. Sora tidak pernah memuji apapun yang kukerjakan, selalu memaki, membuatku merasa bodoh.

Aku bingung.

Apa aku harus membencinya?

Tapi dia kakakku.

Aku tidak bisa membencinya.

Kami berangkat sekolah setelah itu. Seperti biasa, kami naik bis ke sekolah. Aku sebenarnya tidak mau duduk di samping Sora tapi bis penuh sesak waktu itu jadi aku terpaksa duduk di sampingnya. Tapi aku tetap menjaga jarak dengannya. Aku tidak mau mencari masalah dengannya.

Kami sampai di sekolah. Aku cepat-cepat keluar dari bis dan masuk ke gedung sekolah. Tidak peduli walau aku harus menerobos kerumunan anak perempuan penggosip atau segerombol bully. Begitu sampai di kelas, aku segera duduk. Diam. Tidak melakukan hal apapun.

"Hei, kau tahu?" seorang anak perempuan berkata pada temannya.

"Apa?" jawab temannya.

"Anak yang disana itu," katanya pelan. Tanpa melihat pun aku tahu dia pasti sedang menunjukku.

"Ada apa dengan anak itu?"

"Dia gay lho!"

"Benarkah?"

"Iya! Aku dengar dari teman-teman yang lain."

"Dari mana mereka mendengar berita itu?"

"Dari saudara kembarnya!"

"Oh, mengerikan."

Kemudian mereka berdua tertawa lirih. Telingaku panas, jantungku sakit. Gosip yang Sora sebarkan kemarin telah menyebar begitu cepat. Awalnya dia memberitahu beberapa orang di perpustakaan lalu menyebar ke kantin dan sekarang kelas. Aku tidak tahu bagaimana nasibku setelah ini.

Sora datang. Wajahnya terlihat beringas untuk suatu alasan yang tak jelas. Dia melihatku dengan senyum aneh di bibirnya. Kemudian Sora duduk di kursinya, menulis sesuatu di atas kertas kemudian meremasnya.

Aku mengacuhkan kakakku. Aku tidak mau tahu urusannya.

Tuk.

Segumpal kertas mengenai kepalaku. Aku menoleh ke samping. Kulihat Sora menopang dagunya dengan tangan kiri, memasukan kelingkingnya ke mulut, dan bertingkah seperti orang bodoh. Di dekat kakiku terdapat segumpal kertas jelek. Aku tahu itu pasti dari Sora. Kugigit bibir bawahku sedikit, sebelum membungkuk untuk mengambil gumpalan itu. Aku membuka gumpalan itu dan disana tertulis, "Dasar bodoh".

Ini sudah biasa.

Pesan-pesan beruntun dari Sora yang selalu menyakitkan.

Gumpalan-gumpalan kertas lain berdatangan. Setiap aku membukanya, yang tertulis adalah, "Dasar jelek", "Kau tidur dengan siapa kemarin malam?", "Heh! Aku menyesal menjadi saudaramu!".

Kenapa?

Aku menyesal juga karena menjadi adikmu yang selalu kau tindas.

Tidak. Aku bohong. Tanpa dia, aku pasti tidak akan ada.

Lalu kudengar pintu kelas terbuka. Pelajaran hari itu adalah biologi. Guru kami adalah seorang calon guru dari universitas terkemuka. Dia mengajak beberapa teman. Salah satunya yang paling dekat denganku adalah Axel Garland. Dia adalah mahasiswa semester 5. Datang ke sekolahku untuk mengumpulkan data dari murid-murid kelas satu. Kami dulu bersahabat baik saat SD. Aku kelas satu, dia kelas enam. Tapi semuanya berakhir saat aku baru menginjak masa remaja. Axel mengatakan padaku bahwa dia menyukaiku. Sora mendengar itu dan segera memukul Axel tepat di mata kirinya. Dan aku tentu tidak bisa menerima cintanya karena aku belum benar-benar paham apa itu cinta. Sora dan Axel bermusuhan sedangkan aku, aku seperti penengah bagi mereka.

Aku dan Axel tetap berkomunikasi walaupun Sora melarangku. Terutama setelah Sora memusuhiku tanpa alasan yang jelas. Axel selalu menjadi penyemangat bagiku. Beberapa kali dia memintaku untuk jadi pacarnya walaupun aku tak pernah menjawabnya...

"Rox!" seru Axel setelah masuk ke kelas.

"Hai, Ax," kataku lesu. Axel mendekatiku. Wajahnya berseri aneh, rambut merahnya menyala.

"Kau tahu? Hari ini ada apa?" katanya penuh semangat. Aku menarik nafas.

"Apa? Angket lagi?" tebakku dengan nada lesu. Wajah Axel semakin berseri.

"Benar! Kau tahu tentang apa angket kali ini?"

"Cara belajar di rumah atau minat dan bakat?"

"Bukan! Hari ini adalah angket sosialisasi dengan keluarga!" dia berseru aneh. Membuat beberapa murid lain menatapnya lucu.

"Iya, iya." aku sewot. Kemudian bel berbunyi, menandakan jam pelajaran telah dimulai. Murid lain segera duduk di tempat masing-masing dan Axel maju ke meja guru sedangkan temannya yang lain berdiri di dekat pintu.

"Selamat pagi, anak-anak," kata Axel ceria. Kami membalasnya,

"Selamat pagi, Pak."

"Kalian masih ingat aku?" kata Axel lagi.

"Masih, Pak." kami menjawab bersamaan.

"Oke. Kalau kalian masih kenal denganku. Kalian pasti masih ingat dengan namaku ."

Diam.

Bodoh.

"Kau! Anak yang disana!" Axel menunjukku. "Sebutkan siapa namaku." dia bertingkah seolah guru yang galak tapi tetap saja bagiku, dia hanyalah Axel. Axel yang bodoh dan pedo..

"Axel Garland. Mahasiswa semester lima. Tinggal di Sharon Street dan bermimpi menjadi orang terkenal. Terima kasih." aku menjawab dengan malas. Seisi kelas melotot padaku, menganggapku sebagai siswa tak sopan. Oh, great. Just great.

"Benar. Nah, hari ini aku ingin kalian mengisi angket sosialisasi keluarga ini."

Sebuah 'O' panjang keluar dari mulut para murid kecuali aku. Kuperhatikan Sora mengeluh, menidurkan kepalanya di meja.

Sora..

Kau tahu?

Aku ingin dirimu yang dulu...

To Be Continued….

Sekian dulu.

Chapter selanjutnya segera menyusul

XDDD