A/N: Akhirnya saya bisa nelurin nih fic di tengah WB. Dan itu bukan berarti WB saya udah sembuh Orz. Ini aja baru jadi setelah berminggu-minggu. Ngetiknya nyicil seratus word perhari. So? Maklumin aja jika publishnya selambat keong ==" #WBKronis

Dan bersiap-siaplah dengan berbagai sumpah serapah dan kata-kata kotor yang akan muncul di fic ini. Karena tahu sendiri kan? Gimana wataknya Sol dan juga Ragna? =="

Untuk chapter ini, drama masihlah mendominasi. Akan ada selingan humor di beberapa chapter ke depan.


Guilty Gear + Blazblue © Arc System Works

I Married A Bastard © Viero D. Eclipse aka Badass Heartbreaker

Pairing: Mentioned a bit Sol/Aria, slight Ragna/Jin (for the lulz); eventual pair: Sol Badguy x Ragna (Hell yeah! Badass pairing ever!)

Genre: Drama/Romance/Humor

Rated: T semi M (untuk perang cursing)

Warning: Crossover AU with some canon trivia, Shounen-Ai, Cursing of doom! OOC (I hope not!) Abal, Sampah, Gak logis dan kurang realistis =="

Don't like? Don't read!


"One day you will ask me which is more important? My life or yours? I will say mine and you will walk away not knowing that you are my life." – Kahlil Gibran


-Prologue-

The Wheel Of Fate Is Turning

.

.

Tak ada yang spesial di hari itu.

Semua panorama yang terhampar di depan matanya tak terlalu banyak mengalami perubahan berarti. Semuanya tetap sama. Tetap saja klise. Dan ia yakin, jala monotonitas itu tak akan mudah tergoyahkan oleh perbedaan. Karena memang hidupnya begitu biasa saja. Simple. Tak terlalu banyak hal yang menarik untuk diceritakan.

"Tim A segera antarkan barang dalam waktu setengah jam. Setelah itu Tim B yang akan mengambil alih daerah kalian. Pemesanan untuk hari ini banyak dilakukan di jantung kota. Jadi, kalian harus bergerak cepat!"

"Kami mengerti!"

Seorang koordinator tampak mengatur para bawahannya dengan baik. Beberapa arahan diberikan dalam proses mobilisasi itu. Para customer service dikerahkan untuk melayani semua panggilan pelanggan. Dan segenap staf bersiap-siap untuk menunggu giliran mereka terjun ke lapangan.

Tak terkecuali Ragna.

Terduduklah ia pada sebuah kursi di dekat etalase kaca. Bertopang dagulah ia untuk sesaat sembari terus memperhatikan lalu lalang dari para staf dengan raut bosan. Seperti biasa. Staf-staf itu tampak memakai seragam berwarna merah, memakai topi untuk melindungi kepala dari ganasnya sengatan matahari, membawa bertumpuk-tumpuk kardus berisikan pizza. Dan mengantarnya ke masing-masing alamat pelanggan.

Oh... dan hal itu juga berlaku untuk Ragna.

Pemuda berambut putih itu tidak datang untuk menjadi pelanggan dan memakan pizza seenaknya. Senasib dengan mereka. Ia datang untuk bekerja. Lebih tepatnya bekerja paruh waktu sebagai seorang staf pengantar pizza. Memang, hal itu merupakan sebuah profesi yang tak terlalu dapat dibanggakan. Namun setidaknya, Ragna bersedia melakukan pekerjaan itu untuk sebuah misi yang mulia.

Ia ingin membantu keuangan keluarga.

Sebagai seorang pemuda dengan dua adik kandung dan tanpa orang tua, sudah seharusnya ia yang menjadi tulang punggung keluarga. Meski kedua adiknya juga turut membantu keuangan mereka, namun Ragnalah yang lebih memegang peranan krusial itu.

"Ah, Ragna! Bisa kau antarkan pizza ini? Ada seorang pelanggan yang memesan lima buah pizza di daerah Ikaruga. Pizza ini jangan sampai terlambat diantarkan." Litchi tampak menyerahkan selembar kertas—yang bertuliskan alamat lengkap dari pelanggan yang harus didatangi Ragna. Dan pemuda bermata heterochromic itu lantas memperhatikan alamatnya untuk sesaat. Dahinya berkerut serius.

"Apartemen Ikaruga kamar 704 B atas nama... Nona Millia Rage?"

"Benar. Kau jangan sampai terlambat. Aku memilihmu karena hanya kaulah satu-satunya staf yang mampu mengantarkan pizza dengan cepat. Nona Millia Rage merupakan pelanggan nomor satu di tempat kita. Jangan sampai ia kecewa dengan pelayanan restoran kita, Ragna. Apa kau mengerti?"

Ada keseriusan dalam tatapan wanita yang menjabat sebagai seorang manager utama itu. Mengerti, Ragna pun mengangguk affirmatif. Ya, memang benar bahwa ia dikenal sebagai seorang pengantar pizza yang sangat cepat. Itu jelas saja. Mengingat, ia tak terlalu memperhatikan rambu-rambu lalu lintas dan selalu mengemudikan motor dengan seenaknya. Dan kelebihan itulah membuatnya mendapatkan upah yang lebih tinggi dari para staf lain.

Cukup adil—bagi Ragna. Karena setidaknya, upah itu bisa ia manfaatkan untuk menabung. Dibandingkan dengan para rekannya yang senang menggunakan upah mereka untuk berfoya-foya. Lagipula, bukankah kerja keras dengan niat yang tulus akan mendapatkan hasil yang maksimal?

Teori itu sudah terbukti sekarang.

"Alamat ini... waktu itu aku pernah mengantarkan pizza di daerah yang sama. Tapi aku selalu saja tersesat setiap melewati tikungan kedua. Banyak sekali perempatan dan jalan kembarnya. Aku harus lebih teliti."

Ragna bergumam sendiri sembari menata lima buah kardus pizza di dudukan sepeda motornya. Ia pun lantas membuka kemeja putihnya, menampakkan seragam merah yang menjadi simbolik bahwa ia hanyalah seorang staf pengantar pizza. Apakah ia harus malu karena berpakaian seperti itu? Jawabannya adalah tidak. Ia sungguh tak peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain terhadapnya. Ia hanya akan menjalani kehidupannya sendiri.

Seorang mahasiswa...

Untuk pemuda seusia Ragna, sepertinya ia lebih pantas untuk menjadi seorang mahasiswa daripada menjadi seorang pengantar pizza. Ah, pemuda berusia 22 tahun itu memang merupakan seorang mahasiswa tingkat akhir saat ini. Ragna merupakan seorang mahasiswa jurusan Office Managemen yang terdaftar di Universitas Sector Seven. Namun, masanya dalam menuntut edukasi tak berlangsung terlalu lama. Tepat di semester akhir, ia memutuskan untuk menunda kuliahnya demi kelangsungan masa pendidikan kedua adiknya.

Ia sungguh merupakan contoh figur seorang kakak yang berdedikasi.

TIN! TIINNN!

"Brengsek! Segeralah menyingkir dari jalanku, Keparat! Aku harus segera mengantarkan pizza ini ke tempat pelangganku!" Dan meskipun Ragna adalah seorang figur kakak yang sangat baik dan bertanggung jawab, itu bukan berarti ia memiliki kepribadian seputih kapas. Ragna tetaplah Ragna. Seorang pemuda yang dikenal berwatak keras dan memiliki kebiasaan mengutuk semua orang. Terkadang, ia juga sangat kasar dan tidak sopan.

Tapi sungguh, dibalik semua itu...

Ia merupakan seorang pemuda yang berhati mulia.


~)0(~SxR~)0(~


"Kita harus segera menemukan calon pendamping yang tepat untuknya. Aku tak ingin menunda hal ini lebih lama lagi."

"Tenanglah, Tuan. Sebentar lagi, Raven akan segera tiba kemari untuk melaporkan hasilnya."

Ada kekalutan yang terpancar jelas di wajahnya saat itu. Di wajah seorang pria yang menyimpan banyak sekali enigma untuk diterka oleh orang lain. Ia terduduk di sana, dengan jemari yang sesekali tampak bergetar. Ia cemas. Khawatir tentu saja, karena sedang menantikan hasil yang belum pasti.

"Aku mengerti bahwa kau sangat merasa bersalah padanya, Tuan. Tapi yakinlah, bahwa semua ini bukan sepenuhnya kesalahanmu." Sebagai seorang asisten yang baik, I-no mencoba meyakinkan atasannya. Wanita itu sudah mengabdi begitu lama. Ia tak ingin melihat orang yang sangat ia hormati itu semakin terpuruk dalam dosa yang tak seharusnya ia tanggung. Namun, perasaan bersalah sudah membekas terlalu dalam. Hingga menjadi guratan trauma yang seolah absolut.

Tak tersembuhkan.

"Aria meninggal karena kesalahanku. Dan semenjak hal itu terjadi, Frederick pun semakin membenciku. Kami bertiga merupakan sahabat baik. Dan sekarang, semuanya hancur hanya karena kelalaianku." Pria itu tampak tertunduk sembari menggigit bibir bawahnya. "Aku harus segera menebus kesalahanku."

"Maaf. Bukan maksudku untuk menentang pemikiranmu. Tapi, apakah kau pikir cara ini akan berhasil? Jika Frederick sampai tahu, ia pasti tak akan pernah memaafkanmu, Tuan."

"Aku tahu itu. Tapi Freddie merupakan orang yang sangat keras kepala. Ia tak akan mengijinkan siapapun untuk menyembuhkan lukanya sampai ada orang lain yang memaksakan obatnya." Penjelasan itu membuat I-no bertopang dagu. Dengan pandangan determinasi, sang atasan pun mengguratkan keputusannya.

"Dan akulah yang akan menyembuhkan lukanya. Meskipun hal itu dengan cara paksaan. Aku tak peduli. Aku hanya ingin Frederick mendapatkan semangat hidupnya lagi meskipun ia tak akan pernah memaafkanku selamanya."

"Jika kau begitu yakin, maka aku akan membantumu. Aku bersumpah bahwa aku pasti akan membuat rencanamu ini berhasil." Tak ada raut main-main dalam paras I-no. Dan hal itu membuat sang atasan merasa lega. Keloyalan bawahannya itu memang tak seharusnya dipertanyakan lagi.

"Kalau begitu, kau pasti sudah tahu apa yang harus kau lakukan pada Freddie sekarang?"

"Tentu saja aku tahu itu, Tuan. Aku bahkan sudah mempersiapkan apa saja hal-hal yang akan kita butuhkan nanti." Simpulan senyum tergurat instan di paras I-no. Sang atasan hanya menganggukkan kepalanya simbolik affirmatif. Dan tepat di detik itu juga, intervensi pun datang dari seseorang yang sudah mereka tunggu-tunggu.

"Tuan. Aku datang untuk melapor!"

"Raven! Bagaimana hasilnya? Apa kau sudah menemukan calon yang tepat untuk Frederick?" Raven menganggukkan kepala memberikan kepastian. Pria yang menutupi parasnya dengan topeng itu seolah datang dengan membawa sebuah cahaya keselamatan bagi atasannya. Tak ada yang lebih melegakan selain hanya mendengarkan kabar mengenai hasil kerjanya sendiri.

"Aku sudah menemukan orangnya. Aku yakin, ia pasti bisa menjadi istri yang baik untuk mantan sahabat Anda, Tuan."

"Apa kau yakin, Raven? Orang ini benar-benar tepat untuk Freddie? Karena sekali kita menjalankan rencana ini, semua tak akan bisa dikembalikan lagi." Skeptis, pria itu kembali memastikan semuanya. Dan dengan rasa optimis tinggi, Raven mengangguk yakin.

"Aku berani menjaminnya, Tuan. Orang ini sudah kuawasi selama hampir dua tahun lamanya. Ia berhasil melewati semua tahapan eksperimen kita dan ia juga sudah mempelajari apa yang harus ia miliki untuk menjadi replika dari Aria. Ia merupakan seorang calon yang sangat sempurna."

"Baiklah. Kupercayakan semuanya padamu. Segera kau jemput target dan lakukan seperti yang sudah kurencanakan! Apa kalian berdua mengerti?" perintah dari atasan mereka membuat I-no dan Raven saling menatap satu sama lain. Menganggukkan kepala. Itulah yang mereka lakukan sebagai simbolik affirmatif.

"Kami mengerti, Tuan."


~)0(~SxR~)0(~


"Aku yakin, pasti inilah apartemennya."

Atensi Ragna tampak berfokus pada sebuah bangunan besar yang ada di hadapannya. Sebuah apartemen berkelas yang sudah pasti akan dihuni oleh kebanyakan orang kaya. Ada beberapa orang yang lalu lalang di dalam koridornya. Sepertinya tak masalah bagi pemuda berambut putih itu untuk segera menyerahkan pesanan pizza langsung di depan kamar apartemen pelanggannya.

"Cih! Aku terlambat sepuluh menit dari biasanya. Lalu lintas keparat! Untuk apa kumpulan polisi sialan itu berjaga di pos mereka jika keadaan jalanan tetap saja tidak berubah, hah? Brengsek." Umpatan demi umpatan termuntahkan. Dengan raut ketus, Ragna segera melangkahkan dirinya untuk menuju lift. Dan pada genangan waktu yang sama, seorang wanita tampak keluar dari dalam lift. Seorang wanita berambut merah dan memiliki paras yang begitu rupawan.

Manis—pikir Ragna. Meskipun selama ini ia tak terlalu tertarik dengan wanita, namun ia akui secara obyektif bahwa wanita yang baru saja berpapasan dengannya itu sangatlah manis. Perwujudan wanita itu bahkan terlihat seperti sebuah boneka porselin. Tapi entah mengapa, ada sesuatu yang aneh di dalam dirinya.

Pandangan hampa.

Ada seberkas kehampaan yang ada di mata gadis itu. Seolah tak memiliki semangat sama sekali. Ia terlihat seperti seonggok jasad yang dipaksa hidup di dunia ini.

"Apa wanita itu baik-baik saja? Ia benar-benar terlihat aneh." Dengan skeptis, Ragna hanya dapat menautkan kedua alisnya sembari terus menatap gerak gerik wanita berambut merah itu. Wanita itu terus berjalan dengan ekspresi datar menuju ke areal luar apartemen. Dan semakin lama, langkahnya yang mengarah pada sebuah blok di bagian sudut tepian jalan semakin membuat rasa curiga Ragna bertambah.

'Apa-apaan dia? Mengapa dia justru pergi ke tempat sepi dan tersudut seperti itu? Apa ia tidak tahu bahwa terkadang banyak sekali genk berandalan yang ada di sana?' Ragna bukanlah tipe orang yang suka mencampuri urusan orang lain. Namun fenomena yang baru saja terjadi tepat di depan matanya itu sungguh tak bisa dibiarkan begitu saja.

'Setelah kuantarkan pizza ini, aku akan segera menyusulnya untuk berjaga-jaga. Ia benar-benar aneh. Semoga saja tak terlalu banyak para berandalan yang akan menganggunya nanti,' batin Ragna singkat sebelum pada akhirnya ia berlalu memasuki lift.

.

.


"Ikaruga street Blok 17 C."

Kalimat itu bagaikan mantra yang harus selalu ia ingat dan ia sematkan ke dalam nalar. Dengan langkah gontai, Valentine terus saja berjalan hingga ke tempat destinasinya. Pucat semakin membingkai paras manis wanita berambut merah itu. Ia sudah siap untuk digunakan. Ya, itulah tujuannya melakukan semua ini. Itulah sebab mengapa ia menjadi seperti ini. Seonggok jasad tanpa jiwa. Secercah boneka yang dipaksa hidup. Atau bahkan mayat yang segan bernyawa. Semua analogi itu kini seolah meresapi eksistensinya sebagai wujud entitas diri.

Dan ia tak peduli.

Ia sudah melakukan segalanya. Demi mendapatkan apa yang ia inginkan. Menjadi calon pendamping dari Frederick—seorang ilmuwan jenius sekaligus pengusaha terkaya yang ada di Jepang saat ini. Ya. Itu adalah impian terbesarnya. Ralat. Menjadi pendamping dari orang macam Frederick bukan hanya impiannya saja. Melainkan impian dari setiap gadis yang ada di dunia ini. Pria itu merupakan seonggok eksistensi yang mampu mencapai level kesempurnaan yang begitu tinggi. Dan Valentine hanyalah gadis biasa yang menjadi korban atas pesona dari sang ilmuwan tersebut.

Semenjak kabar meninggalnya Aria—kekasih dari Frederick—telah terdengar di mata dunia, ilmuwan jenius itupun seolah terpuruk dalam duka yang begitu mendalam. Ia seolah menghilang dari dunia penelitian dan mengurung diri dalam lingkaran anti sosial. Ia bahkan mengganti namanya dan semakin dikenal dengan sebutan "Badguy" sebagai simbolik bahwa ia bukanlah Frederick yang dulu lagi. Konon, tak akan pernah ada satupun orang yang mampu menyembuhkan luka di hati sang mantan ilmuwan itu. Karena yang terluka memang tak ingin untuk disembuhkan oleh siapapun.

Dan sebuah oknum misterius pun muncul, mengatasnamakan diri mereka sebagai sang saviour yang akan menyelamatkan eksistensi jenius itu dari lubang keterpurukan. Oknum itu terus saja mencari. Mengumpulkan banyak wanita untuk diseleksi. Dan menjadikan mereka semua sebagai bahan eksperimen untuk mencetak replika Aria yang sempurna. Dan Valentine adalah satu dari banyaknya wanita yang mampu menjadikan dirinya sebagai replika Aria dengan prosentase mendekati 98 persen sempurna.

Operasi plastik. Pencucian otak. Dan bahkan perubahan paradigma hidup. Ia rela mereset semua itu dan bahkan kehilangan jati dirinya sendiri. Semua itu ia lakukan demi impiannya. Demi obsesinya yang semakin di luar kendali logika. Riskan. Sejatinya konsekuensi dari segenap tindakannya itu sungguhlah riskan.

Karena nyawa adalah taruhannya.

Banyak para kompetitornya yang kehilangan nyawa. Ia mungkin hanyalah gadis beruntung yang sanggup bertahan hidup selama menjadi obyek eksperimen dari oknum misterius itu. Ia bahkan sadar betul bahwa fisiknya semakin melemah. Dan ia tetap tak mempedulikan hal itu.

"Kkhhkk—Aakhh..." sebuah suntikan semi sedatif tampak terhunus tepat di lengan Valentine. Wanita berambut merah itu diharuskan untuk menyuntikkan cairan sedatif itu setiap saat ke dalam tubuhnya. Agar ia tak kehilangan memori Aria. Suntikan itu adalah sebuah suntikan pengontrol DNA. Ya, benar. DNA dari Aria telah melebur menjadi satu ke dalam tubuhnya. Oknum misterius itu telah memiliki sebuah cara untuk mereplika seseorang dengan penyatuan DNA.

Sakit...

Efek dari suntikan itu adalah rasa sakit yang begitu menyiksa. Sebuah rasa sakit yang setara dengan neraka itu sendiri. Valentine pun tampak tersungkur dan bertumpu pada kedua lututnya untuk sesaat. Napasnya tersengal berat. Sekujur tubuhnya seakan pecah. Namun, dibalik semua itu, ia masihlah berusaha untuk bertahan.

"Se-Sebentar lagi Tuan Raven akan menjemputku. A-Aku harus bertahan sampai impianku bisa terwujud. Aku ha-harus bertahan..."


~)0(~SxR~)0(~


"Terima kasih telah memesan pizza di tempat kami." Ragna membungkukkan dirinya. Puas dengan tip yang ada tangannya. Millia Rage adalah seorang wanita yang ramah. Ia bahkan meminta Ragna yang mengantarkan pizza setiap kali wanita itu yang memesannya.

"Hah! Sepertinya malam ini aku bisa membelikan makanan di restoran mahal untuk Jin dan Saya. Aku yakin, mereka sudah bosan dengan jatah pizza yang kudapatkan setiap harinya."

Dengan simpulan senyum tipis, rencana pun tersusun matang. Alangkah baiknya jikalau Ragna memanjakan kedua adiknya itu. Meskipun mereka tak pernah menuntut apapun darinya, namun sebagai seorang kakak, naluri telah menyuruhnya untuk memberikan sesuatu yang lebih. Sesuatu yang spesial. Karena bagaimana pun juga, tak ada yang lebih berharga selain hanya kedua adiknya itu. Mereka adalah alasan utama mengapa Ragna masih sudi untuk bertahan hidup di dunia ini. Dan ia akan berbuat apapun untuk membahagiakan mereka.

Merasa bahwa tugasnya telah usai, pemuda bermata heterochromic itupun lantas melangkahkan diri meninggalkan apartemen. Panorama dimana beberapa orang yang berlalu lalang di tepian jalan membuatnya teringat akan satu hal. Satu hal yang sangat krusial.

"Ah! Iya juga. Bagaimana dengan wanita tadi? Firasatku tidak enak. Sebaiknya, kutengok saja dia." Tanpa basa-basi lebih jauh lagi, ia pun mulai berjalan menuju ke tempat Valentine berada. Dan tanpa Ragna sadari...

Beberapa orang misterius juga terlihat bergerak ke arah yang sama.

.

.

.

"Khhkk..."

Valentine semakin berada di ambang batasnya.

Peluh berguguran dari parasnya. Ia tak sanggup lagi untuk sekedar bertumpu pada kedua kakinya. Sungguh memprihatinkan. Sepertinya sistem tubuh gadis itu sudah tak mampu lagi menahan efek samping dari banyaknya suntikan sedatif yang menghunus dirinya. Valentine tahu bahwa semua yang ia lakukan akan bergantung pada waktu.

Tapi ia tak menyangka bahwa tubuhnya akan menyerah di detik ini juga.

"Si-Sial... a-aku tak bisa mati di sini—ughh—"

"Y-Ya ampun! Nona! A-Apa kau tak apa-apa!" Valentine sudah tak mampu lagi untuk sekedar menatap seseorang yang tengah menghampirinya. Ia tersungkur ke bawah, bersamaan dengan titik kesadarannya yang semakin terkikis. Dalam sekejap, usaha dan kerja keras yang ia guratkan selama ini seakan berbalaskan dengan nyatanya distopia. Semuanya berakhir.

Takdir tidak memihaknya.

Tidak akan pernah memihaknya.

Dan sebelum tubuh gadis itu membentur hamparan tanah, sepasang tangan telah berhasil menopangnya. Ia telah pingsan. Dan pemuda yang menopang tubuhnya semakin tenggelam dalam rasa bingung.

"He-Hei! Kau tidak apa-apa? Sadarlah, Nona!" Realita yang terjadi tepat di hadapannya itu semakin membuat Ragna panik. Hanya ada mereka berdua saja di sana dan tak ada orang lain. Terang saja. Ikagura Street blok 17 C bukanlah sebuah sudut blok yang sering terjamah oleh eksistensi orang lain. Blok itu sering digunakan sebagai markas dari sekumpulan berandalan di kota itu. Dan merupakan faktor kebetulan jikalau Ragna mendapati tempat itu dalam keadaan sepi. Mungkin saja, para berandalan itu tidak lagi bermarkas di blok tersebut dikarenakan operasi yang dilakukan oleh polisi.

Memutuskan untuk bertindak cepat, Ragna pun segera menjeritkan permintaan tolong. Ia tak mungkin bisa membawa gadis itu ke rumah sakit sendiri. Ia membutuhkan bala bantuan. Dan beruntung, beberapa pejalan kaki yang ada di sekitar tempat itupun mendengar jeritannya.

"A-Ada apa ini? Dia kenapa?"

"Aku menemukannya dalam keadaan pingsan. Sebaiknya tutup mulut kalian! Gadis ini harus segera dilarikan ke rumah sakit!" Ragna mulai geram tatkala banyak sekali pedang tanya yang terhujam padanya. Butuh sedikit penjelasan sebelum pada akhirnya, kumpulan pejalan kaki itu mau melarikan Valentine ke rumah sakit. Kejadian itu begitu cepat. Ragna pun tertinggal sendiri di dalam blok itu dengan perasaan terhenyak. Ia masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

"Se-Sebenarnya ada apa dengan gadis itu? Ia benar-benar tidak terlihat sehat. Mungkin... sebaiknya kuikuti saja ke rumah sakit. Untuk berjaga-jaga. Sanak keluarganya juga harus tahu 'kan?" Dengan helaan napas pasrah, Ragna menggelengkan kepalanya. Sejatinya ia tak ingin ikut campur dalam masalah ini. Ia bahkan tak terlalu peduli dengan nasib gadis itu. Karena ia tak mengenalnya. Dan Ragna adalah tipe orang yang masa bodoh dengan apapun.

Namun, mengingat krusialnya keadaan tadi, membuat Ragna merenung untuk sesaat. Ia adalah saksi mata yang melihat tepat di saat gadis itu tumbang ke bawah. Ia tak bisa lari dari semua kenyataan ini. Setidaknya ia bisa ke rumah sakit dan memastikan keadaan gadis itu sekali lagi. Mengetahui bahwa gadis itu masih bernyawa mungkin dapat membuat Ragna sedikit merasa lega.

Ya, sebaiknya begitu.

Dan tak diketahui olehnya...

Tepat di balik dinding bangunan tua di blok itu...

"Target ditemukan. Kode warna adalah merah. Dan pemuda itu memakai pakaian berwarna merah. Tempat ini memang khusus dipilih sebagai tempat untuk penjemputan objek. Tak mungkin ada orang yang akan kemari dengan kode seperti yang dimaksudkan oleh atasan kita. Aku yakin bahwa pemuda itu benar-benar merupakan target kita."

Sayup suara pelan termuntahkan dari mulut salah seorang pria. Seorang pria misterius dengan beberapa rekannya yang tampak menguntit Ragna dari kejahuan. Untuk sesaat, mereka terlihat merundingkan rumpunan spekulasi dengan cukup serius. Hingga pada akhirnya, kesepakatan didapat dan anggukan pun dilakukan sebagai simbolik affirmatif.

"Ah... sebaiknya aku segera ke rumah sakit kalau begitu." Ragna mulai berjalan dengan langkah stagnan menuju ke tempat dimana ia memarkirkan sepeda motornya. Pemuda bermata heterochromic itu hanya ingin agar segenap hal yang merepotkannya ini bisa cepat selesai. Setelah ke rumah sakit untuk memastikan kondisi gadis itu, ia pun ingin segera menyelesaikan shift antarnya di restoran dan segera membawakan kedua adik kandungnya itu makanan.

Sungguh sayang...

Rencana Ragna tidak semudah itu terealisasi.

"Hei, kau! Kau harus ikut dengan kami!"

"A-Apa-apaan ini? Siapa kalian? Lepaskan aku, Brengsek! Aarrgghh—"

Tak terduga.

Ragna mendadak dihadang oleh beberapa pria bertubuh besar. Satu di antaranya telah berhasil membekapnya dari belakang. Terdesak, pemuda bermata heterochromic itu mencoba berontak. Sia-sia. Ragna memang lihai bertarung. Tapi dalam kasus ini, ia sungguh kalah jumlah.

"Keparat! Cepat lepaskan aku—"

BUAAKK!

"Ghhg—aarrgghh!" Sebuah pukulan keras mendarat di punggung Ragna. Syok, ia pun tersungkur ke bawah dalam keadaan setengah sadar. Segenap orang misterius itu saling menganggukkan kepala. Dan tanpa basa-basi lebih jauh lagi, mereka membawa sang pengantar pizza itu pergi ke tempat lain.


~)0(~SxR~)0(~


Sebuah cengkraman kasar yang ada di tubuhnya seolah menandakan bahwa ia tak dapat bertindak sesuai kehendaknya sendiri.

Ia tak tahu dengan apa yang sudah terjadi. Kepalanya terasa sakit bak dihantam oleh puluhan gelas kaca. Pandangannya sedikit mengabur. Tidak fokus. Ia melangkah dalam keadaan lunglai. Itupun juga karena ia dipaksa melangkah oleh orang yang sedang mencengkram tubuhnya saat ini. Ia diseret. Sesekali ia mendengar bentakan yang cukup keras.

Sebuah bentakan... yang menyuruhnya untuk diam dan ikut saja dengan mereka.

'Si-Sial. A-Apa yang sudah mereka lakukan padaku?' Sol hanya bisa membatin. Ia tak mampu berbicara di kala itu. Sungguh tiada daya. Ia bahkan tak mampu memfungsikan sistem otaknya dengan baik. Jika saja ia dapat mengendalikan tubuhnya, mungkin ia sudah membunuh kumpulan orang-orang brengsek itu sekarang juga. Ini sungguh buruk.

Titik kesadarannya semakin sirna.

"Cepatlah! Segera bawa Frederick masuk!"

"Kami mengerti!"

Sebuah pintu terbuka lebar. Sol merasakan hawa dingin yang menghunus sekujur tubuh tatkala ruangan itu mulai menyelubungi eksistensinya. Meski dengan pandangan blur, ia bisa memastikan bahwa ruangan itu adalah sebuah kamar. Sebuah kamar dengan furnitur mewah dengan sebuah ranjang king size di dalamnya. Kemungkinan besar ruangan itu adalah sebuah kamar hotel atau kamar apartemen kecil.

BRUUKK!

"Aghh..." tubuh mantan ilmuwan itu tampak didaratkan tepat di atas hamparan ranjang. Sol hanya dapat mengerang dengan kedua mata terpejam rapat. Seringai samar pun terpapar di paras I-no.

"Tenanglah, Freddie-sayang~ Sebentar lagi, kau akan mendapatkan sebuah euforia yang baru. Aku yakin, bahwa kelak kau bisa memaafkan kesalahan bosku. Ia sungguh mengkhawatirkanmu."

Dibalik rasa senang yang terkadung di dalam frase itu, sejatinya ada satu hal yang masih mengganjal di hati I-no. Wanita bertubuh seksi itu lantas melayangkan tatapan tanya pada beberapa anak buahnya sembari bertanya, "kenapa sampai saat ini, targetnya belum dibawa juga, hah?"

"Sebentar lagi, mereka akan tiba, Nona I-no. Kami mohon bersabarlah."

"Tch! Kalian semua sungguh tidak becus!" I-no mencoba menahan amarahnya. Dilipatnya kedua tangan di dada sembari menghentakkan kaki berulang kali. Ia sudah bertekad bahwa rencana ini haruslah berhasil. Sembari menunggu kunci utama dari rencananya itu tiba, ia pun lantas melangkah maju menghampiri ranjang Sol.

"Kita harus segera menyuntikkan cairan itu ke dalam tubuh Frederick sebelum ia sadar. Pastikan bahwa dosisnya tidak terlalu berlebihan. Aku tak ingin sistem otaknya menjadi rusak. Suntikan itu akan memberinya efek amnesia untuk sementara. Ia tak akan pernah bisa mengingat kejadian hari ini."

"Kami mengerti, Nona I-no." Beberapa anak buahnya itu lekas mempersiapkan segala sesuatunya. Sebuah alat suntik tampak dikeluarkan dari dalam tas koper hitam. Bersamaan dengan sebuah botol kaca kecil berisikan cairan yang dimaksud oleh I-no. Dengan sigap, jarum suntik itu lantas dihunuskan pada lengan Sol, membuat pria berambut brunet itu mengerang sakit. Efeknya begitu cepat. Dan Sol pun kehilangan kesadaran sepenuhnya.

"Bagus. Dengan begini, kita hanya tinggal mengurus target yang satu lagi. Setelah itu, kita atur semuanya hingga menjadi nyata." I-no tersenyum puas. Hanya tinggal selangkah lagi untuk menyempurnakan rangkaian rencananya. Dan tak butuh waktu lama untuk merealisasikan semua itu. Karena pintu ruangan telah terbuka dan menampakkan beberapa anak buahnya yang lain.

"Nona I-no! Kami sudah membawa target yang dimaksud!"

"Benarkah? Mana dia?" atensi I-no mulai terarah pada figur seseorang yang dibawa oleh para anak buahnya. Dan alangkah terkejutnya ia saat tahu seperti apa figur yang menjadi sang target.

Sungguh sulit dipercaya...

"A-Apa ini? Laki-laki? Apa kalian tidak salah, hah! Kenapa targetnya laki-laki!"

"Maaf, Nona I-no. Tapi di ujung blok yang Anda maksudkan, hanya ada pemuda ini saja. Kode target adalah merah. Dan pemuda ini telah memenuhi syarat yang ada." Penjelasan itu membuat I-no semakin skeptis. Melangkahlah wanita itu menghampiri Ragna—yang masih tampak tak sadarkan diri. Dan yang benar saja. Pemuda berambut putih semi kelabu dengan seragam staf pengantar pizza itu tak mungkin menjadi target mereka. Amarah pun mulai tumbuh di diri I-no.

"Kalian semua tolol! Hanya karena pemuda ini berpakaian merah, itu bukan berarti ia adalah target yang dimaksudkan oleh Raven! Mungkin saja pemuda ini kebetulan berada di blok itu di saat kalian datang! Seharusnya target kita adalah seorang wanita!"

"T-Tapi sudah tak ada orang lagi di blok itu, Nona I-no. Hanya pemuda ini saja yang berada di sana. Dan Tuan Raven berkata bahwa target akan menunggu kedatangan kami di ujung blok itu. Sang target tak akan mungkin melanggar perintah dari Tuan Raven—"

"Argh! Cukup! Ini gila! Aku sungguh tak percaya ini!" I-no semakin geram. Beberapa anak buahnya hanya dapat menunduk ketakutan. Wanita itu mulai mengepalkan tangannya dengan erat. Resistensi membara.

"Cepat bawa pemuda ini pergi! Aku menginginkan target yang sesungguhnya! Cepat temukan dia!"

"Tapi Nona I-no—"

"Tunggu apalagi, hah? Kita sudah tak memiliki banyak waktu sekarang ini!" Bentakan keras itu cukup mampu untuk membuat segenap anak buahnya bungkam. Mereka mengerti bahwa melanggar perintah I-no bukanlah sebuah tindakan yang cukup bijak. Tanpa basa basi lebih lanjut lagi, mereka segera mengangguk dan mulai membawa Ragna untuk keluar dari ruangan itu.

Hingga pada akhirnya...

"Tunggu, I-no. Mungkin saja, pemuda ini memang merupakan target yang dimaksud oleh Raven."

"A-Apa?" sesosok wanita berambut merah muda tampak mengintervensi momen genting itu, membuat segenap orang yang ada di dalam kamar sedikit terhenyak. I-no menautkan kedua alisnya di saat ia mengetahui identitas dari sang interuptor.

"Baiken? Apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku kemari hanya ingin memastikan segala sesuatunya saja. Tidak lebih dari itu." Baiken yang juga merupakan rekan I-no itu mulai mengarahkan atensinya pada sosok Ragna. "Seperti yang kukatakan tadi. Janganlah terlalu cepat mengambil keputusan. Aku yakin pemuda ini memanglah target yang dimaksud oleh Raven."

"Hah! Mengapa kau bisa yakin dengan segenap lelucon ini? Wujud pemuda ini tidaklah sama dengan Aria! Jadi mana mungkin jika dia adalah target yang sebenarnya?" I-no menyeringai sinis. Seolah ingin menertawakan spekulasi Baiken. Dan sang rekan hanya tersenyum melihat itu.

"Gender dan wujudnya mungkin tak sama dengan Aria. Tapi dalamnya? Mungkin saja 'kan?"

"Dalam?"

"Benar. Selama ini, banyak sekali wanita yang ingin mereplika Aria. Namun sistem tubuh mereka tak sanggup menampung DNA dari sampel utama. Banyak yang gugur. Dan mungkin saja, orang yang berhasil melewati serangkaian eksperimen itu hanyalah pemuda ini." Baiken memicingkan matanya. Tak mengindahkan tatapan syok I-no. Spekulasi akhir pun ia guratkan,

"Kepribadian Aria... mungkin saja pemuda ini berhasil mengcopy-nya."

"A-Apa katamu? Kepribadian Aria?" tercengang. Perasaan itu tak dapat terhindarkan lagi. Kedua mata I-no membelalak. Gelengan kepala ia lakukan dengan cepat. Keskeptisan pun meluap.

"I-Ini tidak mungkin... Frederick tak mungkin disandingkan dengan seorang pria! Jika memang pemuda ini merupakan target yang sebenarnya, itu berarti Raven sudah gila!"

"Jika di dunia ini, tak ada satupun wanita yang mampu menggantikan Aria di hati Frederick, mungkin seorang... 'pria' adalah jawabannya, I-no."

"A-Apa?"

Sungguh sulit dipercaya.

Pada akhirnya, I-no terdiam sejenak menyelami penjelasan itu. Mungkin, yang dikatakan Baiken ada benarnya juga. Jika memang tak ada satu pun wanita yang diijinkan untuk mengobati luka hati seorang Sol Badguy, mungkin seorang pria adalah satu-satunya jawaban. Sungguh besar kemungkinan jikalau manusia bergender laki-lakilah yang mampu menampung DNA Aria. Karena sifatnya lebih kuat dibandingkan dengan DNA dan sistem tubuh seorang wanita.

Dan lagi...

Mungkin saja dengan pemuda itu, Frederick bisa membuka lembaran hidup yang baru. Tanpa perlu terperangkap dalam bayang-bayang Aria. Tanpa perlu lagi terperosok dalam lubang kesakitan yang kian dalam.

Ini memang konyol.

Tapi jika memang hanya itu satu-satunya solusi yang realistis...

"Akan sangat sulit bagiku untuk mengatur semuanya. Frederick tak pernah menaruh minat pada laki-laki. Kupikir orientasi seksualnya masihlah normal."

"Memang. Orientasi seksual Frederick masihlah normal. Ia bukan gay. Dan di dunia ini, banyak sekali orang yang menginginkannya. Ratusan wanita tergila-gila pada kesempurnaan entitasnya. Bahkan pria sekalipun. Tapi aku yakin, hukum itu juga berlaku pada pemuda ini. Pemuda inilah yang akan menaruh minat terlebih dahulu pada Frederick. Dan jika memang takdir memihak mereka, maka Frederick juga pasti akan tertarik padanya."

Seakan penuh dengan enigma, Baiken hanya menyunggingkan senyum tipis. Kini tak jadi masalah jikalau Ragna bukan merupakan target mereka. Karena pada akhirnya, tali takdirlah yang akan menentukan semuanya. Mereka hanya bisa menunggu waktu.

Dengan helaan napas panjang, pada akhirnya I-no pun pasrah pada keadaan. Segera diliriknya kembali sosok Ragna yang tampak mengerutkan dahinya menahan pening. Staf pengantar pizza itu juga akan segera mencapai titik kesadarannya. I-no tak punya waktu. Berbekal dengan keyakinan yang diguratkan Baiken, ia pun membuat sebuah keputusan besar.

"Kalau begitu, segera baringkan pemuda ini di dekat Frederick. Berikan dia suntikan dengan cairan itu. Mereka berdua tak boleh mengingat apapun tentang hal ini. Dan kita harus membuat beberapa orang yang berpengaruh percaya bahwa inilah realita baru yang akan dihadapi oleh Freddie."

"Kami mengerti, Nona I-no."

Pernyataan itu cukuplah mampu untuk membuat Baiken tersenyum samar. Kedua wanita itu hanya membisu menatap beberapa bawahan mereka mengatur semuanya. Kini, terlihat Ragna berbaring pulas di dekat Sol. Seutas selimut dibentangkan untuk membelit kedua tubuh pria itu.

"Aww... lihatlah itu, I-no. Mereka berdua terlihat begitu manis jika disanding seperti ini~"

"Tch! Lupakan fantasimu itu! Kau membuatku semakin sulit untuk mengatur semuanya! Freddie tak akan mungkin bisa menerima semua skenario yang tak masuk akal ini. Ia bukanlah orang bodoh yang bisa ditipu semudah itu!" I-no membentak dengan sangat ketus. Dan hal itu membuat gema tawa terguratkan dari mulut Baiken. Ia menggelengkan kepalanya.

"Kita tak akan tahu hasilnya jika kita tak mencobanya, I-no. Tenanglah. Jika semua ini gagal, aku akan bertanggung jawab atas semuanya."

"Hah! Aku yakin pemuda ini bukanlah target kita! Kau membujukku agar fantasi fujomu itu terealisasi. Kau sungguh licik!"

Dengan adanya justifikasi lantang itu, suara tawa Baiken pun semakin menggema. I-no yakin bahwa segenap lelucon yang terjadi di depan matanya itu hanyalah sebuah bentuk kegagalan terbesar yang pernah ada dalam hidupnya nanti. Ia harus mempersiapkan dirinya untuk meminta maaf pada atasannya dan meminta penjelasan langsung dari Raven. Kontradiksi dengan keyakinan Baiken yang percaya bahwa takdir bisa melahirkan keajaiban. Keduanya tak akan pernah dapat menemui jawabannya saat ini.

Menunggu.

Hanya sang waktu yang bisa menunjukkan hasilnya nanti.

Apakah mereka berhasil mengubah takdir dari kedua pemuda itu?

Ataukah... tidak.

TBC


A/N: Ada beberapa hal yang gak realistis dan kurang logis di fic ini. Dan juga banyak kalimat redundansi yang mungkin rancu. Maklumin aja ya. Ini efek WB. Saya beneran males nyari referensi apalagi mikirin plot yang cukup realistis. Beta ulang aja segan rasanya #Eeaa. Saya buat fic ini cuman buat sekedar fun aja. Karena saya lagi demen pair ini.

Dan mohon maaf. Untuk sementara ini, fic-fic lama saya yang lain masih belum bisa saya updet. Saya lagi butuh inspirasi dan motivasi untuk nulis. So, be patient please. ^^;

Makasih buat semua yang udah baca. Itupun kalo memang ada #LOL