Jika Naruto milik saya, sudah saya jodohkan dengan Sasuke sejak lahir^^

OCC, typo, etc. a lot. newbie. Enjoy :)

.

.

Hinata dan Sasuke pernah mempunyai pemikiran yang sama dulu. Dulu, saat mereka masih kecil dan belum benar-benar mengerti dunia luar. Berfikir bahwa ayah mereka sama-sama kolot. Hiasi yang temperament dan Fugaku yang keras kepala. Ataupun Hiasi yang membanggakan Hanabi dan Fugaku yang membanggakan Itachi.

Mereka bertetangga sejak lahir, menghabiskan malam-malam sepi tanpa kasih sayang yang benar-benar utuh berdua. Kadang duduk di ayunan belakang rumah Hinata sambil menghitung bintang, atau berbaring di atas rerumputan liar dengan angin malam yang dingin menusuk.

Suatu hari di bulan November, ketika angin bertiup kencang menggugurkan berbagai dedaunan kering, Sasuke menarik Hinata untuk kabur. Membawa gadis kecil itu dan dirinya sendiri yang bahkan tidak mengerti hitam dan putih dunia.

Mereka kabur, memastikan kedua ayah mereka akan mencari atau tidak. Tidak banyak yang Sasuke mengerti tentang Tokyo. Meski ia lahir dan besar di sana, tetap saja Sasuke masihlah kecil, lugu, polos, dan tidak mengerti. Jadilah mereka kabur ke stasiun di pinggiran Tokyo.

Hinata kecil yang takut dan kedinginan duduk memeluk lutut, berharap bahwa sang ayah datang menjemput, memeluk nya hangat seperti yang selalu dilakukannya pada Hanabi Hyuga si bungsu Hyuga.

Berbeda dengan Sasuke, yang berharap bahwa ia akan dilupakan dan tak pernah dianggap ada. Otak Sasuke berputar, imajinasi nya berjalan, beradu satu dengan harapan menyakitkan yang ia fikirkan sejak hari-hari lalu dimana Itachi selalu di nomor satukan, bahkan Ibunya juga mengakui segala hal tentang Itachi si sulung Uchiha.

"Oii Hinata, kau sudah mengantuk yaa? Apa kau lelah?" Sasuke membuka suara, memecah keheningan di peron kereta yang sunyi dan senyap. Tidak banyak orang yang datang malam itu, bahkan Hinata merasa bergedik membayangkan jika mereka berdua pada akhirnya tak ditemukan dan diculik oleh orang dewasa bertudung hitam.

Hinata menggeleng dalam diam nya. Gadis kecil itu memutar kepalanya, menghadap Sasuke dengan bibir yang membiru karena kedinginan. Pipi nya yang gembil dan menggemaskan itu juga memerah, udara di akhir musim gugur memang selalu menusuk kulit.

"A-ah." Sasuke bergumam. Si bocah raven melepas sweater rajutan biru muda nya, memindahkannya pada pundak Hinata yang ringkih dan tampak tepus. "Kau kedinginan." Tambahnya setelah itu.

"S-sasuke-kun tidak p-perlu repot-repot begini." Hinata sudah akan melepas sweater milik Sasuke, namun si Uchiha bungsu menahannya, mengisyaratkan bahwa ia tidak ingin ditolak.

"Tidurlah Hinata. Aku menyayangimu." Sasuke menarik kepala Hinata mendekat kearahnya, menyandarkan kepala penuh helai indigo ke bahu nya yang juga lelah.

Malam itu, kedua bocah yang lemah dan lelah tertidur di peron kereta, saling menebak berbagai ekspetasi-ekspetasi yang melelahkan.

.

.

.

Tahun-tahun berlalu begitu cepat. Musim demi musim yang silih berganti menciptakan suasana yang selalu berbeda. Suatu hari di musim panas yang terik, Hinata terbangun di suatu ranjang yang sudah ia tempati selama beberapa tahun belakangan ini.

Pagi itu kepalanya terasa pusing, saat akan turun dari ranjang, pintu kamarnya mendadak berderit, dan Sasuke muncul dibaliknya, telah siap dengan kaos oblong nya dan celana pantai seolah ia peselancar. Di tangannya, Sasuke menenteng nampan, dengan dua mangkuk penuh bubur dan segelas jus tomat yang teraduk dengan dua sedotan.

"Kau sudah bangun Hinata." Suara Sasuke serak. Hinata mencoba menebak, bahwa mungkin Sasuke juga baru bangun dan segera bergegas mandi. Tidak seperti dirinya yang sudah bangun namun masih enggan untuk beranjak.

Sasuke meletakkan nampan di meja kecil dekat ranjang Hinata. Kemudian menarik kursi dan mengajak Hinata untuk bangun, juga mencicipi bubur hangat yang diduga Hinata buatan Bibi Kurenai.

"Aku masih mengantuk Sasuke-kun." Hinata berbalik arah, masih terlentang di ranjang nyamannya. Ia terkikik dalam hati, senang menggoda Sasuke yang tiba-tiba langsung menggeret dirinya untuk bangun.

"Hey hey kau harus bangun gadis pemalas." Sekali lagi Sasuke menarik Hinata, tapi si gadis hanya terkikik dan mempertahankan posisi mengantuknya.

"Ayo makan atau akan kupanggilkan Lee-pyon." Ancam Sasuke.

Rock Lee memang terkenal sebagai penggemar berat warna hijau, juga semangat nya yang membara kadang terlalu lebay. Well, lagipula bukan rahasia lagi bila cowok yang pintar bela diri itu nge-fans Hinata setengah mati.

Sasuke bahkan ingat, hari-hari pertama kepindahannya kesini, saat ia dan Hinata tiba-tiba bertemu Lee. Dan cowok hijau itu sudah hampir memeluk Hinata. Sasuke kelas sekali saat itu, namun juga merasa konyol.

Hinata tersentak, langsung menurut untuk bangkit dari ranjang dan duduk bersama Sasuke, menikmati sarapan pagi dengan bubur hangat. Meski Hinata mengerti bahwa ucapan Sasuke hanyalah gertak sambal, Hinata tetap menurut pada Sasuke.

Mereka duduk berhadapan, dengan jendela yang terbuka separuh, menampakkan sinar terik nya yang malu-malu. Hinata memulai sendokan pertamanya sambil menatap Sasuke, wajah nya merona entah kenapa. Ada banyak hal yang membuat Hinata betah menatap wajah Sasuke lama-lama. Sifatnya yang tak mudah ditebak itu membuat Hinata nyaman, kadang ketus, kadang juga begitu hangat.

Hinata ingat saat mereka masih kecil, ketika liburan musim panas dan mereka malah mengubur diri dalam pasir putih. Mansion sederhana Hyuga memang memiliki taman belakang yang cukup menyenangkan. Seperti jungkat-jungkit, ayunan, kotak pasir yang cukup besar, dan rumah pohon yang selalu menjadi kunjungan Sasuke dan Hinata semasa kecil.

Mereka berjemur, hanya menampakkan dua kepala si Hyuga dan Uchiha kecil dari balik kota pasir, tubuh mereka telah benar-benar terkubur. Membuarkan kedua wajah mereka diterpa teriknya matahari. Meski begitu, kulit keduanya tetap tak bisa secokelat Naruto Uzumaki yang tinggal lima rumah dari mansion Uchiha.

Ketika itu Sasuke sedang sakit flu musim panas yang memang sering datang mendadak karena pergantian musim yang begitu signifikan. Hinata terus mentertawakannya, bahkan hingga mereka berdua telah berjemur. Jadi Sasuke terpaksa membungkam Hinata dengan kecupan singkatnya. Menempelkan bibir nya pada bibir ranum Hinata yang terasa seperti gula kapas. Hinata merona hebat saat itu.

Keesokan harinya Hinata juga terserang flu, bahkan lebih parah dari Sasuke. Dan Sasuka mengejeknya mati-matian.

"Enak yaa?" Suara Sasuke memecah lamunannya. Hinata merona lebih pekat. Entah mengapa setiap kali mengingat masa lalunya dengan Sasuke, Hinata merasa benar-benar hidup dan akan merona hebat bila sampai di suatu kenangan yang paling ia sukai.

"E-eh?"

Sasuke berdecak, sudah menduga Hinata bahwa sedang berimajinasi yang mungkin saja aneh-aneh. "Kau melamun!" tuduhnya.

"T-tidak." Bantah Hinata.

Sasuke tau itu bohong. Dia menyeringai, mendekatkan wajahnya pada wajah Hinata hingga Hinata yang malu-malu itu terpaksa mundur. "Jika melamun lagi, ku cium kau." Bisikan Sasuke terdengar sungguh-sungguh, membuat Hinata merona parah sekali.

"A-ah, Sasuke mesum!" Hinata mendorong dada Sasuke, menyingkirkan cowok yang suka sekali menggoda nya itu.

Hinata kembali menyendokkan suapannya, namun ia merasa bubur yang dimakannya benar-benar terasa hambar. Jadi gadis itu memeletkan lidahnya, merasa tidak enak. "T-tidak enak." Gumam Hinata yang cukup untuk terdengar gendang telinga Sasuke.

"Kenapa memangnya? Kau tidak boleh makan yang terlalu asin." Sahut Sasuke.

"Tidak adil." Hinata memberenggut, teringat beberapa hari ketik ia datang ke rumah sakit dan menemukan dirinya yang menderita paru-paru basah.

Ekspresi Sasuke berubah. Ekspresi yang Hinata sama sekali tidak mengerti. Berdegradasi antara marah,kesal,dan kecewa, namun juga memberikan unsur sedih yang mendalam.

"Makan saja Hinata." Ujar Sasuke pada akhirnya.

Keheningan yang selanjutnya terjadi membuat Hinata merasa kecewa. Rasa bersalah sedikit menyusupi hatinya. Ia merasa perasaannya sangat pias.

Mereka berdua melanjutkan makan dalam keheningan yang mencekam. Dalam diam Hinata memperhatikan cara makan Sasuke yang lahap, menduga bahwa bubur Sasuke pasti terasa jauh lebih enak dari miliknya.

Hinata hanya merasa sedih saja. Paru-paru basah nya sudah mencapai tingkat yang sulit tertolong. Namun si gadis indigo itu sama sekali tidak menyesal, membiarkan banyak sebab paru-paru nya menjadi kenangan terindah yang pernah ia genggam.

Ketika masih kecil Hinata dan Sasuke yang kesepian selalu menghabiskan malam mereka berdua di luar rumah, saling menguatkan dan menggenggam tangan. Namun udara malam yang dingin memang tak pernah baik untuk kesehatan.

Sedangkan Sasuke Uchiha memikirkan hal yang berbeda. Mengutuk dirinya yang telah membawa Hinata keluar rumah setiap malam menjelang. Rasa bersalahnya semakin menguat setiap kali ia mengamati Hinata yang tertidur pulas. Wajah gadis nya yang pucat itu membuat nya tertekan, hingga ia terus dihantui rasa bersalah yang membuncah.

"Bubur milikmu tampak lebih enak dari milikku Sasuke-kun."

"Tidak." Ungkap Sasuke jujur. Hinata bisa merasakannya, namun enggan percaya.

"Tidak? K-kau bohong." Hinata menyambar bubur milik Sasuke dengan sendoknya, langsung mengecapnya dan merasakan kejujuran.

Sasuke tidak berbohohong.

Sasuke tidak berbohong. Bubur Sasuke sama dengan miliknya, terasa hambar. Tapi mengapa Sasuke lahap sekali? Hinata terus mempertanyakan hal itu dalam hati.

"Hey!" Seru Sasuke kaget. "Hinata, bubur ini tidak buruk kok. Aku yang membuatnya, kau tidak suka ya?" Lanjut Sasuke dengan suara seraknya.

Hinata merasa bersalah.

Mendadak hatinya dipenuhi rasa haru. Sasuke bahkan rela memakan bubur yang rasanya hambar sama dengan miliknya agar ia yang menderita sakit mau tetap makan dan menjalani hidup dengan baik.

Hinata bergumam, "M-maaf."

Sasuke menghela napas panjang, mendekat kearah Hinata dan menyibak anak rambut gadis itu dengan jemari nya yang beku. "Aku menyayangimu, sekarang makanlah. Oke?"

Hinata terus memikirkan wajah Sasuke yang mendadak terasa sendu. Ia mengangguk, "Oke."

.

.

.

Yuhi Kurenai merasa mengantuk dan lelah. Wajah nya yang berseri berubah menjadi separuh abad itu duduk bersandar di peron kereta sambil mengetuk-ngetukkan sepatu jinjit nya. Hatinya dipenuhi rasa sesak, dan kepalanya penat sekali.

Rasa ingin cepat pulang ke Hokaido terasa begitu mengocok perasaannya. Kurenai hampir tertidur kalau saja suara peluit kereta tidak berdengung keras menyadarkannya yang harus segera pulang. Malam telah semakin larut.

Dengan tubuh yang lunglai, Kurenai melangkah menuju kereta. Stasiun sudah hampir sepi. Hanya ada beberapa orang yang tampak dalam pandangannya. Namun tiba-tiba tenggorokannya terasa tercekat, ia merasa sangat haus. Jadi wanita itu berhenti, membuka tas selempangnya dan mengambil sebotol mineral yang selalu ia bawa kemana-mana.

Saat wanita itu telah selesai dengan rasa haus nya. Seorang bocah menarik-narik blazer nya. Kurenai merunduk, menatap laki-laki berambut raven yang tampak menggigil. "Ah nak, ada apa?" Kurenai menyahut dengan nada ramah, teringat ia yang masih belum mempunyai momongan meski telah tiga tahun menikah.

"Bibi, boleh aku minta air? Teman ku kedinginan, dan ia haus." Wajah si bocah yang meyakinkan membuat Kurenai iba. Jadi ia mengangguk, mengikuti si bocah dengan sebotol mineralnya.

Kurenai merasa kedua bocah itu terlalu lucu untuk dilewatkan. Seorang gadis imut bernama Hinata dengan rambut indigo pendeknya, dan bocah laki-laki yang jutek namun perhatian dengan rambut raven serta kedua bola matah hitam segelap malam.

Kurenai tersenyum, ia merasa tertarik dengan cerita yang kedua bocah itu suguhkan. "Aku membenci ayah ku." Bocah yang ia ketahui bernama Sasuke itu menyahut.

"Dia hanya menyayangi dan mengurus kakak ku, sedangkan aku tak memiliki ibu. Entah kemana." Lanjut Sasuke kecil dengan wajah sebal.

Hinata berbeda, wajahnya yang pucat membuat rona merah nya tampak ranum. "A-aku sama. A-ayah ku menyayangi adikku yang memang imut, t-tapi aku selalu m-merasa kesepian. A-aku hanya bersama S-sasuke-kun. Ibu ku tiada setelah melahirkan H-hanabi-chan."

Sejak malam itu, yang berlanjut pada malam-malam selanjutnya, Sasuke dan Hinata menemukan keluarga baru. Pasangan bahagia yang tak memiliki anak, Asuma dan Kurenia.

.

.

.

Hinata terbangun di suatu malam dingin di musim panas. Padahal ini musim panas, namun Hinata merasa sangat kedinginan. Kepalanya berat, saat akan keluar kamar, ia mendadak tersungkur, hidung nya mengeluarkan darah, membuat Hinata tercengang setengah mati. Ia ingin berteriak marah, kesal dengan keadaannya yang lemah.

"S-sas…Sasu…ke."

Bisikan Hinata seperti angin lalu, ia tersungkur dan lelah. Dada nya dipenuhi rasa lelah dan pias yang berdegradasi menjadi penderitaan. Kata-kata pedas yang dulu sering dilontarkan Hiasi terus berputar dengan benaknya, membaur dengan luka lama dan sakit paru-paru nya.

Gelap.

.

To Be Continued.

.

.

Terima kasih, tinggalkan review?

-ai-