Dengan senyum lebar, ia perlahan masuk ke dalam ruang kamar Menma. Namun betapa terkejutnya ia ketika mendapati Menma yang baru saja sadar. Menma pun begitu. Ia baru saja sadar, namun orang yang pertama kali ia lihat adalah orang yang tak dikenalnya.

"Kau siapa?" tanya Menma.

Gadis itu pun tersenyum lembut dan berjalan mendekat secara perlahan. Lalu berhenti tepat di samping kasur Menma. "Aku adik dari pemilik jantung yang sekarang berdetak di tubuhmu"

#

#

"Not Only You"

[Sequel of Two Love for One Heart]

#

#

Rate : T

Genre : Romance, Drama

Disclaimer Masashi Kishimoto

Chara : Menma x Shion, Slight Naruto x Sakura

Warning! Absurd story, Story from me, Typo, Gaje, Mainstrem, etc

NO BASH!

NO SILENT READERS!

REVIEW PLEASE ^_^

#

#

#

Summary :

Namikaze Menma—saudara kembar Namikaze Naruto. Pada akhirnya ia tak bisa mendapatkan gadis yang telah membuatnya merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya—Haruno Sakura. Ketika hidupnya di ambang batas, seorang gadis misterius—Shion—datang bagai seorang malaikat yang memberikannya kehidupan baru. Dirinya yang masih di rumah sakit karena sedang menjalani pemulihan setiap harinya selalu ditemani gadis pirang bermanik lavender itu. Namun ia menyadari sebuah kebenaran yang menyakitkan.

#

#

#

CHAPTER 1

#

#

Bau obat-obatan tercium dari segala penjuru. Warna putih bersih mendominasi hampir seluruh ruangan. Suasana sunyi dan yang terdengar hanyalah suara mesin-mesin penunjang kehidupan. Terlihat seorang pemuda berambut hitam dan bermanik sapphire terbaring lemah di atas sebuah ranjang khas rumah sakit. Sebuah infus yang terletak di samping ranjang itu tersambung langsung ke tangan Sang Pemuda. Selimut hangat pun menutupi hampir seluruh badannya.

Namikaze Menma nama pemuda itu. Ia mengedipkan matanya beberapa kali dan ekspresinya terlihat bingung. "Maksudmu aku masih hidup?" tanyanya sambil memegang dada kirinya. Terasa detak-detak jantung yang teratur menjawab pertanyaannya sendiri.

"Mengapa kau bertanya seperti itu? Apa kau berharap mati?" tanya gadis manis pemilik manik lavender yang jernih dan memukau. Gadis itu memasang ekspresi dingin. Namun Menma tak melihatnya. Karena ia kini tengah menatap langit-langit kamarnya dengan ekspresi yang tak kalah dingin.

"Bisa dibilang begitu," tiba-tiba saja kata-kata itu meluncur keluar dari bibir Menma. Spontan gadis berambut pirang tersebut melebarkan matanya. Kemudian kemarahan terlihat dari manik lavender itu.

"Ap—..."

"Arigatou" ucap Menma pelan sebelum gadis manis itu meluncurkan kemarahannya. Seketika pancaran kemarahan sirna dari manik lavender gadis yang kini sedang berdiri mematung bagai orang bodoh. Ia pun megedipkan maniknya beberapa kali.

"Apa kau bilang?"

"Tidak akan kuulangi" ujar Menma dengan pipi yang mulai bersemu merah.

Walau mendapat jawaban seperti itu, gadis berambut pirang itu tetap terdiam dengan kepala tertunduk. Semburat merah terlihat mulai terlukis di pipi putihnya. Sedangkan kedua jarinya tampak saling bertautan. "B-bukan aku yang pantas menerima rasa terima kasihmu itu. Tapi Onii-chan lah yang pantas menerimanya" elak gadis itu bertolak belakang dengan sikapnya sekarang.

Menma menggelengkan kepalanya pelan tanpa melepas pandangannya dari langit-langit kamarnya. "Kau tetap pantas menerimanya. Karena kau rela memberikan jantung kakakmu padaku"

Ekspresi gadis itu pun berubah drastis. Tadinya ia terlihat malu-malu. Namun kini ia terlihat muram. Manik lavender nya telah kehilangan cahaya yang membuatnya tampak lebih indah. "Aku hanya menuruti permintaan terakhir Onii-chan" ujarnya sangat pelan. Namun telinga Menma masih dapat mendengarnya dengan sangat jelas.

"Kalau begitu, sampaikanlah rasa terima kasihku pada kakakmu"

"Aku tidak bisa. Dia sudah meninggal dunia" luka, kesedihan, dan kehilangan. Ketiga rasa itu bercampur menjadi satu dalam nada yang mengiri kata-kata yang baru saja ia ucapkan.

Menma pun kini mulai menatap gadis yang masih menundukkan kepalanya itu. "Aku tahu. Maka dari itu, tolong sampaikan padanya. Karena kau adiknya. Aku yakin ia pasti mendengarmu"

Mendengar perkataan Menma membuat gadis tersebut mengangkat kepalanya hingga akhirnya manik lavender miliknya beradu pandang dengan manik sapphire milik Menma. Entah kenapa gadis tersebut mulai merasa lebih baik. Sedangkan Menma masih terpaku menatap manik lavender yang digenangi air mata itu.

Merasa manik lavendernya kini menjadi objek pandang Menma, gadis tersebut pun mengalihkan pandangannya ke direksi lain hingga mereka tak lagi beradu pandang. "Kenapa kau tak kunjungi makamnya dan berterima kasih sendiri? Aku yakin kalau Onii-chan juga akan mendengarmu" tutur gadis itu dengan nada yang ia buat seketus mungkin.

Menma yang mendengar hal itu hanya dapat menghembuskan nafas pasrah. Gadis yang sedang berdiri di samping kasurnya ini sangatlah merepotkan. Namun ia tak bisa berkomentar banyak. Karena tanpa adanya gadis tersebut, mungkin sekarang ia telah berada di alam lain dan tubuhnya tidak akan berada di sini—di tempat yang hangat. Melainkan di dalam makam yang dingin.

Memikirkan hal itu, membuat Menma membuka mulutnya, "Aku pasti akan ke sana dan berterima kasih secara langsung". Kemudian kembali ia tatap gadis manis yang merepotkan itu dengan senyum lembutnya. "Temani aku, ya"

Gadis itu tampak tak percaya dengan penglihatan dan pendengarannya. Sejak tadi Menma tampak seperti orang dingin dan menyebalkan baginya. Namun kini semua anggapan itu berubah. Menma jadi terlihat seperti seseorang yang sangat ia sayangi sejak dulu hingga sekarang. Yang raganya tak bisa ia peluk lagi. Shion pun hanya dapat menundukkan kepalanya lagi dengan muka yang mulai memerah bagai tomat.

Sebuah anggukan kecil ia berikan sebagai jawaban atas permintaan Menma. "Hm"

Setelah itu, suasana kembali sunyi. Kedua orang itu sibuk dengan kegiatan dan pemikiran mereka sendiri-sendiri. Menma sibuk menatapi langit-langit ruang kamarnya sambil memikirkan banyak hal yang telah ia lewati dan yang mungkin akan ia hadapi. Sedangkan gadis itu hanya menatap sendu jari-jari tangannya yang saling bertautan satu sama lain. Ingatan mengenai kakaknya telah mendominasi pikirannya sekarang.

Suasana yang begitu sunyi dan canggung ini ternyata mulai terasa tak menyenangkan bagi keduanya. Mereka hendak mengakhirinya segera. Namun perasaan lain menghentikan itu. Terus begitu hingga akhirnya Menmalah yang mengalah. "Namaku Namikaze Menma. Kau?" tanya Menma sambil mengalihkan pandangannya pada gadis bersurai pirang tersebut.

Gadis yang ditanya hanya diam dan menatap Menma terkejut. Bahkan mulutnya sedikit terbuka. Dan semua ini terjadi karena pertanyaan tiba-tiba Menma. Mungkin sudah menjadi kebiasaan Menma untuk mengejutkan orang di sekitarnya. Karena dulu pun gadis bersurai merah muda sering menjadi korbannya.

Setelah pulih dari keterkejutannya, gadis bersurai pirang itu pun mulai membuka mulutnya. "Etto...Mmm... Na-namaku Shion". Manik lavendernya yang jernih tampak menatap benda-benda yang ada di sampingnya—menghindari bertatapan langsung dengan Menma.

Menma menaikkan salah satu alisnya—bingung. "Hanya itu?" pekiknya. Sedangkan Shion hanya memasang ekspresi polosnya. Tanda kalau dia gagal memahami arti pertanyaan Menma barusan.

"Ah, maksudku apa nama margamu? atau Shion itu margamu?" Menma berusaha memperjelas dan Shion pun mulai mengerti.

Senyum kecut pun terlukis di wajah cantik Shion. "Shion itu nama kecilku. Cukup itu yang perlu kau tahu". Nada dingin terdengar dari setiap kata yang ia ucapkan. Menma sendiri juga tidak ingin bertanya lebih lanjut. Karena ia percaya kalau setiap orang memiliki garis yang tidak sembarang orang boleh memasukinya. Dan sebagai orang yang hanya 'diselamatkan dari kematian' ia jelas tak memiliki hak untuk melangkah melebihi garis yang telah Shion ciptakan itu.

Sedangkan Shion, alasannya tak ingin memberitahu nama marganya cukup sepele. Yaitu karena ia tidak suka dengan marganya. Bukan karena marganya jelek. Tapi karena marganya mengingatkannya pada kedua orang tuanya yang telah meninggalkannya seperti kakaknya. Jadi ia lebih suka bila dipanggil Shion. Hanya Shion.

"Hm. Akan ku ingat" ujar Menma sebelum kembali menatap langit-langit kamarnya dan kembali tenggelam dalam pikirannya.

Shion sendiri entah kenapa terlihat gelisah. Terkadang matanya menatap Menma kemudian mengalihkannya lagi ke benda di sekitarnya. Jari jemarinya yang lentik hanya saling bertautan sejak tadi. Bahkan beberapa kali bibir mungilnya terlihat terbuka lalu beberapa detik kemudian kembali menutup—seperti ikan kehabisan oksigen. Sepertinya ada sesuatu yang hendak ia sampaikan pada Menma. Namun kata-kata itu tersangkut di tenggorakannya dan tidak bisa keluar. Terus berulang hingga akhirnya Menma yang mencoba melihat keadaan Shion dari ujung matanya, menyadari kesulitan gadis bersurai pirang itu.

"Katakan saja apa yang ingin kamu katakan," nasihat Menma tanpa melepaskan pandangannya dari langit-langit ruang kamarnya.

Tentu saja Shion terkejut dengan perkataan Menma yang tiba-tiba itu. Namun baginya ini adalah kesempatan yang sangat bagus untuk mengatakannya pada Menma apa yang sejak tadi tersangkut di tenggorokannya. Jadi sebelumnya ia mengatur nafasnya terlebih dahulu agar apa yang akan ia sampaikan dapat terdengar jelas. "Izinkan aku mendengar detak jantung kakakku" pinta Shion.

Menma yang mendengar permintaan Shion tak bisa menolaknya apalagi jika ia menatap manik lavender itu. Ia pun hanya dapat memalingkan mukanya dan menggumam lemah. "Lakukanlah sesukamu"

Walau tak terlalu jelas, Shion mengerti betul apa yang Menma katakan. Senyum lebarpun menghias wajah cantik Shion.

"Arigatou" ucapnya sambil mendekatkan kepalanya ke tubuh Menma. Kemudian ia memiringkan kepalanya menghadap kepala Menma. Setelah itu ia letakkan kepalanya ke atas dada kiri Menma. Membuat Menma dapat merasakan hangatnya pipi Shion yang menempel di dadanya. Ia juga dapat mencium bau harum shampoo yang Shion gunakan. Menma pun hanya dapat memalingkan wajahnya agar Shion tak melihat rona merah yang telah menghiasi pipinya sekarang ini.

Sebuah senyum bahagia tak lepas dari wajah cantik Shion. Ia begitu senang dapat mendengar suara jantung kakaknya yang berdetak. Hingga air mata mulai menggenangi manik lavendernya lalu menetes membasahi baju Menma. Tentu saja Menma menyadarinya. "Apa kau mau membasahi bajuku, Nona?" tanyanya dengan nada dingin.

Shion pun segera menegakkan kembali kepala dan badannya. Kemudian menghapus lembut air matanya dan tertawa ringan. "Gomen... Sepertinya aku terlalu merindukan kakakku"

Menma memperhatikan Shion dengan seksama. "Hn. Tidak apa-apa" jawabnya.

"Tapi setelah mendengar jantung kakakku yang berdetak di tubuhmu, aku merasa jauh lebih baik" ucap Shion dengan sebuah senyum manis menghias wajahnya. Menma pun menjadi salah tingkah sendiri dan pipinya kembali memerah.

"A-apa terdengar jelas?" tanyanya pelan.

Shion mengangguk pelan. "Sangat jelas dan juga..." ia menggantung kalimatnya hingga Menma menatapnya dengan penuh rasa penasaran.

"... detaknya sangatlah cepat!" seru Shion yang langsung membuat Menma memalingkan mukanya ke arah lain. Ia tak ingin Shion melihat mukanya yang memerah. Namun sepertinya usahanya itu sia-sia. Karena mukanya memerah hingga sampai telinga. Tentu saja Shion menyadarinya. Gadis berambut pirang itu pun tertawa melihat tingkah Menma yang baginya lucu. Sedangkan bagi Menma, tawa Shion seperti penjahat yang telah berhasil melakukan kejahatan.

Di saat seperti ini, terdengar suara pintu ruang kamar Menma yang diketuk lalu dibuka pelan. Hingga muncullah seorang gadis berambut merah muda panjang yang didampingi oleh seorang pemuda berambut kuning dengan muka yang tak jauh berbeda dari Menma. "Sakura!" pekik Menma terkejut ketika melihat sosok gadis berambut merah muda yang diketahui bernama Haruno Sakura tersebut.

Mendengar panggilan Menma, Sakura melangkahkan kakinya mundur satu langkah—terkejut. "Menma! Kau sudah sadar?"

"Seperti yang kau lihat" jawab Menma dengan nada dinginnya—seperti biasa.

"Lihat... Seharusnya kau tak perlu terlalu khawatir, Sakura-chan. Karena yang aku tahu, Menma itu tidak akan menyerah dengan mudah" tutur seorang pemuda berambut pirang yang merupakan saudara kembar Menma—Namikaze Naruto.

"N-Naruto..." panggil Menma pelan.

"Yo, adikku!" sapa Naruto dengan cengiran khasnya.

Sedangkan Menma yang mendengar kata 'adik' segera memberi Naruto sebuah deathglare. "Aku hanya lahir 10 menit setelahmu" tegas Menma.

"Tetap saja kau adikku" ucap Naruto sambil mengacak rambut Menma dan membuat sang empunya memasang wajah masam.

"Daripada kamu mengganggu Menma, lebih baik kamu memberitahu orang tuamu kalau Menma sudah sadar. Pasti mereka akan sangat senang" nasihat Sakura yang membuat Naruto tidak dapat mengelaknya.

"Baiklah, aku pergi dulu" balas Naruto sambil berjalan lemas keluar pintu. Sedangkan Sakura dan Shion yang melihatnya hanya tertawa. Lalu Menma, bagaimana dengan Menma? Oh, lebih baik jangan tanya. Karena sekarang dia sedang berusaha menahan tawanya hingga wajahnya memerah sampai telinga. Naruto pun hanya dapat mendengus kesal ketika mendengarnya.

"Ah!" pekik Shion tiba-tiba.

Sakura pun segera menolehkan kepalanya ke arah Shion. "Ada apa, Shion-san?" tanya Sakura yang memang telah berkenalan dengan Shion sebelumnya.

"Tidak ada apa-apa. Hanya saja aku baru ingat kalau ada banyak hal yang harus kulakukan untuk kakakku. Aku juga tak mungkin menyerahkan semuanya pada nenek dan kakekku. Jadi aku harus pergi sekarang" jawab Shion sambil melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa keluar pintu.

"Jaa!" serunya sambil mengangkat salah satu tangannya sebelum menutup pintu ruang kamar Menma sepenuhnya.

BLAM!

Pintu pun tertutup rapat. Menyisakan Sakura dan Menma yang hanya berdua dalam ruang kamar yang cukup luas ini. Suasana canggung pun tak dapat mereka hindari. Sakura sangat bingung harus mengatakan atau melakukan apa agar dapat menghilangkan suasana canggung ini. Begitu pula dengan Menma. Sejak hanya ada ia dan Sakura di ruangan ini, jantungnya tak henti-hentinya berdegup kencang. Bahkan ia merasa kalau ruangan ini semakin panas saja.

"B-bagaimana hubunganmu dengan Baka-Naruto?" tanya Menma mencoba membuka sebuah topik pembicaraan. Namun ia telah salah memilih topik.

Mendengar pertanyaan Menma membuat Sakura terkejut kemudian semburat merah mulai menghias pipi putihnya. Terlihat ia menyelipkan beberapa helai rambut merah mudanya yang indah ke belakang telinga untuk mengusir kegugupannya. "Hu-hubungan kami baik-baik saja" kata-kata itu meluncur dengan mulusnya dari bibir ranum Sakura. Membuat Menma hanya tersenyum kecut. Hatinya sakit. Namun ini salahnya sendiri karena memilih topik ini sebagai pembicaraan mereka.

"Bisa dibilang, hubungan kami sedikit ada kemajuan" lanjut Sakura yang membuat Menma menaikkan salah satu alisnya—bingung.

"Sedikit? Apa kalian berdua belum menjadi sepasang kekasih?" tanya Menma yang terlanjur penasaran. Padahal biasanya ia tak terlalu banyak tanya.

Sakura kembali menyelipkan beberapa helai rambut merah mudanya ke belakang telinganya. "Entahlah…." ujarnya ragu. Sedangkan manik emeraldnya terlihat sedang memikirkan sesuatu sebelum ia kembali membuka mulutnya. "…Kupikir belum"

Menma menatap sepasang manik emerald Sakura yang tak membalas tatapannya dan malah menatap sekelilingnya. Gadis itu tertawa canggung seolah-olah menjadikan kata-kata yang baru saja ia ucapkan tadi sebagai lelucon. Namun Menma tidaklah bodoh atau tidak peka seperti Naruto. Ia tahu kalau apa yang Sakura katakan tadi bukanlah lelucon. Melainkan kenyataan yang sebenarnya.

"Hah~" Menma menghela nafas membuat Sakura menatapnya bingung.

"Ada apa?" tanya Sakura khawatir.

"Tidak. Hanya saja…" Menma menggantungkan kalimatnya dan menatap manik emerald Sakura. Kali ini Sakura menatap manik sapphirenya. Namun Sakura menatapnya dengan tatapan polos dan penuh tanda tanya.

"Hanya saja?"

Menma menggelengkan kepalanya pelan. "Lupakan saja" pintanya yang malah membuat Sakura semakin bingung dan tidak mengerti. Namun Sakura berusaha tak mempermasalahkannya dan memilih mengangguk pelan untuk menyetujuinya. "Uum"

Sebenarnya tadi Menma hanya tidak habis pikir mengenai sauadara kembarnya yang super baka itu. Siapa lagi kalau bukan Naruto? Pemuda pirang itu membuat Menma merasa kesal sendiri. Padahal Menma sudah mengalah mengenai Sakura. Namun apa-apaan dengan yang Naruto lakukan itu? Tidak memberi penjelasan atau penegasan pada hubungannya dengan Sakura sehingga gadis berambut merah muda itu merasa bingung sendiri dengan statusnya. Jika terus seperti ini, bisa-bisa ego Menma akan muncul kembali dan dia akan berniat merebut Sakura dari tangan Si Baka-Naruto itu. Bukankah itu gawat?

"Ano ne, Menma…" Sakura mulai membuka mulutnya. Menyadarkan Menma dari pemikiran bodohnya.

"Hm?"

"Arigatou, selama ini kau telah memberiku banyak kebahagiaan, kau menjagaku dan memperhatikanku. Selain itu…" Sakura mengantungkan kalimatnya dan menatap manik sapphire Menma dalam-dalam. Menma sendiri dapat melihat manik emerald Sakura mulai berkaca-kaca.

"Arigatou, sudah mencintaiku dan..." Sakura menarik nafas lalu membuangnya perlahan sebelum ia kembali membuka mulutnya, "...gomen, karena aku tak bisa membalas perasaanmu" butir demi butir air mata mulai berjatuhan menyusuri pipi putih Sakura.

Menma cukup terkejut mendengar seluruh perkataan Sakura. Ia bisa melihat betapa tulusnya Sakura mengatakan semua itu. Bahkan sampai manik emeraldnya yang indah itu digenangi air mata yang juga mulai berjatuhan. Menma pun kemudian tersenyum tulus. Ia pejamkan matanya sejenak sebelum kembali ia buka. Lalu ia tatap Sakura lembut dengan senyuman yang tulus. Ia ulurkan tangan kirinya untuk menghapus air mata Sakura—gadis itu memang berdiri di samping kiri kasur yang ia gunakan ini.

"Jangan menangis. Aku tak suka melihatmu menangis" tuturnya begitu halus.

Sedangkan Sakura malah semakin menangis hingga terdengar isakan di sela-sela tangisannya. "Ha-habisnya… hiks… aku ta-tadi sangat… hiks… takut … hiks… tak bisa mengatakan s-semua ini… hiks… padamu"

Senyum Menma kini semakin lebar. Walau begitu, manik sapphire nya terlihat menatap Sakura sayu. "Tapi sekarang kau telah bisa mengatakan semuanya padaku, bukan? Jadi berhentilah menangis, Ok?" Menma berusaha membujuk Sakura layaknya sedang membujuk anak kecil. Namun entah kenapa ini membuat perasaannya senang. Mungkin karena ia sangat jarang bisa melihat sisi lain dari seorang Haruno Sakura yang selama ini selalu berusaha terlihat kuat. Dan sekarang sepertinya pertahanan gadis musim semi itu telah goyah. Hingga ia terlihat begitu rapuh di mata Menma.

"Un" Sakura mengangguk pelan dan menghapus air matanya. Walau begitu terkadang masih terdengar sedikit isakannya.

"Sekarang tersenyumlah" perintah Menma yang entah kenapa Sakura turuti.

Melihat Sakura yang tersenyum manis itu pun membuat Menma ikut tersenyum."Nah, begitu" ujarnya yang dibalas tawa kecil Sakura. Menma pun bingung dibuatnya. Apa gerangan yang ditertawakan gadis bersurai merah muda itu?

"Apa ada yang lucu?" tanya Menma.

Sakura mengangguk mantap. "Kau. Kau sangat lucu ketika bersikap seperti tadi. Itu terlihat seperti seorang guru SD! Dan ku pikir itu tak cocok denganmu" Sakura masih terus tertawa.

Sedangkan Menma hanya dapat mendengus kesal. Ia tak suka dirinya menjadi bahan tertawaan. Namun rasa kesal itu sedikit demi sedikit memudar ketika melihat ekspresi Sakura yang sedang tertawa. Entah kenapa ia merasa lega. Ya, lega. Karena paling tidak Sakura sekarang tak lagi menangis.

Dan tanpa ia sadari, sebuah garis lengkung telah terbentuk di wajah tampannya. Namun beberapa detik kemudian ekspresinya berubah menjadi suram dan senyumnya hanyalah senyum kecut. Mungkin karena ia sadar betapa sulitnya untuk menghilangkan perasaan cintanya pada gadis musim semi itu. Bahkan sampai sekarag ia masih mencintai gadis itu. Gadis yang jelas-jelas mencintai saudara kembarnya yang bodoh itu.

.

.

.

~:~:~:~:~:Not Only You:~:~:~:~:~

TAP!

TAP!

TAP!

Terdengar suara langkah kaki seorang gadis menyusuri koridor rumah sakit yang cukup ramai hari ini. Sebuah senyuman terukir di wajah cantik gadis itu. Helaian rambut pirang panjangnya tampak menari mengikuti irama kaki. Sedangkan sepasang manik lavendernya menatap lurus ke depan. Sosok anggun namun terlihat angkuh itu terlihat sedang memeluk sebuah album foto. Entah apa yang akan ia lakukan dengan album foto tersebut.

261—

Setelah melihat deretan angka yang terukir cantik pada sebuah papan yang terletak di samping pintu, membuat sang gadis—yang diketahui bernama Shion—menghentikan langkahnya. Ia menarik nafas panjang terlebih dahulu, kemudian ia hembuskan perlahan. Terlihat ia seperti sedang meyakinkan dirinya sendiri sebelum tangan kanannya mulai menggapai pintu dan membukanya perlahan.

"Bagaimana kabarmu hari ini Men—ma?" terlihat ekspresi bingung pada wajah cantik Shion. Bagaimana tidak? Ia berencana mengunjungi Menma. Namun yang ia dapati hanyalah sebuah ruang kamar yang kosong. Walau begitu, masih terdapat beberapa barang Menma di ruang kamar ini. Sehingga ia merasa sedikit lega. Karena paling tidak Menma belum keluar dari rumah sakit ini. Tapi, jika begitu, dimana Menma berada sekarang?

Sebuah pemikiran-pemikiran bodoh mulai terlintas di dalam otak Shion. Ia menjadi takut. Selama beberapa hari ini, Shion selalu mengunjungi Menma dan Menma selalu berada di tempat yang sama. Yaitu di atas kasurnya. Namun mengapa kali ini ia tidak ada? Atau jangan-jangan…

"Tidak. Itu tidak mungkin, kan?" Shion menggeleng-gelengkan kepalanya mencoba mengusir pikiran negatif yang menari-nari di dalam otaknya.

Hembusan angin masuk ke dalam ruang kamar dengan mudahnya. Menerpa tubuh Shion dan bermain-main nakal dengan rambut pirang panjangnya. Eh, tunggu! Hembusan angin? Tapi bagaimana bisa?

Manik lavender Shion pun mulai menjelajahi setiap sudut ruang kamar Menma untuk mengatahui darimana asal angin tersebut. Hingga pandangannya hanya tertuju pada satu objek. Yaitu sebuah jendela yang terbuka lebar dengan tirai berwarna biru laut yang berkibar menutupinya. Shion pun melangkahkan kakinya mendekati jendela tersebut. Menyingkap tirai yang terus berkibar karena hembusan angin itu.

Ia pandang pemandangan di luar sana. Ia cukup terkejut karena ternyata jendela ini tepat menghadap taman rumah sakit yang terletak tepat di samping gedung rumah sakit ini. Ia tak pernah menyadarinya. Sebab ia memang tak pernah melihat keluar jendela. Manik lavendernya pun terlena dengan suguhan indah penyejuk mata. Pemandangan yang ia saksikan dari kamar Menma yang terletak di lantai atas ini memanglah indah. Hingga ia menangkap sosok yang tak asing di matanya. Bahkan sosok itulah yang sejak tadi ia cari keberadaannya.

Sebuah senyum lembut pun terukir di wajah cantik Shion. Sekarang perasaannya menjadi lega. Karena ternyata sosok yang tadi ia cari itu kini sedang duduk manis di sebuah bangku yang terlihat jelas dari jendela kamar Menma. Namun kemudian ia buru-buru menutup jendela yang terbuka itu dan melangkahkan kakinya keluar kamar—hendak menyusul Menma.

.

.

.

~:~:~:~:~:Not Only You:~:~:~:~:~

Seorang pemuda berambut hitam dan bermanik sapphire duduk termenung di salah satu bangku taman rumah sakit. Ia kini sedang menikmati semilir angin musim gugur yang cukup dingin. Beruntung ia tadi memutuskan untuk menggunakan jaket dan syal. Sehingga ia tak terlalu merasa kedinginan.

Sebenarnya tak seharusnya dia berada di sini pada musim seperti ini. Terlebih ia kan masih dalam tahap pemulihan. Namun mau bagaimana lagi? Ia terlalu bosan berada di ruang kamarnya seorang diri dan hanya di temani oleh setumpuk buku pemberian ayahnya. Hari ini ke dua orang tuanya sedang sibuk dan ia tak ingin menganggu mereka. Sedangkan saudara kembarnya masih belum pulang sekolah. Mungkin karena kegiatan klub yang ia ikuti. Lalu gadis yang masih ia cintai sampai saat ini, juga sepertinya belum pulang sekolah.

Sebenarnya ada seorang gadis berambut pirang yang entah kenapa setiap hari selalu mengunjunginya dan bercerita mengenai pengalamannya bersama dengan kakak tercintanya itu. Ia tak terlalu tertarik dengan semua itu, namun ia tak bisa menolak gadis yang merupakan adik dari orang yang telah dengan senang hati memberikan jantungnya untuk dirinya yang hampir saja mati. Walau begitu, terkadang ia juga menikmati saat gadis itu dengan penuh semangat menceritakan berbagai macam cerita. Hitung-hitung untuk menghapus rasa bosannya. Namun hari ini sepertinya gadis tersebut terlambat sehingga ia terlanjut bosan dan memilih untuk mengganti suasana dengan pergi ke taman rumah sakit.

Bagaimana jika gadis itu atau yang lainnya mencarinya? Itu tidak masalah. Karena ia telah meninggalkan petunjuk dengan cukup jelas baginya. Lagipula ia tak pergi keluar dari kawasan rumah sakit. Jadi tidak apa-apa, kan?

Dengan tenang, pemuda berambut hitam dan bermanik sapphire itu memejamkan matanya. Ia benar-benar terlena dengan suasana taman yang begitu menyejukkan ini. Sudah lama sekali ia tak merasakan udara luar. Namun karena ia yang terlalu terlena, ia sampai tak menyadari tatapan tajam seorang gadis yang kini sedang berdiri dengan kedua tangan ia lipat di depan dadanya. Surai pirangnya terlihat menari-nari bersamaan dengan hembusan angin. "Menma" panggilnya pelan namun penuh dengan penekanan.

Merasa namanya dipanggil, Menma segera membuka kelopak matanya—menampilkan manik sejernih lautan. "Hm? Shion? Sedang apa kau di sini?" pertanyaan itu melucur dengan mudahnya dari mulut si bungsu Namikaze itu. Membuat perempatan muncul di dahi Shion—gadis yang sejak tadi menatapnya tajam.

"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu. Sedang apa kau di sini?" emosi Shion meledak. Ia kesal dengan pemuda tampan di hadapannya ini.

"Mengganti suasana. Aku bosan jika harus selalu di kamar" jawabnya santai dan jujur.

"Hah~" Shion menghembuskan nafas pasrah.

"Paling tidak beritahu aku terlebih dahulu" ujar Shion pada akhirnya.

"Aku sudah meninggalkan sebuah petunjuk untukmu" bela Menma.

"Maksudmu jendela itu?" tanya Shion sambil menunjuk jendela kamar Menma yang dapat dilihat dari sini.

Menma mengangguk dan memasang muka tanpa dosa. Kemudian ia membuka mulutnya. "Bukankah petunjuk itu sudah sangat jelas?"

Mendengar hal itu, lagi-lagi Shion menghembuskan nafas pasrah. "Hah~"

"Ya, karena terlalu jelas aku sampai melupakan dan meninggalkan album foto yang tadi aku bawa di ruang kamarmu" sindir Shion yang lebih terdengar seperti keluhan.

Menma mengangkat salah satu alisnya—bingung. "Album foto? Untuk apa?" tanyanya.

"Aku berniat memperlihatkan album foto itu padamu" jelas Shion dengan manik lavendernya yang menatap penuh binar. Ia terlihat sangat bersemangat dan melupakan amarahnya. Sedangkan Menma hanya mendengarkan dengan malas seperti biasanya.

"Di sana terdapat banyak sekali fotoku bersama dengan Dei-nii. Dari foto saat kami masih bayi hingga foto yang baru kami ambil baru-baru ini" Shion terus menjelaskan tanpa memperhatikan Menma.

"Lalu kenapa kau ingin memperlihatkannya padaku? Aku tak ada hubungannya dengan semua ini" keluh Menma.

"Tentu kamu ada hubungannya. Kamu kan harus tahu seperti apa orang yang mendonorkan jantung untuk—"

"Sudah cukup, Shion" sela Menma sebelum Shion sempat menyelesaikan kalimatnya.

"Ha? Apa-apaan i—"

"Aku bilang sudah cukup!" kini Menma menyelanya dengan cara membentak. Menma yang biasanya pandai mengatur emosinya membentak Shion?

Shion pun hanya dapat menatap Menma tak percaya dan berdiri mematung di tempat. Sedangkan Menma sendiri malah menundukkan kepalanya—masih dalam posisi duduk. "Memang aku tidak menyadarinya?" tanya Menma pelan.

"Menyadari apa?" Shion menatap bingung Menma.

"Menyadari kalau selama ini kamu menganggapku sebagai kakakmu, Deidara. Bukan sebagai Namikaze Menma" jelas Menma yang membuat manik lavender Shion membulat sempurna.

"A-apa maksudmu?" Shion masih tak mengerti.

"Kau menganggapku kakakmu karena jantung kakakmu yang berdetak di tubuhku, bukan? Yang kau jenguk selama ini bukan diriku melainkan kakakmu—lebih tepatnya jantung kakakmu" ujar Menma.

"Atau mungkin kau juga memberikan jantung kakakmu padaku hanya karena kamu ingin melihat jantung ini yang terus berdetak? Agar kau bisa berpikir kalau kakakmu belumlah meninggal dunia?" Menma terus melanjutkan perkataannya tanpa memperhatikan Shion yang telah menundukkan kepalanya dengan kedua tangan yang mengepal erat—menahan emosi.

"Tapi sadarlah! Kakak yang sangat kau cintai itu telah meninggal dunia! Dia sudah tidak ada di dunia ini!"

PLAK!

Sebuah tamparan sukses Shion luncurkan pada pipi kiri Menma. Membuat pemuda bersurai hitam itu meringis. Karena walau Shion perempuan, namun tamparannya tetaplah menyakitkan. Bahkan pipi Menma sampai memerah.

"Memang apa yang salah bila aku ingin berpikiran kalau kakakku masih hidup?! Apa yang salah?!" Shion mencengkram baju Menma. Terlihat butiran kristal bening meluncur dengan mulusnya dari pelupuk mata Shion. Bermuara melintasi pipi putih bersih miliknya.

"Setelah kedua orang tuaku meninggal dunia, hanya Dei-nii yang selalu berada di sampingku, menemaniku ketika aku kesepian, mengajakku bermain ketika aku bosan, menghiburku ketika aku sedih, merawatku ketika aku sakit, dan masih banyak hal lagi yang ia lakukan untukku" racau Shion dengan nada yang mulai melemah. Sedangkan air matanya terus menerus mengalir tak henti-hentinya.

Terukir sebuah senyum kecut di wajah Shion. "Bahkan aku masih ingat janji terakhirnya yang belum sempat ia tepati. Yaitu mengajakku ke aquarium raksasa karena aku belum pernah ke sana. Tapi kenapa ia malah pergi meninggalkanku? Padahal selama ini ia selalu menepati janjinya" lanjut Shion sambil mulai terisak di dada Menma. Sedangkan Menma hanya diam saja memberi waktu pada Shion untuk mengungkapkan semuanya. Karena selama ini gadis itu bersikap seolah-olah ia baik-baik saja.

"Aku tak bisa menerima kematian Dei-nii begitu saja. Aku tak bisa menerima kalau jantungnya telah berhenti berdetak. Dan jujur saja, aku memanglah berpikiran bahwa ide bagus bisa mendonorkan jantung Dei-nii padamu" Shion mulai menjauhkan tubuhnya dari Menma dan menatap Menma dalam.

"Selain itu memang keinginan Dei-nii, aku juga bisa menggunakan kesempatan ini untuk diriku sendiri. Aku bisa tetap mempertahankan detak jantung Dei-nii"

Shion mulai menundukkan kepalanya lagi. "Aku tetap bisa mendengar detaknya. Aku bisa berpikiran kalau Dei-nii masih hidup dalam raga orang lain dan aku hanya perlu mengingatkan kembali Dei-nii yang hidup dalam raga orang lain itu mengenai semua kebersamaannya denganku dan betapa aku menyayanginya. Berharap Dei-nii akan kembali seperti dulu lagi"

"Omong kosong macam apa itu?" tanya Menma dengan nada dan senyum yang meremehkan. Tentu Shion hendak protes. Namun sayangnya, sebelum itu terjadi, Menma telah lebih dahulu menyelanya.

"Jantungku mungkin jantung kakakmu. Tapi bukan berarti kakakmu lah yang mendiami ragaku. Yang mendiami ragaku tentu saja jiwaku sendiri"

Shion menatap tajam manik sapphire Menma. "Kau tak mengerti rasanya kehilangan orang yang sangat kau sayangi. Jadi kau tak mungkin tahu bagaimana menderitanya diriku! Aku hanya ingin menghibur diriku sendiri, apa itu salah?!"

"Jangan bersikap seolah-olah kau yang paling menderita di dunia ini! Karena semua orang memiliki penderitaan mereka masing-masing. Jangan bersikap seolah-olah hanya kau satu-satunya orang yang kehilangan orang yang sangat kau sayangi. Karena pasti semua orang pernah merasakannya. Begitu pula denganku" balas Menma yang membuat manik lavender Shion lagi-lagi membulat sempurna. Menma juga kehilangan orang yang sangat ia sayangi? Tapi siapa? Yang ia tahu seluruh keluarga Menma masih lengkap. Lalu siapa yang Menma maksud?

"Kau kehilangan?" tanya Shion tak percaya.

Sedangkan senyum kecut terlihat menghias wajah tampan Menma. "Kehilangan tak selamanya berarti orang itu telah meninggal dunia, bukan? Kehilangan juga bisa bermakna apabila orang itu telah lepas dari jangkauan kita"

Shion terus terdiam tak berniat menyela. "Aku kehilangan gadis yang kusayangi—lebih tepatnya kucintai. Gadis yang merupakan cinta pertamaku. Aku masih bisa melihat raga dan senyumnya, menyentuhnya, dan mendengar suaranya. Namun dia jauh dari jangkauanku karena dia sekarang telah berada di sisi orang lain. Ini lebih menyakitkan daripada kehilangan orang yang memang tidak bisa kita lihat lagi di dunia ini" lanjut Menma dengan nada penuh luka.

"Tadinya aku ingin sepertimu. Lari dari masalah. Tapi berbeda denganmu yang lari dari masalah dengan menganggap kakakmu masih hidup dalam diriku. Aku lari dari masalah dengan pasrah kalau aku akan meninggal dunia dan tak melihatnya lagi. Namun..." Menma menggantungkan kalimatnya dan Shion tetap setia mendengarkan.

"Secara tak sadar, kau yang ingin memenuhi keinginan kakakmu dan keinginanmu sendiri malah menyelamatkan hidupku dan membuatku tak bisa lari dari masalah. Walau begitu, aku tak menyesal. Karena aku dapat mendengar banyak hal dari orang yang kucintai. Mendengar hal yang tak mungkin bisa ku dengar selamanya jika aku jadi meninggal dunia saat itu dan lari dari masalah" Menma menatap Shion lembut.

"Jadi jangan lari lagi dari masalah, Shion. Hadapilah. Terimalah kalau kakamu telah meninggal dunia. Jika kau terus seperti ini, kakakmulah yang akan sedih" nasihat Menma di akhir perkataannya yang panjang lebar. Jarang sekali Menma berkata sepanjang ini.

Shion pun memejamkan matanya sejenak dan tersenyum. Apa yang Menma katakan memanglah benar. Harusnya ia tak lari dari masalah. Karena dirinya, mungkin Menma juga merasa terluka. Ia selama ini dekat dengan Menma tidaklah tulus, melainkan ada maksud tertentu. Ia menjadi merasa bersalah.

Dengan perlahan-lahan, Shion membuka kelopak matanya. Memperlihatkan manik lavendernya yang jernih dan indah itu. Kemudian ia hapus air matanya dan tersenyum riang. "Rasanya mengesalkan mendapat ceramah dari orang sepertimu" cibir Shion.

Sedangkan Menma mendengus kesal. "Harusnya kau senang. Jarang sekali aku mengatakan hal sebanyak tadi. Bahkan tenagaku sampai terkuras banyak"

"Berlebihan" ejek Shion sambil tertawa kecil. Menma yang melihatnya pun tersenyum lembut. Ia lebih suka melihat Shion yang tertawa seperti ini. Tanpa beban, tanpa penderitaan, dan tulus.

Namun kemudian Menma teringat sesuatu. Ia pun menatap Shion serius. "Setelah aku keluar dari rumah sakit, bagaimana jika kita pergi ke aquarium raksasa seperti janji kakakmu yang belum sempat ia tepati itu" usul Menma tiba-tiba. Membuat Shion menampakkan ekspresi bodohnya.

"Eh?"

"Jangan memasang tampang bodoh itu. Anggap saja ini permintamaafanku karena aku telah berkata kasar. Juga tanda terima kasihku karena kamu telah menyelamatkanku" tutur Menma.

Shion mengedipkan matanya beberapa kali sebelum membuka mulutnya. "Apa tidak apa-apa?"

Menma mengangguk pelan. "Hn. Nanti setelah itu kita bersama-sama akan mengunjungi makam kakakmu. Aku harus berterimakasih padanya secara langsung, kan?"

Shion tak percaya. Bahkan Menma masih mengingat perkataannya untuk berterimakasih pada kakaknya secara langsung. Entah kenapa ia benar-benar senang. "Baiklah. Aku akan menagih janjimu ini setelah kau keluar dari rumah sakit" serunya.

"Tenang saja. Aku bukan orang yang suka melanggar janji" balas Menma dengan sebuah seringai di wajahnya. Menambah kesan tampan pada dirinya. Bahkan semburat merah mulai menghias pipi Shion. Membuatnya harus memalingkan mukanya agar tak terlihat oleh Menma.

.

.

.

~:~:~:~:~:To be continued:~:~:~:~:~

Yosha! Akhirnya Shizu berhasil meng-upload sequel yang readers semua minta dari dulu. Gomen! #berojigi

Tidak terasa Shizu sudah hiatus selama hampir setengah tahun. Atau bahkan sudah setengah tahun lebih? Yang pasti, tolong izinkan Shizu unuk meminta maaf sebesar-besarnya dengan tulus. Karena jujur saja, setelah Shizu berada di tingkat pendidikan yang lebih tinggi, jadwal Shizu semakin sibuk. Program lima hari kerja benar-benar melelahkan. Terlebih laptop Shizu sedang rusak dan itu semakin menyulitkan. Ini saja Shizu meminjam laptop tante atau om Shizu.

Namun setelah ini, Shizu akan menyempatkan sedikit waktu Shizu untuk menulis. Karena Shizu ingin meng-upload cerita baru.

Oh, iya! Semoga cerita di atas sudah cukup bagus. Ini hanya twoshoot, kok. Dan chapter depan akan segera Shizu upload. Jadi jangan sampai ketinggalan, ok?

Sekian curhatan tidak penting dari Shizu. Sekali lagi, Shizu memohon maaf atas keterlambatan Shizu dalam membuat sequel ini. Shizua juga ingin menyampaikan terimakasih kepada readers semua yang masih setia membaca cerita Shizu.

Gomennasai. Arigatou. And don't forget to REVIEW! Shizu akan selalu menantikannya!

.::ARIGATOU::.