"Kakak tak apa-apa?"

Pemuda itu tertatih dalam lirihan pedih yang menggerogoti lengannya. Jelaganya memandang seorang gadis mungil yang memiliki sinar mata polos. Sekalipun ia melayangkan tatapan tajam, gadis itu tak menampakkan ketakutan sama sekali.

Salah satu lengan pemuda itu berusaha mencegah pendarahan di lengannya semakin deras, namun hal itu tak berhasil. Merah pekat cair itu terus menuruni lengannya. Ia mendesis dan mulai berjalan lagi, mengacuhkan keberadaan gadis kecil tadi.

"Lengan kakak berdarah!" Gadis kecil itu menarik kemeja sang pemuda yang mendecih kesal. Bukan malah takut, gadis itu semakin menarik pemuda itu untuk duduk di bangku taman. Pemuda itu hanya pasrah karena energinya telah terkuras.

Kala itu, jingga sedang bermain dengan cakrawala. Mentari tenggelam dalam kuap lelah, dan perlahan-lahan tertidur. Pemuda itu hanya diam melihat si gadis kecil menyobek gaunnya, kemudian melilitkannya ke lengan pemuda setelah lukanya dibasuh air. Sebuah plester yang hanya menutupi sedikit luka menempel di lengannya.

Gadis itu tersenyum ceria. "Nanti, aku akan menjadi dokter! Kakak istirahat yang cukup biar cepat sembuh, ya!"

Senyum itu begitu membekas di benak sang pemuda. Bagaimana tangan yang lembut itu menyentuh lengannya; bagaimana senyum itu terkembang untuknya; bagaimana mata jernih itu menatapnya tanpa takut; bagaimana gesekan rambut berwarna cerah itu menggesek kulitnya.

Tuhan, kenapa dadanya bergemuruh seperti ini?

.

.

Naruto by Masashi Kishimoto

.

.

THRESHOLD

A Story by Hydrilla

.

.

Written for Ichi Namidairo (kak Inez, sorry for keep you waiting)

Standard warnings applied. Kinda (a bit) darkfic, I thought.

.

.

"Karena, Sayang, saat kau jatuh cinta, kau berada di ambang pintu sebelum dijatuhkan ke jurang ketika patah hati"

.

.

Gadis itu membenarkan letak topinya di bawah bayang-bayang pohon yang riuh diserbu angin. Matanya berputar memandang orang-orang yang berjubel dalam jalanan padat. Tubuhnya dibalut sebuah jaket yang sedikit usang, kakinya dibebat oleh jeans yang sobek di bagian lututnya.

Sepatu boots yang cukup tinggi menjadi pelindungnya dari sengatan paving-paving yang dibakar matahari. Langkah kakinya terpadu pada irama statis. Lagaknya tenang, namun, matanya masih berkeliaran ke sana-ke mari. Tiba-tiba, dengan sengaja ia menabrakkan diri pada seorang lelaki berjas yang sibuk dengan teleponnya.

"Ah!" Gadis itu memekik. "Urgghh…."

"Kau tidak apa-apa, Nona?"

Pria itu mengernyit cemas ketika sang gadis terjatuh sambil memegang jasnya dengan erat. Ia cukup kaget ketika sedang menjawab telepon, gadis itu dengan tiba-tiba menabraknya dan limbung.

"Sa-sakit…," gadis itu melirih. "Tu-tuan, bisa antarkan aku ke rumah itu saja? Aku tinggal di sana."

Berbekal rasa iba, pria itu membantu sang gadis berdiri dan menyengkram pinggangnya agar gadis itu tak kembali jatuh. Dengan hati-hati, mereka berjalan sesuai arahan yang dikeluarkan sang gadis. Pria itu sedikit mengernyit saat tempat yang mereka tuju semakin tak jelas.

Dengan gerakan mendadak, gadis itu memutar tubuh dan balik menyengkram leher pria itu. Sebuah pisau berkilat di hadapan matanya saat pria itu menyadari apa yang terjadi.

"Serahkan barang-barangmu, Tuan, sebelum aku benar-benar marah."

.

.

Jelaganya memandang grafik-grafik di layar proyeksi tanpa atensi. Sekalipun grafik-grafik itu menanjak naik, Uchiha Sasuke hanya mendengus bosan. Ia hanya mengangguk singkat ketika para kolega memberi tepuk tangan meriah atas keberhasilannya melonjakkan harga saham.

Kakinya yang terbalut sepatu kulit melangkah ke luar ruangan rapat segera setelah para koleganya pergi. Jasnya ia sampir dengan asal di bahu. Setelah ia memasuki ruangannya, Sasuke mendudukkan diri di kursi sambil memandang ke luar jendela.

Bergelut dengan deretan kata di kertas yang bertumpuk-tumpuk bukanlah pekerjaan kesukaannya. Hal itu membosankan—bahkan lebih membosankan dari memandang lautan manusia yang memadati jalan di sekitar areal perusahaannya. Ia mengernyit kala melihat sesuatu yang menarik di antara gang-gang sempit bangunan yang tak terlalu tinggi.

Kalau ia tak salah lihat, ada dua orang yang tengah berpelukan. Yang satu mengenakan topi, dan yang lain memakai jas. Sasuke tak habis pikir dengan kedua orang itu. Ia menggelengkan kepala.

.

.

"Serahkan barang-barangmu, Tuan, sebelum aku benar-benar marah."

Gadis itu mengeratkan cengkramannya pada leher pria itu. Si Pria berjas bergetar, matanya bergerak liar mencari celah untuk kabur. Pisau di hadapannya bak sedang menyeringai, beberapa centi lagi, pisau itu pasti akan membuat pancuran darah dari lehernya. Pria itu menelan ludah gugup.

"Tuan, aku bukan orang yang sabar, lho."

Senyuman manis terbit bersamaan dengan pisau itu yang menggores lehernya. Begitu pelan, namun, tidak terlalu dalam. Rasa pedih menyergapnya, tubuhnya semakin bergetar ketakutan. Demi Tuhan, mimpi apa ia semalam bisa mengalami kemalangan seperti ini? Apalagi, ia lelaki, kenapa ia tak bisa melawan?

Benar, pria itu harus balik melawan. Ia berusaha menggerakkan kakinya, tapi, gadis itu dengan cepat mengunci pergerakkan kakinya. Tangannya berusaha melepaskan cengkraman gadis itu. Bukan kebebasan yang ia dapat, malah goresan di tangan yang semakin menguras darahnya.

"Kau ingin bermain dulu, Tuan?" Suara gadis itu begitu manis. Saking manisnya, bagai lirihan kematian untuk pria itu. "Tapi, aku sedang tidak mood. Kalau kubunuh kau langsung saja bagaimana?"

Tak ingin terluka ataupun berkorban nyawa, lelaki itu meraih dompetnya dan telepon genggamnya. Gadis itu meraihnya, tapi, masih tetap menyengkram lelaki itu. Sang gadis mengambil uang tunai, kartu kredit, debit, serta ponsel. Kemudian, mengembalikan dompet dan kartu tanda pengenal lelaki itu.

Tersenyum manis, ia berujar, "senang berkerjasama denganmu, Tuan. Aku Cherry Killer."

.

.

Uchiha Sasuke memandang kerumunan wanita yang berusaha mendekatinya. Mereka memakai pakaian yang menonjolkan kemolekan tubuhnya, dengan riasan yang lebih dari cukup. Pria itu mengernyit saat kuar parfum bercampur aduk dan membuatnya mual.

"Menyingkir dariku," ucapnya tajam.

Akan tetapi, bukannya wanita-wanita itu menyingkir, mereka malah memekik kegirangan saat prodigy tersebut mengeluarkan suaranya yang dalam dan menggelitik pendengaran mereka. Sasuke berdecak dan berusaha menampik tangan-tangan yang menggelendot di lengannya.

Suara riuh menarik atensi Sasuke untuk memandang ke arah lain. Di ujung tangga, seorang wanita dengan gaun strapless warna hitam yang kontras dengan kulitnya, berdiri. Bibirnya yang penuh terpulas dengan lipstik merah yang makin membuatnya merekah. Pipinya tersapu perona, bulu matanya terlihat lentik tanpa bantuan maskara. Rambut merah muda wanita itu mengikal dan jatuh dengan cantik di punggungnya yang terbuka.

Sasuke merasakan gemuruh di dadanya (yang entah kapan terakhir kali Sasuke merasakannya). Tanpa sadar, ia memerhatikan wanita itu dari atas ke bawah. Kemudian, ia mengernyit melihat tangan wanita itu yang mengait ke lengan seorang pria tua berjas. Sasuke mendengus. Wanita itu terlalu cantik untuk menjadi wanita simpanan.

Selama pesta berlangsung, Sasuke tak bisa menghentikan arah pandangan ke wanita itu. Entah mengapa, ia merasa mengenalinya. Rambut itu… bahkan, Sasuke merasa mengenal setiap kedipan wanita itu. Maka, untuk memastikannya, Sasuke segera kabur dari wanita-wanita yang mengerumuninya dan segera mengajak wanita yang menarik minatnya untuk berdansa saat kesempatan tiba.

"Anda sangat berani, Tuan."

Wanita itu tertawa kecil dan mulai mengikuti langkah kaki Sasuke. Suara lagu pengiring dansa menggema dalam ruangan yang sedikit dibumbui bisikan-bisikan serta obrolan-obrolan berisi tentang bisnis.

"Aku seperti mengenalmu," ucap Sasuke.

Wanita itu kembali tertawa kecil, "rayuan yang bagus, Tuan. Aku bisa saja memertimbangkannya kalau kau mau memberitahu berapa banyak digit di tabunganmu."

Sasuke mendengus dan memutar wanita itu. Lengannya yang kekar memeluk punggung wanita itu. Kakinya melangkah dengan pola yang indah di atas karpet beludru impor yang dihias gambar abstrak. Rambut panjang wanita itu yang terkibas meninggalkan harum manis yang mengingatkannya akan sesuatu.

Baru saja dia akan memastikannya, wanita itu sudah pergi melepaskan genggaman Sasuke. Jari telunjuknya yang lentik menempel pada bibirnya yang berlipstik, kemudian menempelkannya pada bibir Sasuke. Pria itu terdiam, sedangkan wanita itu kembali mengaitkan lengannya di pria tua tadi.

.

.

Alis yang menukik naik menjadi tanda bahwa Uchiha Sasuke menemukan hal yang menarik. Jarinya menscroll layar ponselnya yang menampilkan sebuah berita.

Takada Tarou ditemukan meninggal di sebuah hotel berbintang tiga malam tadi (dd/mm). Penyelidikan polisi menyebutkan kemungkinan pembunuhan mencapai 90% setelah melihat adanya luka di leher, serta barang-barang berharga selain kartu tanda pengenal milik korban telah raib.

Yang membuatnya terkejut adalah foto si korban yang ternyata adalah pria yang digandeng wanita semalam yang membuatnya penasaran. Hal itu membuatnya memikirkan berbagai hipotesis yang hinggap di kepalanya. Saat seorang waitress mengantarkan minumannya, ia hanya bergumam sebelum menyadari suara itu.

"Tunggu!" Serunya.

Sang Waitress berbalik dan tersenyum. Jarinya berdiri vertikal di antara bibirnya. "Psst."

Kali ini, Sasuke tak bisa menahan rasa penasarannya. Ia mengikuti sang waitress dan terpaksa menyibak kumpulan manusia yang memadati lantai dansa. Ia mengejar sang perempuan yang tenggelam di dalamnya. Sekelebat, ia melihat perempuan itu menuju pintu bar.

Namun, saat Sasuke berhasil mencapai pintu bar dan keluar, yang ia lihat hanya kehampaan. Ia tak menemukan perempuan itu. Padahal, ia setengah mati penasaran.

Di sudut lain, dalam lingkupan bayang-bayang kegelapan gedung-gedung, perempuan yang Sasuke kejar tadi terkekeh.

"Umpan terpancing," ucapnya.

.

.

Napasnya memburu, langkah kakinya lebar-lebar, kemejanya tak lagi terkancing dengan sempurna. Sasuke membanting pintu kerjanya sebelum menyapu mejanya dengan keras. Bunyi gaduh mengisi ruangan itu karena benda-benda terpelanting ke lantai yang keras. Bahkan sebuah vas bunga pecah berantakan.

Matanya menyalak. Emosi mengisi paru-parunya dengan pongah. "Siapa dia membuatku penasaran hingga frustrasi seperti ini?!"

Sasuke tak menyangka rasa penasarannya pada perempuan itu membuatnya hingga seperti ini. Sekalipun di sudut otaknya berpikir bahwa wanita itu pasti terlibat dalam kasus pembunuhan salah satu pebisnis yang seingatnya pernah ia tolak untuk membeli sahamnya.

Sasuke yakin, ia pernah bertemu perempuan dengan rambut berwarna unik tersebut. Setiap inchi tubuhnya merasa mengenali bagaimana kulit itu bersentuhan dengan kulitnya. Ia merasa mengenali cara wanita itu tersenyum, dan bagaimana lembutnya rambut yang pernah menyapu kulitnya tersebut. Bahkan dadanya bergemuruh saat bersitatap dengan perempuan itu!

Sebuah ketukan menghentikan Sasuke untuk membanting kursinya. Ia bergumam tanda memersilakan masuk orang yang mengetuk. Seorang pria berambut perak dan memakai jas dengan rapi memasuki ruangan yang berantakan. Sebagian wajahnya tertutup masker.

"Tuan, terjadi 'pemberontakan' kecil di daerah uatara," ucapnya.

Sasuke menyeringai dan tertawa dalam dengusan. Tangannya membuka laci dan mengambil sebuah pistol dari sana. Aura gelap keluar dari tubuhnya yang sedikit berpeluh. Kebetulan sekali emosinya sedang menanjak naik.

"Kita tunjukkan dengan siapa dia bermain."

TO BE CONTINUED

A/N:

Iya maapin nambah MC lagi tapi huhuhu ;;w;;

Ini request dari jaman kapan ya? Heuheuheu :'3

Seenggaknya utang berkurang satu (meski tanggung jawab nambah, chough). Semoga suka, ya, kak Inez. Ini baru awal sih, entar-entar dipenuhin satu-persatu deh, request-an fanficnya kayak gimana :"))))

Ada yang udah denger Holy Grail-nya mantan suamikuhh? /hoi/. Yup, lagunya Justin Timberlake ama JAY Z. Itu lagu inspiring banget buat ini fanfic, lol.

Okay, thanks for reading. Review?

Salam Hangat,

-Hydrilla :)