Rina: Hwaaaaa! Aku bosan! *teriak2 pake toa*
Rin: Berisik! *lempar RR ke Rina*
Rina: *pingsan + kepala berdarah*
Len: Rin, sepertinya kau melemparinya terlalu keras… ^^;
Rin: Bukannya yang kulempar cuman miniatur RR kita Len?
Rina: *nyawa melayang-layang dibawah RR asli*
Len: Kayak na kau melempar yang asli deh Rinny~
Rin: EEEEEHH!
Mel: Yah… ya sudah, karena tinggal aku, Rin, dan Len, kita saja yang buka cerita na…
Len: Terus bagaimana dengan barang bukti pembunuhan itu? *sambil smirk ke Rin*
Rin: *takut*
Mel: Jangan khawatir, dia akan bangun nanti. Sudahlah, cepat baca disclaimer nih! *kasih kertas disclaimer*
Rin: A-asal jangan bilangin ke polisi ya… *baca disclaimer*
Disclaimer: Dunia akan hancur jika BakAuthor Rina punya Vocaloid.
Len: Disclaimer na gaje…
Mel: Itu tulisan na, jangan protes!
Rin: Iya deh… omong-omong nie OS lagi ya!
Len: Iya, kata na cerita na yg jalan cuman Black Angel dan merasa bosan untuk ngelanjutin cerita lain na. Blank kata na…
Mel: Sudahlah, yang penting sekarang buat para pembaca senang dengan kisah kalian dan… selamat membaca cerita ini!
~Diinspirasi dari komik yg udah lupa judul na
Normal POV
Hari ini malam yang dingin dan gelap. Cahaya rembulan hanya terlihat redup karena ditutupi oleh awan-awan hitam. Lampu penerangan jalan berkelap-kelip karena banyaknya serangga yang terbang di dekatnya. Jalanan sepi dan tiada satu orang pun yang berada disana. Belum lagi udara malam yang menusuk tulang membuat orang-orang enggan untuk keluar rumah.
"Sampai jumpa besok!" ucap seorang gadis dengan rambut berwarna Blonde sambil melambaikan tangannya kepada dua orang temannya.
"Kau juga! Apa kau benar-benar tidak apa-apa pulang sendirian?" ucap gadis dengan rambut berwarna hijau yang cukup terang.
"Aku bisa mengantarmu kalau kau mau," timpal gadis lain dengan rambut yang berwarna sama, namun terlihat lebih gelap.
Gadis dengan rambut blonde itu hanya menggelengkan kepala. Dia tidak ingin merepotkan teman-temannya hanya karena hari sudah gelap. Mereka pulang cukup malam karena mereka melakukan latihan musik di ruang musik selepas jam sekolah.
"Kalian pasti memiliki keluarga yang menunggu kalian dirumah," elak gadis itu sambil menerawang jauh.
Mereka berdua terdiam, lalu gadis dengan rambut berwarna hijau yang lebih gelap berkata, "Hanya karena kau imut, jangan sampai kau diculik," pesannya.
"A-apa-…" gadis itu berniat membantah, namun semburat berwarna merah muda yang tipis masih tampak diwajahnya.
"Benar sekali! Jika kau tidak bisa, maka mulai besok kami akan mengantarmu pulang!" tegas gadis dengan rambut hijau yang lebih terang.
Gadis blonde itu hanya menunduk. Setelah mengucapkan salam perpisahan kembali, mereka berpisah jalan sementara gadis blonde itu melewati jalanan sepi menuju rumahnya.
Rin POV
'Geez, mereka berdua terlalu khawatir padaku! Aku kan sudah SMA, masa mereka masih tidak percaya bahwa aku bisa jaga diri sih!' gerutuku dalam hati.
Ah, perkenalkan namaku Kagamina Rin. Umurku memang 17 tahun, tapi karena aku pendek, orang-orang mengiraku masih berumur 14 tahun. Pada saat aku masih SMP, tubuhku yang seperti papan irisan dibandingkan kedua temanku membuatku jadi agak minder.
Teman-temanku yang sama-sama overprotective terhadapku bernama Megpoid Gumi yang akrab dipanggil Gumi, dan juga Merlinne A.L, yang akrab dipanggil Mel, jangan tanyakan nama lengkapnya, karena aku cukup kesulitan menyebutkannya. Diantara kami bertiga, hanya Mel yang blasteran Prancis-Jepang, sementara aku dan Gumi adalah orang Jepang asli.
Omong-omong, aku juga berbeda dibandingkan orang-orang yang lain. Aku memiliki kekuatan untuk melihat roh! Iya, aku bisa melihat roh, hantu, setan, arwah gentayangan, dan hal-hal sejenisnya. Aku lebih sering melupakan tentang keberadaan mereka, karena alam kami sudah berbeda.
Tapi mungkin kali ini aku tidak bisa hanya melupakan…
Dengan santai aku berjalan menyusuri jalanan menuju rumahku sendiri. Orangtuaku sudah meninggal saat aku masih SD dan sejak itu aku tinggal di rumah bibi Luka. Namun, saat SMA aku membulatkan niat untuk tinggal sendiri, meski bibi masih membantuku.
Tiba-tiba tubuhku menjadi menggigil kedinginan tanpa sebab. Aku segera melihat ke sekeliling dan tidak ada siapapun atau apapun di sekitarku. Aneh, apa aku hanya berhalusinasi?
Aku segera melihat ke arah depan kembali, dan aku melihat seorang laki-laki yang sangat tampan sedang menyandarkan tubuhnya pada sebuah tiang lampu. Dia memiliki tingkat ketampanan yang mungkin, bisa membuat semua anak gadis di sekolahku jatuh pingsan hanya karena melihatnya saja. Bersyukurlah aku tidak termasuk dalam grup anak gadis itu.
Aku memperhatikan wajahnya yang terlihat pucat dibawa sinar lampu, dan pakaiannya berwarna putih, meski dia memakai jaket berwarna kecoklatan. Dia menggunakan celana jeans panjang hingga kaki, dan wajahnya terlihat seperti menunggu seseorang.
Secara insting aku menyapanya, "Ha-halo…" sapaku dengan seedikit gugup dan takut. Lagipula siapa juga yang akan ada diluar pada pukul 10 malam?
Dia melihat ke arahku, dan matanya terlihat amat sangat terkejut. Aku punya firasat buruk tentang pandangannya padaku itu. Lalu, firasatku dibuktikan saat dia berkata…
"Kau bisa melihatku?"
Biar kutebak, dia merupakan arwah gentayangan. Tapi, karena aku terlanjur menunjukkan (secara tidak langsung) bahwa aku bisa melihatnya, aku tidak bisa lari dari dia, jadi aku hanya mengangguk lemah. Dengan segera dia mengikutiku hingga rumah sambil berkomentar ini itu tentang gayaku menata rumah. Aku harus bercerita pada pakarnya besok pagi.
"Serius?" tanya Gumi dengan tidak percaya. Mel sendiri hanya pasang wajah datar seperti papan triplek, seakan-akan ini bukanlah hal yang sangat penting. Kini sudah jam makan siang, dan Mel berbaik hati membobolkan kami, pintu menuju atap sekolah.
"Ayolah, kalian berdua tolong aku!" aku memohon pada mereka berdua sambil membungkuk-bungkuk. Mereka sajalah yang tahu mengenai kemampuanku itu, dan mereka mempercayainya.
Mel, yang merupakan pakar dalam hal-hal seperti ini, memutar-mutar garpu yang terdapat potongan apel, sebelum berkata, "Apa kau tahu namanya?" tanya Mel dengan wajah yang masih datar.
"Dia bilang sih… Len," jawabku, dan saat itu aku merasakan hawa dingin di belakangku, buru-buru aku berbalik dan melihatnya berdiri disana.
"Rinny, kau memanggilku? Kau sudah dapat petunjuk belum?" ucapnya sambil memberiku pertanyaan beruntun.
Spontan aku berteriak dengan keras, sementara Gumi dan Mel menutup telinga mereka. Tak lama kemudian Gumi berkata, "Dia ada disini ya?" tanya Gumi dengan sedikit berhati-hati.
Mel sendiri meminum teh apel miliknya sebelum berkata, "Kita bawa dia ke kuil, lalu paksa seorang pendeta membawanya ke alam sana secara paksa pula," ucap Mel dengan wajah tanpa emosi.
Dengan cepat Len protes, "Eh, itu tidak bisa!" teriaknya dengan lantang, tapi aku tidak yakin bahwa ada yang bisa mendengarnya. Kemudian ekspresi wajahnya berubah dan dia duduk mendekat tempat Mel duduk sebelum tangannya berniat mengambil topi kesayangan Mel yang selalu ia pakai.
Dengan cepat Mel menggunakan sumpit yang ada di tangannya untuk memukul Len, yang anehnya tidak tembus. Sambil mengeluarkan ekspresi yang kesal dia berkata, "Jangan coba-coba. Meski aku tak bisa melihat, aku bisa mendengar dan merasakan keberadaanmu," ingat Mel dengan wajah yang sangat seram.
Len sendiri hanya terbaring membentuk bola sambil merintih untuk menahan sakit akibat dipukul tadi. Dengan khawatir aku bertanya, "Kau tidak apa-apa?" tanyaku.
Mungkin aku menyesal mengatakan hal itu… karena Len tiba-tiba MEMELUKKU!
"Hei Len, lepaskan!" omelku sambil meninju Len yang beristirahat pada perutku seperti seekor kucing yang manja pada majikannya. Kuakui jika kucingnya Len, aku bersedia jadi maji-… lupakan!
Gumi melihatku dengan tampang curiga, sebelum menggandeng Mel yang masih menikmati apelnya. Dia berbisik pada Mel, setelah Gumi selesai bicara, wajah Mel berubah menjadi lebih sadis, dan kemudian ia berkata, "Kalau kau ingin membawanya pergi, patuhi saja keinginan terakhirnya. Dan karena aku dan Gumi tidak mampu. Urusan itu adalah urusanmu ya Rinrin~" ucapnya sambil membereskan bekalnya dan pergi bersama dengan Gumi.
"H-hei, kalian tunggu!" teriakku sambil berusaha untuk menggapai mereka, namun karena Len menarikku, bukannya mengejar, aku malah terjatuh. Pintu atap kemudian menutup setelah Gumi melemparkan sebuah kedipan penuh arti kepadaku dan pergi.
"Rinny~ Apa yang dia katakan itu benar?" tanya Len yang masih bermanja-manja padaku seperti kucing kecil yang manis. Tapi, aku yakin dia serius dengan perkataannya tadi.
Aku hanya terduduk sambil meratapi nasibku, dan menjawab, "Iya…" jawabku dengan nada sedih sekaligus kecewa. Kenapa aku harus bersama dengan orang ini hingga dia pergi ke alamnya? Huhu, tuhan pasti punya dendam pribadi terhadapku.
"Jadi, apa yang harus kulakukan?" tanya Len lagi sambil memandangiku… dari atas. Huh, mentang-mentang hantu bisa terbang, dia meremehkan postur tubuhku yang pendek! Lihat Mel, dia saja lebih pendek dariku!
"Entahlah… mungkin kau punya suatu urusan yang harus kau selesaikan disini? Lalu bagaimana caramu mati?" jawabku dengan sedikit menebak-nebak.
Len menggaruk-garuk kepalanya, sebelum berkata, "Aku tidak tahu jawaban yang pertama. Tapi seingatku aku mati karena menolong seseorang dari tabrakan truk…" jawab Len dengan sedikit memutar otak, meski aku tak tahu dia punya atau tidak.
"Seseorang?" tanyaku dengan penuh selidik. Hehe, ini jadi cukup menarik juga.
"Seingatku dia seperti anak perempuan… mungkin?" jawab Len dengan kurang meyakinkan.
"Kau ingin bertemu dengannya lagi?" tanyaku dengan memasang senyum licik pada Len.
"I-iya, tentu- APA!" jawab Len yang awalnya memerah karena malu, sebelum terkejut saat dia menyadari pertanyaanku.
Aku menatap Len masih dengan penuh selidik, aku punya firasat bahwa perempuan ini adalah cinta dari Len, cinta pada pandangan pertama, mungkin?
"Kau suka padanya ya?" tanyaku lagi. Entah kenapa, wajah dan pikiranku tidak bekerjasama dengan cukup baik. Lalu entah kenapa dadaku sesak.
Len segera menggeleng kuat-kuat, kemudian dia menjawab, "Aku ingin tahu apa dia selamat atau tidak. Lagipula, aku mengorbankan nyawaku hanya untuk melindunginya. Jika dia kenapa-napa, untuk apa aku susah-susah mati?" jawab Len dengan mendengus kesal kepadaku. Matanya melihatku dengan tatapan yang dingin.
"Benar juga ya… kita pasti ingin tahu apa yang terjadi pada orang yang kita tolong," gumamku sambil mengalihkan pandanganku dari tatapan Len yang dingin. Aneh, rasanya dadaku jadi lebih sesak.
"Yah, mungkin begitu. Aku tidak terlalu ingat bagaimana rupanya, dan aku tidak tahu sejak kapan aku berkeliaran di dunia ini," tanggap Len dengan wajah yang tidak terlalu senang.
Dengan insting, aku menggenggam tangan Len, dan meniupnya diantara genggaman tanganku. Ini adalah cara ibuku membuatku menjadi lebih baik, karena dia bilang segalanya dimulai dari jari jemari kita, sehingga kita harus menghapus rasa takut disana sebelum melangkah ke depan.
Aku belum tahu bahwa wajah Len merah merona sekarang. Lalu, Len berkata, "Apa lebih baik aku mulai dengan apa yang ingin kulakukan dulu?" saran Len dengan berusaha untuk berpikir positif.
Aku menaikkan wajahku yang awalnya menunduk dan melihatnya dengan heran, sebelum bertanya, "Memang apa yang ingin kau lakukan dulu?" tanyaku dengan heran.
Saat itulah, aku merasakan bahwa Len menindihku dan mendekatkan wajahnya, hingga amat-sangat-dekat! Spontan aku memerah saat aku memperhatikan mata Len yang melihatku dengan sangat dalam. Satu gerakan yang salah dan selamat tinggal ciuman pertamaku.
"L-len…?" ucapku dengan takut, sekaligus malu, dan juga terkejut. Si-siapa juga yang tidak terkejut jika hantu menindihmu seperti ini?
Len masih saja menatapku dalam-dalam, sebelum mendekatkan wajahnya kepadaku seperti hendak menciumku. Entah karena kuasa apa, aku menutup mataku dengan sedikit bergetar, saat aku merasakan angin dingin menyentuh bibirku.
Setelah beberapa saat lamanya, aku membuka mataku, dan melihat Len yang tertawa terbahak-bahak disebelahku saat aku membuka mataku. Me-memang ada yang aneh dengan wajahku?
"Ternyata kau memang menyukai itu ya~ Rinny ternyata anak yang nakal!" ucap Len sambil memeluk perutnya yang sakit. Dengan sigap aku melempar Len dengan sepatuku, yang segera ia hindari dengan lihainya.
Setelah itu, Len memaksaku menemaninya berjalan-jalan di Shibuya. Saat itu aku baru menyadari, bahwa jika Len itu manusia, maka kami pasti seperti sepasang kekasih yang sedang berkencan…
"Rin, ayo pergi kesana~" ajak Len sambil menunjuk ke sebuah toko pakaian, yang dari luar terlihat menyediakan pakaian untuk cosplay ria.
… kutarik kata-kata bahwa kami seperti kekasih yang sedang berkencan, Len hanya menggodaku!
Len menunjuk sebuah pakaian Lolita, lengkap dengan renda-renda yang bisa membuat seorang anak kecil lari karena malu. Dengan isyarat mata, dia menginginkan aku untuk memakainya. Dengan cepat aku protes kepadanya.
"Jangan paksa aku memakai pakaian memalukan ini!" protesku dengan sangat keras.
"Ayolah Rin~ ya, ya? Aku ingiiiiiin banget lihat anak cewek yang memakai baju manis seperti ini…" sanggah Len sambil menunjukkan wajah anak kecil yang hampir menangis.
"…" aku kehilangan kata-kata. Aku ingin membantahnya, tapi matanya yang seperti itu membuat hatiku menjadi luluh. Aneh, dadaku menjadi lebih sesak saat aku melihatnya seperti itu. Dengan segera aku mengalah dan menuruti permintaannya.
Ketika aku berganti baju. Aku memikirkan kira-kira bagaimana reaksi Len terhadap pakaianku. Apa mungkin dia akan senang? Atau mungkin dia akan bilang bahwa aku terlihat cantik? Semua pilihan itu membuat wajahku menjadi merona dan dadaku berdegup dengan sangat kencang.
Perasaan apa yang sedang kurasakan ini?
Len POV
'Yes, aku berhasil membuat Rin memakai baju itu!' teriakku dalam hati.
Aku segera menunggu dengan sabar Rin yang sedang berganti baju, sambil memasang telingaku kuat-kuat. Aku bisa mendengar suara resleting pakaian Rin yang terbuka, serta suara kain yang jatuh bebas ke tanah. Aku bahkan bisa mendengarkan suara desahan Rin dari balik tirai.
Disaat aku mendengar suara-suara itu, aku berharap bahwa aku masih hidup sekarang. Tapi jika aku masih hidup, apa mungkin aku bisa bertemu dengan Rin? Mungkin saja aku berasal dari tempat yang lebih jauh dari Jepang ini.
Kuakui, meski aku sudah menjadi hantu seperti ini… aku jatuh cinta pada Rin.
Saat malam pertama kali kami bertemu, saat dia menyapaku dengan ketakutan. Aku masih mengingat wajahnya yang terlihat seperti anak kecil saat tertidur, ataupun tetesan air yang mengalir dari rambutnya saat dia baru selesai mandi. Aku bisa mencium bau jeruk yang manis dari seluruh tubuhnya. Betapa aku ingin membelainya dan menjadikannya milikku seorang.
Tapi, duniaku dan Rin berbeda. Dia mungkin akan menemukan orang lain dan melupakan keberadaanku. Dia mungkin akan tertawa dengan ceria saat aku sudah tidak ada. Dia mungkin tidak akan mengingatku meski kami hanya berpisah beberapa jam. Saat itulah aku mendengar suara tirai yang dibuka dan suara lembut yang menyusulnya.
"L-len…" ucap Rin sambil menyembunyikan sebagian tubuhnya dibalik tirai. Wajahnya menjadi sangat merah, saat dia mengetahui bahwa aku menikmati pemandangan yang ada di depanku.
"Ayolah Rinny, keluar dan biarkan aku melihatnya~" aku memohon dengan sangat. Aku ingin mengingat wajah Rin hari ini, meski suatu saat nanti aku harus pergi ke dunia sana.
Rin terlihat bimbang sejenak, sebelum melangkah keluar dengan pakaian yang kupilihkan tadi. Dan satu hal yang ingin kukatakan… NOSEBLEED ALERT!
Pakaian itu mencerminkan lekuk-lekuk tubuh Rin dengan sempurna, dan wajahnya yang merona memberi poin plus untuk baju itu. Pita besar yang biasa dipakainya, diganti dengan pita yang serupa, namun dengan renda-renda di ujungnya. Rok bagian depannya yang ada sedikit diatas lutut, sementara bagian belakangnya mencapai lantai, membuatnya terlihat seperti seorang putri kerajaan yang keluar dari buku dongeng.
"Ba-bagaimana? Cocok tidak?" tanya Rin dengan malu-malu.
Aku membuyarkan lamunan gilaku, dan segera menjawab Rin, "Cocok kok! Cocok sekali! Kau terlihat sangat cantik," jawabku dengan buru-buru. Apa mungkin aku terlalu cepat menjawabnya? Tapi, Rin memang terlihat sangat cantik, jadi mau bagaimana lagi?
Rin menundukkan kepalanya, sebelum tersenyum padaku, dia berkata, "Terimakasih, Len!" ucap Rin dengan senyum cerianya. Sial, kenapa Rin memiliki senyum semanis itu sih!
Aku menggelengkan kepalaku, sebelum melihat ke arah Rin. Aneh, dia terlihat jadi lebih pendek, dan pakaiannya menjadi berwarna putih polos. Namun, pita yang selalu berada di kepalanya masih ada. Dia menatapku dengan tatapan takut dan terlihat traumatik. Aku melihat darah segar yang mengalir di kaki kanannya yang halus.
"Len?" panggil Rin dengan khawatir.
Saat aku melihatnya, Rin sudah kembali seperti semula. Apa mungkin gadis itu Rin? Apa mungkin gadis yang kuselamatkan itu… Rin?
Rin POV
Len tiba-tiba bertingkah laku aneh. Tapi, aku merasa sangat senang saat Len menyebutku 'sangat cantik'. Dadaku serasa melambung, dan aku hanya bisa mengatakan terimakasih pada Len dengan senang. Tapi, setelah itu dia terlihat lebih pucat hingga aku menyadarkannya.
"Rin… bisa kulihat kaki kananmu?" pinta Len dengan suara yang cukup pelan.
Aku melihatnya dengan heran, sebelum menjawab, "Tentu," jawabku dengan sedikit memiringkan kepalaku. Sikap Len yang aneh, dan permintaannya yang tiba-tiba itu, membuatku jadi heran. Memang ada apa dengan kaki kananku?
Aku duduk di sebuah kursi panjang yang disediakan toko, meski letaknya agak tertutup. Kenapa? Karena orang-orang pasti akan heran, jika tiba-tiba rokku terbuka tanpa siapapun disana. Jadi, aku memilih di tempat yang tidak dapat dilihat banyak orang.
Len menaikkan rokku sedikit, dan meng-inspeksi kaki kananku. Len menekuk kaki kananku, dan mendekatkan wajahnya ke kakiku itu. Angin dingin menyapu kulitku, saat Len sepertinya menciumi kaki kananku, jujur rasanya geli.
"Mmm…" aku mendesah lagi, saat Len melakukannya lagi. Aku bersumpah bahwa Len melempar senyum licik kepadaku tadi.
"Hoho, ternyata Rinny diam-diam juga punya pikiran nakal, ya~" goda Len sambil membelai kakiku dengan halus. Angin dingin yang menyapu kulitku, seakan-akan menggantikan tangan Len yang menggodaku habis-habisan.
"Di-diam!" protesku dengan wajah yang memerah karena malu. Siapa juga yang tidak malu jika diperlakukan seperti itu, terutama saat kau sedang memakai kostum Lolita yang memalukan! Len hanya terkikik, sebelum melanjutkan inpeksinya kembali.
"Rin, kau mendapat luka ini darimana?" tanya Len dengan selidik, saat dia menunjuk sebuah bekas luka yang ada di paha kananku.
"Mungkin… saat aku terserempet sepeda motor? Aku tidak terlalu ingat…" jawabku. Sejujurnya, aku bahkan tidak tahu bahwa luka itu ada disana!
"Oh, begitu…" tanggap Len dengan wajah sendu. Se-sepertinya aku telah mengatakan sesuatu yang salah terhadapnya. Saat itu, aku merasakan perasaan yang aneh.
Deg! Deg! Deg… deg… deg…
Nafasku menjadi putus-putus dan berat, jantungku berdegup dengan sangat cepat. Kepalaku pusing, dan mataku seperti berkabut. Aku berusaha melihat Len, karena hanya dia yang ada didekatku sekarang ini. Namun, yang kulihat bukanlah Len, namun mayat seorang pemuda dengan rambut Len, terkapar dan berada di kolam darah yang berwarna merah pekat. Sekilas, terdapat cahaya kehidupan di matanya, namun itu tidak mungkin bukan?
Perutku… mual…
Dan yang kutahu setelah itu, pandanganku menjadi gelap
Normal POV
Seorang gadis dengan rambut berwarna hijau emerald dengan mata berwarna hijau di kanan, dan biru di kiri. Ia memasuki sebuah toko pakaian di Shibuya, saat dia merasakan aura sesuatu.
'Aura ini… seperti miliknya…' pikir gadis itu sebelum berlari menuju ke arah sumbernya.
Setelah beberapa belokan di tengah-tengan kerumunan pakaian yang dijual, sampailah dia dibagian toko yang cukup tertutup. Disana, dia melihat seorang gadis yang memiliki rambut blonde yang pingsan di kursi, dan dia merasakan aura yang dia rasakan tadi disana. Dia kemudian berjalan menuju samping gadis itu.
"Aku tidak tahu dimana kau berdiri sekarang. Tapi, kau harus menjelaskan padaku kenapa Rin pingsan seperti ini… Len," ucapnya sambil duduk berjongkok disamping gadis itu.
"A-aku tidak tahu, tiba-tiba saja saat aku menanyainya tentang bekas luka di kakinya, dia pingsan," jawab suara angin yang berada di dekat gadis dengan rambut hijau itu.
"Bekas luka? Maksudmu bekas yang ada di paha kanannya itu?" tanggap gadis itu sambil menidurkan gadis blonde itu di pangkuannya.
"Iya, yang itu, memang kenapa dengan bekas luka itu?" jawab suara angin yang terdengar heran akan pertanyaan gadis dengan rambut hijau itu.
Gadis itu menghela nafas panjang, sebelum melanjutkan, "Baiklah, aku akan cerita tentang bagaimana bekas luka itu terbentuk. Tapi, jangan katakan pada Rin, atau kukirim paksa kau ke alam sana," ucapnya.
"Jadi… begitu rupanya… Mel-san…" ucap sesuatu yang mendengarkan cerita gadis itu.
Gadis yang dipanggil oleh sesuatu itu dengan nama Mel, hanya menggigit apel yang entah sejak kapan ada ditangannya, sebelum berkata, "Cepat atau lambat, aku tahu bahwa Rin akan mengetahuinya. Yah, dia memang memiliki hak untuk tahu tentang hal itu… tapi yang penting Len…" ucap Mel sambil membuang sisa apel yang ada ditangannya ke tong sampah.
Sesuatu, yang dipanggil oleh Mel dengan nama Len itu, melihatnya dengan heran. Dia sepertinya menunggu kelanjutan dari perkataan Mel tadi.
"Kau sudah menemukan apa yang kau cari bukan?" lanjut Mel dengan menatap Len, meski dia tidak bisa melihatnya.
Len menunduk, sebelum menjawab, "Iya… aku sudah menemukannya…" jawab Len, dia terdengar sedih akan kenyataan itu.
Mel tersenyum penuh arti kepada Len, sebelum berkata, "Aku bisa membantumu sebelum kau benar-benar menghilang. Meski aku tidak bisa melihatmu, aku bisa menebak bahwa kau memiliki rasa pada Rin. Jadi, biarkan aku membantu…." ucap Mel.
"Eh?"
Tak lama kemudian, gadis dengan nama Rin terbangun setelah dia pingsan selama beberapa saat tadi. Tapi, yang membuatnya terkejut adalah Len. Dia bisa menyentuh Len, dan Len tidak terlihat tembus pandang! A-apa yang terjadi saat dia pingsan tadi?
"Rin, kau sudah bangun?" tanya Len dengan memberikan senyum terbaiknya pada Rin.
Rin melihatnya dengan tidak percaya, namun meski dia sudah mencubit pipinya, Len tidak berubah dan masih tetap seperti itu. Ba-bagaimana bisa?
"Ayo kita jalan-jalan lagi!" ucap Len dengan bersemangat, sambil menggendong Rin dengan gaya brydal style.
"Kyaaa!" teriak Rin saat Len menggendongnya keluar dari toko masih dengan memakai baju yang dicobanya tadi.
Rin bersumpah, dia mendengar tawa dari para penjaga toko yang mengatakan bahwa dia dan Len adalah pasangan kekasih yang serasi. Entah karena memang Rin memiliki rasa pada Len, atau hanya karena malu, wajah Rin menjadi sangat merah.
Setelah diajak berlari beberapa lama, Len menghentikan langkahnya. Rin yang tadi menutup matanya karena takut matanya kemasukan debu, membuka kelopak matanya perlahan-lahan. Yang membuat Rin terhenyak adalah pemandangan yang ada di depannya. Sebuah taman bermain yang sangat besar dan luas.
"Saat aku gentayangan… aku sering pergi ke tempat ini…" jelas Len yang kemudian mengatur nafasnya, tanpa menurunkan Rin.
"Be-benarkah?" tanya Rin dengan sedikit tidak percaya. Dia belum menyadari bahwa kedua tangannya melingkar di leher Len. Len sendiri juga tidak mau memberi tahu.
"Nah, Ohime-sama, mari kita menikmati waktu sepuasnya disini! Kebetulan tadi ada orang baik yang meminjamkan uangnya padaku," ucap Len sembari menurunkan Rin yang belum menyadari bahwa dia masih digendong oleh Len.
Melupakan fakta bahwa Len baru saja mempermalukannya, Rin bertanya, "Orang baik? Siapa?" tanya Rin dengan beruntun. Len hanya membalasnya dengan senyum penuh arti, sebelum menggandeng tangan Rin, yang menimbulkan semburat berwarna merah muda di wajah mereka berdua.
Dada Rin berdegup dengan cepat, namun terasa lembut. Wajahnya terasa panas, namun dia tidak membenci rasa panas yang dia rasakan. Dia sudah melupakan fakta bahwa dirinya masih memakai baju yang dipakainya tadi, dan hanya mengikuti Len yang mengajaknya berkeliling.
"Rin~ bagaimana kalau kita masuk kesana?" tawar Len sambil menunjuk sebuah rumah tua yang terlihat tidak berpenghuni, namun memiliki papan nama, "Ghost Mansion". Singkat kata, Len menunjuk ke sebuah Rumah Hantu.
Rin, yang amat sangat takut dengan permainan rumah hantu, segera protes, "Ti-tidak mau!" protes Rin sambil memeluk tubuh Len erat-erat.
Len yang kemudian membalas pelukan Rin segera berkata, "Kau bisa melihat hantu, tapi kau takut dengan rumah hantu? Bagaimana kalau hantunya tampan-tampan sepertiku?" goda Len sambil mempererat pelukannya pada Rin. (Cari-cari kesempatan dalam kesempitan)
"Ta-tapi aku takut!" rengek Rin dengan gaya seperti anak kecil. Tapi, baik Len maupun Rin tidak tahu bahwa mereka sedang dibuntuti oleh dua orang tidak penting.
Mereka sendiri masih berpelukan sambil bertengkar antara masuk rumah hantu atau tidak, hingga Len mengalah, dan membiarkan Rin memilih permainan yang dia mau, dengan masih menggandeng Rin tentunya.
Rin melihat ke sekeliling, sebelum menunjuk ke arah sebuah permainan Carousel. Dengan bersemangat, Rin menarik-narik Len dan mengajaknya untuk naik bersama-sama.
Len merasa senang melihat Rin yang selalu tersenyum, meski dia menyadari bahwa waktunya tidak terlalu banyak. Semuanya sudah terselesaikan baginya, dan mungkin itu merupakan hari terakhirnya bersama dengan Rin.
Rin yang memiliki postur tubuh pendek, sepertinya agak kesulitan untuk menaiki salah satu kuda di permainan itu. Menurut Len, wajah Rin yang sedang kesulitan naik itu sangatlah lucu. Tapi, menjadi seseorang yang baik, Len mengangkat Rin yang ringan, dan menaikkannya ke tempat yang dia mau.
"Hime-sama boleh memanggilku untuk apa saja kok!~" goda Len sembari memperhatikan Rin yang kini duduk lebih tinggi dibandingkan dengannya.
Wajah Rin spontan memerah, lalu dia segera berkilah, "Ja-jangan mengatakan hal yang membuat cewek tersipu-sipu bodoh!" protes Rin sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain, menyembunyikan wajahnya yang sangat merah. Dia merasa senang diperlakukan seperti ini oleh Len.
"Hehe, maaf, maaf," ucap Len dengan wajah memelas pada Rin.
Rin hanya berkata, "Baik, aku maafkan!" ucap Rin dengan gaya bicara seperti seorang majikan kepada anak buahnya.
Len kemudian duduk dengan Rin dalam kuda yang sama. Rin tentu saja hanya bisa protes, namun dia tidak bisa berkata apa-apa saat Len sudah memeluknya dari belakang setelah itu. Rin menyukainya, dan dia tidak ingin melepaskan pelukan Len itu.
Setelah beberapa kali putaran mereka akhirnya selesai, saat perut Rin mulai berbunyi, tanda bahwa dia sudah merasa lapar. Len sendiri hanya tertawa mendengar bunyi perut Rin, dan segera disambut oleh sepatu Rin yang melayang ke kepala Len.
Orang-orang di sekitar mereka berbisik-bisik akan tingkah laku Rin dan Len yang terlihat amat sangat seperti sepasang kekasih. Bahkan mereka juga mengatakan bahwa mungkin mereka sudah ditakdirkan bersama.
Kembali ke Rin dan Len. Kini mereka sedang berada di sebuah café outdoor yang terlihat cerah, karena bernuansa warna kuning, warna kesukaan Rin. Setelah beberapa saat, datanglah seorang pelayan cewek yang menyodorkan selembar menu untuk Rin dan Len sambil berkata.
"Yang sedang asyik-asyiknya pacaran nih ye~" ucapnya dengan bahasa yang sangat kurang sopan untuk melayani seseorang.
Spontan Rin, yang menyadari pemilik suara, segera melihat ke atas dan nyaris berteriak, "Gumi!" ucap Rin nyaris berteriak.
Gumi, yang memakai pakaian pelayan café itu hanya senyum-senyum sendiri. Dia menuliskan apa yang sekiranya Rin inginkan, sebelum bertanya pada Len tentang pesanannya. Gumi segera berkata bahwa dia tidak terlalu ingin mengganggu, dan segera berlalu meninggalkan mereka berdua.
"Tapi, jangan lupa aku dan Mel wajib diberi PJ, lho!" tambah Gumi, saat dia menyerahkan pesanan mereka.
"Gu-gumi!" protes Rin, sementara Len hanya tertawa cekikikan. Dia sudah mendapatkan restu dari teman dari orang yang disukainya. Jadi, anggap saja itu hal yang positif.
Setelah makan, Rin dan Len menyusuri taman-taman kecil yang terdapat di dalam taman bermain itu. Tanpa mereka sadari, hari sudah beranjak sore dan itu berarti saatnya untuk pulang… untuk mereka berdua. Malam keajaiban akan segera berakhir, dan hari dimana semuanya akan berubah sudah mendekat.
Sebagai saat terakhir, Len mengajak Rin untuk menaiki sebuah kincir angin yang sangat besar. Rin mulai merasakan ada yang aneh dengan gerak-gerik Len, merasa sangat khawatir. Tapi, kekhawatirannya itu disembunyikan, saat mereka hanya berdua saja, didalam kincir angin, dan duduk berhadapan.
"A-ano… hari ini… aku senang sekali, jadi terimakasih…" ucap Rin sambil memilin-milin ujung bajunya. Dia merasa bahwa dia harus berterimakasih tentang hari ini pada Len.
"Sama-sama, aku juga senang bisa kencan denganmu," balas Len dengan menyembunyikan wajahnya yang memerah setelah mengatakan kata 'kencan'.
Mulut Rin menjadi tertutup rapat. Dia bisa mendengarkan degup jantungnya yang sangat berisik, dan berusaha untuk menenangkan pikirannya, dengan cara mengingat-ingat orang yang penting baginya. Sudah lama, dia tidak melakukan hal itu.
Tapi, yang membuat Rin bersemu merah, yang bisa dia bayangkan hanyalah senyum Len. Wajah Len yang memelas padanya, wajah Len saat dia menggendongnya tadi, serta suara Len yang terdengar sangat indah di telinganya.
"Rin, aku ingin kau mendengarkan sesuatu…" ucap Len sambil meletakkan kedua tangan Rin di tangannya yang besar.
Spontan, wajah Rin memerah. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa gugupnya, dan juga perasaannya yang sudah meneriakkan kalimat, "Kau menyukai Len!" secara beruntun.
"Sebenarnya aku…" Len menghentikan perkataannya ditengah-tengah, membuat Rin menjadi semakin gugup dan tidak bisa berkata apa-apa.
"Aku… senang kau selamat…" lanjut Len sambil menundukkan wajahnya.
"Selamat?" ucap Rin dengan heran. Namun, bukannya menjawab, Len melanjutkan perkataannya.
"Dan aku… menyukaimu… bukan, aku mencintaimu Rin… sejak pertama kali kita bertemu, aku ingin sekali melindungimu. Aku ingin kau hanya melihatku, dan aku hanya ingin memilikimu seorang… aku tidak bisa membedakan apakah ini hanya obsesi atau perasaan yang murni… tapi, aku sangat mencintaimu Rin," lanjut Len sambil mendekatkan wajahnya dengan wajah Rin.
Ekspresi Rin berubah antara bingung, kaget, senang, dan juga bahagia. Rin hanya merasa bahwa dia harus segera menjawabnya berdasarkan kata hatinya yang sudah berteriak-teriak di dalam pikirannya itu. Meski dengan mulut yang bergetar kuat, Rin berhasil mengatakan, "Aku… aku… juga… aku juga… Len…" jawab Rin.
Len memberikan Rin senyuman terbaik yang dia bisa, sebelum melekatkan bibirnya dengan bibir Rin. Len mencium Rin dengan penuh perasaan. Dia bersyukur bahwa dia bertemu dengan Rin, dia bersyukur bahwa cintanya harus jatuh pada Rin, dia bersyukur bahwa pada hari itu, dia memilih Rin dibandingkan dengan nyawanya sendiri.
Ciuman dari Len itu memulihkan sebagian ingatan dari Rin. Dia kini ingat kejadian 2 tahun yang lalu… hari dimana dia pertama kali bertemu dengan Len. Rasa takutnya akan melihat seseorang mati di hadapannya, membuatnya melupakan semua itu.
"Aku bersyukur bertemu denganmu Rin…" Rin mendengar suara yang terdengar samar-samar.
Saat Rin membuka matanya, Len sudah tidak ada dihadapannya lagi. Dia sudah pergi meninggalkannya. Tanpa Rin sadari, air mata mulai menetes di pipinya.
"Jika kau mencintaiku, jangan pergi tanpa mengatakan apapun BakaLen…"
Rina: *udah bangkit* Nah, segini saja! Gimana gimana? Apa jelek? Hancur? Perlu dibuang ke tong sampah saja?
Mel: Aku lebih suka membakarnya atau mencincang cerita ini… *aura dark*
Rin: Mungkin cerita ini harus aku giles pake RR… *aura dark 5x lipat*
Len: Kenapa aku mati lagi di ceritamu BakAuthor? Apa kau perlu kubabat habis? *aura dark 100x lipat*
Rina: ^^; *takut2!* Eh, ka-kayaknya ini bakalan jadi Two Shot, kalo para pembaca lebih suka ke ending yang happy begitu. Cha-chapter berikut na mungkin bakalan jadi Epilog. Ta-tapi yang jelas… terserah saja deh! Jika banyak yg pingin sad ending gak niat kayak gini y ndak papa, tapi kalo pingin ending yg happy, mohon bilang di review… ntar Epilog akan kubuat
Mel+Rin+Len: YANG JELAS KEJAR DAN BUNUH BAKAUTHOR ITU! *udah kejarin Rina*
Rina: HIIIIII! *takut* Yah, begitu saja deh! Sampai jumpa jika pingin aku buatkan Epilog, atau Sampai jumpa di cerita lain jika lebih baik ini jadi OS saja! Jangan lupa review! *udah ngacir*
