Minggu, 2 Juli 20xx.

Kuroko Tetsuya mengerang pelan, bergemul dalam selimut putihnya yang tebal. Hari ini adalah hari Minggu—bukan berarti dia biasa bangun siang, ya—tapi jujur saja, Kuroko belum mau bangun sekarang karena kelelahan hebat setelah beraktivitas bersama Kiseki no Sedai selama 6 hari lamanya, jangan tanya apa penyebab kelelahan tersebut selama ada sang kapten disana.

Pada libur kenaikan kelas tahun ini, Akashi Seijuurou berinisiatif 'mengajak' teman-teman pelanginya untuk pergi ke luar kota. Paket liburan yang terpilih adalah menginap selama 4 hari 5 malam di sebuah vila di daerah Puncak. Menyebalkan memang. Ketika ditanya, Akashi hanya berpura-pura tak tahu bagaimana keadaan jalan menuju Puncak di musim liburan begini. Jadilah dua hari mereka habiskan hanya di perjalanan.

Hari Senin yang merupakan hari pertama perjalanan mereka dihabiskan dengan berbete-bete ria di dalam bus. Dari Jakarta berangkat pukul 9 pagi, dan mereka baru bisa meregangkan badan di kasur vila sekitar pukul 8 malam. Hari Sabtunya mereka sudah stand by di terminal bus menuju Jakarta pukul 7 pagi, dan sampai rumah pukul 5 sore. Selama disana mereka menghabiskan waktu dengan main basket - olahraga permainan yang lain - basket lagi - makan siang - basket lagi - menyiapkan makan malam bersama penjaga vila - tidur.

Kuroko sempat bertanya, "ini liburan apa training camp, Akashi-kun?" Akashi pun menjawab dengan senang, "liburan, Tetsuya, karena kita gak satu tim basket lagi, 'kan?"

Dan bukan karena pantatnya pegal sebab duduk berjam-jam di bus, atau karena latihan fisik yang over besutan Akashi yang membuat Kuroko amat teramat lelah sampai-sampai ia kelebihan jam tidur, melainkan karena apa yang ia dan bocah-bocah Kisedai lakukan di malam keempat liburan mereka.

.

.

Kuroko no Basket milik Tadatoshi Fujimaki.

Rated : T

Bahasa tidak baku untuk dialog maupun monolog tokoh.

Indonesia AU. Kisedai bersekolah di masing-masing kotamadya di Provinsi DKI Jakarta.

Enjoy, minna!

.

.

Senin, 10 Juli 20xx.

Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah pada tahun ajaran baru, hari dimana tiap-tiap sekolah menerima angkatan baru untuk dididik.

Midorima Shintarou, mendapat tugas istimewa di awal tahun ajaran ini untuk membimbing anak kelas satu mengenal sekolah ini, sebut saja kegiatan MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah) yang akan digelar selama tiga hari, berhubung dia adalah salah satu anggota OSIS di SMAnya.

Satu yang akan ditekankan Midorima pada junior-juniornya nanti, yaitu sebuah kebanggaan karena telah dapat bergabung menjadi bagian dari keluarga salah satu SMA negeri bergengsi di wilayah Jakarta Timur itu, sesuatu yang Midorima dapat dari seorang senpai OSIS sekaligus klub basket SMAnya, Miyaji Kiyoshi.

Seusai upacara pembukaan, Midorima bersama seorang teman perempuannya menggiring adik-adik asuh mereka menuju kelas X-IPS 3, yang merupakan kelas IPS terakhir—kelas terpojok di lantai satu.

Dalam waktu 10 menit, kelas tersebut sudah berisi anak kelas satu yang duduk rapi dengan tampang semi-lugu mereka. Dan ada detail yang tidak mungkin Midorima lewatkan begitu saja ketika melihat pemandangan di depan matanya ini.

37 siswa. Midorima yakin tidak salah hitung, berhubung 36 bangku normal sudah terisi penuh, dengan tambahan satu meja di pojok kanan kelas.

Midorima mengecek daftar absen di tangannya, kertas itu selalu menampilkan 36 buah nama—bukan 37 seperti jumlah anak yang Midorima lihat. Ah, mungkin ada salah satu anak disini yang salah masuk kelas, batin Midorima.

Sekali lagi saja Midorima berniat melihat meja tambahan di ujung kanan kelas yang berisi seorang gadis berambut hitam legam itu, dan sekarang Midorima mendapati si gadis menatapnya datar.

Midorima segera berjalan—setengah berlari ke luar kelas entah kenapa. Di luar, ia menghirup udara dalam-dalam. Tak lama, salah satu panitia koordinator antarkelas keluar dari kelas sebelahnya, X-IPS 2, Midorima memanggilnya.

"Ada kelas yang kekurangan anak, gak, kak?" Midorima membetulkan letak kacamata. "Kelas saya kayaknya kelebihan anak-nodayo."

Yang ditanyai mengerutkan alis. "Enggak, kok. Masa' sih kelebihan?"

Lalu, bersama-sama, mereka masuk ke X-IPS 3, hanya untuk menemukan bahwa jumlah anak baru disana adalah 36.

"Midorima? Minusmu nambah?" Tanya si koordinator saat ia meninggalkan X-IPS 3.

Keringat dingin meluncur di dahi Midorima. "Ma-maaf kak, mungkin saya salah liat-nodayo."

.

.

.

"Gimana liburannya sama mereka, Kuroko?"

Kagami Taiga duduk di samping Kuroko dan bertanya dalam satu tarikan napas, setelahnya ia mengelap muka dengan handuk, dan menyambar satu botol minuman.

Berhubung ini adalah hari pertama MPLS, ekskul-ekskul yang ada di SMA tempat Kuroko dan Kagami sekolah itu belum aktif, malah ada larangan agar ekskul ditiadakan selama MPLS.

Tapi bukan Kagami Taiga namanya kalau menurut dengan mudahnya—apalagi sampai dilarang main basket di lapangan sekolah tercinta.

"Sangat membahagiakan, Kagami-kun." Jeda sedikit. "Tapi ada yang benar-benar bikin liburan kali ini beda dari liburan-liburan Kisedai sebelumnya."

"Beda gimana?" Kagami mengambil basket dan membuatnya berotasi di telunjuknya. "Apa karena—"

"Bukan itu, Kagami-kun." Kuroko menyangkal dengan cepat sebelum Kagami melanjutkan kalimatnya. "Yah, walau emang masih ada kaitannya sedikit."

Kagami menaruh basket itu di pangkuannya. "Sabar ya, Kuroko."

"Aku baik-baik aja," Kuroko berdiri dan meregangkan kedua tangannya ke depan. "dan yang lebih penting, kita harus nyiapin sesuatu buat menarik perhatian murid baru."

"Buat apa?" Kagami ikut berdiri, di samping Kuroko. "Pasti banyak yang dateng daftar masuk basket karena kita udah punya piala besar."

Kuroko tersenyum membenarkan pernyataan Kagami.

Namun segera senyuman itu sirna ketika melihat sepasang bola mata menatapnya dari dalam sebuah kelas yang kosong, jauh disana.

.

.

.

Selasa, 11 Juli 20xx.

Masih hari kedua MPLS, kegiatan belajar mengajar untuk kelas XI dan XII belum sepenuhnya efektif. Pemikiran sederhana itulah yang mendorong seorang Aomine Daiki untuk bolos dari kelasnya.

Ia lebih memilih untuk makan tempe goreng, bakwan, dan risol ditemani segelas es jeruk di kantin sekolahnya daripada melakukan apapun di kelas—jam kosong atau ada guru yang mengajar itu sama saja buat Aomine. Toh, selama tidak diciduk guru bahwa ia sedang leha-leha di kantin, ia akan baik-baik saja.

Entah karena hanya dia yang malas disini atau karena anak-anak satu sekolahnya rajin semua, tapi sungguh, kantin besar yang biasanya seramai Ragunan kalau istirahat itu, jadi sangat sepi saat ini. Aomine tak peduli memang, masih ada ibu-ibu kantin yang setia menemaninya kok.

Ponsel Aomine berdering. Ada chat dari Kise rupanya. Si kuning itu mengajaknya menonton sebuah film yang baru tayang dua hari lalu. Tepat saat Aomine mau menolak, chat baru muncul, Kise menyarankan nontonnya besok saja, karena besok adalah hari terakhir mereka bisa gabut sekaligus harga bioskop masih merakyat sebelum Jumat.

'Sama yg lain aja nont'—

adalah kalimat yang Aomine ketik tapi belum selesai karena si pirang kembali ngegas.

'Nontonnya di GI aja yuk, sekalian aku mau belanja.'

A*jir GI. Ogah. Pasti ntar minta gue traktirin H*p H*p lagi. Umpatnya dalam hati. Pulang sekolah juga. Dikata Baratnya gue sama Pusat deket, kali. Dengan secepat kilat, ia menghapus kalimat yang belum selesai ia ketik, dan hanya mengirim satu stiker bertuliskan 'NO' besar-besar.

Buk.

Ada yang menggebuk bahu kiri Aomine dengan cukup keras dari belakang. Lantas Aomine menoleh namun tidak menemukan siapapun disana. Apaan, sih.

Kesal, mata Aomine kembali menuju ponsel yang terus bergetar karena Kise pasti masih mohon-mohon agar ditemani nonton. Tapi sebelum sampai ke layar ponsel, matanya menangkap sosok Momoi Satsuki di ujung kantin, memunggunginya.

Refleks, Aomine berdiri dan menghampiri Momoi. Anehnya, gadis itu malah berlari menuju tangga. Aomine mengejarnya. Momoi terus berlari menaiki tangga, terus sampai ke lantai empat. Aomine tak sadar ia sudah berlari dan menaiki tangga sekaligus dua-dua. Sejak kapan larinya Momoi lebih cepat darinya hingga tak terkejar?

Saat Aomine baru saja tiba di lantai empat, ia menemukan Momoi sudah berdiri di besi pembatas koridor, siap terjatuh ke lapangan kapanpun.

"Satsuki!"

Momoi menoleh dengan wajahnya yang hancur berantakan, matanya tak tampak dimanapun dan mulutnya hanya seperti lubang kosong yang dibanjiri darah. Tangan dan kakinya perlahan bergerak membentuk patahan-patahan yang tak masuk akal untuk anatomi manusia, suaranya bergaung.

"O-oi." Aomine merasakan tubuhnya bergetar. "Satsuki, lo mau—"

Alih-alih melompat ke bawah, Momoi melayang cepat ke arah Aomine. Dan semuanya gelap.

.

.

.

Rabu, 12 Juli 20xx.

Akashi Seijuurou beserta jajaran OSIS serta MPK sekolahnya baru saja selesai menghadiri rapat kecil bersama kepala sekolah dan para wakilnya. Disebut rapat juga bukan, toh ini hanya ucapan terimakasih kepala sekolah kepada panitia-panitia MPLS yang telah melaksanakan tugasnya dengan baik.

"Akashi, tolong beresin sedikit lagi kertas yang ada di meja rapat ruang OSIS, ya. Sama tolong bawa sini laptop gue. Gue dipanggil kepala sekolah, empat mata."

Tanpa kata lain selain "iya", Akashi menerima permintaan tolong—kalau tak mau disebut perintah—dari sang ketua OSIS.

Di meja ruang OSIS, bagian yang berantakan dengan kertas berceceran hanyalah wilayah sang ketua. Syukurlah. Akashi pun mulai membereskan kertas-kertas tersebut yang ternyata adalah daftar absen murid-murid baru, yang sudah dicoret-coret dengan tinta berbagai warna—yang Akashi yakini adalah buah dari opini sang ketua. Laptop yang menjadi objek pembersihan oleh Akashi pun masih menyala, menampilkan hasil PPDB untuk SMA mereka.

Akashi men-scroll sampai bawah, bahkan sampai halaman terakhir karena kepo. Dan setelahnya ia tersenyum. Memang wajar harus memiliki nilai setinggi langit untuk bisa menembus SMA negeri terbaik sewilayah Jakarta Selatan itu—ralat—terbaik se-DKI Jakarta itu.

Setelah puas memandang deretan angka 100 dan 90 koma sekian, Akashi melaksanakan tugasnya untuk membereskan kertas-kertas itu, dan menaruhnya di loker pribadi sang ketua. Sebagai wakil, Akashi memegang kunci loker itu pula.

Loker itu berisi bertumpuk-tumpuk kertas, ada kotak pensil, dan sebuah mug keramik. Akashi tidak terlalu suka dengan kertas yang sebegini banyaknya, ia lebih suka membuat catatan kecil, itupun untuk hal yang benar-benar penting. Dan seringkali Akashi tidak butuh catatan—awasi atau katakan langsung saja pada yang bersangkutan jika berkenaan dengan orang lain—dan ia lebih memilih merekam semua di dalam otaknya.

Saat menjadi ketua OSIS di SMP dulu pun begitu. Ia tidak mewajibkan sekretarisnya membuat notulen. Dua tahun menjabat menjadi kapten tim basket pun sama. Apalagi itu adalah klub olahraga, ia menekankan pada perkembangan fisik anak buahnya. Urusan administrasi dan pencatatan strategi diserahkan ke manager tim mereka, Momoi Satsuki.

"Momoi, sayang banget."

Akashi berdiri di hadapan loker yang masih terbuka. Melihat banyaknya pekerjaan di atas kertas mengingatkannya pada sosok gadis itu.

Dia gak seharusnya bunuh diri. Akashi memejamkan matanya. Gue gak pernah nyangka Momoi ngambil keputusan yang sebegitu besarnya.

Akashi menutup loker itu dan menguncinya. Ia berbalik untuk mematikan—

'AKU DISINI'

—laptop yang ternyata layarnya menampilkan sebuah tulisan sewarna merah darah.

Akashi menyatukan alisnya. Ia menyentuh layar itu sesaat. Tulisan itu memang benar-benar ada di dalam layar, seketika laptop itu hang dibuatnya. Dengan paksa, Akashi menutupnya langsung, dan di ujung meja rapat yang berlawanan, Akashi melihat seorang anak lelaki yang bagian atas kepalanya hancur—seperti dihantam benda tumpul. Kaus putihnya tampak lepek oleh darah.

"Mau apa, iblis?" Akashi memaksakan dirinya terlihat tegar, walau sebenarnya ia terkejut setengah mati.

Anak itu berjalan mendekati Akashi dengan langkah yang sedikit melompat—membuatnya tampak jauh lebih mengerikan—menyusuri salah satu sisi meja. Akashi otomatis bergerak menyusuri sisi yang satunya menuju pintu keluar, matanya tak lepas dari sosok itu. Kaki Akashi terus membawanya perlahan menuju pintu dan—

"Akashi? Lo ngepain?"

Secepat kilat Akashi menoleh dan ia mendapati ketua OSISnya sedang menatapnya bingung.

"Gak ngepain-ngepain." Akashi menoleh ke belakang dan sosok itu telah hilang sepenuhnya.

"Kalo gitu ayo pulang. Ambilin laptop gue dong."

.

.

.

"Terus, apa yang bikin Atsushi sebal sama Akashi?"

Murasakibara mengunyah baksonya dengan tampang bete, sejenak ia mengabaikan pertanyaan Himuro sampai mulutnya bersih kembali.

"Aka-chin nyuruh kami main sebuah mainan kuno." Gelas berisi es teh manis disambar. "Buat manggil Sacchin."

Walau samar, mata Himuro melebar karena kaget. "Ma-manggil?"

"Hmm-hmm." Satu bakso kembali tertelan. "Gara-gara itu, aku dimimpiin setan terus."

Himuro terdiam, tampak berpikir. "Seharusnya yang kayak gitu jangan dilakuin."

"Iya, tapi namanya juga Aka-chin. Idenya gila. Pake alesan manggil Sacchin biar bisa kumpul bareng lagi." Murasakibara bergidik mengingat permainan yang mereka lakukan di malam keempat mereka menginap di vila. "Kami semua kangen Sacchin, tapi kalo sampe manggil-manggil yang begituan, aku gak setuju."

Acara makan-makan telah usai. Setelahnya, dua manusia dengan perbedaan tinggi badan cukup ekstrem itu berjalan pulang.

"Apa nama mainannya?" Himuro bertanya memecah sepi. "Aku jadi kepo."

"Aku lupa." Murasakibara melempar pandangan ke samping. "Aku gak tau Aka-chin nemu begituan darimana. Tau-tau kita disuruh main aja."

"Hmm.. Jailangkung bukan?"

"Bukan. Itu sih aku tau."

"Papan Ouija?"

"Bukan deh."

"Terus apa dong?" Himuro menaruh tangannya di dagu. "Kasian Atsushi dihantui terus. Kalian harus menghentikan mainan ini sampe tuntas."

"Maksud Muro-chin," Murasakibara berhenti berjalan secara mendadak. "permainan itu belom selesai? Itu yang bikin aku dihantui?"

Himuro menaikkan bahu. "Kira-kira aja sih. Di film horor biasanya begitu."

Murasakibara kembali bergidik. "Tapi aku gak mau main itu lagi."

"Coba deh Atsushi tanya sama yang lain. Mereka kayak gini juga gak?"

"Bener juga, ya."

Himuro tersenyum simpul. "Atsushi mau cerita apa aja isi mimpi itu?"

"Hmm nanti deh, aku takut kalo diomongin." Satu bungkus m*m*gi dibuka. "Yang pasti, setannya sih anak cewek gitu. Mata sama mulutnya item kosong, bajunya penuh darah, rambutnya item panjang. Jalannya merangkak." Murasakibara menjauhkan m*m*gi dari mulutnya. "Tuh, 'kan, m*m*ginya jadi gak enak."

.

.

.

Kise Ryouta berjalan dengan langkah gontai menuruni tangga sekolahnya. Wajahnya lesu sekali, bibirnya tertekuk ke bawah. Air mata berkumpul di ujung-ujung matanya.

"Aominecchi ngeselin-ssu, diajak nonton doang masa' gamau, sih." Sekarang, langkah kakinya berubah menjadi agak dihentak. "Padahal besok-besok udah bakal banyak PR-ssu. Jadwal pemotretan udah segunung. Jahat banget sih. Mana chat mohon-mohonnya cuma diread. Gak jelas-ssu."

Segerombol murid wanita yang lewat di dekat Kise ingin memeluk dan mempuk-puk sang model. Kasihan, kata mereka. Sementara gerombolan murid laki-laki memandang Kise dengan tatapan 'lah, bocah ngapa yak?'

"Yaudah deh aku nonton sendiri aja-ssu."

Monolog Kise di sepanjang koridor dari kelasnya di lantai dua sampai ujung tangga lantai satu berakhir sudah, dengan keputusan final bahwa si pirang akan nonton film itu sendiri hari ini. Ulangi. Sendirian.

Kise tadinya ingin mengajak Kasamatsu-senpai buat nonton, sebelum dia ingat bahwa dia sedang menghindari si senpai galak itu agar tidak disuruh rapat untuk menyiapkan pembukaan penerimaan murid baru di tim basket. Gini-gini Kise sangat menghargai waktu luangnya yang sangat sempit. Mumpung hari ini belum ada PR, mumpung hari ini belum ada jadwal pemotretan, mumpung hari ini tidak ada kegiatan sepulang sekolah.

Niat untuk nonton film di bioskop yang ada di G*and Indonesia seperti yang sudah direncanakan pun berbelok ke bioskop di M*ll of Indonesia.

Tiket sudah di tangan, namun pemutaran film masih 35 menit lagi. Kembali ke rencana awal selain nonton, Kise akan berbelanja sekalian menunggu film mulai. Mulai dari toko sepatu dulu, karena baginya memilih sepatu itu lebih mudah dibanding memilih baju yang untuk mendapat satu baju saja bisa menghabiskan waktu 20 menit—karena berpetualang dari satu toko ke toko lain, plus komentar ini-itu.

15 menit kemudian, sepatu buat jalan-jalan pilihan Kise sudah tertenteng rapi dalam plastik. Destinasi selanjutnya adalah toilet. Mengaca sedikit, gak apa-apa, 'kan?

Kise membasuh wajah di wastafel lalu melihat pantulan dirinya di cermin lebar di hadapannya. Dan oh, beserta sesosok anak lelaki berkepala hancur yang menatapnya balik dari dalam bilik toilet yang terbuka melewati cermin. Perlahan mulutnya menganga dan mengeluarkan sesuatu yang hitam—menjalar di udara mendekati Kise yang terkepung rasa takutnya.

Napas Kise memburu dan segera ia keluar dari toilet itu. Dan, hei, sejak kapan disini menjadi sangat sepi?

Kise segera menuju bioskop, membeli pop corn, dan untunglah dia hanya menunggu sebentar sebelum film itu tayang. Kise memasuki studio dan menuju seatnya. Dan mungkin karena dosanya yang kebanyakan, makhluk yang tadi telah menduduki seat tersebut. Masa bodo dengan tiket dan pop cornnya, Kise kembali keluar dari studio dan setengah berlari menuju ke luar.

Di luar, Kise menyetop taksi dan menyebut alamat rumahnya dengan tergesa-gesa. Sesaat kemudian, dia sudah melaju dengan taksi itu dan tidak mengetahui dengan siapa dia berada dalam taksi.

.

.

.

Malam harinya, atas usul Himuro, Murasakibara menghubungi Kisedai yang lain perihal apa yang dia alami sebagai sebuah konsekuensi dari permainan yang telah lalu. Pertama, yang dia hubungi adalah Midorima, karena Murasakibara agak sungkan kalau mau langsung protes ke Akashi.

Nada sambung dari ponselnya sudah berhenti, Midorima mengangkat telepon darinya.

'Murasakibara!'

Murasakibara mengernyitkan alis. "Nee, Mido-chin kok kayaknya panik banget. Kayak abis liat setan aja." Wajar jika Murasakibara berpikir begitu. Toh dia yang menelpon tapi Midorima yang memberi salam pembuka. Dengan tiba-tiba dan membuat kaget pula.

Jeda sebentar. 'Ada apa, sih?' Terdengar Midorima mengatur napas. 'Kalo gak penting nanti gue matiin-nodayo.'

"Jangan dulu, dong." Murasakibara merajuk. "Gini Mido-chin. Mido-chin ngalamin hal-hal aneh, gak, abis pulang dari vila kemaren? Soalnya aku dimimpiin setan yang sama, nih, terus-terusan." Murasakibara to the point. 'Kata Muro-chin mungkin karna kita belom nyelesaiin permainan itu dengan benar.'

Midorima tampak ragu menjawab. Tapi kalimat terakhir Murasakibara kedengarannya menarik. 'Bisa dibilang gitu-nodayo. Dan bener kata lo, barusan gue liat.'

Di ujung telepon Murasakibara bergidik. "Tuh, 'kan. Bukan aku doang. Jangan-jangan yang lain juga."

'Mungkin.' Midorima berdeham. 'Soal mainannya, kata penjaga vila itu caranya udah bener. Akashi juga iya-iya-in aja-nodayo.'

"Terus kenapa begini? Aku gak mau dimimpiin setan terus-terusan."

'Coba nanti gue tanya yang lain dulu. Abis itu baru protes sama Akashi. Kalo Akashi kena beginian juga, gue bakal sampein kata-katanya Himuro.'

.

.

.

"Apaan, Midorima?"

Aomine baru saja naik ke tempat tidur dan berniat untuk membuka majalah nista koleksinya ketika Midorima menelponnya. Ini namanya merusak waktu istirahat orang.

'Aomine, lo diikutin, gak?'

"Hah? Diikutin apaan?" Aomine mulai mengedarkan pandangannya ke penjuru kamar. Rasanya ia tahu apa yang Midorima maksud. "Ngomong yang bener, dong."

'Setan-nodayo.'

"Setan? Kenapa nanya gituan malem-malem, ya? Ehehe."

'Tadi Murasakibara ngadu ke gue. Ya terus gue bilang gue juga-nodayo.' Midorima melanjutkan sebelum Aomine menyaut, 'buruan jawab aja. Biar gue bisa lapor Akashi.'

Pasti gara-gara mainan di vila kemaren. Akhirnya Aomine menyerah dan lebih memilih untuk mendukung Midorima melapor pada Akashi. "Iya. Dan gue diliatin Satsuki juga."

Midorima terdiam. 'Turut berduka cita, Aomine. Gue harap Momoi tenang disana.'

"Lo udah ngomong begitu berkali-kali, Midorima." Aomine terkekeh. "Yaudah cepet lapor Akashi sana."

Sambungan terputus.

.

.

.

Selasa, 11 Juli 20xx.

Aomine yang melihat Momoi di ujung kantin tampak terkejut bukan main. Dia takut—tentu—karena dia tahu satu fakta bahwa gadis bersurai pink itu sudah tidak ada di dunia ini. Tapi satu sisi, rasa penasarannya membuncah. Mungkin—jika itu benar adalah Momoi—gadis itu ingin menyampaikan sesuatu padanya.

Tak berpikir dua kali, Aomine memilih menghampiri gadis itu.

Sampai ketika mereka sudah berada di lantai empat, Aomine melihat gadis itu berdiri di pegangan besi koridor, dan saat itulah rasa bersalah Aomine muncul ke permukaan.

Rasa bersalah terbesar selama 16 tahun hidupnya, yaitu tidak pernah mengetahui masalah apa yang membuat teman kecilnya itu memilih melompat dari jembatan penyebrangan jalan.

"Satsuki!"

Aomine mencoba memanggil nama itu, siapa tahu sosok di depannya ini mau cerita satu dua hal tentang apapun, syukur-syukur kalau mau cerita apa motifnya bunuh diri.

Tapi yang ia dapat bukanlah Satsuki yang ia harapkan, melainkan Satsuki dalam wujud—mungkin seperti itulah—setelah ia terjatuh dari jembatan penyebrangan tersebut, tertabrak, dan terlempar sejauh beberapa meter.

"O-oi." Aomine berusaha menampar dirinya agar tersadar pada kenyataan pahit di depannya. "Satsuki, lo mau—"

Mau cerita sama gue lo lagi kenapa?

Mau minta saran sama gue barang sedikit aja?

Mau nanya bunuh diri itu lebih baik atau enggak?

Mau gue nolong lo?

Atau cuma mau nampar gue?

Aomine tidak tahu apa yang terjadi dalam sekian detik berikutnya sampai sosok itu menghampiri dirinya dan membuat semua jadi gelap.

Lucunya, setelah itu ia malah terbangun di meja kantin, lengkap dengan risolnya yang sisa satu dan es jeruknya yang sisa seperempat gelas. Ponselnya masih menampilkan ruang obrolan dengan Kise, dan di hadapananya ada guru olahraganya yang rupanya sudah berhasil menciduknya.

.

.

.

Kamis, 13 Juli 20xx.

Jam istirahat pertama, Midorima mencoba menghubungi kembali ponsel Akashi karena semalam yang bersangkutan tidak mengangkat teleponnya.

'Kenapa, Shintarou?'

"Ini masalah permainan buat manggil Momoi pas di vila kemaren." Mata Midorima bergerak tak nyaman. "Gue dan yang lain diikutin setan terus-nodayo. Lo gimana?"

Akashi tidak langsung menjawab. 'Iya, gue juga. Jadi, kenapa?'

"Gak mungkin kita gini terus-nodayo." Midorima mengingat perkataan Himuro yang diucapkan Murasakibara. "Barangkali mainan yang kemaren belom kita selesaiin dengan benar."

'Atau emang mainan yang kemaren itu gagal. Jadinya yang ngikutin kita malah arwah-arwah lain.' Akashi mengeluarkan pendapatnya yang sangatlah cerdas. 'Yah, apapun itu, harus diselesaikan.'

"Terus apa rencana lo?"

'Nanti gue interogasi si Hanamiya Makoto.' Akashi menarik napas dan menghembuskannya dengan berat. Ngomong-ngomong, Hanamiya Makoto adalah penjaga vila yang mereka singgahi kemarin. 'Siap-siap aja akhir pekan ini kita ke vila itu lagi.'

"Yang bener aja, Akashi!" Otak Midorima sudah mengonfirmasi penolakan. "Harus banget kesitu lagi, apa?!"

'Ya menurut lo?'

"Emangnya gak bisa diseleseiin disini?" Kening Midorima berkerut. "Lo gak inget kita udah hampir mati disana?"

'Shintarou, gini, ya.' Jeda. 'Semua yang dateng kesini yang berasal dari sana harus kita balikin kesana lagi. Paham?'


.

Yak kembali dengan saya yang membawa fic baru. Iseng aja sih, tiba tiba kepikiran bikin cerita model kayak gini karna saya baru nonton Jailangkung sama Insidious 3 v:

Ini baru intro doang ternyata— dan wow 3k kata v:

Btw kan DKI punya 6 kotamadya/kota adminstrasi ya, pas tuh sama Kisedai. Tapi saya gak tega kalo naro salah satunya di Kepulauan Seribu v:

Biar enak, ini kotamadya tempat sekolah mereka:

Jakarta Utara — Kise

Jakarta Pusat — Kuroko & Kagami

Jakarta Timur — Midorima

Jakarta Barat — Aomine

Jakarta Selatan — Akashi & Murasakibara

Nah, thanks buat yang udah mampir yaww! ^^ See u next!

Kiryuu