.
Gouenji Yuuka tidak percaya dirinya sedang berada di sini.
Duduk di belakang meja kayu dalam sebuah kelas kerajinan tangan musim panas. Diliriknya Urabe Rika, yang juga sedang duduk di sampingnya. Kebalikan dengannya, wajah teman dekatnya itu tampak sangat antusias.
Yuuka menarik keluar selembar brosur dari saku roknya. Teringat ucapan Rika beberapa hari lalu, yang berujung pada keberadaan dirinya di balik meja kayu ini.
"Pokoknya dijamin kamu nggak akan menyesal," Rika mengoyang-goyangkan brosur di tangannya. "Pengajarnya masih seumur kita, gante~ng banget! Begitu kata sepupuku. Musim panas tahun lalu, dia 'kan ikutan. Dia bilang, kalau nggak ingat sudah punya pacar, udah dia gaet, tuh, si guru!"
Waktu itu, Yuuka cuma melengos tak minat. Meski di sekolah ia tergolong gadis populer, gadis dengan rambut merah muda dikepang dua itu memang dikenal tidak pernah menaruh minat pada lelaki.
"Ayolah, Yuuka! Sekali ini saja, temani aku, ya!" mohon Rika memelas. "Tidak ada salahnya 'kan ikut kelas kerajinan tangan untuk mengisi libur musim panas? Kalau kamu memang tak minat dengan gurunya, ya sudah, tidak apa-apa. Biar buat aku saja," Rika mengikik halus.
Yuuka berkerut kening. "Kamu itu sudah punya pacar, ngapain keliling lagi ngecengin cowok lain?"
"Ya… kan cuma pacar doang, belum jadi suami. Nggak ada salahnya dong, sesekali cuci mata lihat-lihat barang lain..."
Ucapan ringan sang teman membuat Yuuka menghela napas. Ini yang dia kurang suka dari kebiasaan remaja seumurnya. Salah satu alasan yang membuatnya bertahan dengan status jomblo di usia tujuh belas tahun.
Selain itu, ada alasan lain yang menyebabkannya sedikit menjaga jarak dari lelaki. Yaitu mengenai kakaknya, Gouenji Shuuya. Sebagai ace striker tim nasional Inazuma Japan, kakak tunggalnya itu adalah idola bagi nyaris seluruh anak laki-laki di seantero Jepang.
Yuuka bukannya pesimis, tapi ia bisa merasakan, kalau kebanyakan anak laki-laki mendekatinya karena mengidolakan kakaknya itu. Sebab itulah, Yuuka merasa tak ada gunanya menjalin hubungan dengan laki-laki manapun, jika alasan mereka lebih karena kakaknya, bukan karena dirinya secara pribadi.
Satu senggolan di kaki menyadarkan Yuuka dari lamunan.
"Yuuka, lihat depan!" Rika berbisik. "Gurunya sudah datang!"
Yuuka mengangkat kepala, memadang ke arah yang sama dengan temannya. Mau tak mau, gadis itu tertegun juga.
"Dia...?"
Rika memang tidak salah. Aura ikemen yang sangat kuat memancar dari sosok remaja lelaki di depan mereka. Tapi bukan itu yang membuat Yuuka terpana. Melainkan kursi roda yang digunakan pemuda itu untuk masuk ke dalam kelas.
Yuuka menoleh ke arah temannya, memastikan kalau ia tidak salah lihat.
Rika mengangguk membenarkan. "Itulah..., salah satu alasan lain kenapa sepupuku tidak bisa menggaetnya sebagai simpanan..."
.
Natsu-Koi *
Disclaimer: Inazuma Eleven (c) Level-5
Warning: Crack Pair, AU, gaje, rusak, abal, EYD lepas, memuat satu korban genderbend
Pair: Tsurugi Yuuichi x Gouenji Yuuka (YuuYuu)
.
Gouenji Yuuka tidak percaya dirinya berhasil melakukan hal ini.
Memasangkan kait gantungan kunci pada boneka flanel yang baru diselesaikannya. Selama ini ia memang tidak pernah serius mengerjakan kerajinan tangan apapun, kecuali untuk tugas sekolah. Kali ini juga, tadinya ia bermaksud menjalani kelas 'paksaan' ini dengan minat sekadarnya. Karena itulah, satu kejutan baginya karena bisa menyelesaikan beberapa karya dalam waktu singkat, dengan hasil yang lumayan bisa dibanggakan.
"Wah, sudah selesai, ya? Bagus sekali!"
Suara lembut bernada pujian itu membuat Yuuka menoleh. Mendapati sosok di atas kursi roda sedang tersenyum kepadanya.
"Bagaimana? Mau coba buat yang lain?" sang guru menawarkan. "Masih ada sedikit waktu sampai jam pulang."
Yuuka menggeleng. "Tidak usah. Saya tunggu teman saya saja." Ia melirik Rika yang duduk di sampingnya.
Sang guru menggerakkan kursi roda, mendekati teman Yuuka yang masih kesulitan menyelesaikan gantungan kuncinya.
Tanpa sadar, kedua pasang mata Yuuka mulai memperhatikan gerak-gerik pemuda yang sebenarnya hanya terpaut setahun darinya itu. Sepasang mata yang bersinar ramah, tutur kata yang halus dan akrab, serta kesepuluh jari yang langsing bergerak lincah membantu Rika menyatukan sisi depan dan belakang boneka yang di tengahnya diisi dakron.
Tsurugi Yuuichi, delapan belas tahun. Di luar nama, usia, pekerjaannya sebagai guru dan kondisinya yang kurang sempurna, tidak ada informasi lain yang Yuuka dapat secara langsung dari yang bersangkutan.
"Baiklah, hari ini cukup sekian. Bagi yang belum selesai, bisa coba menyelesaikannya di rumah. Atau melanjutkannya pada pertemuan berikutnya."
Yuuka tergesa membereskan barang-barang yang berserakan di mejanya. Ketika melihat jam, ia tersadar bahwa hampir dua jam ia berada di sini. Sebentar lagi Bibi Fuku, pengasuhnya, akan datang menjemput.
"Yuuka, aku nebeng, ya!" kata Rika kala menjajarinya di pintu keluar.
"Nggak..."
"Yaah, tega...," Rika cemberut, tapi kemudian senyum jahilnya merekah, demi menyadari sahabatnya tengah melihat ke arah lain saat menjawab.
"Ohh...," Rika bergerak menjauhi Yuuka. "Sensei! Sensei!"
Yuuichi yang mula-mula tidak menyadari bahwa panggilan itu ditujukan untuknya, terkaget-kaget saat gadis itu mendadak hinggap di sampingnya. Biasanya murid-muridnya cuma memanggil Yuuichi-san, atau Yuuichi Nii-san, untuk murid-murid yang lebih kecil.
"Sensei, pasti susah kalau pulang sendiri 'kan? Bagaimana kalau ikut pulang sama kami? Teman saya dijemput mobil," ajak Rika tanpa menghiraukan tampang Yuuka yang bagai kehilangan napas.
Hei! Hei! Apa yang kamu lakukan? Yuuka mati-matian berusaha memberi isyarat pada Rika lewat mata. Dia takut Yuuichi akan tersinggung atas ajakan yang menurut Yuuka tidak mengenal sikon itu.
Di luar dugaan, Yuuichi malah tertawa.
"Makasih, tapi tidak apa. Aku juga ada yang jemput, kok."
"Wah… siapa, Sensei? Pacar, ya?"
Yuuka mengerang dalam hati. Aduh, kalau bikin pertanyaan pakai mikir, dong...
Lagi-lagi Yuuichi cuma tertawa. "Bukan. Tapi adik perempuanku. Oh, iya. Tolong panggil aku Yuuichi saja. Tidak enak rasanya dipanggil 'Sensei', aku 'kan belum seahli itu..."
"Oh, baiklah…. Ngomong-ngomong, Yuuichi-san sudah punya pacar?"
Sepertinya temannya ini lebih memerlukan kursus baca perasaan orang, dan bukannya kursus kerajinan tangan.
Buru-buru Yuuka menarik Rika menjauh, sebelum dia melontarkan pertanyaan lain yang lebih serampangan. Yuuichi-san mungkin tidak tersinggung, tapi bagaimanapun segala sesuatu harus ditangani sebelum menjadi runyam.
"Maaf, Yuuichi-san. Tolong maafkan teman saya yang tidak sopan ini."
Yuuichi masih tidak menghilangkan senyum dari wajahnya, hanya sedikit heran.
"Eh? Tidak malasah, kok. Aku tidak keberatan dengan pertanyaan itu. Walau sebenarnya sih..., aku memang belum punya pacar," ungkap pemuda itu jujur.
Yes! Yuuka seakan bisa mendengar sorakan hati Rika.
Sesosok remaja berusia kurang lebih tiga belas tahun melangkah turun dari bus. Keningnya sedikit berkerut. Melihat dua orang gadis remaja tampak akrab mengobrol dengan kakaknya.
"Nii-san..., siapa orang-orang ini?"
"Ah, Kyouko?" menyadari kedatangan adiknya, Yuuichi menoleh, lalu kembali pada dua gadis di depannya. "Kenalkan, ini adik perempuanku, Kyouko. Kyouko, ini murid-muridku di kelas kerajinan tangan."
Kyouko menyalami keduanya dalam diam. Sementara Yuuka dan Rika menyebutkan nama masing-masing.
Dua sahabat itu tidak bisa untuk tidak memadang lekat gadis remaja dengan tinggi badan yang melampaui mereka berdua itu. Meski sebenarnya Kyouko mungkin lebih muda beberapa tahun di bawah Yuuka dan Rika.
"Kamu..., beneran perempuan?" Rika tidak tahan untuk tidak bertanya.
Memang tidak salah jika Rika melontarkan pertanyaan itu. Dilihat dari manapun, anak yang dikenalkan Yuuichi itu tampak seperti anak laki-laki. Raut wajah mahal senyum, rambut jabrik berdiri..., lalu celana, pakaian, bahkan suaranya—berat dan dalam—mencerminkan sosok remaja laki-laki.
"Kyouko memang begini, tapi dia benar-benar anak perempuan, kok." Yuuichi yang menjawab. "Hanya saja sedikit tomboi..."
Sedikit? Mulut Rika hampir terbuka, ingin berkomentar. Tapi Yuuka sudah keburu menginjak kakinya. Membuat raut penasaran Rika berganti menjadi delik kesakitan. Yuuka membuang pandang sejauh mungkin dari delikan itu.
Merasa jengah dijadikan bahan pembicaraan, Kyouko membungkuk ke arah kakaknya, "Nii-san, ayo kita pulang..."
Yuuichi mengangguk"Maaf, ya, semuanya. Aku duluan. Sampai ketemu besok..." Yuuichi melambai sekilas, sebelum didorong Kyouko pergi.
Rika balas melambai, sementara Yuuka masih terdiam memandangi dua bersaudara itu hingga masuk ke dalam bus yang kemudian membawa mereka pergi.
"Yuuka, kamu suka Yuuichi-san, ya?"
"Ha?" Kepala Yuuka menoleh cepat, mendapat pertanyaan yang sama sekali tidak diduganya.
"Suka, kan?"
"A-apa yang...?"
"Suka, kan?" desak Rika lagi.
"Aku cuma memperhatikan dia sebentar, apa salahnya?"
"Ohh..., berarti suka, dong?"
Yuuka menghembuskan napas kesal. "Simpati, mungkin iya. Tapi itu tidak lantas berarti suka, kan?" bantahnya, sedikit berdiplomasi.
"Ehm..., masa, sih?"
Untunglah. Mobil yang dikemudikan Bibi Fuku tiba, sehingga Yuuka tak perlu bercuap lebih lama lagi melayaninya.
"Yuuka, tunggu! Aku ikutan!" Rika bergegas masuk begitu melihat sahabatnya hendak menutup pintu mobil.
.
.
.
Esok dan esoknya lagi.
Tanpa disadari pertemuan demi pertemuan dilewatinya, tanpa sekalipun membolos, bahkan di hari Minggu. Aneh juga. Padahal Yuuka sudah berniat untuk berhenti secepatnya dari kelas ini, jika memang sudah merasa bosan.
Sambil berpikir begitu, diamatinya gerak tangan Yuuichi yang sedang mencontohkan cara memasang tangan boneka beruang.
"Oh, iya. Rika-san ke mana? Hari ini tidak datang?"
"Iya. Ada kencan dengan pacar, katanya..."
"Oh, begitu," kata Yuuichi sambil menyerahkan kembali boneka separuh jadi itu pada Yuuka. Mempersilakannya menyelesaikan sendiri.
"Ngomong-ngomong, Yuuka-san sendiri? Tidak ada kencan?"
Tanpa berpaling dari pekerjaannya Yuuka menjawab. "Begitulah. Lagipula dari awal saya tidak punya pacar."
"Eh, kenapa?" suara Yuuichi terdengar tak percaya. "Yuuka-san 'kan manis…?"
Ini bukan pertama kalinya Yuuka mendapat pujian serupa dari orang lain. Tapi ini pertama kalinya ia merasakan jantungnya berdegup lebih kencang saat mendengarnya.
"Yuuka-san, tangannya kok disambung ke dada...?"
"Eh?" Yuuka menunduk, gerak tangannya terhenti. Menyadari kalau jahitannya melenceng ke perut si beruang.
.
.
.
"Ma...maaf...," tunduk Yuuka menyesal. Yuuichi terpaksa membongkar kembali jahitan itu.
"Tidak apa-apa. Ini, lanjutkan lagi, ya," kata Yuuichi sebelum beranjak pergi.
"Baik..." diterimanya boneka itu dengan gamang. Hm..., sampai di mana tadi, ya?
Yuuka lanjut ke langkah berikutnya. Kali ini lebih hati-hati.
Tepat saat ia mematikan benang usai memasang kaki, Yuuichi menutup pertemuan hari ini. Yuuka memandang lagi boneka beruangnya yang telah selesai. Lumayan juga untuk yang pertama kali.
Dimasukannya boneka itu ke dalam tas, membereskan perlengkapan dan bersiap pulang. Belum menemukan mobil Bibi Fuku di depan gedung, Yuuka memutuskan kembali ke dalam. Saat itulah, ia berpapasan dengan Yuuichi yang bermaksud keluar. Yuuka segera menyingkir, membiarkannya lewat lebih dahulu.
"Ah, terima kasih, Yuuka-san," katanya, seperti biasa dengan senyum. "Aku duluan, ya..."
Yuuka heran. "Yuuichi-san tidak menunggu jemputan?"
"Hari ini Kyouko tidak bisa menjemput. Ada kegiatan klub di sekolahnya. Tapi, tak apa-apa. Aku bisa pulang sendiri," jawab Yuuichi seolah mengerti arah pikiran Yuuka.
"Tapi..., Anda naik apa?"
"Sama seperti biasa, kok. Naik bus. Bus yang biasa kutumpangi kondektur dan supirnya baik. Mereka tidak keberatan membantuku melipat kursi roda ini," Yuuichi menepuk pegangan roda yang digenggamnya. "Sudah, ya, Yuuka-san. Sampai besok."
Diiringi pandangan Yuuka, Yuuichi mengayuh kursi rodanya menjauh. Ada keinginan di hati Yuuka untuk memberi bantuan lewat belakangnya. Tapi, buru-buru ditepisnya keinginan itu. Meski baru beberapa hari berkenalan, Yuuka langsung tahu bahwa pemuda itu tak ingin diperlakukan terlalu berbeda. Umumnya, mereka—muda-mudi dengan keterbatasan itu—memang begitu. Yuuka yang sering mengunjungi rumah sakit, oleh karena ayahnya seorang dokter, cukup memahami watak mereka. Walau ada juga segelintir yang maunya justru dimanjakan sama sekali. Yah, segelintir, sih.
Suara klakson di samping memecah lamunannya. Masih dengan kepala penuh pikiran, Yuuka mengenyakkan diri ke atas jok mobil.
"Simpati, mungkin iya. Tapi itu tidak lantas berarti suka, kan?"
Lalu, bagaimana dengan jantungnya yang sempat berubah irama saat mendengar pujian dari pemuda itu?
Jika Rika ada di samping, gadis itu pasti bisa langsung menjawab pertanyaannya. Tapi, Yuuka sendiri masih harus memastikan, apa benar dirinya menyukai Yuuichi-san? Ia yang selama ini tidak pernah melibatkan diri dalam hubungan dengan lawan jenis, tiba-tiba bisa merasakan itu terhadap orang yang baru dikenalnya selama dua-tiga hari?
Hm... Mungkin inilah yang disebut remaja sekarang sebagai cinta monyet. Cinta spontan. Cinta main-main. Sama seperti yang dirasakan Rika setiap kali ia berpapasan dengan cowok ganteng, siapapun itu, di luar pacarnya sendiri. Dan menurut Rika, itu normal bagi anak muda, yang memang belum cukup stabil memegang komitmen.
Yuuka mengakui. Yuuichi bukan hanya sekadar ikemen. Tapi juga tenshi. Malaikat. Andai bisa berjalan dan pergi ke sekolah, ia pasti luar biasa populer. Namun, kalau dipikir kembali, untunglah Yuuichi tidak sesempurna itu. Tidak tega juga membiarkan pemuda sebaik dia jadi semacam 'piala bergilir' di antara para gadis. Diperebutkan, tapi juga sering dipindahtangankan.
Kembali ke perasaannya sendiri. Yuuka menyimpulkan kalau ia pun ternyata tak berbeda dengan gadis kebanyakan. Mungkin, ini memang bukan cinta. Ia hanya terkesan dengan pesona dan kebaikan Yuuichi. Cukup dengan sebulan-dua bulan, perasaan itu pasti akan hilang dengan sendirinya.
Iya, kan?
.
.
.
Yuuka tidak perlu menunggu hingga sebulan-dua bulan.
Dua minggu berlalu, pertemuan terakhir kelas kerajinan tangan yang memang dijadwalkan hanya berlangsung selama setengah liburan musim panas itu pun ditutup seperti hari-hari sebelumnya.
Tetap di bangkunya, Yuuka akan terus memandangi Yuuichi yang beranjak meninggalkan kelas, jika saja Rika tidak memberi sentakan dengan menyengol kakinya.
"Cepat kejar dia! Tunggu apa lagi!"
"Kejar? Untuk apa?"
"Lho, kamu sendiri yang mengakui kalau selama dua minggu ini perasaanmu pada Yuuichi-san bukannya hilang, malah makin kuat, kan? Kalau kamu tidak mengatakan itu pada dia sekarang, kapan lagi? Hari ini hari terakhir, lho! Pasti akan susah bagimu untuk menemuinya lagi."
Yuuka bukannya memenuhi saran temannya, melainkan hanya menggelengkan kepala. "Tidak segampang itu. Ada banyak hal yang..., yah, kau tahu sendiri lah. Sama seperti sepupumu. Ada banyak hal yang harus kupertimbangkan sebelum mengencani orang seperti dia," Yuuka melirik pintu, memastikan kalau Yuuichi benar-benar sudah hilang di baliknya. "Itu pun jika dia juga memiliki perasaan yang sama denganku. Kalau tidak?" Yuuka mengedikkan bahu. "Tenang saja. Seandainya dia memang untukku, dia tidak akan ke mana-mana, kok."
"Yuuka, kamu ini..."
"Sudahlah. Lupakan saja masalah ini. Ayo kita pulang," Yuuka berdiri, menyampirkan tasnya ke pundak dan berjalan mendahului.
Di depan, Bibi Fuku sudah menanti mereka. Yuuka masuk lebih dulu, sementara Rika masih berdiri di depan pintu mobil yang terbuka, dengan mata melihat ke arah lain.
"Rika, cepat! Mau kutinggal?"
"Yuuichi-san!"
Panggilan riang Rika seperti sekat yang menghambat aliran darah Yuuka.
Rika menjauh dari mobil, menyapa Yuuichi yang baru keluar. "Hari ini pulang sendiri, ya?"
Karena jarak yang agak jauh, Yuuka tidak mendengar jawaban Yuuichi, maupun lanjutan percakapan mereka sesudah itu. Karenanya, ia tidak urung kaget saat Rika kembali dengan membawa Yuuichi ke depan pintu mobilnya.
"Yuuka, aku baru ingat hari ini ada sesuatu yang mau kubeli. Jadi, kamu pulang bareng Yuuichi-san saja ya?" pinta Rika ringan seolah itu bukan masalah besar.
"Tapi, apa tidak merepotkan?"
"Tenang saja! Yuuka tahu di mana rumah Yuuichi-san, kok. Ya, kan Yuuka?" Rika memandang sahabatnya penuh arti. Membuat Yuuka tak lagi bisa mengelak. Karena yang dikatakan Rika memang benar. Sejak menyadari perasaannya yang menguat itu, ia sedikit banyak mulai mencari tahu beberapa hal mengenai Yuuichi-san. Termasuk alamatnya.
Rika melambaikan tangan dengan senyum lebar, mengiringi kepergian mobil yang membawa dua insan yang ia harapkan bisa bersatu itu.
.
.
.
"Terima kasih, Yuuka-san. Maaf merepotkan."
"Tidak apa-apa." Yuuka mengantar Yuuichi mencapai pintu depan rumahnya. "Baiklah. Saya ... pulang dulu, ya. Permisi," Yuuka membungkuk dan berbalik, kembali menuju mobil.
"Oh, iya! Yuuka-san," Bibi Fuku berseru dari balik kemudi, sebelum Yuuka mencapai mobil. "Bibi belum belanja bahan-bahan makan malam." Biasanya Bibi Fuku belanja sebelum pergi menjemput Yuuka. "Bagaimana kalau Yuuka-san tunggu di sini saja, selagi Bibi pergi belanja?"
"Eh, tapi..."
"Tidak apa-apa. Begitu selesai, Bibi akan menjemputmu ke sini. Yuuichi-san, mohon bantuannya, ya...," pinta Bibi Fuku. Begitu Yuuichi mengiyakan, wanita setengah baya itu pun menjalankan mobil, meninggalkan Yuuka yang bahkan belum sempat melontarkan sanggahan apapun. Apa-apaan ini? Apa Bibi Fuku bersekongkol dengan Rika?!
"Silakan masuk, Yuuka-san. Maaf, ya... rumah kami kecil dan agak berantakan."
Yuuichi mengarahkan Yuuka ke dalam. Mempersilakannya duduk di meja makan.
"Nah, mau minum apa?"
Biasanya, ucapan yang cocok di situasi seperti ini adalah, "Tidak usah repot-repot. Saya kan cuma sebentar." Tapi Yuuka memutuskan untuk tidak mengatakannya. Melihat gerakan Yuuichi yang tampak luwes saat menyiapkan air untuk dijerang, dan cangkir-cangkir untuk sajian minuman. Seolah dia sudah sangat terbiasa melakukannya.
"Apa saja. Terima kasih."
Sementara Yuuichi menata beberapa keping kue di atas piring sebagai teman minum teh, Yuuka mengedarkan pandang mengamati sekitarnya. Ruang makan berukuran mungil, bersatu dengan pantry. Meski begitu, ruangan itu terasa semarak. Perabotan dan dindingnya dihiasi dengan satu-dua benda buatan tangan, seperti taplak berenda, bunga imitasi, pajangan dari kain, dan lainnya. Mungkin buatan Yuuichi-san.
Terakhir, sesuatu di atas meja di pojok ruangan menarik perhatian Yuuka. Satu bingkai foto dengan dupa yang masih menyala di sisinya.
"Itu..."
"Oh, itu," Yuuichi menaruh teko teh, mengikuti arah pandang Yuuka. "Itu ayahku. Beliau meninggal enam tahun lalu karena kecelakaan. Kecelakaan yang ... juga menjadikanku seperti ini," Yuuichi meraba lututnya."Ah, maaf. Mungkin cerita ini tak enak didengar..."
Yuuka menggeleng. "Tak apa. Ibu saya juga sudah lama meninggal, sewaktu saya masih empat tahun."
"Oh, begitu..." Raut Yuuichi prihatin. "Aku ikut menyesal. Pasti berat, ya?"
"Tidak juga. Meski saya tidak begitu ingat mendiang ibu seperti apa, saya masih punya ayah dan kakak. Selain itu, juga ada Bibi Fuku. Beliau sudah saya anggap seperti ibu sendiri."
Yuuichi menyodorkan satu cangkir ke arah Yuuka. "Syukurlah, kalau begitu."
Yuuka mengangguk, isyarat terima kasih. "Kalau boleh tahu, Yuuichi-san sendiri, di sini tinggal dengan siapa?"
"Bertiga, dengan ibuku, dan juga Kyouko." Yuuichi mengarahkan kursi rodanya, ke satu sisi meja makan yang kosong, tidak diisi kursi. Sepertinya tempat itu memang disediakan khusus untuknya. "Ngomong-ngomong soal Kyouko, dulu sebenarnya dia anak perempuan yang sangat manis, lho... Lihatlah, foto yang di sebelah sana."
Yuuka mengikuti telunjuk gurunya itu. Seorang gadis cilik, dengan rambut ikal panjang tampak membebani tubuh mungilnya. Kendati begitu, wajah sang gadis tampak sumringah, senyum yang terkembang di sana mewakili kebahagiaan sang empunya.
"Itu Kyouko, sewaktu berulang tahun yang keempat. Waktu itu dia masih mau dipakaikan gaun. Kalau sekarang sih, jangankan gaun. Rok, atau bahkan sekadar kaus berwana cerah pun, dia takkan mau memakai. Maunya pakai celana, dan harus berwarna gelap. "
"Wah..." gumam Yuuka. Agaknya masih sulit percaya kalau anak perempuan semanis itu adalah orang yang sama dengan remaja kelaki-lakian yang ia kenal tempo hari.
"Oh, ya. Sebenarnya hobi jahit-menjahit seperti ini, adalah kesenangan Kyouko sewaktu kecil. Hanya saja, sejak kecelakaan itu, kami jadi seperti bertukar hobi."
"Maksudnya...?"
Yuuichi tertawa sebentar. "Dulu, aku suka sekali dengan sepak bola."
Deg. Satu katup jantung Yuuka seperti membeku.
"Sejak aku tidak bisa memainkannya lagi, justru Kyouko yang kemudian tergila-gila dengan sepak bola. Katanya sih, dia ingin menggantikan aku."
Yuuka menghirup tehnya dalam diam, seperti meminta Yuuichi melanjutkan.
"Walau aku sudah bilang dia tidak perlu melakukan itu, dia tetap bersikeras. Aku juga tak bisa melarangnya lagi, karena ternyata Kyouko sangat berbakat. Meski baru kelas satu, ia berhasil menjadi anggota inti klub sepak bola SMP Raimon yang terkenal itu," suara Yuuichi terdengar sangat bangga. "Yah..., walau kabarnya, ia sempat bentrok juga dengan orang-orang klub yang tidak menerima perempuan jadi anggota inti. Untunglah dia bisa meyakinkan mereka semua."
Meski enggan, Yuuka mencoba menyeimbangkan pembicaraan. "Kalau boleh tahu, posisi Kyouko-chan di klub apa?"
"Penyerang. Dia bilang, ingin sekali bisa seperti Gouenji Shuuya. Kamu tahu dia 'kan? Penyerang andalan Tim Nasional Inazuma Japan. Sejak mulai bermain sepak bola, Kyouko sangat mengidolakannya. Aku juga, sejak kecil dan sampai sekarang pun aku masih mengidolakannya."
Ternyata benar. Yuuka menaruh cangkirnya tanpa bunyi. Raut mukanya tak beriak. Dijaganya bahasa tubuhnya agar tetap terlihat normal.
Tak lama, suara bel pintu terdengar, melegakan.
"Ah, itu pasti Bibi Fuku...," Yuuka berdiri. "Terima kasih atas tehnya, Yuuichi-san."
"Sama-sama." Yuuichi mengayuh kursi rodanya mundur, keluar dari kolong meja makan. "Tapi, Fuku-san... cepat sekali belanjanya, ya...?"
Meski sedikit heran, Yuuichi mendahului Yuuka menyusuri lorong menuju genkan, dan membukakan pintu.
Sosok yang berdiri di baliknya menjawab keheranan yang sebelumnya diucapkan Yuuichi.
"Ah, Yuuka?" sosok itu membuka mulut. "Bibi Fuku tadi menghubungiku. Dia bilang antrian di supermarket masih panjang, karena ada mesin kasir yang rusak. Jadi dia minta aku menjemputmu di sini. Kebetulan saat ia menelepon tadi, aku juga sedang melewati jalan ini. Kata Bibi Fuku, ini rumah guru di kelas kerajinan tanganmu, benar? Mana dia? Kita harus pamit dulu padanya sebelum pulang..."
"Gouenji ... Shuuya-san...?" Yuuichi mengucapkan nama itu, seolah sedang belajar mengeja.
Gouenji Shuuya menoleh ke kiri dan kanan, lalu menunduk. Menyadari kalau suara itu berasal dari seseorang yang sedang duduk tepat di depannya. Rupa-rupanya, tubuh yang tinggi menghilangkan sosok pemilik suara itu dari ruang lingkup pandangannya. Agak canggung, pria muda pertengahan dua puluh itu meminta maaf. "Ma-maaf, aku tidak melihat kamu di situ..."
"Gouenji ... Shuuya-san...?" Yuuichi mengulang. Gouenji mengangkat sebelah alis, sebelum mengangguk mengiyakan.
"Ya, itu namaku," jawabnya. "Lalu ... kamu?"
Dengan ekspresi muka seseorang yang baru terbangun karena dikejutkan suara bom, Yuuichi mencoba menjawab. "Oh, eh… saya…."
Yuuka, sebagai satu-satunya yang tidak terjebak dalam situasi canggung, turun bicara, sebagai perantara dua laki-laki itu. Lepas dari formalitas perkenalan, ekspresi kaget tanpa dikomando mewarnai wajah keduanya. Lebih banyak pada wajah Yuuichi.
"Yuuka-san, apa itu benar…?"
Anggukan Yuuka memberi penegasan. "Maaf baru mengatakannya sekarang. Gouenji Shuuya yang Anda idolakan, adalah kakak saya…"
.
(bersambung)
.
.
Catatan:
*) Natsu-Koi, singkatan dari 'Natsu' (musim panas) dan 'Hatsukoi' (cinta pertama). Judul pasaran... orz
Sudut coretan author:
AU pertama saya nih, di fandom InaIre *doki-doki* Genrenya romance dengan danjo couple pula. Hihi, fujoshi juga sesekali boleh insaf kan… ? :p
Yuuichi Nii-san dengan Yuuka-chan. Disingkat YuuYuu, atau Double Yuu. Terserah, deh.
Awalnya, saya agak bingung memasukkan karakter TYL!Yuuka di fic ini, soalnya dia sebentar banget muncul di InaGo. Tapi, dalam bayangan saya, TYL!Yuuka-chan itu tipe cewek cool, kritis dan hati-hati. Yah, kurang lebih jadi kayak Gouenji, kali ya. Selain itu saya juga pinjam Rika-chan buat jadi temennya Yuuka. Hehe, Touko-chan jangan marah, ya, BFF nya direbut… ^^
Sementara Nii-san, ya… kayak biasanya lah. Ikemen + Tenshi = calon istri saya *dilostangel Tsurugi*
Nah, gimana menurut teman-teman dengan chemistry (halah, bahasanya) dari pairing crack yang bahkan ga pernah ketemu ini? ^^ Mau ikut saya ngeship mereka? Atau malah ngeship saya dengan Yuuichi-nii —ehek/ *keburu dikikuichimonji*
