Author's note:Yuhuuu~ Night Antares bangkit dari kubur setelah sekian lama hiatus dari dunia fanfiksi. Kali ini Night Antares mencoba mengulik fanfiksi dari fandom K Project, dan juga merupakan sebuah proyek gabungan bersama tasyatazzu. Permohonan maaf di awal apabila ternyata tulisan kali ini lebay, alay, engga jelas, gantung, bikin bingung, dll dsb dst.

Warning:hint bl, shonen-ai... terutama di bab-bab terakhir.

Pairing:Saruhiko x Misaki dan Mikoto x Reishi... entah kalau bertambah di akhir *ditempeleng*


.

Project K (c) GoRA & GoHands

KINGS ~Prolog~

.

"Antara surga, neraka, atau..."

.

.

.

Pada sebuah dimensi di mana warna perak menghampar luas tanpa batas, Suoh Mikoto berdiri dengan sebatang rokok tersulut, terselip di bibirnya. Terasa aneh, pikirnya. Ia bernapas tapi tak ada udara yang ia isap dan embuskan. Tidak ada nikotin racun yang biasanya mengalir di tenggorokannya. Segalanya terasa aneh. Bahkan ia tidak yakin dirinya berdiri menjejak tanah.

Singkatnya, ia tidak tahu di mana dan sedang apa.

Hal terakhir yang tergambar jelas di kepalanya adalah panas membara di sekujur tubuh ketika Pedang Damocles di atas kepalanya mengguruh dan meruntuh. Panas itu kemudian digantikan oleh nyeri menusuk di dadanya; tusukan pedang sang Raja Biru yang diarahkan padanya. Padahal ia sudah menyiapkan diri. Mungkin hanya Raja Biru yang tidak siap. Tidak siap untuk kehilangan satu pulau seperti tragedi Kawah Kagutsu karena kejatuhan pedang raksasa merahnya… atau mungkin Raja Biru ketakutan untuk kehilangan hal lain.

Apapun yang terjadi, Mikoto telah memaksa pria itu hingga ke ujung jurang pilihan yang tidak ada jalan keluarnya. Antara mati bersama, atau membunuhnya di tempat. Dan pria itu memilih untuk membunuhnya, mengotori tangan dan sebagian tubuh dengan darahnya. Mikoto tersenyum getir. Ia bersyukur sampai saat terakhir ia tidak sempat melihat persisnya ekpresi wajah seorang Munakata Reishi ketika menyanggah tubuh limbungnya yang memberat dan kemudian jatuh ke tanah.

Mikoto mengembuskan asap terakhir. Puntung rokoknya memendek dalam waktu begitu singkat. Ia menjatuhkan puntung, menginjaknya hingga tidak ada lagi percik api tersisa, lalu merogoh saku jaketnya untuk mencari satu batang lagi.

Tidak ada. Ia tidak bisa menemukan bungkus rokoknya.

"Anda mencari ini, Suoh-san?"

Sebuah suara riang menyapanya. Mikoto berbalik. Ada seorang pemuda berdiri di sana, membawa payung merah besar di tangan kirinya dan menggoyang-goyangkan satu pak rokok di tangan kanannya, sembari tersenyum lebar memamerkan deretan giginya yang berkilau. Mikoto mendengus. Sebetulnya ia sudah bosan berurusan dengan pemuda ini.

Ya, Isana Yashiro. Tersangka pelaku pembunuhan anak buah, teman, sekaligus keluarganya tersayang. Bocah berambut perak bertampang bodoh yang diduga ditumpangi calon raja gila yang haus kekuatan para raja lainnya. Sekaligus bocah polos yang mewarisi jiwa Adolf K. Weismann, Raja Perak pertama dan, mungkin, yang terakhir.

"Kau yang sekarang, yang mana?"

Tawa pemuda itu menggema. "Memangnya ada berapa 'aku' di sini, Suoh-san?"

"Hmph, sesukamu," gumam Mikoto. "Lalu? Ini di mana? Dunia orang mati?"

"Seandainya bisa semudah itu… sayangnya kita belum sampai di sana, Suoh-san," jawab Shiro, lantas melemparkan satu pak rokok di tangannya pada Mikoto. Pemuda itu menghela napas sebelum melanjutkan, "Katakan saja ini merupakan sebuah dunia perbatasan antara dunia manusia dan dunia orang mati, tempat di mana seharusnya kita melihat Sungai Stynx dan dijemput untuk menyebranginya, kemudian diadili akan lanjut ke surga atau neraka. Tapi aku tidak melihat jemputan kita datang, jadi…."

Mikoto menyulut batang rokoknya yang kedua. Diam-diam mencermati setiap kata yang dilontarkan Shiro. Sekaligus meyakinkan dirinya, dengan siapa ia tengah berhadapan. Menangkap setiap kalimat dari mulut Adolf K. Weismann merupakan perkara mudah, tapi kalau ia harus ditipu oleh calon Raja Tanpa Warna yang mengincar kekuatannya… itu lain cerita.

"Jadi? Kita di sini, menunggu untuk dibawa pergi?"

"Aku tidak yakin bahwa jemputannya akan datang dalam waktu cepat. Buktinya, ada seseorang yang sudah lama berada di sini dan belum ada yang menjemputnya untuk lanjut ke kehidupan yang lain."

"Siapa—"

"Kiiiiing~~!"

Belum sempat Mikoto menyelesaikan kalimatnya, matanya menangkap figur seorang pemuda lain, berwajah sumringah sembari melambai-lambaikan tangan dan berlari ke arahnya. Satu lagi wajah bodoh, namun yang kali ini sangat melekat di sudut ingatannya. Menghapus senyum sinis di wajahnya menjadi sebuah kelegaan dan juga sesak yang membelenggu. Bagaimana tidak?

Bertemu Totsuka Tatara semakin meyakinkan dirinya bahwa… ia memang sudah mati.


"Jadi bagaimana, King? Lanjut atau kembali?"

Mikoto mengangkat sebelah alisnya, menatap Totsuka penuh tanda tanya. Totsuka sendiri lalu beralih pada Shiro, lalu pada wajah rajanya lagi, berkali-kali, sampai pemuda itu mengeluarkan sebuah ekspresi ketidakpercayaan.

"HEEEE…?! King belum diberitahu Shiro-kun? Shiro-kun, aku sudah bilang, 'kan… kalau bicara dengan King harus jelas, jangan berbelit-belit dan bertele-tele, atau dia tidak akan pernah mengerti maksudmu."

"Totsuka… kau mengatakan hal itu seolah aku orang paling bodoh di antara kalian."

"Ahhahahaaa~ maaf maaf…. Jadi, jelaskan sekali lagi, tapi harus singkat, padat, dan jelas, ya?"

Shiro mendesah pasrah. Memang sulit sepertinya, berhadapan dengan duo imbisil di mana yang satu tidak mudah menangkap dan mempercayai kata-kata orang lain sementara yang satunya lagi hobi mempermudah segala masalah, di mana hobi mengerikan itu kerap kali menjerumuskan si pemilik hobi ke dalam lubang buaya dengan nyawa sebagai taruhan.

Satu tarikan napas dalam, Shiro memulai ceritanya.

"Seperti yang kukatakan tadi, ini adalah dunia perbatasan antara dunia manusia dengan dunia orang mati. Asumsikan saja orang mati akan dijemput untuk menyebrang sungai dan diadili, lalu kenapa kita bertiga… bahkan Totsuka-san yang sudah lama berada di sini tidak bisa pergi? Jawabannya ada dua; masing-masing dari kita memiliki hal krusial yang masih harus diselesaikan, atau keberangkatan menuju kehidupan akhirat kita yang tertunda akibat cukup banyaknya orang yang tidak menghendaki kepergian kita. Anggap saja sebagai sebuah jalan untuk menyelesaikan utang yang tertinggal atau… untuk kembali ke kehidupan kalian, jika kalian menginginkannya dan memang ada yang menginginkannya, dengan sangat."

Kalimat terakhir dari Shiro, Mikoto nyaris tersedak asap rokoknya sendiri.

"Kembali ke kehidupan? Hidup lagi? Heh, jangan bercanda, bocah. Mana mungkin—"

"—tentu saja mungkin, Suoh-san. Anda lupa tentang siapa sebenarnya Adolf K. Weismann dan kekuatan yang dimilikinya, alasan utama yang membuatnya diincar Raja Tanpa Warna, sesaat setelah membunuh Totsuka-san?"

Oh, iya. Raja brengsek itu mengincar keabadian milik Raja Perak. Lalu, intinya…?

Satu senyum lebar terlukis di wajah Shiro. "Aku ini makhluk abadi, Suoh-san. Karena itulah kalian ada di sini. Takdir kalian yang bersimpangan dengan waktuku membuat kalian memiliki kesempatan untuk, sekali lagi, kembali dan hidup normal seperti sedia kala. Meski tetap saja… ada bayarannya jika kalian memilih untuk kembali."

"Begitu? Dan bayarannya adalah…?"

"Kalian berasal dari Klan Merah. Selama Raja Merah yang baru mengizinkan, maka kalian bisa hidup. Begitu saja. Mudah, 'kan?"

Mikoto terdiam. Totsuka masih senyum-senyum sendiri, mengamati rajanya yang kentara sekali tengah mencerna berbagai macam informasi dalam kepalanya. Raja Merah yang baru? Rupanya di dunia manusia, ada raja baru yang telah terpilih. Apakah salah satu dari orang-orangnya di Klan Merah? Mikoto tidak sabar untuk menanyakan pertanyaan berikutnya pada si Raja Perak.

"Raja Merah yang baru, siapa?"

"Seseorang yang Anda kenal baik, Suoh-san," jawab Shiro, penuh keyakinan. "Pedang Damocles baru saja memilihnya. Lambang Klan Merah sudah kembali terbakar di tubuh anggotanya. Meski sayangnya… jika Anda dan Totsuka-san turun ke dunia manusia sekarang, aku tidak menjamin Raja Merah bisa langsung membantu Anda… melihat keadaannya yang seperti itu."

"Tetap ada halangannya, eh?" dengus Mikoto, sementara Totsuka tertawa lagi.

"Tenang saja, King… pasti ada jalan."

Mikoto beralih pada Totsuka. "Jadi, kau mau bagaimana?"

"Aku sih terserah King," Totsuka menjawab dengan mantap. "Aku 'kan bawahanmu… aku ikut ke manapun kau pergi. Kalau ternyata setelah ini King masuk neraka, aku akan siap mengikutimu sampai neraka sekalipun."

"Heh. Baiklah kalau begitu."

Mikoto mengangguk pada Shiro. Tidak perlu kata-kata, Shiro sudah tahu maksudnya.

Di antara hamparan perak membentang, butir-butir seperti salju mulai menghujani ketiganya. Awalnya perlahan, lama-lama menderas. Disertai tiupan angin yang makin lama makin menderu. Mikoto merasa dirinya seolah dihempas jatuh dari ketinggian. Sesaat sebelum matanya terpejam, yang ia ingat hanyalah wajah Shiro yang seolah mengucap selamat jalan serta sebuah siluet malam penuh kerlip lampu Kota Shizume.


.

.

Yup! Segini saja dulu~ read and review, please? :3