Mencari Cinta dan Bahagia © izzaNaruhina

.

.

Naruto © Masashi Kishimoto

.

.

Naruto Fanfiction

.

.

Happy read

Manik bulannya memandang kosong pemandangan di luar jendela kamarnya. Semilir angin menelusup ke sela-sela pori-pori kulitnya yang halus. Dinginnya udara di luar sana tidak dapat mengalahkan dingin hatinya saat ini. Guratan wajahnya, terukir sebuah keresahan akan hadirnya seseorang. Tangannya terangkat menutup jendela yang masih terbuka itu.

Kaki jenjangnya membawa dirinya mendekati tempat tidurnya yang hangat. Namun saat ia meletakkan tubuh mungil yang dibalut piyama merah jambu itu diatasnya, tidak ada rasa kehangatan yang menyelimutinya. Sepi adalah temannya, hanya dentingan jam yang mengisi keheningan di tempatnya ia berbaring.

Telapak tangan yang pucat itu mengelus permukaan kasur yang halus, dengan tatapan yang sulit di artikan. Sudut bibirnya sedikit terangkat, mulutnya bergumam kecil, "Inikah yang kamu rasakan dulu Sakura?"

Napasnya mulai terasa berat, sudut matanya mulai di genangi cairan bening yang siap mengalir deras pada pipinya yang sedikit tembem. Ia pejamkan maniknya yang telah berair itu, teringat sahabatnya ketika masih sekolah dulu.

HINATA dan Sakura. Mereka bagai langit dan bumi.

Sebelumnya mereka bukanlah sahabat. Mereka dipertemukan di satu sekolah SMP yang sama dan kelas yang sama. Hinata gadis sederhana, yang polos, pendiam, dan selalu berpenampilan di luar kata fashionable. Rambut yang di kepang kuda dengan poni yang membingkai wajahnya, menjadi ciri khasnya. Kacamatanya yang tebal menambah lengkap penampilannya yang terkesan cupu tapi manis. Namun ia gadis yang cerdas dan pintar sampai-sampai ia dipanggil nerd girl, oleh beberapa temannya di sekolah.

Berbeda dengan Sakura dia termasuk gadis golongan orang berada. Apapun yang ia mau ia pasti bisa mendapatkannya. Apalagi dia cantik, fashionable, dan banyak dikagumi lawan jenis. Ia begitu ceria dan cerewet. Namun di balik cerianya tersimpan banyak tanda tanya.

Mereka bisa dekat, berawal saat Sakura mendapat hukuman oleh guru dikarenakan ia lupa mengerjakan pekerjaan rumahnya. Ia dihukum membuat rangkuman pelajaran matematika yang sudah dipelajari sebelumnya. Namun Sakura bukanlah gadis pintar seperti Akira. sehingga untuk membuat rangkuman satu lembar kertas HVS saja baginya sudah seperti membuat beratus-ratus lembar kertas.

"Ra, ngapain bingung sih kan kamu bisa minta bantuan si nerd itu. Dia kan pintar, anaknya pasti nggak bakal nolak kok." Ino salah satu teman Sakura, merangkul pundak Stelle memberi saran.

"Iya aku tau, tapi aku kan nggak dekat sama dia, nggak enak sendiri aku." ucap Sakura resah. Menatap lembar HVS yang masih bersih belum ternoda itu. Sesekali ia menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Ia menyandarkan punggungnya pada bangku sekolah dan menghela napas kasar. Matanya masih setia menatap resah kertas di tangannya yang lentik.

"Nah, tuh dia, yang dibicarain sudah datang." celetuk Ino.

Sakura mengalihkan pandangannya dari kertas itu menuju orang yang dimaksud Ino.

"Hai nerd." Ino memanggil Hinata dengan wajah tak bersahabatnya.

Hinata memang tidak banyak memiliki teman ah bukan, lebih tepatnya tidak memiliki teman di sekolahnya. Sebab Hinata sangat berbeda. Hinata seperti sebuah kerikil di tengah-tengah tumpukan berlian. Ia hanyalah gadis beruntung yang bisa masuk sekolah elite yang mewah itu. Dengan otaknya yang encer ia bisa mendapatkan beasiswa dan bisa masuk di sekolah orang- orang berada itu.

Hinata yang baru memasuki kelasnya, dan merasa di panggil. Ia menoleh pada Ino yang memanggilnya tadi dengan tampang polosnya.

"Kamu sini." Ino menunjuk pada Hinata dan melambaikan tangannya. Sebagai isyarat pada Hinata agar mendekat. Dengan pelan dan sedikit gugup Hinata melangkahkan kakinya menghampiri mereka berdua.

"Emm a-ada apa ya?" tanyanya gugup, dan takut, seperti orang bersalah yang akan mendapat hukuman berat. Ia memandang grogi pada dua orang di hadapannya.

"Kamu mesti bantu Sakura, dan kamu harus mau." ketus Bella bersidekap, seperti nyonya-nyonya menyuruh pembantunya.

"Eh gak kok, kalau kamu gak mau gakpapa aku bakal ngerjain sendiri." sanggah Sakura tersenyum ramah. Memang Sakura bukanlah tipe orang yang suka merendahkan orang lain. Ia hanya tidak dekat dengan Hinata sebab Hinata begitu pendiam jadi ia agak ragu untuk mendakati dan mengajak bicara Hinata.

"Kamu nggak bisa gitu Ra, kalau nggak selesai-selesai kamu bakalan dihukum lagi sama perawan tua yang judes minta ampun itu." Kening Ino bertaut, sedikit kesal dengan ucapan Sakura.

"Iya aku tahu tapi..."

"Aku bi-bisa kok." potong Hinata tiba-tiba dengan terbata. Tak lupa membenahi kacamata tebalnya, walau sebenarnya tidak melenceng dari hidungnya yang mungil itu sedikitpun.

"Benarkah?" Sakura berbinar-binar mendengarnya. Benar-benar seperti berjalan di padang pasir panas lalu disiram air segar. Sakura merangkul Hinata erat, rasanya bahagia sekali.

"Oke nanti kamu ke rumah ya, terimakasih aku tau kamu anak yang baik," ucap Sakura girang. Sedang Hinata mengangguk kikuk.

Sejak kejadian itu mereka berteman dekat. Sehingga membuat Ino iri melihat kedekatan mereka. Hampir setiap saat Sakura mengajak Hinata bermain ke rumahnya.

Hinata sangat gembira memiliki sahabat yang kaya. Mungkin sedikit terdengar matre tapi sebenarnya Hinata bukanlah gadis yang seperti itu. Hinata hanya ingin merasakan rasa hidup mewah, yang ia pikir bisa membuat orang bahagia.

Dan kedekatan mereka bagi Sakura itu merupakan pengalaman khusus untuk dirinya. Sakura bisa merasakan bagaimana bebasnya seorang gadis sederhana dan bahagianya mereka merasakan kehangatan keluarga.

"Nata, kamu nggakpapa tiap hari main ke rumah?" tanya Sakura yang sedang nyaman duduk di sofa empuk, dengan pandangan yang tak lepas dari tv besar yang menayangkan adegan film romantis.

"Gak kok Ra, Ayah sama Ibu aku selalu ngebebasin aku, selama aku ijin dan jujur sama mereka," ucap Hinata menatap polos Sakura. Namun kali ini ia menangkap hal berbeda dari wajah Sakura. Seperti rapuh dan kesepian.

"Kamu deket ya sama orang tuamu, pasti kamu bahagia." Sakura tersenyum kecut, sorot matanya sendu.

"Ya sih tapi... kamu kan lebih enak. Tinggal di rumah besar, orang tua kamu kaya pasti seneng deh apa-apa diturutin," ucap Hinata, seraya tersenyum kecil.

Sakura menatap lantai rumahnya. Pandangannya menerawang dan menghembuskan napas kasar, sembari tersenyum hambar.

"Yah banyak yang mengatakan seperti itu. Tapi kamu tau kan, apa yang terlihat di luar nggak seperti yang terlihat di dalam." Sendu Stelle kembali menatap film yang ia putar.

Hinata tertohok dengan ucapan Sakura. Memang benar apa yang dikatakan Sakura. Ia sampai berpikir apakah selama ini Sakura tidak bahagia? Tapi bukankah kehidupannya sudah nyaman? Lalu apa yang kurang dari diri Sakura?

Namun saat Hinata pertama kali memasuki rumah Sakura, memang merasakan sedikit janggal. Rumah besar ini begitu sepi. Bahkan ia tak pernah melihat kehadiran orang tua Sakura. Setiap ia bertanya dimana orang tuanya. Sakura selalu ogah-ogahan untuk menjawabnya. Ia pun sempat berpikir apakah orang tuanya telah meninggal?

Berbeda sekali saat Sakura berkunjung kerumahnya yang kecil. Sakura terlihat berbeda dari biasanya, terlihat lebih ceria dan cerewet. Hinata dapat melihat dari sorot matanya yang berbinar dan lebih bersinar daripada di rumah Sakura sendiri. Apakah hidup mewah itu menyakitkan? Itulah yang selalu ada di benak Hinata selama berteman dengan Sakura.

Hingga kelulusan itu tiba. Sakura dan Hinata berpisah, dan Hinata masih penasaran dengan kehidupan Sakura yang seakan-akan terlihat hambar. Sakura melanjutkan studinya ke luar negri sedang Hinata layaknya gadis sederhana lainnya yang hanya melanjutkan sekolah di negaranya sendiri. Terkadang ia merasa iri ketika mendengar teman-temannya merencanakan studi mereka ke luar negri. Ia pun juga ingin sekali bisa merasakan, bagaimana hidup di negri orang. Namun ia masih bersyukur paling tidak ia masih bisa bersekolah.