Ace of Diamond

Belongs to

Terajima Yuuji

;—

Keiko Kazuya

Proudly Presents

.

.

"Man with Glasses"

.

The things that we love tell us what we are —

.

.

Miyuki Kazuya—catcher paling jenius pada generasinya. Sosok yang dikenal karena dedikasinya pada bisbol yang begitu tinggi. Tak ayal menjadi magnet bagi para pitcher untuk membangun battery. Tentunya tanpa Kazuya sadari, ia mampu menjadi pemantik semangat pemain bisbol dalam tim Seidou maupun diluar tim untuk terus berkembang. Salah satunya, pitcher berisik anggota tahun pertama asal Nagano—Sawamura Eijun.

Namun ternyata, sebesar apapun dedikasi Kazuya pada bisbol adakalanya rasa jenuh menghampiri pemuda berkacamata itu. Hal ini terjadi sebelum dimulainya turnamen Kanto. Kazuya tidak paham betul penyebab kejenuhannya. Ia hanya sedikit merasa hampa. Kesehariannya hanya ia habiskan untuk menangkap lemparan dari Norifumi Kawakami dan Kouichiro Tanba. Ia tidak diberi kesempatan untuk menjadi catcher bagi tim lapis kedua, apalagi bagi pitcher tahun pertama. Tentu saja, ia merasa jenuh. Sudah lebih dari satu tahun ia mengabdikan diri menjadi catcher bagi dua pitcher andalan tim lapis pertama Seidou itu. Kazuya sudah hafal betul pitching keduanya. Hingga kini ia merasa butuh suasana baru. Kazuya ingin menangkap pitch-pitch yang lebih beraneka ragam. Ia ingin membentuk battery baru, tentu dengan pitcher baru yang tidak akan pernah mengecewakannya. Pitcher yang dengan sepenuh hati memenuhi game callingnya. Pitcher yang mampu memberinya pitching menarik.

Kazuya sudah menantikan momen itu. Momen penerimaan anggota baru. Ia tahu ada satu pitcher yang menarik perhatiannya sejak setengah tahun yang lalu. Sawamura Eijun, mampu menarik perhatian Kazuya dengan pitchingnya yang luar biasa. Dan Kazuya ingin segera menangkap lemparannya. Namun sayang, harapannya berujung sia-sia. Sang pelatih kepala tidak membiarkannya berlatih dengan anggota non reguler. Dan itu sukses memicu rasa frustasi Kazuya.

Dan disinilah ia berada. Melarikan diri dari latihan rutinnya. Disebuah toko buku, diujung kota Tokyo.

Kazuya berjalan perlahan. Mengamati satu per satu rak berisi tumpukan buku. Manik hazelnutnya bergulir. Mengedar pandang, entah apa yang sedang ia cari. Kaki jenjangnya berhenti didepan rak berisi kumpulan buku romance psychology. Jemari runcingnya merunut deretan buku. Jari telunjuknya berhenti pada buku bersampul kelabu. Countless Love.

Kazuya bukanlah sosok pemuda melankolis. Bahkan ia lebih tertarik membaca scorebook daripada manga-manga romansa yang biasa dibaca oleh muda-mudi seusianya. Namun hari ini berbeda. Akibat kejenuhan yang melanda jiwanya, ia dipaksa keluar dari teritorialnya. Menjelajah buku bertopik romansa. Topik yang tak pernah ia lirik sedikitpun.

Ia mendengus geli. Tak habis pikir dengan apa yang ia lakukan sekarang. Meninggalkan latihan dan menghabiskan waktunya diperpustakaan terpencil. Netra dibalik lensa kacamatanya masih menatap buku itu lekat. Mengamati desain sampul yang sederhana namun mampu memikat. Membalik bukunya perlahan. Kazuya mulai membaca untaian huruf dalam summary buku itu.

Dibalik celah rak buku, pemuda bernetra emas memicing tajam. Sepasang kelopak matanya menyipit menatap ke arah Kazuya. Sawamura Eijun, berdiri diseberang rak buku dimana Kazuya berdiri. Kazuya masih tenang sembari membuka lembaran kertas perlahan tanpa menyadari kehadiran entitas lain yang tengah memperhatikannya.

"Miyuki Kazuya!" Panggil Eijun sedikit berteriak. Kepalanya menyembul dari balik ujung rak buku yang membatasi keduanya.

Kazuya berjengkit. Tangannya tangkas menutup lembaran buku. Kemudian ia kembalikan asal ke rak buku.

"Tidak kusangka, kau tertarik membaca buku psikologi percintaan seperti itu sampai rela meninggalkan latihan rutin, Miyuki Kazuya." Eijun kembali berujar. Sebongkah seringai muncul disudut bibirnya. "Kau sedang jatuh cinta, heh?" Sambungnya sambil bersedekap tangan. Sepasang netra emasnya mengerling. Menggoda Kazuya. "Hei, beritahu padaku siapa gadis malang yang mampu mengalihkan perhatianmu dari bisbol itu?" Dua jari Eijun menjepit dagunya. Pose berpikir. Punggung tegapnya bersandar pada dinding rak kayu. "Aku tidak bisa membayangkan nasibnya menjadi kekasih pemuda brengsek sepertimu. Kuharap dia segera menyadari kesalahannya karena ceroboh memilihmu."

"Berisik! Apa pedulimu, Sawamura Eijun?"

"Kau tidak perlu khawatir jika tidak ingin memberitahuku. Aku masih bisa menggunakan cara yang lain." Seringai Eijun semakin lebar. "Sepertinya Mochi-senpai bisa membantu." Tersenyum licik. Eijun menarik punggungnya. Berdiri tegap. Hendak berlalu meninggalkan Kazuya. Sebelum lengan kokoh Kazuya menarik kerah belakang kemeja Eijun. Menghentikan langkahnya.

"Mau kabur kemana, bocah tengik?" Nada suara Kazuya pelan. Namun penuh penekanan. "Aku belum selesai bicara." Menarik Eijun semakin mendekat. "Tunggu aku dikedai seberang jalan." Titah Kazuya mutlak sebelum melepas kerah baju Eijun.

"Kau mau menyuapku, hah?" Gerutu Eijun tidak terima. Kedua alisnya menukik tajam.

"Aku haus bodoh!" Kazuya menjawab ringkas. Lugas. Kemudian berbalik. Mengabaikan Eijun yang masih menatapnya heran.

.

.

.

.

.

Kazuya menghampiri Eijun lima belas menit kemudian. Duduk saling berhadapan dengan pitcher berisik macam Sawamura Eijun. Tangan kanan Kazuya terjulur. Menyodorkan sebuah godie bag ke arah Eijun. "Ambillah! Itu hadiah atas bergabungnya kau dengan tim lapis kedua." Kazuya menatap tajam tepat pada netra emas Eijun. "Jangan menolak atau kutolak lemparanmu." Ancam Kazuya telak. Ia tau kelemahan pitcher berisik itu. Menolak lemparannya dan shojo manga. Eijun akan segera menurut padanya. "Itu Shojo Manga best seller." Lanjut Kazuya. Kemudian menyesap kopi espresso yang telah dipesankan oleh Eijun.

"Hee? Pangeran dari negeri angin?" Tanya Eijun terkejut. Kazuya hanya mengangguk pelan. Menjawab pertanyaan lawan bicaranya. "Tapi aku tidak menemukannya ditoko buku tadi." Eijun kembali bersuara. Netra emasnya menatap godie bag dalam genggaman tanpa membukanya. "Kacamata itu betul-betul membantumu, Miyuki Kazuya. Kau jeli sekali hinga bisa mendapatkan manga limited edition ini." Eijun kembali membuka mulutnya setelah lama menatap hadiah pemberian pemuda berkacamata. Ia terlalu polos untuk menyadari niat terselubung dibalik kebaikan sosok Kazuya.

"Terima kasih atas pujiannya, Bakamura." Kazuya—diam-diam—menghela nafas lega. Sepertinya ia berhasil mengalihkan perhatian lawan bicaranya itu dengan memberikannya manga. Jujur saja Kazuya tidak tahu manga apa yang ia beli. Ia hanya asal mengambil tanpa melihatnya. "Ayo pulang!" Ajak Kazuya beberapa sekon kemudian. Tanpa sadar ia mendengus geli. Mendapati Eijun yang berbinar menatap godie bag pemberiannya. Eijun tak lantas merespon. Butuh tiga detik sebelum akhirnya ia mengangguk dan bangkit berdiri. Berjalan beriringan disamping Kazuya. Mereka melangkahkan kaki menuju stasiun.

.

.

.

.

.

Mereka masih berjalan beriringan. Kini tujuannya adalah asrama setelah satu jam perjalanan mereka menggunakan kereta. Melangkah dalam hening. Kazuya melirik arloji dipergelangan tangan kanannya. Sudah pukul enam lebih dua puluh menit ketika mereka berada diambang gerbang asrama. Langit sudah gelap.

Kazuya kembali bersuara. Menarik atensi Eijun disampingnya. "Untuk merayakan keberhasilanmu masuk tim lapis kedua, bagaimana kalau malam ini kutangkap lemparanmu?" Kazuya melirik Eijun sekilas. Menangkap netra emas yang berbinar tengah menatap ke arahnya.

"Benarkah? Bagaimana dengan Tanba-san? Atau Nori-senpai? Kau tidak berlatih dengan mereka?" Eijun memberondong Kazuya dengan pertanyaan. Kazuya terkekeh. Mengulum senyum lembut yang dengan sengaja dibuat semanis mungkin. "Tidak. Aku akan menjadi catcher khusus untukmu malam ini, Bakamura." Senyumnya semakin mengembang hingga menyembunyikan iris hazelnut Kazuya. "Akan kutunggu di bullpen pukul delapan tepat." Kazuya sengaja mengambil jeda. "Jangan terlambat, okay?" Lengan kokohnya menepuk pucuk kepala si brunette pelan. Kemudian berlalu meninggalkan Eijun yang masih mematung.

Eijun mematung. Butuh lima detik untuk menarik kembali kesadarannya. Ia mengerjap beberapa kali. Memandang punggung Kazuya yang semakin menjauh dengan heran. Benarkah dia itu si brengsek, Miyuki Kazuya? Tidak biasanya dia bersikap baik seperti ini? Apa dia merencanakan sesuatu? Batin Eijun penuh tanya. Ia merasa ada yang tidak beres dengan senpainya itu. Eijun tahu, Kazuya tidak akan memberikan sesuatu secara Cuma-cuma. Pasti ada imbalan dibaliknya. Hanya saja otaknya tak mampu menemukan jawaban yang realistis. Terlalu tumpul untuk mengimbangi kelicikan otak Miyuki Kazuya. Hee atau jatuh cinta membuat kepribadiannya semakin bengkok? Menyeramkan! Eijun kembali menarik kesimpulan dalam hatinya. Dengan satu helaan nafas lelah, Eijun melangkah menuju kamar nomor lima.

Lima menit kemudian, tubuh Eijun sudah terkapar diatas ranjang. Tidak peduli seragamnya yang kotor setelah sepanjang hari dipakai. Manik emasnya nyaris terlelap. Sebelum kembali terbuka karena suara derit pintu. Kuramochi Youichi. Beringsut mendekati ranjang Eijun. Nyaris hilang kesabaran atas tindakan konyol kouhainya itu. Beraninya ia meninggalkan latihan setelah beberapa hari lolos menjadi anggota lapis kedua. "Apa yang sudah kau lakukan, Bakamura? Berani mangkir dari latihan, hah? Apa kau tidak merasa jera harus berhadapan dengan pelatih Kataoka?" Youichi memberondong pertanyaan pada Eijun sembari kedua tangannya sibuk memiting tubuh malang sang pitcher.

"Ittai!" Eijun meringis. Merasakan sakit menyerang tubuhnya. "Lepaskan aku, Mochi-senpai. Kumohon!" Ia terus meronta. Mencoba membebaskan diri dari cengkeraman lengan kokoh lead off bersurai lumut. "Aku sudah meminta ijin pada Bos semalam, jika kau lupa." Eijun menolehkan kepala. Mencari sepasang netra pemuda bersurai lumut. Lima detik setelahnya, cengkeraman Youichi mengendur. Kemudian terlepas. Eijun menghela nafas lega. Youichi mendengus kasar. Ia ingat semalam Eijun menemui pelatihnya untuk meminta ijin demi keperluan tugas.

"Pergilah mandi, Bakamura. Kau lusuh sekali!"

"Setidaknya minta maaflah lebih dulu, Mochi-senpai. Kau baru saja menganiaya anak orang yang terbukti tidak bersalah." Eijun bangkit berdiri. Tangan sibuk mengusap leher dan pinggang yang terasa ngilu. Manik emasnya menatap Youichi sengit dengan bibir yang sedikit mengerucut. Ia marah karena untuk kesekian kalinya menjadi korban kekerasan sang senpai.

Youichi memasang kuda-kuda. Bersiap menendang Eijun. "Berani bicara sekali lagi. Akan kutendang secara paksa dari kamar ini!" Suaranya berat. Eijun yakin Youichi tidak akan segan menendangnya betulan. Mengikuti insting. Ia segera berlari. Menghadapi Youichi dalam keadaan murka tidaklah berakibat baik. Selentur apapun tubuhnya, tetap akan terasa ngilu bila mendapat pitingan berkelanjutan.

.

.

.

.

.

Kazuya menepati janjinya yang ia buat demi keamanannya sendiri. Ia datang sepuluh menit sebelum pukul delapan malam. Mendudukkan diri diatas bangku panjang di dalam bullpen. Punggung tegapnya bersandar pada sandaran bangku. Tangannya lihai mengotak atik ponsel flip hitam metalicnya. Tidak terasa sepuluh menit sudah ia habiskan hanya untuk membaca beberapa email dari kawan lawasnya. Pukul delapan lebih sepuluh detik. Eijun belum juga menampakkan batang hidungnya.

"Sudah kubilang jangan terlambat, bukan?" Menyimpan ponsel dalam saku hodie marun miliknya ketika menangkap entitas Sawamura Eijun berdiri diambang pintu bullpen melalui ekor matanya. "Berani sekali membuatku menunggu, Bakamura!" Lanjutnya sembari bangkit berdiri. Menghadap ke arah Eijun. Kedua tangannya bersedekap.

"Salahkan Mochi-senpai yang memperlambat waktuku. Lagi pula.." Ia menggantung kalimatnya. Manik emas Eijun mengedarkan pandang. Menelusuri tiap jengkal area bullpen. Hanya ada mereka berdua dengan pencahayaan yang minim. "Kenapa kau memilih bullpen? Disini menyeramkan, Bodoh!" Gerutu Eijun sambil memegang tengkuknya yang mulai meremang. "Kau ingin menangkap lemparanku atau beruji nyali, hah? Seharusnya aku memang tidak mempercayai ucapanmu, Miyuki Kazuya." Lanjut Eijun gusar. Sepasang netra emasnya melotot menatap Kazuya yang sudah menyeringai.

"Apa kau pernah dengar pepatah 'sekali dayung dua tiga pulai terrlampaui', Sawamura?" Seringai Kazuya semakin mengembang. "Aku harus menguji konsentrasi dan mentalmu dengan memintamu melempar dalam keadaan menyeramkan seperti ini." Lanjut Kazuya santai. Ia mulai memasang glove catcher ditangan kirinya. Kemudian memposisikan diri di box catcher. "Ini akan sangat membantumu ketika kau harus berdiri di atas mound dalam keadaan genting." Kazuya tersenyum penuh arti menatap Eijun yang mulai memucat. "Kau boleh pergi sekarang jika tidak mampu. Aku tidak akan keberatan. Dan akan kuantar kau sampai ke kamarmu." Sorot hazelnut Kazuya seakan mengirimkan pesan dengan arti lain pada Eijun. Jika berani selangkah meninggalkan bullpen, kuanggap kau sebagai pecundang seumur hidup.

Eijun menggeram marah. Tanpa pikir panjang langsung menerima tantangan lawan bicaranya. Harga dirinya jauh lebih penting daripada nyalinya yang mulai menyusut. "AKU BUKAN PECUNDANG, BRENGSEK!" Teriaknya penuh amarah. Kemudian berjalan menuju gundukan bullpen. Tempat ia biasa berlatih pitching. Kazuya bersorak sorai mendapati respon dari pitcher kidal dihadapannya.

Kau terperangkap jebakanku, Bodoh!, batin Kazuya histeris. Ia tak menyangka menggoda Sawamura Eijun akan semenyenangkan ini. Niatan menjahili pitcher berisik itu semakin membuncah. Kazuya menahan tawanya agar tak meledak didepan sang obyek kejahilan.

"Lemparanmu masih buruk seperti biasanya." Ujar Kazuya sarkas memecah keheningan. Sayup-sayup angin menimbulkan ilusi dalam diri Eijun. Semakin lama tubuhnya semakin memucat. Tidak ingin menunjukkan kelemhannya dihadapan Kazuya, memaksanya untuk tetap bertahan. "Sialan! Mau berapa lama kita disini?" Tanya Eijun yang mendapatkan seringai dari lawan bicaranya. "Selama ketika kau berlatih di dalam indoor." Kazuya menjawab cepat tanpa memudarkan seringainya. Fokusnya tetap terjaga untuk memberikan arahan pada pitching Eijun.

Eijun terkesiap. Bolanya meluncur tanpa sengaja. "Hah? Jangan bercanda, Miyuki Kazuya!"

"Kenapa? Bukankah itu sudah menjadi rutinitasmu? Berlatih sampai pukul dua dini hari. Tenang saja, Bakamura. Akan kutepati janjiku. Aku siap menangkap lemparanmu sepanjang malam." Tawa Kazuya meledak. Ia tak mampu menahannya lagi ketika melihat wajah Eijun kian memucat. Bersyukurlah Kazuya karena memiliki otak jenius. Ia mampu mengolah ide sekilas ini menjadi rencana yang menakjubkan.

"TEME!" Eijun menggeram tertahan. Rasanya ingin sekali melempar bola bisbol pada wajah catchernya itu. Kazuya masih tertawa melihat Eijun menekuk wajahnya kesal.

"Menyerahlah, Sawamura. Itu jauh lebih baik." Kazuya kembali berujar. Memberi saran yang jelas akan ditolak Eijun tanpa pikir panjang.

"Jangan harap!" Sahut Eijun singkat. Ia kembali fokus melempat ke arah mitt Kazuya.

Tanpa terasa tiga puluh menit sudah berlalu. Tidak ada hal-hal aneh yang terjadi yang sempat terbersit dalam pikiran Eijun. Kazuya masih fokus memberinya arahan sambil sesekali menggodanya untuk menyerah. Sisanya suara sayup desau angin memenuhi bullpen.

"Sawamura? Apa kau tahu cerita mengenai halaman belakang Seidou?" Kazuya kembali membuka percakapan. Mimik wajahnya serius. Menatap lurus sepasang iris emas. "Aku juga baru mengetahuinya beberapa bulan yang lalu. Saat Tetsu-san dan lainnya mulai membangun markas di kamarku." Eijun hanya diam. Menjadi pendengar setia bagi Kazuya. "Bahkan teman satu kelasku juga pernah menceritakan hal yang sama. Tentang sosok yang mampu mengubah wujudnya menyerupai orang yang kita kenal."

Kazuya tidak melempar kembali bolanya pada Eijun. Ia masih berjongkok. Tangan kanannya menggenggam bola putih. Mengunci pandangannya pada sosok berisik diseberangnya.

"Waktu itu Tetsu-san yang menceritakannya. Ia tak sengaja bertemu dengan sosok yang menyerupai Chris-senpai. Saat itu Tetsu-san pulang terlalu malam dan berpapasan dengan Chris-senpai. Mereka sempat berbincang. Kemudian Tetsu-san segera pamit. Saat Tetsu-san berbalik tepat langkah kelimanya karena lupa menyampaikan pesan dari pelatih. Namun ia dibuat terkejut karena sosok Chris-senpai itu sudah tidak ada. Padahal jarak antara jalan setapak menuju asrama kurang lebih sepuluh menit berjalan cepat. Ketika keesokan harinya tiba, Tetsu-san bertanya pada senpai yang lain mengenai keberadaan Chris-senpai. Dan Tetsu-san dibuat tercengang oleh kabar dari Rei-chan bahwa Chris-senpai tidak berada di asrama sejak dua hari sebelumnya. Saat itulah semua orang di Seidou meyakini bahwa sosok itu nyata."

Kazuya mengakhiri ceritanya dengan seringai diujung bibir. Ia menikmati setiap perubahan ekspresi pada mimik wajah lawan bicaranya.

Eijun membeku. Tubuhnya terasa kebas. Keringat dingin mengucur deras. Semakin kaku ketika menatap sorot mata Kazuya yang mampu melumpuhkan syarafnya. Kemudian seringai Kazuya yang semakin melebar memperparah kondisi Eijun.

"Ne, Sawamura? Apa kau tidak curiga pada sosok dihadapanmu ini?" Kazuya masih mengunci pandangan Eijun. Tidak membiarkan netra emas itu merasa aman barang sepersekian detik. "Bukankah kau orang yang paling mengenal sosok, Miyuki Kazuya? Kau tahu bahwa dia bukan orang yang perhatian, bukan? Tidak mungkinkan, dia dengan sukarela menangkap lemparanmu?" Suara Kazuya terdengar sangat tenang namun mampu mengoyak jantung Eijun. Jantungnya kian berdegup kencang seiring kata yang keluar dari belah bibir Kazuya. "Hei, apa kau tidak merasa ada yang aneh dariku?" Kazuya kembali bertanya. Eijun sudah bersiap mengambil ancang-ancang merasakan bahaya semakin mendekat. Mempersiapkan kaki jenjangnya untuk berlari.

Tepat pukul sembilan malam. Suara tawa melengking seorang perempuan memacu kaki Eijun untuk berlari. Meninggalkan bullpen. Meninggalkan Kazuya dengan gelak tawa yang menggema.

"Sepertinya aku harus berterima kasih pada Mei karena kebodohannya ini sungguh membantu melancarkan rencanaku." Gumam Kazuya lirih setelah berhasil meredakan tawanya.

Kemarin malam, Narumiya Mei dengan kekurang kerjaannya mengirimi Kazuya sebuah ringtone suara menyeramkan itu. Dan otak licik Kazuya mampu menggunakannya dengan baik. Sebelum Eijun sampai tadi, ia sempat memasang alarm pukul sembilan malam dengan rintone yang diberikan Mei. Sepertinya malam inipun, Kami-sama tidak ragu mengabulkan permintaannya. Rencana yang ia susun dadakan berjalan dengan lancar. Bahkan melebihi ekspektasinya.

Kazuya berjalan menuju kamarnya dengan berbinar-binar. Rasakan pembalasanku, Bakamura. Beraninya kau mengancam seorang Miyuki Kazuya. Kazuya berbicara dalam diam. Ia merasakan kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Kepuasan menjahili pitcher berisik, Sawamura Eijun. Malam ini berakhir dengan senyum kemenangan yang mengembang disudut bibir Kazuya. Ia semakin bersemangat untuk mengusili bocah hiperaktif itu. Keberhasilan Kazuya mengantarnya pada buaian mimpi yang indah. Ia tertidur tenang dan damai malam ini. Tidak mempedulikan nasib korban kejahilannya.

.

.

.

.

.

Kei : Halooo, Minna-san

Terima kasih yaa udah baca fic Keikoo :D Sebetulnya Keiko pengen bikin fic humor gitu terus itu cerita belum sampai scene ide cerita utamanya uu. Sengaja Keiko potong karena bagian bawahnya terasa lebih tegang huhuuu jadi belum dapet humornya :( menurut Keiko ini cerita gilaaa.. otak licik Kazuya itu mampu memanipulasi situasi huhuu dan korban kelaknatannya si Eijun uu

Nah, cerita diatas gimana nih menurut reader-sama sekalian? Berasa humornya? Horornya? Atau malah ndak keduanyaa? :((

Jangan sungkan meninggalkan jejak yaa.. jejak kalian semangat untuk Keiko :D Arigatou

Review, please?