Meltdown

.

Genre: Crime, romance (maybe), friendship, hurt

Note: Tak sepenuhnya cerita ini sama dengan lagunya. Aku hanya mengambil judul dan reaktor nuklirnya.

Warning: AU, death fic, ER, mungkin OOC, Skizo!Rin, gore, roman hambar

Disclaimer: Yamaha Corporation

Kutipan:

Dia tertabrak mobil kala mengambil segelintir kelerengnya yang menggelinding ke tengah jalan. Aku masih mengingat bagaimana darah segar mengalir dari kepalanya dan orang-orang dewasa menghampirinya. Peristiwa itu menghantuiku, membuatku tertekan. Masa kanak-kanak yang suram.

.

.

Rin's POV: On

Aku memeluk lutut bersepatu boots hitam sebatas betis berlapis stoking hitam yang cukup transparan. Antara lemari kecil setinggi kursi sekolah dengan ujung tempat tidur – aku disana.

"Dimana Rin-chan?"

"Dia di kamar, sedang mengurung diri. Rin-chan, keluarlah! Ada kareshi-mu ingin bertemu denganmu!"

Bohong! Seruannya hanyalah dusta! Dia mengurungku saat aku melarikan diri karena ditarik ke rumah sakit. Aku masuk ke kamarku dan baru sadar pintu telah terkunci.

Mereka berada di lorong. Membicarakan sesuatu samar-samar, kucoba dengar baik-baik.

"Dia kenapa?"

"Entahlah. Tadi kami lebih dulu pulang dari studio. Kau tahu 'kan, lagu barunya tidak diterima."

"Yeah, tapi kurasa dia terlihat biasa-biasa saja menerima penolakan itu. Atau mungkin karena teringat adiknya?"

"Tidak mungkin. Len sudah lama meninggal."

Ah, ya. Len-chan. Aku mengambil sebingkai foto sedang persegi panjang vertikal yang sedikit tertempel buliran debu. Kenangan lampau kami menghamburkan daun-daun cokelat kering di sisa-sisa hari musim gugur.

Dia tertabrak mobil kala mengambil segelintir kelerengnya yang menggelinding ke tengah jalan. Aku masih mengingat bagaimana darah segar mengalir dari kepalanya dan orang-orang dewasa menghampirinya. Peristiwa itu menghantuiku, membuatku tertekan. Masa kanak-kanak yang suram.

Tapi sekarang dia ada dan bereinkarnasi. Aku tidak menyukai ucapan mereka yang terus mengucapkannya mati. Berapa kali pun aku menentang, mereka tidak akan memercayainya.

Dia muncul bersama bajunya yang aneh. Kemeja hijau daun bermotif garis yang membentuk kotak-kotak putih dan memiliki beberapa bayangan dalam motif itu. Celana hijau tua yang hanya terlihat sampai lutut, karena terhalangi kain merah bermotif kotak-kotak biru navy melingkari pinggangnya. Seperti pakaian pemain musik kalangan terdahulu, yang biasanya selalu membawa seruling beranak – yang tertempel pada sebuah gundukan kain. Dia selalu menenteng tanduk kerbau. Jika ditiup, suaranya menyakiti telinga. Aku tidak bisa berdiam diri membiarkan alunan tanpa nada itu mencakarku lebih dalam.

Dia didampingi oleh kucing hitam disamping kakinya, dan burung gagak berpijak di bahu kanannya. Mereka ada sejak Len ada. Untuk yang burung itu, pertama kali kulihat beristirahat di bingkai putih jendelaku. Itu mengganggu tidurku jika kau dengar sesekali dia mengeluarkan suaranya keras-keras. Tak jarang spesies sejenisnya berputar-putar di atas rumahku sampai terdengar kibasan sayap mereka.

Miku bilang itu hanya halusinasiku. Tapi aku merasa memiliki kemampuan tak masuk akal yang tak dimiliki manusia normal.

Aku tidak seutuhnya menganggap apa yang tak bisa orang lain lihat itu sebagai teman. Mereka memang selalu ada, namun ada waktu dimana mereka bertindak sebagai pembuli. Kucing hitam, mencakar pipi orang-orang disekitarku. Dia tidak akan menghentikan perbuatannya jika aku tidak berusaha menghentikannya. Len, oh, dia tidak seperti adikku. Kurasa dia memiliki masalah dengan suasana hatinya. Padahal aku tidak melakukan apapun kecuali berbicara dengannya.

Aku tidak melihat mereka sekarang. Syukurlah. Sendiri lebih baik bagiku.

"Kau sudah pernah membawanya ke psikolog?"

"Dia selalu bersembunyi di belakangku lalu kabur begitu saja."

Itu karena aku memiliki ketakutan langka pada jas putih sampai lutut yang dipakai para dokter (atau mungkin tak sepanjang itu, entahlah). Sebuah suara yang entah dari siapa mengatakan sesuatu yang mistik. Mereka (dokter yang memakai jas putih) adalah para pembawa roh dan dengan kasur rodanya mendorong jasad manusia, tampak tergesa-gesa. Aku dan Miku sebagai saksi yang menonton kematian bertutupkan kain biru langit di sekujur tubuh mereka ketika kami hanya sebatas berjalan di lorong rumah sakit.

Aku terlonjak begitu mendengar derap langkah mereka seakan mendekat. Untuk apa Kaito datang kemari? Apa yang mereka rencanakan? Sudah dua kali kasus ditipu, yang objeknya adalah rumah sakit.

Itu yang mereka inginkan. Aku punya cara unik keluar dari sini.

Kukecup foto tak berdosa itu. Maafkan aku, Len-chan. Kebahagiaanku adalah kebahagiaanmu juga. Sudah ada awan bergumul menepi di samping luar kaca.

.

Rin: POV: Off

"Suara kaca pecah. Kau dengar?"

Miku mengibaskan jemari di tangan kanannya. "Ah, lagi-lagi. Dia sedang memarahi makhluk halusinasinya. Beruntung dia di kamar – jadi yang dipecahkannya bukan barang-barang milikku."

Mereka berhenti mencapai pintu putih milik target. Sorotan Kaito kian sendu. "Dia selalu begitu?"

Miku sedikit menengadah pada pemuda berambut biru yang lebih tinggi darinya.

"Lho? Kau tidak tahu? Dia berusaha meyakinkan bahwa Len hidup. Apa dia tidak pernah menyinggung soal itu?"

Kaito menggeleng. "Rin-chan hanya berbicara mengenai kehidupan adiknya." Ia berpikir selama beberapa detik. "Yang kutahu, dia takut pada sesuatu yang tidak jelas."

Miku merogoh sesuatu dari saku –dikanan- rok hitam sebatas lututnya. "Sudahlah, memikirkan sikapnya dapat membuatmu gila. Kita harus membawanya ke psikiater kalau ingin tahu lebih lanjut." Santainya ia memasukkan yang dipegangnya ke lubang kunci kemudian memutarnya.

"K-kau…." Tentu yang disampingnya dibuat terbelalak.

"Ssstt….. yang tadi itu hanya basa-basi saja. Aku tidak ingin dia mendobrak pintu kalau sampai tahu dikunci," bisik Miku, pelan ia membuka pintu dan menancapkan niat tajam untuk segera menarik Rin keluar.

Namun apa yang diharapkan tidak sesuai dengan susunan rencana.

Tanpa pekikan histeris. Kaca jendela pecah tak sempurna, tali putih yang tersambung ke mulut jendela, serpihan-serpihan berserakan di bawah lantai yang tak mungkin jauh dari jendela, lemari kecil dan kasur terdekat itu sendiri.

Kaito yang lebih dulu menggerakan diri dari kaget mematungnya bersama Miku. Bau feminim khas pemilik rumah beserta angin dingin seolah belum dihuni secara tak langsung mendominasi.

"Apa yang terjadi? Apa dia bunuh diri?" Miku tergesa mendekati Kaito dengan jendela berlubang itu. Selipan kekhawatiran memenuhi hatinya. Ini bukan barang baru lagi, tapi…..

….. sambil pelakunya pergi itu belum pernah terjadi.

Miku berjinjit hati-hati melewati setiap serpihan-serpihan kecil yang mengitari ujung-ujung sepatunya.

"Dia lolos." Hanya sebuah foto yang tak terlihat jelas gambarnya terdampar di rerumputan hias. "Ini lantai dua, 'kan?" sambung Kaito begitu menyadari ujung tali pendek – hanya sampai pot bunga gantung di bawah jendela.

"Ada darah!" Miku mundur dua langkah. "Waa…," dan baru menunduk ke bawah dikejutkan oleh serpihan-serpiah kecil kaca. Noda darah dari potongan kaca yang berdiri kokoh di pertengahan. Sedikit darah pelan mengalir menurun ke bawah. Apa yang dipikirkan Rin sampai kabur dengan cara yang berbahaya seperti ini?

Miku mengangkat kepala memandang Kaito yang masih asyik meneliti pemandangan luar.

"Kaito-senpai, tolong cari Rin-chan."

.

-Tidur singkat dengan mimpi beberapa detik-

.

Sedikit kendaraan berlalu lalang jika berada di jalan yang satu ini. Kondisi jalanan yang memang sudah seperti ini – entah kenapa. Si surai pirang sebahu beraksesoris pita putih besar di kepalanya itu terengah setelah berlari bagai dikejar polisi. Ia menyeka keringat di belakang poninya, sesekali meringis pada luka di lutut kanannya yang merobek stokingnya. Awan itu menipunya hingga kedua kakinya yang ditempelkan di tembok terseret sesuai pegangannya pada tali. Tali terputus, ia mendarat dengan cara yang menyakitkan. Punggungnya menghantam bumi, namun masih mampu berlari. Terakhir, berjalan sempoyongan langkah demi langkah. Menyebalkan.

Sakit yang ini bisa dikatakan ringan daripada jika disiksa makhluk-makhluk ilusi. Ia sudah terbiasa merasakan kesakitan, apapun itu.

Tujuannya, berkunjung ke rumah mewah salah satu sahabatnya setelah Miku, Megurine Luka. Orang yang juga menjadi senpai-nya di sekolah.

Ia melewati gerbang besi kotak garis-garis berwarna hitam yang memang telah terbuka. Sampai di teras, lambat ia mengulurkan tangan kanannya yang linu (akibat jatuh) guna menekan tombol bel tersampir di kanan bingkai pintu.

Ada seruan tak jelas dari penghuni rumah. Ia sabar menunggu namun rautnya tampak waswas. Semoga tempat ini aman, do'anya.

Orang yang ingin ditemuinya yang membuka pintu. Luka memakai jaket kulit hitam legam pendek (modelnya) dengan jeans ketat hitam keabu-abuan sebatas lutut. Dia tampak antusias menerima tamunya.

"Hei, Rin-chan! Tak kusangka kau akan datang!" Luka mundur lima langkah, mempersilahkan Rin masuk.

Rin membalas senyuman yang dilontarkan padanya. Ia menuruti permintaan itu. Baru saja menoleh ke dalam, kertas-kertas, buku-buku dan alat-alat tulis mengisi meja, sebagiannya terdampar di atas sofa kecil merah lipstick.

"Oh, aku lupa dengan naskah-naskahnya!" Luka menyerbu benda yang disebutnya, memungutnya cepat ke dalam pelukan lengannya.

"Naskah?" Rin berpikir sejenak, tidak mengerti.

Luka menoleh sekilas pada Rin yang berjalan santai menuju sofa. Kemudian berdiri setelah semua yang dilakukannya dianggap selesai.

"Tadi sutradara sekaligus penulis naskahnya datang kemari memberi instruksi. Waktu begitu cepat."

Rin tidak sepenuhnya meresapi penjelasan itu. Ia tersenyum kaku. Pikirannya terasa berbelit.

"Minggu depan aku harus berakting lagi. Jatah waktunya sedikit, apa mereka tidak bisa memperpanjang waktu? Ah, memberi makan pada sendiri saja sudah melelahkan." Luka menjatuhkan diri ke sofa di samping Rin.

Rin ikut bersandar pada sofa empuk itu, masih dalam diam menikmati siulan samar dikepalanya.

"Kalau kau, bagaimana dengan lagu barumu?"

Rin tersadar dan cepat merespon, "Gagal." Ia menunjukkan kepasrahan dengan memandang ke bawah – kayu di rongga meja yang ditumpangi kedua kakinya.

Luka terduduk tegak, menepuk pundak Rin guna menyemangatinya. "Koreksi lagi. Mungkin mereka menemukan keganjalan atau apalah itu," lalu berdiri, "aku menyimpan kertas-kertas ini dulu, ya," dan melangkah mengelilingi meja.

Oh ya, ada deskripsi yang terlupakan. Di meja lonjong itu tersedia pudding oranye setengah lingkaran diselipi pisau, aneka kue-kue yang begitu unik, juga limun oranye dengan keringat dinginnya dilapisan luar cerek disertai tiga es batu yang berenang diatas permukaan limun.

"Ada gelas-gelas kosong di atas nampan yang sengaja kubawa kesana. Kau ambil saja jika haus." Luka sedang berada di ruangan lain, namun Rin tidak peduli. Ia menyeru kata terima kasih serta menyambar gelas dan menuangkan limun itu. Selalu ada suguhan menarik lidah di rumah ini, tak rugi ia kesini. Rumah dengan perabotan-perabotannya yang tersusun rapi.

Senpai berambut merah muda itu akhir-akhir ini lebih di percaya berkedudukan sebagai teman. Karena tidak seperti Miku yang mulai sedikit berbeda, bertatapan aneh dan mengintrogasi sesuatu yang membingungkan. Ia lelah merenungkan setiap kehidupan yang melompat-lompat ini.

Perhatiannya teralih pada pudding, setelah sebelumnya meneguk habis limun. Ketika mengangkat piring pudding, pisau sebesar pulpen terjatuh hampir mengenai kakinya. Ia menaruh pudding di sofa – disampingnya, membungkuk memungut pisau mengkilat itu.

Pisau yang sebagian kecil berkarat. Rin membalikkan pisau itu, memerhatikannya. Ada ukiran nama 'Megurine Luka' bercetak miring huruf sambung. Sayangnya, warna pada pegangan kayu pisau itu kusam dan lama. Ia menyentuh lembut ukiran itu, menciptakan kebahagiaan yang membuatnya tersenyum.

Luka datang ke lokasi, tapi bukan ke sofa. Arahnya ke sudut ruangan. Rak tempat koleksi majalah-majalah seputar musik garapan Vocaloid dan film-film action yang sebagiaannya berceceran di karpet kecil.

"Cantiknya….," gumam Rin, benar-benar kagum pada pisau itu.

Luka berpaling ke belakang, tersenyum simpul. "Ah, pisau itu, ya. Itu hadiah dari ibuku saat berhasil menyelesaikan menu pilihannya – aku lupa nama makanannya- di usia sekolah dasar." Dia mulai menyibukkan dirinya dengan membereskan majalah-majalahnya.

"Ibumu baik, ya."

"Arigatou. Beliau menyukai benda-benda mungil, kupikir itu agak konyol. Aku kaget pisau termasuk kategorinya. Mungkin karena temanya memasak, jadinya, ya, seperti itu."

Rin mengamati pantulan wajahnya dari pisau. "Aku pinjam, ya."

Sementara Rin menikmati potongan puddingnya sambil mendengarkan Luka bernostalgia mengenai ibunya dan dirinya pada masa lampau, suara bel mengganggu ketentraman mereka. Rin memicingkan mata pada kaca besar yang tak memakai –semacam- gorden putih dengan lubang-lubang bervariasi. Dan beranjak saat sosok diluar yang dikenalinya yang bertamu kemari.

"Hei, kau mau pergi kemana?"

"Katakan padanya kalau aku tidak ada." Tak ada kesopanan dari caranya berlari entah kemana. Yang jelas, ia di balik lemari berisi alat makan dari kaca yang –biasanya- digunakan sebagai pajangan.

Mulanya Luka terbengong oleh tingkah mendadak itu. Tangan kanannya menggapai gagang pintu, menurunkan genggamannya pada gagang itu ke bawah, menarik pintu secelah muatan tubuhnya.

"Ada apa, Kaito?"

"Apa Rin-chan bersembunyi di rumahmu?"

"Dia tidak disini." Luka menunjukkan ekspresi datarnya. Penasaran, apa yang membuat Rin menghindar dari orang ini. Itu akan dibicarakannya setelah perintah Rin berhasil.

Kaito tersenyum menyeringai, "Lalu, sepatu hitam itu, milik Rin-chan, 'kan?" Menunjuk ke bawah.

Sepatu hitam kain tanpa tali berbaris rapi di samping keset. Luka terpojok pada kebohongannya. Merasa bodoh dengan yang dikatakannya tanpa memikirkan efek yang akan didapatnya.

"Dia menyuruhku mengatakan itu padamu." Ia menarik ujung lubang sepatu Rin dengan jemarinya. Lalu masuk ke dalam rumah, mencari Rin.

Berbagai ruangan dekat ruang tamu telah dijelajahinya. Memanggil- manggil namanya tak memiliki keuntungan apapun. Rin benar-benar bersembunyi.

Ia baru menemukannya saat memutuskan untuk ke lantai dua. Rin duduk menyudutkan diri di anak tangga yang pertama, memeluk lutut.

Luka mengerling sepatu yang dijinjingnya di depan wajah Rin.

"Lain kali kalau mau bersembunyi, sepatumu harus dibawa bersembunyi juga, ya."

Kedua bola mata Rin membulat polos meminta penjelasan.

"Pergilah. Dia menunggumu."

.

-Suatu tujuan tabu membawanya kepada kebaikan, mungkin saja-

.

Di jalanan berbeda berisik oleh kendaraan, pejalan kaki tak cukup memenuhi pinggir jalan kanan kiri, mengingat itu, maka tak ada langkah beriringan. Namun Kaito tak bersikap cuek, sesekali mengulurkan tangan ke belakang, di sambut oleh jemari mungil Rin, hingga berjalan bersama akhirnya terkabul.

"Dipertigaan, kita menyebrang, ya." Tujuan sederhananya hanya ke restoran yang bahkan tidak sering dikunjunginya. Rin menengadah memandang pemilik poni biru tertiup angin itu. Teringat dengan yang disampaikan makhluk-makhluk halusinasinya termasuk Len beberapa hari sebelumnya. Tentang Kaito yang merencanakan sesuatu yang jahat untuknya, dengan Miku. Oh, apakah pemuda itu telah menjadi seorang pembohong?

"Kenapa kau melihatku begitu?" Kaito menggambarkan wajah sedikit kagetnya, memperlambat gerakan kaki.

Dan berhenti.

"Apa aku gila?" tanyanya, bersungguh-sungguh tapi menyentuh. Ia menerima kata menyakitkan itu dari orang tak dikenal ketika melarang Len menjaili pejalan kaki dengan meniup terompetnya di dekat telinga si korban.

Decitan kendaraan, bunyi knalpot motor tidak dapat dibantah. Pelan tarikan senyuman hambar dari Kaito sembari telapak tangan kanannya diletakkan di kepala berpita itu, mengusapnya. "Aku tidak mungkin menjadi kekasihmu jika kau gila."

Senyuman samar yang memberikan setetes ketenangan baginya. Ia memamerkan senyum yang sama.

.

Mencapai angan-

.

"Aku pesan sushi salmon…"

Pelayan berseragam di samping mereka tergesa menuliskan kata per kata di buku catatan kecilnya.

Rin terdiam memainkan kakinya di rongga kursi. Ketukan piring-piring, percakapan orang-orang, derap sepatu pelayan pembawa porsi makan, kenapa suara-suara itu sungguh menganggu? Ada apa dengannya?

"Hei, kau mau pesan apa?" Objek vas bunga hias yang dipandangnya dalam lamunan berganti buku berisi menu masakan laut yang terbuka lebar.

Rin kebingungan memilih, "Sama sepertimu," apapun makanannya. Tak ada salahnya mencoba menu yang tak diketahuinya.

"Yang tadi kupesan itu sushi, lho." Kaito berujar setelah si pelayan menjalankan tugasnya.

"Tak apa." Sushi bukanlah yang tercatat sebagai menu favoritnya.

.

Ia dan Kaito tidak membicarakan apapun. Soal sushi yang kembali disantap Rin baru-baru ini, alasannya kabur barangkali, atau apalah itu. Dia terlalu asyik dengan ponselnya yang sesekali bergetar di genggaman jemarinya. Tersenyum beberapa detik yang lalu. Namun tidak terlihat seperti orang yang jatuh cinta. Makanya Rin tidak curiga, juga tidak peduli. Ia dihibur oleh sushi. Pisau cantik memilah lembut dan garpu menusuknya.

Tinggal setengah bagian lagi, ia dikagetkan decitan kaki kursi didekatnya, disekitarnya. Kaito beranjak meminta izin, "Aku pergi ke toilet sebentar. Kau tunggu disini, ya."

Rin menegakkan tubuhnya, mengintip piring Kaito. Sushinya telah hilang, sisanya colekan minyak tak kentara.

.

Kaito tak bisa berjalan santai, untuk yang kali ini. Para pelayan dan yang dilayani, khawatir Rin meninggalkannya, bukanlah jawabannya. Sebuah firasat tak sedap tiba-tiba didapatnya. Orang-orang lain dibelakangnya pasti ada. Tapi bukan, tak ada hubungannya dengan orang-orang. Bukan ini maksudnya.

Maka ia berpaling ke belakang dan sayangnya tak ada yang melangkah vertikal dengannya.

Tak apa, mungkin beginilah rasanya menghirup suasana berbeda. Ponselnya dua kali bergetar di saku jaket birunya. Miku menceramahinya dengan embel-embel 'TBC' di akhir surat pendeknya di ponsel. Tak membutuhkan waktu lama untuk membaca sambungan yang diberikannya. Dua sampai tiga menit sudah diterimanya.

Sumpah, rasanya ada yang mengikuti! Hawa hangat yang menandakan seseorang didekatnya namun bukan kehangatan dari sekian banyak orang disini.

Lokasinya sekitar tiga atau mungkin empat meter seiring dengan derap sepatunya yang menggebu sesuai dugaan dan –sedikit – ketakutannya. Orang jahat macam apa yang berurusan dengannya? Mungkinkah seorang pianis yang tak terlalu dikenal orang memiliki penggemar 'nyata'? Itu bisa jadi.

Lagi-lagi ia menoleh dan kembali tertipu. Uh, paranoid menerjang orang sebaik dirinya.

Kaito mencoba mengetes keberadaan 'penguntitnya' dengan berhenti saat di depan ambang pintu.

"Aaarrggh….."

Apa yang diteriakannya?

.

-Akankah seseorang membantuku keluar dari kegelapan?-

.

23 menit setelahnya…

Sepanjang koridor remang yang bermeteran singkat, Miku berlari tak begitu cepat, seperti langkah berat seorang pelari marathon di seperempatan finish. Rambut hijau panjangnya melambai di udara, mengikuti gerakan tubuhnya. Ia mengenakan seragam Vocaloid – seragam khasnya. Tak lupa ponsel putih layar sentuh dipelukan tangan kanannya.

Ada informasi penting yang wajib diketahui para anggota yang hadir di studio.

Tiba di muka pintu tertutup berbunyi instrument beserta penyanyinya, namun tak lama kegiatan mereka terjeda oleh si pembuka pintu yang membuka pintunya lebar. Matanya berat menahan… Tangis?

"Ka-Kaito…."

.

.

.

.

TBC

Kareshi = Pacar.

Mungkinkah hanya itu kata Jepang yang kugunakan?

Skizofrenia merupakan penyakit kelainan otak yang ditandai dengan halusinasi, waham, memiliki emosi tumpul, bicara tidak nyambung… dan begitulah. Apa kalian bisa membaca sifat Rin? Yah, aku harap tidak salah menceritakannya (bermodal artikel google dan curahan dari pengidapnya). Ini pertama kalinya skizofrenia di dalam ceritaku. Well, imajinasi ini sudah ada sejak bulan Agustus 2014 *contek memo* tapi Rin saat itu tak memiliki alasan bersikap begitu, jadi kumasukkan saja penyakitnya . Sori bagi fansnya.

Crime ada di chapter selanjutnya (kagak usah di kasih tahu, kalee), gw berharap gak menyimpang dari rate. Dan semoga kalian tidak berpikiran ya ya mengenai gaya penceritaannya. Akhir-akhir ini gw agak pikun, dan emosi agak datar, ehe. Maklumilah