Malam semakin dingin seiring gerak jarum-jarum jam yang terus bergerak, hingga saling memeluk satu sama lain. Alam, dengan laskar anginnya mulai menyenandungkan nyanyian tidur pada makhluk bumi untuk melepas penat.
Namun, terkadang malam tak sebaik yang dikira.
Seorang laki-laki berkisar 27 tahun, memakai jubah hitam khas pesulap tergopoh-gopoh berlari, merunduk, melewati gang-gang sempit nan gelap. Ia menunduk ketika merasakan sesuatu melayang diatas kepala nya.
Namun sesuatu menghentikannya. Ia jatuh berguling, tersungkur ketika tak sengaja terantuk sebuah botol yang tergeletak di tanah.
"Aaargh!"
Sebuah benda tajam mengkilap menancap dibawah bahu kanannya. Seseorang memakai pakaian serba hitam kembali melemparkan sebuah pisau yang tak lain milik sang pesulap sendiri yang barusaja melakukan pertunjukan.
Kali ini, tepat menusuk belakang lehernya.
Sang pesulap meringis, berkali-kali menyesali dirinya dalam ketidakberdayaan. Darah mulai mengucur, menggenangi tanah. Membuat rambut kelabu nya berubah memerah. Dengan susah payah ia mencoba menopang tubuhnya dengan kedua tangan, mencoba bangkit dengan kekuatan yang tersisa.
Namun ia kembali jatuh karena pisau ketiga menembus kepalanya.
"Sebenarnya… hosh… hosh… apa yang kau… inginkan?"
Sang pengejar perlahan berjalan mendekat, berhenti tepat didepan kepala sang pesulap. Di wajahnya terlukis sebuah kurva miring
"Kematianmu."
Yang terdengar hanyalah jeritan panjang ketika sang pengejar menginjak kuat pisau di leher sang pesulap hingga menembusnya.
.
(Red)emption
Naruto © Masashi Kishimoto
Saya Cuma pinjam tokohnya
Warning: Typo, OOC, Alur cepat, mengandung unsur kekerasan, M untuk Gore
Kalau tidak suka dan tidak kuat silakan tekan tombol back
Enjoy Reading
.
.
Chapter 1: Kematian sang pesulap
.
Sasuke memijit dahi nya kasar saat ia tiba di lokasi kejadian pembunuhan Kojiro, sang pesulap yang baru naik daun. Ia menunduk dan menyalakan senter, memalingkan wajah korban ke hadapannya.
Dan membuat ia dalam puncak kemarahan ketika melihat goresan alfabet 'R' tepat di bagian pipi sebelah kiri korban.
"Dia lagi." Gumamnya pelan. Mencoba meredam emosi nya yang memuncak ia menghembuskan napas berat.
Sasuke bangkit berdiri dan melepas sarung tangan karetnya.
"Teme! Bagaimana?"
Naruto menyingkap garis polisi untuk mendekati Sasuke yang masih berdiri mematung. Ia menunduk dengan senter fokus menyorot pada wajah korban.
"Sialan! Red lagi?!"
Naruto mengacak rambut pirangnya kasar. Merasa begitu geram dengan kasus demi kasus dengan inisial huruf R yang selalu terlukis di wajah korbannya.
Sasuke berjalan menjauhi TKP setelah ia merasa tak ada lagi petunjuk yang bisa memudahkan pengusutan kasus.
"Bagaimana, Letnan Uchiha?" Hinata menyerahkan kopi Americano sesuai pesanannya.
" Masih belum ditemukan titik terangnya."
Mendengar jawaban Sasuke membuat Hinata berubah murung. Ia mengusap-usap cincin di jari manis tangan kanannya, cincin pernikahannya dengan Naruto beberapa bulan yang lalu. Ia menjadi lebih gugup saat ia menyadari atasannya sedikit emosi dibalik wajah dinginnya, takut berbuat kesalahan dengan pertanyaannya.
"Mekipun aku masih baru aku dalam kasus ini harus berusaha. Mohon bantuannya, Letnan!" Seru Hinata dengan berojigi dalam.
Sasuke membalasnya dengan sebuah gumaman pelan. Ia berjalan menjauh menuju sebuah bangku kayu sambil menyesap kopinya.
Ya, malam ini ia merasa lebih dingin dari biasanya. Dan memaksanya untuk kembali berurusan dengan kopi.
"Hinata-chan!"
Hinata berbalik, mendapati Naruto yang berjalan mendekatinya dengan kedua tangan dimasukkan dalam saku mantel nya.
"Sudah kau berikan kopi pesanan Sasuke?"
"Um." Sahut Hinata singkat.
"Lalu, kopi ku mana?"
"Oh? Ini." Hinata mengambil sebuah gelas kertas kopi dari dalam bagasi mobil disampingnya.
"Arigatou." Naruto mengacak rambut Hinata pelan. Sasuke yang tak sengaja melihat mereka segera memalingkan wajah.
"Apa, Teme? Makanya cari istri." Olok Naruto yang dibalas dengan tepukan di bahu dari Hinata dan tatapan Sopanlah-pada-atasan.
"Dobe sialan." Umpat Sasuke sambil kembali menyesap kopinya.
.
Sakura melempar smartphone nya dengan kesal ke kasur.
"Ino-piiiggg! Ku bilang sebentar lagi selesai tinggal menambahkan epilog masih marah-marah padaku! Dasar, editor macam apa dia!"
Ia mengambil sisir dari laci dan mulai merapikan rambut merah muda nya kasar dengan kaki yang dihentakkan ke lantai. Ekspresi kesal begitu kentara di wajahnya.
"Seenaknya saja dia mengomel padaku! Kalau saja kau bukan temanku, kau… kau… Ugh!"
Sakura meninju meja nakas di depannya. Ia benar-benar merasa kesal sekarang.
Namun dering smartphone nya sejenak menghentikan pelampiasan marahnya. Dengan jengkel ia mengambil smartphone nya.
"Nande!"
"Sudah kau ambil uang nya di tempat itu?"
Sakura terkejut setengah mati mendengar siapa lawan teleponnya sekarang. Ia berdehem.
"Black? Oh, gomen aku sedikit jengkel tadi. Yah, sudah."
"Kau melakukannya sesuai yang ku perintahkan. Bagus sekali. Tak sia-sia aku memilihmu."
"Jangan memuji ku berlebihan bila ada maksud di belakangnya, Black."
Terdengar tawa keras dari lawan telepon Sakura.
"Kau sudah mengerti, rupanya. Kali ini aku ingin memberikanmu yang sedikit lebih sulit."
"Apa?"
"Cek email mu yang masuk jam 9 malam nanti. Aku akan mengirimkan profil nya."
"Aku mengerti."
Sambungan antara mereka sudah di matikan. Ia meletakkan sisir kembali ke dalam laci meja rias.
Ia berbalik, dengan pelan membuka lemari pakaian di depannya. Sekilas ia memandangi setelan pakaian hitam, dengan wig coklat panjang. Membuatnya tersenyum miring.
Tangannya terjulur mengambil setelan cardigan hitam dan rok hitam selutut. Helaian merah muda nya ia gulung ke atas, memperlihatkan leher jenjangnya.
Sakura tersenyum di depan cermin, merasa puas dengan penampilannya hari ini.
Ia melirik jam dinding digital di samping lemari, tercetak dengan warna merah, 8 AM.
Setelah memasukkan buku-buku dan arsip penting ia menutup resleting tas, bersiap menuju kampus.
.
"Ohayou."
Sekonyong-konyong para mahasiswa yang begitu sibuk dengan dunia nya segera merapikan tempat duduk ketika melihat Sakura sudah berdiri tepat di depan mereka.
"Ohayou, Sakura-sensei!" Seru mereka. Sakura tersenyum tipis, lalu duduk di kursi di sampingnya.
"Sakura-sensei, mana Asuma-sensei?" Tanya Moegi.
"Asuma-sensei sedang di luar kota jadi hari ini aku sendiri yang mengajar kalian." Jawab Sakura.
"Sakura-sensei, anda cantik sekali hari ini." Celetuk Konohamaru dan membuat kelas riuh. Sakura menghela napas panjang, menenangkan emosinya yang kembali memburuk.
"Hei kalian! Benar-benar. Simpan semua buku kalian! Sesuai perjanjian minggu lalu hari ini ulangan!"
"Tidaaakkkkk!"
.
Hinata menekan tombol next pada pointer presentasi miliknya.
"Sesuai dengan kasus sebelumnya, kesimpulan sementara pelaku dari kasus ini adalah berinisial R atau Red."
Hampir semua detektif dalam ruangan menghela napas kesal.
"Lalu, apakah ada petunjuk yang memudahkan kita mengetahui siapa Red sebenarnya?" Tanya Karin sambil membetulkan letak kacamata nya.
"Um."
Tampilan slide berubah, menampilkan sehelai rambut dalam sebuah kantong plastik kepolisian.
"Ini adalah sehelai rambut yang di temukan di dekat korban. Dari panjang rambut ini bisa disimpulkan pemiliknya adalah seorang perempuan."
Seluruh orang di ruangan terkejut.
"Perempuan? Sekuat apa dia?" Gumam Naruto.
"Mungkin saja itu adalah helaian rambut dari seorang perempuan yang kebetulan tinggal dekat lokasi kejadian." Sanggah Karin.
"Dari kesaksian orang yang tinggal di dekat sana tidak ada perempuan yang tinggal di sana. Kalaupun ada perempuan hanyalah seorang nenek tua yang hanya berdiam di rumah nya dan perempuan paruh baya dengan rambut pendek. Tidak ada disana yang tinggal dengan rambut panjang."
Mendengar pernyataan dari Hinata membuat Naruto mengacak rambutnya kasar, Neji terlihat memijit pelipis nya, Shikamaru mengerutkan kening,dan Sasuke menghentikan tulis-menulisnya.
Siapa perempuan ini sebenarnya, batin Sasuke.
"Bisa gila aku begini." Keluh Karin.
"Mungkin sampai disini. Dua hari lagi hasil otopsi dari tim forensik sudah keluar."
Semua orang dalam ruangan bangkit, keluar dari ruang rapat. Tak terkecuali dengan Sasuke yang begitu keluar langsung melepas jas nya. Merasa begitu gerah Karena ruangan sedikit panas, dan juga perasaan kesal karena kasus yang ia tangani.
"Oi Teme! Ikut ke ichiraku?"
"Tidak." Jawab Sasuke sambil berlalu menuju lift. Naruto mengernyit ketika melihat sebuah kotak bekal di tangan Sasuke.
"Oh, jadi kau menolak untuk ikut ke ichiraku bersamaku karena sudah bawa bento? Ah, pasti dari pacarmu ya? Kenapa tidak bilang?"
"Dari Baka-Itachi." Sasuke menekan tombol panah dari depan lift.
"Benar juga ya. Izumi-nee baik sekali mau membuatkanmu."
"Hn."
Sasuke masuk ke dalam lift, menekan tombol 2 dan 0. Meninggalkan Naruto yang terheran-heran dengan sikapnya.
.
Sakura melemaskan bahu nya dengan menyandar pada kursi.
"Benar kata Black, ini sedikit sulit." Ia menutup jendela email di computer nya.
"Seorang CEO perusahaan dan penggila wanita? Bagaimana aku memancingnya?"
Sakura berpikir sejenak. Ia berubah begitu kesal, mengacak rambutnya kasar ketika ia baru mengerti akan sesuatu.
"Kuso! Apa ini artinya Black menantangku?"
Ia teringat kejadian 6 tahun lalu, saat ia baru bergabung dengan Black. Ia bersikeras memilih seorang laki-laki pengusaha furnitur yang juga penggila wanita untuk dihabisi, yang Sakura tahu ia memiliki kaitan dengan wanita yang membunuh Satora, saudara kembarnya. Dan karena kurang nya pengalaman hampir saja ia 'dihabisi' oleh lelaki jalang itu, kalausaja Black tidak datang menyelamatkannya.
Dan gagal mendapatkan informasi dari lelaki itu.
"Aku harus bagaimana?" Iris emerald nya berubah meredup. Ia menatap dalam sebuah foto dalam figura samping monitor, Foto nya bersama Satora saat tahun pertama SMA.
"Satora…"
Sakura menyandarkan kepalanya di dinding. Saat seperti ini, ia merasa begitu kesepian. Tak punya siapa-siapa, tak punya seorang pun yang bisa dipercaya. Bahkan sampai sekarang ia tak percaya dengan Black, atasannya sendiri.
"Aku harus bagaimana, Satora?"
Setetes likuid bening menjatuhi figura di tangannya, dan terus berjatuhan.
Karena monster sekuat dirinya pun takluk dengan yang namanya kesepian.
"Satora! Pinjamkan aku kekuatanmu! Pinjamkan aku kekuatanmu seperti keindahan 'tarian' mu waktu itu! Pinjamkan aku jiwa mu yang tak kenal takut itu, Satora! Aku ini lemah… "
Haruskah aku mencari seseorang yang mau memainkan 'melodi' itu hingga aku gila dan tak kenal takut seperti mu?
Sekelebat bayangan masa lalu terlintas di pikirannya. Saat itu, saat Satora berdiri di depannya yang terkena tembakan. Satora yang mengamuk dengan pedangnya hingga polisi –polisi yang ingin menangkapnya tewas dan terluka.
Satora yang begitu berani, 'menari' dengan kewarasannya yang tak tersisa.
"Ukh."
Sakura menyeka airmata nya kasar. Ia menaruh kembali figura ke tempat asalnya.
Aku tak boleh menangis, aku harus kuat. Aku, Saudara Satora yang tak kenal takut tidak boleh cengeng.
Ia melirik arloji hitam yang tergeletak di samping buku-buku nya, menunjukkan jam 10 P.M.
"Duapuluh menit lagi. Aku harus bersiap."
Ia beranjak dari kursi, membuka lemari di belakangnya. Ia meraih 'kostum' yang biasa ia pakai untuk menghabisi seseorang.
Beralih menuju meja rias, ia mengambil sebuah kotak lensa kontak. Dengan pelan membuka dan memasangnya. Lensa matanya pun berubah menjadi sewarna karamel.
Ia mengecek email yang masuk dari smartphone nya. Rute perjalanannya menuju target.
"Jalan pertama lewat belakang gudang Ichida Corp? Souka."
Terakhir, ia meraih kacamata hitam, topi pet dan masker hitam. Juga sepatu keds hitam.
Sempurna.
Saat ini, Ia bukan lagi bernama Haruno sakura.
.
TBC
Yo, gaes. Ini fanfic suspense pertama Rhein, tapi udah pernah bikin orific sih. Dan sebenarnya ini adalah sekuel dari orific Rhein di wattpad yg judul x Melodi dan Untukmu, segalanya. Rencana nya kedua orific Rhein itu dijadiin fanfik sih, tapi gak janji lho ya, namanya jga rencana.
*digampar
Kalau mau baca orific Rhein silakan berkunjung di Wattpad Rahmatiahrahmatiah, dstu orific smua :'v
Dan bagaimana menurut kalian? Kurang greget kah? Maso x kurang kah? Alur kecepetan kah(?) *kalo yg ini Rhein udh tau :'v
Ah syudahlah sampaikan aja di kotak Review yaa :3 biar tmbh smngat Rhein nulisnya, sampai jumpa d chapter depan :3
